Kontroversi Kerajaan Sriwijay: Sebuah Tinjauan Menurut Buku Sejarah
NAMA kerajaan Sriwijaya merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi pemerhati sejarah Indonesia, bahkan bagi masyarakat umumnya, karena seringkali kerajaan Sriwijaya itu dijadikan salah satu simbol periode kebesaran bangsa Indonesia di masa lampau. Di balik kepopuleran namanya, sejarah kerajaan Sriwijaya masih banyak menyimpan sisi gelap atau ketidakjelasan, misalnya tentang kapan berdirinya, siapa pendirinya, di mana lokasi pusat kerajaannya, serta bagaimana pertumbuhan dan perkembangannya secara lengkap dan kapan pula runtuhnya.
Kajian tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya pada paro kedua abad ke-7 tidak bisa dilepaskan dari fungsinya, baik sebagai pusat agama Buddha di Asia Tenggara maupun sebagai salah satu tempat terpenting yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi di dalam perdagangan kuno di Asia. Bahkan Wolters mengatakan bahwa Sriwijaya pada masa jayanya pernah menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara bahkan di Asia, dan kedudukannya tersebut diakui oleh beberapa kerajaan besar pada waktu itu.[1] Selama kurang lebih 500 tahun kerajaan Sriwijaya berjaya sebagai negara maritim yang mendapat tempat penting di dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kontroversi tentang Sriwijaya
Penelitian tentang Sriwijaya terus berlanjut hingga dewasa ini, namun hasilnya masih menimbulkan kontroversi dalam banyak hal. Banyak masalah yang belum bisa dijawab secara meyakinkan dan tuntas. Misalnya polemik tentang letak daerah yang disebut oleh Ptolemaeus sebagai “Chryse Chersonesos“ (pulau emas). Menurut Wheatley, istilah tersebut diberikan bukan untuk pulau Sumatera karena chersonesos hanya dapat diartikan sebagai “semenanjung”, yang lain tidak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsekuensi dari arti tersebut maka kita harus mencari sebuah semenanjung. Dan apabila bertolak dari suatu titik yang jelas dan tegas seperti delta Gangga, kita menyelidiki bentuk–bentuk geografis yang dilukiskan dalam peta–peta Ptolemaeus, maka gambar itu adalah sangat sesuai dengan daratan Asia tenggara dewasa ini, sehingga bentuknya yang menonjol, yang disebut Chryse Chersonesos itu, tidak dapat lain kecuali semenanjung Malaka.[2]
Namun pendapat tersebut mendapat tandingan dari kajiannya Van der Meulen (1988) yang mengatakan bahwa jika benar istilah tersebut untuk semenanjung Malaka, mengapa dalam sumber–sumber India berkali–kali diketengahkan adanya “Tanah Emas” atau “Pulau Emas” (Suvarnabhumi, Suvarnadvipa), serta tidak pernah dibicarakan adanya sebuah semenanjung. Padahal, kecil kemungkinannya bagi orang–orang Yunani untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri daerah tersebut. Sebagian besar informasi yang mereka dapat, nampaknya, berasal dari para pedagang India.[3] Mengapa orang Yunani kecil kemungkinannya untuk melihat sendiri daerah itu? Untuk menjawabnya kita harus merujuk pada pendapat Van Luer bahwa sistem perniagaan dunia pada saat itu menggunakan sistem estapet, artinya pedagang Eropa tidak perlu datang ke pusat rempah langsung di Maluku, melainkan cukup pergi ke kota Iskandariah di Mesir, dan pedagang dari Mesir cukup datang ke India, dan pedagang India inilah yang berhubungan langsung dengan pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.[4] Demikianlah salah satu contoh kontroversi yang berkaitan dengan tafsiran terhadap keberadaan kerajaan Sriwijaya.
Dalam tulisan ini saya akan memfokuskan pada dua hal yang masih menimbulkan berbagai pertanyaan, yakni: (1) masalah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya; dan (2) pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Sriwijaya itu sendiri. Dari sekian banyak tulisan berupa penafsiran dalam berbagai buku yang berkaitan dengan sejarah Sriwijaya, saya memilih tiga buku yang menurut saya memiliki kualifikasi yang layak untuk dikaji dan dibandingkan. Buku yang pertama adalah buku babon Sejarah Nasional Indonesia, jilid II, yang disusun oleh Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan.[5] Buku ini saya anggap kredibel karena ditulis oleh para pakar sejarah dan juga dipakai sebagai rujukan dalam memahami keberadaan kerajaan Sriwijaya. Menurut hasil pengamatan saya, penyusun buku ini mengikuti teori keberadaan kerajaan Sriwijaya yang dikemukakan oleh G. Coedes. Disebutkan, misalnya, bahwa kerajaan Sriwijaya itu berkembang dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-13. Pendirinya memang belum diketahui, dan lokasi pusat kerajaan Sriwijaya terletak di daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Kerajaan Sriwijaya kemudian runtuh pada abad ke-13.[6]
Buku kedua adalah Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi karya cendekiawan Slamet Muljana yang ditulis pada tahun 1981.[7] Pandangan Slamet Muljana tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya nampaknya merupakan sesuatu hal yang baru, artinya agak berbeda dengan teorinya G. Coedes yang telah bertahan lebih dari 50 tahun. Dengan kajian yang mendalam dan menggunakan bukti–bukti baru serta analisis yang kritis dan tajam, maka lahirlah suatu karya historiografi tentang kerajaan Sriwijaya yang agak berbeda dari apa yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawannya dalam buku babon itu. Menurut Slamet Muljana, kerajaan Sriwijaya memang berdiri pada sekitar abad ke-7 namun kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-9. Adapun pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang. Sejak pertengahan abad ke–9, menurut Slamet Muljana, di Sumatera berkembang kerajaan Suwarnabhumi dengan lokasi pusat kerajaannya di Jambi. Kerajaan Suwarnabhumi ini oleh Slamet Muljana disamakan dengan kerajaan Malayu; dan kerajaan Suwarnabhumi inilah yang runtuh pada abad ke-14.[8]
Buku yang ketiga adalah buku Kerajaan Siwijaya karya Nia Kurnia yang ditulis pada tahun 1983.[9] Nia Kurnia, dalam bukunya itu, mengemukakan pendapat yang berbeda baik dengan apa yang dimuat dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II maupun dengan buku Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Dalam beberapa hal, Nia Kurnia memang menyetujui pendapat Slamet Muljana dan G. Coedes, namun dalam hal lain berbeda. Menurut Nia Kurnia, kerajaan Sriwijaya itu berlokasi di Palembang dan berkembang mulai abad ke-7 hingga abad ke-12. Sejak abad ke-13, menurut Nia Kurnia, di Sumatera berkembang kerajaan Malayu–Jambi, dan kerajaan ini runtuh pada abad ke-14.[10]
Isu kontroversial lainnya adalah di sekitar penentuan di mana lokasi kerajaan Sriwijaya yang sebenarnya. Pendapat para pakar sejarah mengenai hal ini masih simpang-siur. Tetapi secara garis besar bisa dikelompokkan kepada pendapat yang menempatkan Palembang sebagai lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, sementara kelompok lain menyatakan berada di luar Palembang.
