PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-82
Walangkoro dapat mengerti bahwa kalau tidak memiliki kesaktian yang
hebat, tidak nanti dara remaja ini berani menantang seperti itu. Dia
tahu bahwa dara ini tentu digdaya sekali dan agaknya dia tidak akan
dapat menang, buktinya Adiwijaya yang demikian sakti pun menjadi
hambanya.
Akan tetapi, kini dia tidak mengharapkan menang, melainkan hendak
mempertahankan diri agar tidak sampai roboh dalam segebrakan. Betapa pun
juga, dia tetap penasaran tidak dapat percaya bahwa dara ini betapa pun
saktinya, akan mampu merobohkannya dalam segebrakan.
Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya, memusatkan perhatiannya dan
bersiap menjaga diri sekokoh mungkin dengan memasang aji kekebalannya di
seluruh tubuh sambil menjaga bagian tubuh yang tak dapat ia tembusi
dengan aji kekebalan.
“Jaga serangan!” ia berseru keras untuk mengguncang ketenangan lawan,
tubuhnya yang tinggi besar menerjang ke depan seperti serudukan seeker
banteng.
Terjangan ini kuat dan cepat, lengan kanan yang panjang dipergunakan
untuk mendorong atau memukul ke arah perut Retna Wilis, sedang lengan
kiri tetap menjaga depan tubuh sendiri, kedua kaki kokoh kuat menjaga
segala kemungkinan.
Pendeknya, dalam penyerangan ini, Walangkoro hanya mempergunakan
setengah bagian -tenaga dan perhatiannya untuk menyerang karena yang
setengahnya lagi ia pergunakan untuk menjaga diri agar jangan sampai
kena dirobohkan lawan dalam segebrakan.
Retna Wilis memandang lagak lawan dan mulutnya mengembangkan senyum
tipis. ia tetap tenang menghadapi terjangan lawannya sambil mengukur
jarak. Setelah tubuh lawan yang menerjangnya cukup dekat, hanya satu
meter lagi di depannya, dara perkasa ini menggerakkan tangan kirinya
seperti orang menampar dari kiri.
Akan tetapi gerakan ini bukanlah tamparan biasa saja karena dara ini
telah mengerahkan hawa sakti dari tubuhnya, menyalurkan tenaga mujijat
ke dalam tangan yang menampar dcngan Aji Pancaroba.
Kekuatan yang terkandung dalam aji ini seperti taufan mengamuk dan
memang daya pukulan jarak jauh ini seperti hembusan angin taufan yang
dahsyat sekali. Ketika kena disambar angin pukulan Pancaroba, seketika
tubuh raksasa itu terpelanting, tak kuasa lagi kedua kakinya menahan
tubuhnya dan ia roboh bergulingan!
Terdengar Adiwijaya tertawa bergelak dan diam-diam ia memuji diri
sendiri yang berpemandangan awas, sudah percaya dan yakin akan kesaktian
luar biasa dari dara ini, tidak seperti Walangkoro yang hendak
mengujinya. Diam-diam Adiwijaya selain merasa kagum juga ngeri
menyaksikan betapa seorang dara semuda itu telah memiliki kesaktian
sehebat itu!
Tetapi Walangkoro adalah seorang yang bodoh dan kasar. Dia merasa
terlalu aneh dapat dirobohkan benar-benar oleh gadis itu dalam
segebrakan saja dan hal ini membuatnya penasaran sekali. ia meloncat
bangun dengan mata merah saking marah dan penasaran.
“Wahai puteri yang sakti mandraguna! Andika menggunakan aji setan!”
“Hemm, bagaimanakah kehendakmu, Paman Walangkoro?”
“Coba andika merobohkan aku dengan tenaga, dengan tebalnya kulit dan kerasnya tulang!”
“Andika keras kepala! Majulah!” Retna Wilis menantang.
Walangkoro mendengus dan meloncat ke depan, kini ia menggunakan kedua
lengannya yang sebesar kaki manusia biasa itu untuk memukul sambil
mengerahkan tenaganya. Retna Wilis menyambut dengan tenang, mengangkat
kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menangkis kedua pukulan tangan
lawan itu, tangannya yang miring menebas ke arah kedua lengan lawan yang
besar dan kuat.
“Wuut-wuut krek-krekkk!”