Coedes, misalnya, berpendapat bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang. Dan pendapat G. Coedes ini didukung pula oleh Slamet Muljana dan Nia Kurnia. Sementara R.C. Majumdar mengemukakan pendapat bahwa pada mulanya pusat kerajaan Sriwijaya itu terletak di Jawa, kemudian berpindah ke Ligor. H.G. Quatrich Wales bahkan berpendapat bahwa pusat kerajaan Sriwijaya itu terletak di daerah Chaiya, Muang Thai Selatan. Sementara itu menurut J.L. Moens, pusat kerajaan Sriwijaya adalah di pantai Timur Semenanjung Malaka, dengan keterangan lebih lanjut bahwa setelah mengalahkan Palembang, ibu kota pusat pemerintahan Sriwijaya kemudian dipindahkan ke Sumatera Tengah di Muara Takus. Sedangkan Sukmono, dengan menggunakan pendekatan penelitian dari aspek geomorfologi, menduga bahwa pusat kerajaan Sriwijaya itu terletak di Jambi. Dan pendapat terakhir, nampaknya, berasal dari Bukhari yang menyimpulkan – setelah dilakukan kajian ulang secara teliti terhadap Prasasti Kedukan Bukit – bahwa sebelum tahun 682 kerajaan Sriwijaya itu berlokasi di Batang Kuantan, dan pada tahun 683 dipindahkan ke Mukha Upang di Palembang.[11]
Ulasan singkat terhadap tiga pendapat yang berbeda-beda tentang masa keberadaan kerajaan Sriwijaya, serta berbagai kesimpulan terhadap lokasi pusat kerajaan Sriwijaya, membuktikan bahwa sejarah kerajaan tersebut hingga sekarang masih menjadi isu kontroversial. Perbedaan pendapat itu sesungguhnya hal yang umum dalam dunia keilmuan, tetapi bagi masyarakat pengguna, misalnya para guru/dosen sejarah di lapangan, perbedaan penafsiran itu merupakan suatu hal yang menantang. Artinya, dengan demikian, bagaimana mereka mampu menyampaikan kepada para siswa/mahasiswa tentang aneka perbedaan tafsir tersebut. Menempatkan perbedaan pendapat sebagai suatu masalah merupakan tantangan tersendiri bagi kemampuan guru/dosen untuk mengembangkan pendekatan model pembelajaran baru yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yakni kemampuan memecahkan masalah (problem solving).[12]
Dalam pendekatan pendidikan yang baru itu unsur pengembangan iklim kelas yang kondusif bagi tradisi berpikir demokartis dan fungsional harus mulai dibudayakan secara optimal. Dan hal ini merupakan salah satu pertimbangan yang mendorong saya untuk mengangkat isu–isu kontroversial dalam sejarah Indonesia, sebagai dukungan pertama bagi pengembangan model pembelajaran tersebut. Sudah tiba saatnya pendidikan sejarah bagi generasi muda itu dengan menggunakan model-model pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan tingkat tinggi, serta mengakhiri model pengelolaan kelas yang hanya berdasarkan pada kompetensi guru dan memulai pengelolaan kelas yang berdasarkan pada kompetensi siswa.[13]
Beberapa Survey Historiografi:
Buku Sartono Kartodirdjo et.al.
Buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II, yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan, secara kronologis menyatakan bahwa keberadaan kerajaan Sriwijaya dapat dipilah secara logis dari abad ke abad. Keberadaan kerakaan Sriwijaya pada abad ke-7, misalnya, berdasarkan pada berita yang paling awal yang datang dari tulisan I-tsing (672 M), seorang pendeta Cina yang pernah singgah dan tinggal di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Berita dari I-tsing tersebut dapat dihubungkan dengan prasasti-prasasti Kedukan Bukit (682 M), Talang Tuo (684 M), dan Telaga Batu. Dan dari uraian ketiga prasasti tersebut diperoleh kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya tidak di Palembang letaknya, mungkin sekali pusat kerajaan itu terletak di Minanga Tamwa – di daerah pertemuan sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Sedangkan Palembang pada waktu itu lebih sebagai kota pusat ziarah bagi pemeluk agama Buddha. Pada periode ini, kerajaan Sriwijaya sudah menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara dan tidak mustahil pula sudah menjadi salah satu kota pelabuhan yang ramai mengingat letak geografisnya yang strategis dalam jalur perniagaan antara India dan Cina. Kerajaan Sriwijaya nampaknya menghasilkan aneka komoditi yang laku di pasaran dunia pada zamannya. Gambaran tersebut dapat disimak dari pendapat I-tsing berikut ini:
[…] perahu-perahu asing datang dari Kedah dan Melayu pada musim–musim tertentu. Mereka tinggal di kedua tempat beberapa lama, sambil menunggu datangnya angin baik. […] kapal–kapal dagang berkesempatan membongkar dan memuat barang dagangan. Sriwijaya dikenal sebagai daerah penghasil penyu, gading, emas, perak, kemenyan, kapur barus, damar, lada, dan lainnya. Selain itu kapal–kapal Sriwijaya juga melakukan pelayaran ke Cina.[14]
Sementara itu penemuan prasasti Karang Brahi (686 M) menunjukkan bahwa kerajaan Sriwijaya telah berhasil menaklukan kerajaan Melayu. Hal ini diperkuat oleh laporan dari I-tsing sendiri yang menyatakan bahwa Melayu telah menjadi kerajaan Sriwijaya. Dan penemuan prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun, namun diperkirakan berasal dari akhir abad ke-7 M), juga menunjukkan bahwa daerah Lampung Selatan nampaknya telah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya.
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-8 diketahui dengan adanya utusan dari kerajaan itu yang untuk terakhir kalinya tiba di Cina pada tahun 742. Pada tahun 775 – menurut prasasti Ligor – raja Sriwijaya membangun sejumlah bangunan suci untuk agama Buddha.
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-9 bersumber dari prasasti Nalanda (tidak berangka tahun, namun diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-9 M), yang berisi tentang pendirian bangunan biara di Nalanda atas permintaan Balaputra, raja Sriwijaya yang diajukan kepada raja Dewapaladewa dan sekaligus meminta pula tanah–tanah sima bagi biara tersebut.[15]
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-10 M, nampaknya berasal dari kitab sejarah dinasti Sung di Cina yang menyatakan bahwa raja Sriwijaya (dari catatan kaki diperoleh penjelasan bahwa dalam kitab sejarah dinasti Sung dan Ming, Sriwijaya tidak lagi disebut dengan She-li-fo-she melainkan San –fo-tsi) pada tahun 960 adalah Si-li Hu-ta-hsia–li-tan, dan pada tahun 962 adalah Shi-li Wu-yeh. Lebih lanjut dikatakan bahwa kedua nama itu mungkin dapat disamakan dengan Sri Udayadityawarman. Pada tahun-tahun berikutnya secara kronologis (971, 972, 974, 975, 980, 983, 988, dan 992), kerajaan Sriwijaya mengirimkan utusannya ke negeri Cina. Pada tahun 992 itulah, menurut berita Cina, negeri San-fo-tsi mendapat serangan dari She-po (Jawa). Hal ini dibenarkan oleh utusan dari Jawa yang juga tiba di Cina pada tahun yang sama. Utusan dari Jawa tersebut menyatakan bahwa negerinya berperang terus-menerus dengan San-fo-tsi.[16]
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 M diketahui dengan menyatakan bahwa hingga permulaan abad ke-12 M kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat pengajaran agama Buddha yang bertaraf internasional. Rajanya saat itu bernama Sri Sudamaniwarman dan mengaku dirinya dari keturunan Sailendra. Ia mengirim dua utusan ke Cina pada tahun 1003. Utusan tersebut menyampaikan berita bahwa di negerinya telah didirikan kuil Buddha yang diberi nama Cheng-t’ien–wan–shou untuk mendoakan agar kaisar Cina itu panjang umur. Utusan lainnya tiba di Cina pada tahun 1004. Pada tahun 1008, datang lagi satu utusan dari raja Se-li-ma-la-pi (Sri Marawi) ke Cina. Mungkin yang dimaksud adalah Sri Marawijayotunggawarman. Utusan selanjutnya datang ke negeri Cina pada tahun 1016, 1017, dan 1018.[17]