Walangkoro mengerang kesakitan dan terhuyung ke belakang, dua lengannya
tergantung di kanan kiri dengan tulang patah ia terbelalak, tidak
merintih, memandang kepada Retna Wilis dengan kedua mata terbelalak
penuh keheranan, kekagetan, dan kekaguman yang mendalam.
Kemudian, kedua kakinya bertekuk lutut dan ia menggerakkan kedua
lengannya yang sudah patah tulangnya, berusaha menyembah kaku karena
lengannya seperti lumpuh, mulutnya berkata,
“Hamba Walangkoro menghaturkan sembah kepada Gusti Puteri Retna Wilis
yang mulai, saat ini menjadi junjungan dan sesembahan hamba.”
Retna Wilis tersenyum girang melihat Walangkoro yang berlutut
menyembahnya, di belakang raksasa ini semua anak buah gerombolan Wilis
juga berlutut dan menyembah dengan muka membayangkan rasa takut.
“Baiklah, Paman Walangkoro. Aku menerima engkau dan semua anak buahmu
menjadi pasukanku. Engkau membantu Paman Adiwijaya, adapun para Paman
Wilis ketiganya menjadi pembantu-pembantumu. Sekarang mari kita naik ke
puncak.”
Berangkatlah mereka semua mendaki puncak Wilis setelah Walangkoro
dibantu oleh Adiwijaya membalut kedua lengannya yang patah tulangnya dan
oleh Adiwijaya diberi obat daun-daun yang mempunyai khasiat mempercepat
penyambungan tulang patah.
Mulai hari itu, Retna Wilis menjadi pemimpin pasukan yang jumlahnya
hampir dua ratus orang terdiri dari bekas-bekas anak buah pasukan
Jenggala dan anak buah Padepokan Wilis yang ditambah anak buah
gerombolan Wilis.
Akan tetapi Retna Wilis tidak mempergunakan nama padepokan, apa lagi
gerombolan, dia kini mendirikan sebuah “kerajaan” kecil, yang disebut
Kerajaan Wilis.
Adapun Retna Wilis sendiri menjadi ratunya yang oleh para anak buahnya
disebut Gusti Puteri Retna Wilis. Mulailah dara remaja yang amat luar
biasa ini menghimpun kekuatan dan mulailah ia memimpin sendiri anak
buahnya untuk menaklukkan seluruh daerah yang termasuk wilayah.
Banyak sekali gerombolan perampok ia taklukkan dan dijadikan anak
buahnya, bahkan dusun-dusun di kaki Wilis mulai ia serbu, yang menentang
dibunuh, yang takluk dijadikan anak buahnya sehingga dalam waktu
beberapa bulan saja, “kerajaan” Wilis memiliki pasukan yang besar
jumlahnya, ribuan orang, dan di lereng-lereng Wilis kini dibangun
dusun-dusun baru yang dijadikan tempat tinggal para anak buahnya beserta
keluarga mereka.
Retna Wilis sendiri hanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Tentu saja
dalam hal memimpin orang sedemikian banyaknya sebagai seorang ratu, ia
tidak mempunyai pengalaman sama sekali.
Tidaklah mudah memimpin orang-orang yang terdiri dari pelbagai macam
golongan itu, bahkan amat sukar menundukkan orang-orang yang tadinya
adalah gerombolan perampok yang ganas.
Akan tetapi, dengan bantuan Adiwijaya yang berpengalaman sebagai Patih
Jenggala, dan Walangkoro yang sudah biasa memimpin gerombolan perampok,
Kerajaan Wilis ini dapat berjalan dengan maju pesat.
Bukan saja dapat mempergunakan tenaga para rakyatnya, juga dapat mendatangkan kesejahteraan.
Sudah terlalu lama rakyat tertindas oleh pembesar-pembesar lalim, apa
lagi ketika Jenggala mengalami kesuraman, dan banyak terjadi perang
selama beberapa tahun ini. Kini mereka menyaksikan kemajuan Kerajaan
Wilis, timbul harapan mereka untuk dapat hidup baik dan makin banyaklah
rakyat dari daerah-daerah yang agak jauh berdatangan untuk mencari
perlindungan di bawah pimpinan gusti puteri yang dikabarkan sebagai
penjelmaan seorang Dewi yang turun dari kahyangan dan, yang bertugas
mendatangkan kebahagian, bagi kehidupan mereka yang tertindas!