Berdasarkan sumber dari India dapat pula diketahui bahwa pada tahun 1005–1006, raja Marawijayotunggawarman mendirikan sebuah bangunan suci agama Buddha di Nagapittana dengan bantuan raja Cola Rajaraja I. Pada tahun 1017, Rajendra Coladewa melancarkan serangan besar-besaran ke Sriwijaya tanpa alasan yang jelas. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1025 seperti yang disebutkan dalam prasasti Tanjore yang berangka tahun 1030. Raja Sanggramawijayo Tunggawarman dari Sriwijaya, nampaknya, berhasil ditawan oleh tentara kerajaan Cola tersebut. Rupa-rupanya setelah Sriwijaya ditaklukkan tidak menjadi daerah jajahan kerajaan Cola, sebab kitab sejarah dari dinasti Sung mencatat bahwa telah datang utusan dari raja Sriwijaya, yaitu Se-li-tieh-hwa pada tahun 1028. Mungkin saja raja tersebut adalah anak dari Sanggramawijayottunggawarman. Dalam tahun 1068, sekali lagi raja Cola, Wirajayendra, menyerang Sriwijaya. Hanya saja serangannya lebih ditujukan pada semenanjung “Tanah Melayu”.[18]
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-12 diketahui bahwa utusan dari San–fo-tsi yang terakhir, menurut kitab sejarah dinasti Sung, tiba pada tahun 1178. Sedangkan dari berita Chau–ju-kua, yang mengutip dari buku Ling–wai-tai-ta pada tahun 1079, dapat diketahui bahwa kerajaan San–fo-tsi mulai mundur pada akhir abad ke-12 M. Chan-pi (Jambi) yang pada mulanya adalah Mo-lo-yeu, tidak termasuk ke dalam daerah jajahan San-fo-tsi. Bahkan pada tahun 1082 dan 1088 Cham-pi mengirim utusan ke Cina atas kehendak sendiri.[19]
Keberadaan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13 M dapat diketahui bahwa setelah untuk beberapa waktu lamanya San–fo-tsi tidak disebut–sebut dalam berita Cina, maka sekitar permulaan abad ke-13 M nama itu muncul lagi sebagai suatu negara yang cukup kuat. Bahkan Chau-ju-kua menyebutkan tidak kurang dari 15 daerah jajahannya. Mengenai kebangkitan kembali kerajaan Sriwijaya ini digambarkan sebagai berikut:
[…] dalam abad ke-13 M, kerajaan Sriwijaya dapat berkembang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran yang besar dan kuat, serta menguasai sebagian besar Sumatera, semenanjung Tanah Melayu, dan sebagian Jawa Barat (Sunda). [20]
Pada tahun 1275 raja Kertanegara dari kerajaan Singasari melancarkan ekspedisi “Pamalayu”. Setelah peristiwa ini nama kerajaan Sriwijaya tidak terdengar lagi beritanya, sedangkan nama “Malayu” telah muncul kembali sebagai pusat kekuasaan di Sumatera. Dan menurut catatan sejarah dari dinasti Ming, San–bo-tsai (San–fo-tsi) telah ditaklukkan oleh Jawa pada tahun 1367.[21]
Buku Nia Kurnia
Buku Sejarah Sriwijaya yang ditulis oleh Nia Kurnia memberikan penjelasan yang agak berlainan. Kronik–kronik Cina yang berasal dari abad ke-7 dan 8 M menyebutkan adanya sebuah negeri yang diberi nama Shih-li-fo-shih. Pada tahun 1861, Stanislaus Julien mentransliterasikan nama itu dengan Sribhoja. Tahun 1896, J. Takakusu yang menerjemahkan buku yang ditulis oleh I-tsing, nama itu disamakan dengan Sribhoja juga. Kemudian, E. Chavannes pada tahun 1894 menerjemahkan buku I-tsing yang lain dan mengemukakan hal yang sama. Negeri Sribhoja itu, dikatakannya, terletak di Palembang. Baru pada tahun 1918, G. Coedes secara meyakinkan menyatakan bahwa kerjaan Sriwijaya yang tercantum pada prasasti Kota Kapur (686 M) sama dengan negeri Shih-li-fo-shih pada kronik–kronik dinasti Cina. Dan negeri Sriwijaya itu, menurutnya, terletak di Palembang.[22]
Utusan kerajaan Sriwijaya untuk pertama kali dicatat tiba di Cina pada tahun 670. Pendeta I-tsing singgah di Sriwijaya pertama kali pada tahun 671. Menurut Nia Kurnia, tidaklah benar bahwa kerajaan Sriwijaya itu berdiri pada tahun 682 seperti yang dikemukakan oleh G. Coedes, R.Ng. Poerbatjaraka, dan Muhammad Yamin, yang menganggap prasasti Kedukan Bukit (682) sebagai proklamasi pembentukan kerajaan Sriwijaya. Jika demikian, kapan berdirinya kerajaan Sriwijaya belum juga bisa dipastikan. Waktu berdirinya, wilayah kekuasaan Sriwijaya hanya terbatas di sekitar Palembang. Letak Palembang pada abad ke-7 M, nampaknya, kurang strategis ditinjau dari lalu-lintas pelayaran dan perdagangan. Untuk menguasai pelabuhan–pelabuhan yang strategis, Sriwijaya melancarkan politik perluasan wilayah ke negeri–negeri yang lokasinya di sekitar selat Malaka dan laut Jawa. Negeri–negeri yang menjadi sasaran politik ekspansionis raja Sriwijaya secara berturut-turut adalah Bangka, Jawa (Tarumanagara), Lampung, Malayu (di Jambi), Minanga, Kedah, dan Ligor.[23]
Demikianlah pada abad ke-8 M Sriwijaya telah mampu menyatakan dirinya sebagai kerajaan super power di kawasan Asia Tenggara. Dengan menguasai selat Malaka, selat Sunda dan laut Jawa, kerajaan Sriwijaya mampu mendominasi jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan internasional. Tidak heran jika Sriwijaya selain mampu menjadi pusat agama Buddha, juga menjadi pusat perniagaan internasional pada zamannya. Karena letaknya yang strategis setiap pelayaran dari daerah Asia Barat ke Asia Timur lewat laut atau sebaliknya, mau tidak mau harus melalui kawasan yang dikuasai, baik secara politis maupun ekonomis, oleh kerajaan Sriwijaya.