Dalam waktu beberapa bulan saja nama Kerajaan Wilis yang dipimpin oleh
puteri sakti mandraguna itu menjadl terkenal sampai jauh dari Wilis.
Daerah yang jauh di sekeliling Wilis menjadi geger dan gempar karena
munculnya puteri jelita dengan pasukannya yang tidak berapa besar itu
memang hebat sekali, setiap kali keluar pasti menaklukkan musuh yang
jauh lebih besar jumlahnya dari kabar tentang kesaktian yang luar biasa
dari Puteri Retna Wilis ditambahi bumbu-bumbu yang berlebihan
mengagetkan semua orang yang mendengarnya.
Di antara daerah yang agak jauh, hanya daerah Ponorogo yang masih belum takluk kepada Kerajaan Wilis.
Daerah-daerah lain, yang lebih jauh sekali pun dari Ponorogo, banyak yang takluk tanpa diperangi.
Akan tetapi Ponorogo lain lagi. Daerah ini memang merupakan daerah yang
kuat dan yang sejak dahulu juga tidak tunduk kepada Kerajaan Mataram
lama. Hal ini adalah karena Ponorogo mempunyai banyak orang sakti dan
kerajaan-kerajaan besar menganggap lebih aman untuk menarik Ponorogo
sebagai kerajaan sahabat dari pada sebagal musuh atau taklukan.
Andai kata ditaklukkan sekali pun, sifat tokoh-tokohnya yang selalu
tidak mau ditundukkan akan mengadakan pemberontakan setiap ada
kesempatan. Warok-warok Ponorogo memiliki kesaktlan yang menggiriskan
dan Bala tentaranya amat kuat.
Pada waktu itu, yang menjadi adipati di Ponorogo adalah Adipati
Diroprakosa, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih, selain sakti
mandraguna, juga pandai mengatur pemerintahan.
Sang adipati ini berhubungan baik sekali dengan Kerajaan Panjalu dan
karena maklum akan kejayaan Panjalu, maka sungguhpuri tidak secara
resmi,namun Adipati Diroprakosa menganggap Panjalu sebagai kerajaan
induk, atau sebagai kerajaan yang menjadi atasannya. Apa lagi setelah ia
menikah dengan puteri Ki Patih Suroyudo, hubungan antara Kadipaten
Ponorogo dengan Panjalu menjadi makin baik.
Seperti keadaan Ponorogo semenjak dahulu, pada waktu itu Ponorogo juga
mempunyai banyak sekali jagoan-jagoan yang membantu kadipaten, bahkan
mereka itu, warok-warok yang digdaya, menjadi tulang punggung yang
menegakkan ketenaran nama Kadipaten Ponorogo.
Yang mengepalai para warok yang menjadi tokoh yang berpengaruh adalah Ki
Warok Surobledug. Bukan karena dia yang paling sakti di antara para
warok, sama sekali tidak karena masih ada yang lebih sakti dari pada Ki
Surobledug, akan tetapi karena Ki Surobledug adalah paman sang adipati,
maka tentu saja dia berpengaruh dan berkuasa.
Di samping ini, Surobledug seorang yang bijaksana dan pandai bersiasat
di samping banyak sekali sahabat-sahabatnya di antara para orang sakti.
Pada waktu itu, Adipati Ponorogo dan para warok sudah mendengar akan
nama kerajaan baru di puncak Wilis, dan mengikuti perkembangan kerajaan
itu dengan penuh perhatian.
Ki Surobledug sudah berkali-kali berunding dengan sang adipati dan para
tokoh lain dan mulailah Kadipaten Ponorogo mempersiapkan din untuk
menanggulangi Kerajaan Wilis yang makin lama makin meluas wilayahnya
itu. Penjagaan diperkuat, pasukan-pasukan dipersiapkan di perbatasan
yang menjadi wilayah Ponorogo, setiap pasukan diperkuat oleh beberapa
orang warok yang memiliki ilmu kedigdayaan.
“Dahulu Wilis dipimpin oleh Sang Puteri Endang Patibroto dan pada saat
Padepokan Wilis masih berdiri, kita tidak pernah bentrok dengan
Padepokan Wilis. Bahkan kita mengalami bantuan-bantuan para ksatria
Wilis yang membersihkan perampok-perampok yang mengacau di perbatasan,”
demikian Adipati Diroprakosa berkata. “Kemudian terdengar berita bahwa
Sang Puteri Endang Patibroto yang namanya sudah terkenal di kolong
langit meninggalkan Wilis, kemudian Wilis dikuasai oleh gerombolan liar
yang dipimpin oleh seorang yang bernama Ki Walangkoro. Kita sudah
mendengar akan keganasan mereka, akan tetapi karena mereka itu yang
menamakan diri Gerombolan Wilis tidak pernah berani mengganggu wilayah
kita, maka kita pun mendiamkan saja. Sekarang, terjadi perubahan besar
di sana dan telah didirikan kerajaan yang menaklukkan banyak daerah.
Agaknya mereka itu tentu akan menyerang kita, hanya menanti saatnya
saja.”
“Benarlah demikian, Puteranda Adipati,” kata Ki Warok Surobledug.
“Kabarnya yang memimpin Kerajaan Wilis juga seorang puteri, malah
kabarnya masih remaja akan tetapi memiliki kesaktian yang dahsyat.
Sungguh mengherankan dan saya ingin sekali menyaksikan sampai di mana
kebenaran kabar-kabar yang kita dengar.”
“Kakang Suro, aku mendengar bahwa puteri itu memiliki kepandaian yang
tidak lumrah manusia, seperti siluman, bisa menghilang dan kalau
membunuh lawan tidak usah menyentuh tubuh lawan itu!” kata Ki Warok
Dwipasakti, seorang warok yang bertubuh kecil kurus akan tetapi
sesungguhnya warok ini amat sakti karena dia adalah murid pertama dari
Ki Ageng Kelud, seorang panembahan yang sakti mandraguna.
Biar pun usianya masih muda, akan tetapi warok kurus ini sesungguhnya memiliki kedigdayaan yang melebihi Ki Surobledug sendiri.
“Hemm, berita-berita seperti itu sukar dipercaya, suka dilebih-lebihkan.
Betapa pun pandainya seorang manusia kalau dia melakukan hal-hal yang
tidak benar, akhirnya tentu dia akan jatuh. Kita tidak perlu takut,”
kata Ki Surobledug penasaran.
“Wawasan Paman Suro benar dan tepat sekali,” kata Adipati Diroprakosa.
“Memang kita tidak usah gentar menghadapi kekuasaan yang
sewenang-wenang. Apa lagi Kerajaan Panjalu tentu tidak akan tinggal diam
kalau kekuasaan itu makin merajalela. Betapa pun juga, kita tidak boleh
lengah dan sebaiknya kalau kita mengadakan penyelidikan ke sana.”
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya para tokoh Ponorogo itu
ketika penyelidikan dilakukan, mereka mendengar bahwa sang puteri yang
kini menguasai Wilis, yang menjadi ratu di sana dan bernama Puteri Retna
Wilis, adalah puteri dari Endang Patibroto!
“Ajaib!” seru Ki Surobledug ketika sang adipati mengadakan persidangan
lagi. “Puteri Endang Patibroto adalah seorang puteri sakti mandraguna
dan bijaksana, yang mendirikan Padepokan Wilis dan anak buahnya adalah
satria Wilis, akan tetapi mengapa kini puterinya menjadi ratu yang
menaklukkan seluruh daerah sekitarnya dan kabarnya amat ganas membunuh
orang-orang yang tidak mau tunduk kepadanya?”
“Mengherankan,” kata sang adipati. “Akan tetapi kita harus berhati-hati
dan tidak boleh sembrono. Sebaiknya kalau saya mengirim utusan ke sana,
selain untuk memperkenalkan diri juga untuk mengajukan penawaran
persahabatan. Kalau memang benar Kerajaan Wilis adalah puteri Endang
Patibroto, sekali-kali kita tidak boleh memusuhinya. Apa lagi mengingat
bahwa puteri Endang Patibroto yang kita hormati itu adalah seorang tokoh
Jenggala dan Panjalu.”
“Benar,” Ki Surobledug mengangguk mempenarkan. “Malah kabarnya dalam
perang yang dilakukan oleh Panjalu untuk menundukkan kekuasaan jahat di
Jenggala, Puteri Endang Patibroto juga ikut berjasa.”
“Sekarang begini, Paman Surobledug. Paman sendiri memimpin pasukan kecil
pergi mendaki puncak Wilis, menghadap sang ratu untuk menyelidiki
sendiri, membawa salam perkenalan dan hormat dari saya disertai beberapa
barang hadiah sebagai tanda persahabatan.”