Nama negeri Shih-li-fo-shih, nampaknya, hanya dijumpai dalam kronik–kronik dinasti Cina yang berasal dari abad ke-7 dan 8 M. Sejak abad ke-9 M nama itu tidak dijumpai lagi, dan muncul nama negeri yang baru yaitu San–fo-tsi. Nama San–fo-tsi ini tercantum terus hingga abad ke-14 M. Dalam menafsirkan dua nama kerajaan tersebut, Nia Kurnia tidak sependapat dengan G. Coedes dalam karangannya “Le Royaume de Criwijaya” pada tahun 1918 yang menganggap nama Shih-li-fo-shih itu identik atau sama dengan San–fo-tsi yang disebut kemudian, dengan asumsi bahwa San–fo-tsi merupakan transliterasi dari Sriwijaya yang disebut juga Shih-li-fo-shih. Nia Kurnia menolak pendapat itu dan lebih lanjut ia mengemukakan bahwa besar kemungkinan nama San–fo-tsi itu merupakan terjemahan dari Suwarnabhumi atau Suwarnadwipa, dan yang dimaksud adalah pulau Sumatera.[24]
Menurut Nia Kurnia, pernyataan yang tertulis dalam kronik–kronik Cina sejak abad ke-9 hingga abad ke-14 M, sebutan San–fo-tsi diberikan kepada dua kerajaan yang berbeda namun sama–sama ada di pulau Sumatera, yakni Sriwijaya di Palembang dan kerajaan Melayu di Jambi. Nama negeri San–fo-tsi yang ada dalam kronik-kronik Cina abad ke-9 sampai ke-12 M dimaksudkan untuk kerajaan Sriwijaya, sementara sebutan tersebut setelah abad ke-12 hingga abad ke-14 M dimaksudkan untuk menyebut kerajaan Malayu yang berlokasi di Jambi.[25]
Pada pertengahan abad ke-11 M, kerajaan Sriwijaya mulai melemah akibat serangan dari pasukan kerajaan Cola. Kesempatan ini dipergunakan oleh kerajaan Malayu untuk bangkit kembali. Bukan tidak mustahil bahwa negeri Malayu pada waktu itu berhasil melepaskan diri dari genggaman kerajaan Sriwijaya. Hal ini dapat dibuktikan dalam kronik Cina yang mencatat adanya utusan dari negeri Chan-pi yang tiba di sana pada tahun 1079, 1082, dan 1088. Dengan bangkitnya kembali kekuatan kerajaan Malayu maka secara perlahan hilanglah kekuasaan Sriwijaya atas selat Malaka. Implikasi lebih jauh maka nilai–nilai ekonomis pun beralih kepada kerajaan Malayu dan negeri ini menjadi kuat dan kaya, sementara kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran karena pendapatan daerah dari perniagaan internasional semakin berkurang dan tidak lagi mampu menjaga keamanan di wilayah perairan yang selama ini dikuasainya. Pada tahun 1183, berdasar kepada isi prasasti Grahi, kerajaan Malayu sudah menguasai bagian utara semenanjung Malaka.
Utusan terakhir kerajaan Sriwijaya ke Cina, menurut kronik dinasti Sung, tiba pada tahun 1178. Setelah itu tidak tercatat lagi utusan yang datang dari Sriwijaya. Demikianlah, kerajaan Sriwijaya berakhir riwayatnya pada akhir abad ke-12 dan 13 M, antara tahun 1178 dan 1223. Memang, penentuan waktu yang lebih akurat sampai dewasa ini belum dapat ditemukan/ditentukan. Sehingga untuk sementara tahun antara 1178 dan 1225 inilah diperkirakan masa hancurnya kerajaan Sriwijaya yang akhirnya ditaklukkan oleh kerajaan Malayu.
Berdasarkan asumsi–asunsi tersebut di atas Nia Kurnia berkesimpulan bahwa pendapat yang menyatakan kerajaan Sriwijya masih ada, bahkan masih jaya hingga abad ke-13 M, tidaklahlah dapat dipertahankan lagi. Pada abad ke-13 dan ke-14 M, yang dimaksud dengan kerajaan San–fo-tsi dalam kronik–kronik Cina adalah kerajaan Malayu di Jambi.[26]
Buku Slamet Muljana
Buku Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi yang dikarang oleh Slamet Mulyana nampaknya memiliki pendapat yang berbeda juga. Kerajaan Sriwijaya (Shih-li-fo-shih), menurut Slamet Mulyana, timbul pada zaman pemerintahan dinasti T’ang di Cina sekitar abad ke-7 M. Dalam catatan sejarah dinasti T’ang dinyatakan bahwa Sriwijaya mengirim utusan ke negeri Cina dalam masa 670–673 dan 713–741. Pengiriman utusan dari Sriwijaya ke negeri Cina yang terakhir adalah bertarikh 742. Sejak itu tidak ada lagi utusan dari kerajaan Sriwijaya yang datang. Mengacu kepada kebiasaan atau kecenderungan yang berlaku pada saat itu – dimana negara yang mengirim utusan ke negeri Cina adalah negara yang merdeka – maka ketidakdatangan utusan dari Sriwijaya diartikan sebagai tanda bahwa kerajaan tersebut telah kehilangan kemerdekaannya sekitar tahun 742.[27]
Menghilangnya utusan dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) setelah tahun 742 ke negeri Cina tidak disebutkan alasannya dalam sumber kronik dinasti di Cina. Untuk keadaan ini Slamet Muljana memberikan analisisnya bahwa hal tersebut bisa dikaitkan dengan keberadaan sumber lain berupa prasasti yang ditemukan di daerah Ligor, nama suatu tempat di pantai timur Muang Thai selatan yang sekarang disebut Sitamarat. Prasasti Ligor berangka tahun 775 dan dikeluarkan oleh raja Sriwijaya. Prasasti Ligor terdiri dari dua bagian, masing–masing ditulis pada sisi muka dan sisi belakang. Prasasti pada sisi muka biasa disebut prasasti Ligor A, sedangkan yang ditulis pada sisi belakang disebut prasasti Ligor B. Prasasti Ligor dikeluarkan oleh raja Sriwijaya yang bernama Sri Maharaja Wisnu dari wangsa Sailendra dari Jawa. Dengan kata lain, prasasti Ligor dikeluarkan oleh raja Sriwijaya sebagai daerah bawahan Jawa, yang pada masa itu nampaknya Sriwijaya bukanlah kerajaan yang merdeka sehingga tidak heran jika tidak mengirimkan utusannya ke negeri Cina. Pendapat tersebut lebih memperkuat jawaban mengapa justru antara tahun 768–779 yang datang ke Cina adalah utusan–utusan dari Jawa.[28] Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana mungkin wangsa Sailendra dari Jawa menguasai Sriwijaya dan memerintah Ligor pada tahun 775?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Slamet Muljana menggunakan sumber-sumber sejarah dari Vietnam yang menyebutkan bahwa pada tahun 767 Tongkin diserang oleh gerombolan dari She-po dan K’un–lun. She-po ialah transliterasi Cina dari toponim Jawa; dan K’un-lun ialah istilah untuk menyebut penduduk dari negeri–negeri di laut Selatan. Jika tentara Jawa pada tahun 767 telah menyerang Tongkin, kiranya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa pada waktu itu Ligor yang letaknya ada di antara Jawa dan Tongkin telah dikuasai oleh Jawa (dalam hal ini adalah kerajaan Mataram Hindu).[29]
Bukti lain yang memperkuat pendapat bahwa Sriwijaya pernah ditaklukkan oleh Jawa dalam pertengahan abad ke-8 M ialah prasasti Nalanda. Prasasti Nalanda dikeluarkan oleh raja Dewapala pada pertengahan abad ke-9 M atas nama Sri Maharaja Balaputradewa dari Suwarnadwipa (tidak sama dengan Sriwijaya). Dari silsilah yang tercantum dalam prasasti tersebut, setelah dikaitkan dengan prasasti Kelurak (782) dan Ligor, dapat diketahui bahwa Balaputradewa adalah cucu raja Jawa dari wangsa Sailendra yakni Sanggrama Dhananjaya alias raja Indra yang pernah menguasai Sriwijaya sekitar tahun 767.[30]
Jika menghilangnya utusan-utusan dari Sriwijaya selama 100 tahun, dihubungkan dengan masa pemerintahan wangsa Sailendra di Jawa Tengah yang berakhir pada pertengahan abad ke-9 M, maka timbul dugaan kuat bahwa kerajaan Sriwijaya selama itu menjadi daerah bawahan dari kerajaan Mataram Hindu yang diperintah oleh wangsa Sailendra. Kekuasaan Sriwijaya sebagai kerajaan merdeka berakhir pada tahun 775 seperti yang tercantum pada prasasti Ligor A. Namun sebagai daerah bawahan, Sriwijaya masih tetap bertahan. Ibukotanya masih tetap di Palembang (Sriwijaya) sampai timbulnya kerajaan baru pada tahun 853 di daerah Sumatra bagian selatan yang dalam bahasa Cina disebut San–fo-tsi atau Swarnabhumi dalam bahasa Sansekerta.
Sejarah dinasti Sung di Cina pada tahun 853 mencatat datangnya utusan untuk pertama kalinya dari kerajaan San–fo-tsi yang terletak di laut selatan antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa). Keterangan geografi seperti itu sangat samar–samar, karena banyak tempat yang terletak di antara Kamboja dan Jawa, namun keterangan yang demikian sudah biasa dalam berita Cina. Keterangan geografi tentang San–fo-tsi sama tepatnya dengan keterangan geografi tentang Shih-li-fo-shih, tetapi hal itu tidak berarti bahwa San-fo-tsi sama dengan Shih-li-fo-shih, seperti yang diyakini selama ini.
Menurut Slamet Muljana, pendiri dari kerajaan Suwarnabhumi yang dalam berita Cina ditransliterasikan sebagai San-fo-tsi adalah Balaputradewa. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Suwarnadwipa” adalah sinonim dari Suwarnabhumi, nama kerajaan yang muncul pertama kali dalam prasasti Nalanda yang diperkirakan ditulis sekitar pertengahan abad ke-9 M dan yang dikeluarkan oleh raja Dewapaladewa atas permintaan Balaputradewa, raja Suwarnabhumi, yang bertepatan dengan timbulnya nama San-fo-tsi dalam berita Cina.[31]
Identifikasi San-fo-tsi ternyata sangat sulit dan telah banyak minta perhatian para sarjana. G. Coedes, misalnya, yakin bahwa unsur fo-tsi dalam San-fo-tsi itu sama dengan fo-shih dalam Shih-li-fo-shih, sehingga kedua–duanya dianggap sebagai tranliterasi Cina dari unsur wijay(a) dalam Sriwijaya. Bagaimana menjelaskan perbedaan unsur san dan unsur shih–li tetap tidak terpecahkan. Memang ada pendapat yang menyebutkan bahwa unsur san pada san-fo-tsi adalah akibat salah tulis seperti yang dikemukakan oleh L. Arousseau. Keterangan seperti itu jelas tidak memuaskan karena nama san-fo-tsi banyak sekali disebut dalam berita Cina dari abad ke-9 sampai dengan abad ke-14 M.