Demikianlah, sebuah pasukan terdiri dari dua losin orang dibentuk dan
pada keesokan harinya, berangkatlah Ki Warok Surobledug sendiri memimpin
pasukannya pergi ke Wilis. Baru saja tiba di perbatasan, mereka telah
dihadang oleh pasukan Wilis yang pakaiannya serba hijau, terdiri dari
orang-orang kasar yang kelihatannya kuat.
Melihat pasukan yang terdiri dari lima puluh orang yang berpakaian serba
hijau itu, Ki Surobledug lalu memberi tanda kepada pasukannya yang
berpakaian serba hitam untuk berhenti, kemudian ia melangkah maju dan
memberi hormat kepada komandan pasukan Wilis.
“Hei, pasukan dari manakah ini berani melanggar wilayah kami? Apakah
tidak tahu bahwa wilayah ini adalah perbatasan yang dikuasai Kerajaan
Wilis dan tidak boleh ada orang asing memasukinya tanpa izin?” berkata
komandan pasukan yang masih muda dan berkumis tebal.
Biar pun komandan pasukan yang berkumis tebal itu termasuk seorang
laki-laki gagah yang tinggi besar bentuk tubuhnya, namun dibandingkan
dengan Ki Warok Surobledug, ia masih kelihatan kecil! Ki Surobledug
menjawab dengan suara halus akan tetapi dengan sikap gagah,
“Kami adalah pasukan utusan sang adipati di Ponorogo, bermaksud naik ke puncak Wilis untuk menghadap Sang Ratu Wilis.”
Pasukan berpakaian hijau itu mengeluarkan suara berisik ketika mendengar
bahwa pasukan pakaian hitam ini adalah pasukan Pcnorogo yang terkenal.
Kemudian perwira berkumis itu berkata,
“Hemm, ada keperluan apakah pasukan Ponorogo hendak menghadap ratu junjungan kami?”
Ki Surobledug mengerutkan alisnya yang tebal. “Eh, kisanak. Aku adalah
seorang utusan adipati. Sebagai utusan, hanya kepada sang ratu di Wilis
sajalah aku dapat menyampaikan apa yang ditugaskan oleh sesembahan kami.
Hendaknya andika mengerti akan peraturan itu dan suka membawa kami
menghadap sang ratu di Wilis.”
Perwira itu berpikir sejenak. Dia tidak berani bertindak sembarangan,
apa lagi ratunya amat bengis terhadap anak buah yang salah tindak,
sungguh pun di lain kesempatan ratunya itu amat ramah dan murah tangan
terhadap anak buahnya.
Ia tahu pula bahwa biar pun ada desas-desus bahwa ratu mereka
merencanakan untuk menyerbu Ponorogo, namun kalau belum ada perintah,
tidak berani ia berlancang tangan memusuhi pasukan Ponorogo yang
berpakaian hitam dan rata-rata anak buahnya bertubuh tinggi besar dan
bersikap angker ini.
“Hamm, baiklah, akan tetapi bersumpahlah bahwa kalian menghadap gusti puteri kami dengan itikad baik!”
Ki Warok Surobledug tertawa bergelak. “Andika ini lucu sekali, kisanak!
Tanpa bersumpah sekali pun mudah dilihat bahwa kami membawa maksud baik
dari junjungan kami. Kalau dengan niat buruk, masa kami hanya datang
dengan dua losin prajurit yang membawa tiga buah peti besar berisi
barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada ratu kalian?”
Perwira muda itu mengangguk-angguk dan matanya ditujukan kepada tiga
buah peti berukir yang digotong oleh prajurit-prajurit berpakaian hitam
itu.
“Baiklah, mari kalian ikut bersama kami.”
Di sepanjang perjalanan menuju ke gunung Wilis, rombongan prajurit
berpakaian hitam itu menjadi tontonan orang dan mereka ini lebih
tertarik lagi ketika mendengar bahwa mereka adalah pasukan Ponorogo yang
terkenal digdaya. Namun berkat kawalan pasukan Wilis yang menjaga
perbatasan, perjalanan mereka mendaki gunung Wilis berjalan dengan
lancar tanpa gangguan.