Keraguan Slamet Muljana ini nampaknya diperkuat oleh sumber lain dari India, berupa prasasti yang diduga berasal dari pertengahan abad ke-9 M yakni prasasti Nalanda. Dalam prasasti tersebut dinyatakan bahwa Maharaja Balaputradewa ialah raja Suwarnadwipa dan tidak disebut sebagai raja Sriwijaya. Pendapat yang selama ini menyebutkan bahwa Balaputradewa sebagai raja Sriwijaya merupakan akibat dari penyamaan istilah Suwarnadwipa dengan Sriwijaya, padahal kesimpulan tersebut tidak begitu meyakinkan. Kedatangan Balaputradewa di Sumatera pada pertengahan abad ke-9 M bertepatan dengan pengiriman utusan dari Jambi ke negeri Cina pada tahun 853 dan timbulnya sebutan kerajaan San-fo-tsi dalam berita Cina. Utusan dari Jambi itu datang kembali ke Cina pada tahun 871 dan sejak itu utusan–utusan selanjutnya dikatakan berasal dari kerajaan San-fo-tsi.[32]
Identifikasi San-fo-tsi sama dengan Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, dapat dijelaskan melalui analisis Slamet Mulyana berikut ini. Ditinjau dari segi artinya, kata Suwarnabhumi memang sama dengan Suwarnadwipa yakni berarti “pulau emas”. Dan jika ditinjau dari sudut lokasinya, negeri Suwarnabumi atau Suwarnadwipa memang juga sama dengan San-fo-tsi. Ditinjau dari sudut bunyinya pun, toponim Suwarnabhumi mirip sekali dengan toponim San-fo-tsi. Unsur suwarna yang diucapkan swarn bisa ditranliterasikan menjadi san dalam bahasa Cina; unsur bhu ditranliterasikan menjadi fo; dan unsur mi dijadikan sebagai tsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa San-fo-tsi ialah tranliterasi bahasa Cina dari toponim asli Suwarnabhumi.[33]
Keberadaan kerajaan Suwarnabhumi pada abad ke-10 M dapat dikaji berdasarkan sumber dari kerajaan Cina. Antara tahun 905-992, kerajaan Suwarnabhumi mengirimkan beberapa utusan ke negeri Cina dengan membawa berbagai barang cinderamata. Raja Suwarnabhumi pada tahun 960 bernama Si-ri-hu-ta-hia-li-tan dan pada tahun yang sama diberitakan terjadi pergantian raja karena dari utusan yang datang ke Cina pada tahun itu menyebutkan bahwa raja Suwarnabhumi (San-fo-tsi) adalah Si-ri-wu-ya. Sedangkan raja yang berkuasa sekitar tahun 980 adalah raja Ha-ch’i. Keadaan di kerajaan Suwarnabhumi pada tahun 992 mengalami kekacauan akibat datangnya serangan dari Jawa, seperti apa yang tertera dalam catatan sejarah dinasti Sung sebagai berikut:
Pada tahun 992 Suwarnabhumi (San-fo-tsi) berperang dengan Jawa. Utusan Suwarnabhumi yang meninggalkan ibukota Cina pada tahun 990 mendengar berita bahwa negaranya diserang oleh tentara Jawa. Oleh karena itu ia ingin tinggal setahun lagi di negeri Cina. Baru pada musim semi tahun 992 ia berlayar ke Campa. Tetapi oleh karena tidak ada kabar apapun tentang negaranya, ia kembali lagi ke ibukota Cina dan mohon kepada kaisar agar suka mengeluarkan pengumuman bahwa negerinya ada di bawah perlindungan kaisar Cina.[34]
Keterangan tentang keadaan di kerajaan Suwarnabhumi tersebut, menurut Slamet Muljana, juga diperkuat oleh catatan tentang datangnya utusan dari Jawa yang tiba di negeri Cina pada bulan ke-12 tahun 992 dan membawa berita tentang peperangan antara Suwarnabhumi dan Jawa pada tahun 992. Berita yang sama dikutip pula dalam Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua. Sementara itu, keterangan tentang dengan kerajaan Jawa yang mana kerajaan Suwarnabhumi berperang, Slamet Muljana berpendapat bahwa yaitu dengan raja Dharmawangsa Teguh dari kerajaan Watu Galuh di Jawa Timur. Lebih lanjut dikatakan bahwa raja Dharmawangsa Teguh melancarkan politik perluasan wilayah ke arah barat, terutama ditujukan kepada kerajaan Suwarnabhumi, yang menguasai lalu-lintas palayaran dan perdagangan di selat Malaka. Pada waktu itu kerajaan Suwarnabhumi diperintah oleh raja Sri Maharaja Cudamaniwarmadewa yang masih termasuk keluarga wangsa Sailendra.[35]
Serbuan tentara Jawa terhadap Suwarnabhumi nampaknya ikut menentukan pola kebijaksanaan politik luar negeri kerajaan itu selama abad ke-11 M. Perang dengan Jawa menyebabkan Sri Maharaja Cudamaniwarman dari kerajaan Suwarnabhumi memperkuat hubungannya dengan negeri Cina dan India Selatan, seperti yang dicerminkan dari sumber–sumber tentang kerajaan Suwarnabhumi yang berasal dari kedua negeri tersebut. Menurut sumber sejarah dari dinasti Sung di Cina, misalnya, pada tahun 1003 raja Chu-la-wu-ni-fu-ma-tiau-hwa – transliterasi dari Cudamaniwarman – dari San–fo-tsi mengirimkan dua utusan ke negeri Cina dengan membawa upeti. Sedangkan tiga utusan pada tahun 1008 dari San–fo-tsi datang atas nama raja Se-li-ma-la-pi — transliterasi dari Sri Marawi (lengkapnya Sri Marawijaya Tunggawarman). Pada waktu itu ayahnya yang bernama Cudamaniwarman nampaknya telah wafat dan raja Sri Marawijaya Tunggawarman ialah penggantinya.