Diam-diam Ki Surobledug memperhatikan keadaan di sepanjang perjalanan,
dan melihat dusun-dusun baru yang dibangun sepanjang jalan dari kaki
sampai ke lereng Wilis, diam-diam ia kagum dan memuji kebijaksanaan ratu
kerajaan baru ini.
Ketika Retna Wilis mendengar dari pelaporan para penjaga bahwa
serombongan utusan Kadipaten Ponorogo mohon menghadap, dia cepat
mempersiapkan penyambutan di pendopo istananya yang baru dibangun,
bahkan yang belum selesai dibangun dan diperbaiki.
Selain dia sendiri, juga Ki Adiwijaya yang ia angkat menjadi patih, dan
Ki Walangkoro yang menjadi patih muda, ikut pula hadir menyambut
rombongan dua losin prajurit yang dikepalai seorang warok tua yang
bertubuh tinggi besar.
Sebagai seorang yang tahu akan tata susila, Ki Warok Surobledug
menghadap Ratu Wilis dengan sembah sujut dan penuh hormat tanpa berani
mengangkat muka memandang wajah sang ratu. Ia akan mencari kesempatan
nanti untuk memandang dan mengenal wajah junjungan baru di Wilis yang
dikabarkan saki mandraguna seperti siluman itu.
Di lain pihak, dialah yang menjadi pusat perhatian dan begitu Retna
Wilis memandang wajah warok itu, dia mengerutkan kening. Dia merasa
kenal kakek tinggi besar ini, akan tetapi dia telah lupa lagi entah di
mana dia pernah berjumpa dengannya.
Adapun Adiwijaya dan Walangkoro memandang warok itu dan diam-diam harus
mengakui bahwa kakek ini akan merupakan lawan yang berat. Kalau banyak
tokoh Ponorogo seperti kakek ini, benarlah berita bahwa Ponorogo
memiliki banyak tokoh sakti.
“Paman, andika siapakah dan apa maksudmu membawa pasukan menghadap padaku?”
Retna Wilis bertanya dan diam-diam Ki Surobledug tercengang mendengar
suara yang halus, merdu dan sama sekali tidak seperti suara orang-orang
sakti mandraguna itu.
Namun ia menyembah dan menjawab,
“Hamba pemimpin pasukan ini sebagai utusan gusti hamba adipati di
Ponorogo dengan membawa salam persahabatan dan barang-barang persembahan
untuk dihaturkan paduka, Gusti. Hamba Ki Surobledug menghaturkan
sembah.”
Sambil berkata demikian, Ki Surobledug menyembah dan menggunakan
kesempatan itu untuk menengadah dan memandang wajah sang ratu yang
demikian menggegerkan daerah Wilis.
Retna Wilis dan Ki Surobledug mengalami guncangan hati pada saat yang sama.
Ketika mendengar nama Ki Surobledug, teringatlah Retna Wilis kepada kakek ini.
Di lain pihak, begitu menyaksikan wajah sang ratu, Ki Surobledug menjadi
pucat wajahnya karena dia segera mengenal wajah dara perkasa yang
dahulu membunuh empat orang anak murid Panembahan Ki Ageng Kelud, dan
pernah merobohkannya, bahkan yang hampir saja membunuh dia dan Ki Ageng
Kelud!
Kiranya murid Nini Bumigarba yang menjadi ratu di Wilis! Kenyataan ini
membuat ia termangu penuh kegentaran hati. Pantas saja dianggap sebagai
seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian seperti siluman, kiranya dara
siluman itu sendiri yang menjadi ratu di oesini!
Akan tetapi, sebagai utusan kadipaten ia tidak berani mencampurkan urusan pribadinya dan ia pura-pura tidak mengenal ratu itu.
Retna Wilis tersenyum dan suaranya mengandung hawa dingin ketika ia berkata,
“Hemm, Ki Surobledug. Kiranya andika yang menjadi utusan Ponorogo. Hemm,
aku menerima baik uluran tangan Adipati Ponorogo untuk bersahabat. Akan
tetapi persembahan hanya dapat kuterima sebagai persembahan Kadipaten
Ponorogo yang tunduk dan mengakui Kerajaan Wilis sebagai kerajaan
terbesar, mengakui kedaulatanku sebagai Ratu Wilis. Jika Kadipaten
Ponorogo suka mentaati semua permintaanku, aku akan menganggapnya
sebagai kadipaten yang membantu dan sepatutnya dijadikan sahabat.
Pertama-tama aku akan mengajak barisan Kadipaten Ponorogo untuk
membantuku menaklukkan semua kerajaan kecil dan kadipaten di sebelah
timur sampai di Kerajaan Panjalu.”
“Wah, ini tidak mungkin!” Ki Surobledug berseru kaget.
“Hemm, apanya yang tidak mungkin, Ki Surobledug? Lanjutkan ucapanmu.”
Kini Ki Surobledug yang kaget sekali mendengarkan ucapan ratu itu, tidak
ragu-ragu lagi memandang wajah cantik jelita dan masih remaja itu, dan
sinar mata mereka saling menentang. Ki Surobledug merasa betapa
tengkuknya menjadi dingin ketika bertemu pandang, akan tetapi dengan
penuh semangat ia berkata,
“Ampunkan hamba, Gusti Puteri. Hamba tahu betul bahwa tidaklah mungkin
bagi Kadipaten Ponorogo untuk menyerang kadipaten-kadipaten dan
kerajaan-kerajaan kecil di sebelah timur, untuk membantu kerajaan
paduka. Oleh karena daerah itu adalah termasuk dalam kekuasaan Kerajaan
Panjalu. Tidak mungkin bagi Kadipaten Ponorogo untuk menyerang daerah
Panjalu, karena Kerajaan Panjalu merupakan Kerajaan yang dijunjung
tinggi oleh Ponorogo. Tidak mungkin Gusti.”
Tiba-tiba terdengar suara Ki Walangkoro yang besar dan nyaring.
“Apa yang tidak mungkin bagi gusti puteri kami? Tidak ada hal yang tidak mungkin! Engkau lancang mulut, heh, utusan gemblung!”
Ki Surobledug menoleh dan sejenak kedua orang tinggi besar itu bertemu
pandang. Kemudian terdengar suara Ki Patih Adiwijaya yang tegas dan
mantap,
“Heh, utusan Ponorogo! Andika hanya seorang utusan. Tahukah andika
kewajiban seorang utusan? Hanya menyampaikan pesan junjunganmu dan
menerima balasan dari kerajaan yang kau kunjungi. Mengapa kini andika
lancang sekali berani mengemukakan pandapat pribadi andika?”
Merah wajah Ki Surobledug ketika ia menatap wajah Adiwijaya. Merah
karena malu. Tentu saja ia maklum bahwa memang sikapnya tidak dapat
dikatakan benar, bahkan melanggar peraturan yang lajim. Menurut aturan,
seorang utusan tidak boleh diganggu sama sekali, akan tetapi juga
sebagai utusan sama dengan benda mati, hanya menyampaikan pesan dan
menerima balasan.
Kini diserang oleh ucapan Adiwijaya yang tepat, ia menjadi bingung,
tidak tahu hams menjawab bagaimana. Tadi ia kelepasan bicara saking
kaget dan marahnya mendengar Ratu Wilis menganggap Ponorogo sebagai
kerajaan yang lebih rendah dan mengajak, atau memerintahkan dengan
halus, untuk mengkhianati Panjalu!
“Ki Surobledug, apa jawabmu?” Tiba-tiba Retna Wilis bertanya, suaranya
tetap halus namun mengandung desakan yang tak mungkin dapat ditangkis
lagi.
Ki Surobledug menahan napas panjang. Tidak ada jalan lain baginya untuk
mengelak dan menarik kembali katakatanya dan karena ia merasa benar, ia
tidak menjadi takut lalu berkata,
“Mohon ampun, Gusti Puteri. Sesungguhnya hamba pun mengerti akan tugas
dan kewajiban hamba sebagai utusan, mengerti bahwa sebagai utusan hamba
tidak boleh bicara mengemukakan pendapat pribadi hamba. Akan tetapi,
hamba yakin bahwa pendapat hamba ini juga menjadi pendapat gusti adipati
di Ponorogo. Kadipaten Ponorogo mengulurkan tangan kepada Kerajaan
Wilis, apa lagi mengingat bahwa kabarnya paduka adalah puteri dari Sang
Puteri Endang Patibroto yang kami hormati, dan tentu saja Kadipaten
Ponorogo mengakui kedaulatan paduka sebagai ratu di Wilis. Akan tetapi,
kalau Kadipaten Ponorogo diajak untuk diajak menyerang daerah Kadipaten
Panjalu, hal ini sama sekali tidak mungkin dapat dilakukan oleh
Kadipaten Ponorogo.”
Hening sejenak setelah ki warok itu bicara dengan suara lantang. Semua orang menjadi ngeri.
Belum pernah ada orang berani menentang keputusan atau perintah sang
ratu, karena menentang sedikit saja berarti mati dalam keadaan
mengerikan. Semua orang menanti, dan mereka tidak akan heran kalau pada
saat itu sang ratu menggerakkan tangan, sekali bergerak saja membunuh
utusan itu dengan hawa pukulan tangannya. Akan tetapi, hanya terdengar
Retna Wilis menarik napas panjang dan berkata,
“Ki Surobledug, apakah andika tidak mengenalku?”
Ki Surobledug mengangguk.
“Hamba mengenal paduka, Gusti Puteri yang sakti mandraguna.”
“Engkau tahu betul bahwa sekali ada niat di hatiku, membunuhmu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku?”
Kembali Surobledug mengangguk. “Hamba mengerti, Gusti.”
Suara Retna Wilis meninggi, penuh wibawa,
“Kalau begitu, andika tentunya tidak buta untuk melihat bahwa Kadipaten
Ponorogo tidak mungkin dapat menolak perintahku, tidak mungkin dapat
menentangku? Menentangku berarti hancur lebur, Ki Surobledug!”
“Hamba mengerti, Gusti. Akan tetapi, negara yang besar harus memiliki
pendirian sebagai seorang satria yang juga menjadi pendirian Sang
Adipati Ponorogo. Kami adalah orang-orang yang menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan, dan kesetiaan. Biar pun hancur lebur, kalau
Ponorogo tetap setia Panjalu, berarti hancur sebagai sebuah kerajaan
besar. Apakah artinya hidup kalau menjadi pengkhianat? Ponorogo takkan
pernah menjadi pengkhianat, Gusti.”
“Eh, Ki Surobledug. Apakah pangkatmu di Ponorogo?”
“Hamba hanya seorang penasehat saja yang mengepalai warok-warok di Ponorogo.”
“Bagaimana andika begitu yakin bahwa pendirian Adipati Ponorogo sama dengan pendirianmu?”
“Sang adipati adalah keponakan hamba dan pendiriannya dalam hal ini tidak ada bedanya dengan pendirian hamba.”
“Wah-wah-wah, si keparat Surobledug! Gusti Puteri, perkenankan hamba
menghancurkan kepala warok sombong ini!” tiba-tiba Ki Walangkoro berkata
dengan mata melotot.
Retna Wilis mengangkat tangan menyuruh patih muda itu diam, kemudian ia berkata kepada Surobledug,
“Alangkah mudahnya bagiku untuk membunuh andika dan anak buah andika,
Surobledug. Dan alangkah mudahnya bagiku untuk menyerbu dan
menghancurkan Ponorogo. Tetapi aku tidak akan membunuhmu dan aku masih
memberi kesempatan kepada Ponorogo untuk mempertimbangkan perintahku.
Aku kagum akan keberanianmu, akan tetapi juga geli hatiku menyaksikan
kebodohanmu.”
“Nah, sekarang pulanglah, andika. Sampaikan kepada junjunganmu, juga
keponakanmu, sang adipati di Ponorogo bahwa aku memberi waktu kepadanya
selama satu bulan, dia sendiri harus datang menghadap padaku dan
menyatakan ketaatannya akan perintahku, mempersiapkan bala tentara yang
harus membantuku menaklukkan kadipaten-kadipaten lain di sebelah timur.
Kalau dalam waktu sebulan dia tidak menghadap, berarti dia menentang dan
jangan tanya tentang dosa kalau aku akan membikin Ponorogo menjadi
karang abang (lautan api). Nah, pergilah engkau, bawa kembali
barang-barangmu karena aku tidak membutuhkan persembahan orang yang
tidak mau tunduk kepadaku!”
Surobledug maklum bahwa bicara lagi tidak akan ada gunanya, bahkan sama
dengan bunuh diri, maka ia menyembah lalu memberi isyarat kepada anak
buahnya untuk mengangkat kembali barang-barang persembahan sebanyak tiga
peti itu dan keluar dari halaman istana dan kembali menuruni lereng
Wilis, kembali ke Ponorogo.....
Komentar
Posting Komentar