Sementara itu, hubungan antara Suwarnabhumi dengan India Selatan dinyatakan dalam prasasti Leiden yang bertarikh 1006 dan berisi berita tentang pembangunan biara Cudamaniwarman di Nagapitana. Dalam prasasti tersebut dipaparkan bahwa pembangunan biara tersebut jatuh pada tahun 1006 dan tarikh tersebut cocok dengan tahun pemerintahan raja Cudamaniwarman dalam berita Cina. Selanjutnya ditulis pula bahwa Sri Marawijaya Tunggawarman, raja Sriwijaya yang juga penguasa Kataha, ialah putera Cudamaniwarman yang berasal dari keluarga Sailendra. Nama raja ini pun cocok dengan apa yang disebut dalam berita dari Cina. Permasalahan yang timbul adalah: mengapa dalam sumber Cina, Se-li-ma–la-pi adalah raja San–fo-tsi sedangkan dalam prasasti Leiden, Sri Marawijaya adalah raja Sriwijaya dan Kataha?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Slamet Muljana memberikan argumentasi bahwa pernyataan “Sri Marawijaya Tunggawarman ialah raja Sriwijaya yang juga memerintah Kataha”, perlu tambahan penjelasan. Pada waktu Marawijaya Tunggawarman berkuasa, Sriwijaya bukan lagi sebagai ibukota kerajaan. Yang menjadi ibukota kerajaan adalah Jambi. Kerajaannya bernama Suwarnabhumi (San–fo-tsi) seperti dinyatakan pada berita Cina. Untuk memperkuat argumentasinya itu Slamet Muljana mengkaji sumber lain yang berasal dari berita–berita Arab – terutama dari Mas’udi (Muruj al-Dhabab) sebagaimana dikutip oleh P. Wheatley – yang menyatakan bahwa Sri Maharaja al-Zabaj memerintah Sribuza dan Kalah. Al–Zabaj adalah transliterasi bahasa Arab kuno dari toponim Jawaka (artinya Sumatera); Sribuza adalah transliterasi dari Srivijay (Sriwijaya); dan Kalah adalah artinya Kedah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sriwijaya dan Kedah dalam prasasti Leiden adalah bawahan dari kerajaan San–fo-tsi (Suwarnabhumi) dalam sumber Cina. Adapun keterangan prasasti Leiden, dalam bahasa Sansekerta, tentang Marawijaya Tunggawarman sebagai raja Sriwijaya yang menguasai Kataha (Kedah) nampaknya mengikuti kebiasaan pada akhir abad ke-7 M, di mana pada abad tersebut Sriwijaya memang merupakan ibukota kerajaan dan juga menguasai Kedah.[36] Penguasaan Kedah oleh Sriwijaya pada abad ke-7 M juga tertera dalam catatan I-tsing ketika ia pulang dari Nalanda pada tahun 685. Dengan demikian sampai tahun 1008 toponim Sriwijaya itu masih ada tetapi bukan sebagai negeri merdeka, melainkan sebagai negeri bawahan kerajaan Suwarnabhumi.
Hubungan baik kerajaan Suwarnabhumi dengan India Selatan nampaknya tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1017 Suwarnabhumi diserang oleh raja Cola. Serangan itu berulang lagi pada tahun 1025, seperti dinyatakan oleh prasasti Tanjore yang bertarikh 1030. Serangan kerajaan Cola pertama tahun 1017 lebih disebabkan oleh perlakuan kerajaan Suwarnabhumi sebagai penguasa peniagaan di sekitar selat Malaka terhadap perahu–perahu dagang dari kerajaan Cola yang akan menuju ke negeri Cina demikian pula sebaliknya. Sementara itu ekspedisi militer pada tahun 1025 yang dilancarkan oleh raja Rajendra dari Cola dimaksudkan sebagai demonstrasi kekuatan dan sebagai peringatan kepada kerajaan Suwarnabhumi. Raja Cola itu nampaknya tidak mempunyai maksud untuk menjadikannya sebagai daerah bawahan, namun cukup puas dengan menawan raja Suwarnabhumi yang bernama Sanggramawijaya Tunggawarman. Oleh karena itu setelah penyerangan Cola, kerajaan Suwarnabhumi masih tetap merdeka. Hal itu terbukti dari sumber sejarah dinasti Sung di Cina yang mencatat bahwa pada tahun 1028 raja San–fo-tsi (Suwarnabhumi) yang bernama Se-li-tieh-hwa, mengirim utusan ke negeri Cina. Dalam hal ini Slamet Muljana mengidentifikasikan Se-li-tieh-hwa itu ialah sebagai putera dari Sanggaramawijaya Tunggawarman.[37]
Berdasarkan prasasti Wirarajendra pada tahun 1068, kerajaan Suwarnabhumi diserang oleh kekuatan luar atas permintaan raja Kadaram. Untuk memahami hubungan antara Suwarnabhumi dan Kadaram ini, Slamet Muljana mengacu pada pendapat umum bahwa bagi orang–orang Tamil kuno (mayoritas penduduk India selatan dan sebagian Srilangka) raja Suwarnabhumi itu tetap disebut sebagai raja Kadaram atau Kedah, sekalipun zaman berjalan terus. Sehingga Slamet Muljana berkesimpulan bahwa pernyataan yang tercantum dalam prasasti Wirarajendra tahun 1068 di atas dapat ditafsirkan bahwa: “pada tahun 1067 timbul keresahan di kerajaan Suwarnabhumi dan ada permintaan untuk memberikan dukungan mengatasi kekacauan tersebut”.[38] Permintaan bantuan inilah, nampaknya, yang dijadikan alasan oleh raja Cola untuk menyerbu kerajaan Suwarnabhumi. Dan akibat serbuan itu Suwarnabhumi menjadi daerah bawahan dari kerajaan Cola.
Pendapat bahwa pada tahun 1067 Suwarnabhumi menjadi daerah bawahan Cola diperkuat oleh berita Cina dari dinasti Sung yang mencatat tentang kedatangan utusan dari San–fo-tsi pada tahun itu juga yang dipimpin oleh Ti-hwa-ka-lo. Tokoh yang sama disebut pula dalam prasasti Kanton yang bertarikh 1079 tetapi sebagai raja Suwarnabhumi. Dalam mengidentifikasi tokoh tersebut, Slamet Muljana mengambil bahan pembanding dari sumber sejarah kerajaan Chalukya Timur. Dalam silsilah raja–raja tersebut ada nama Dewa Kulottungga Cola I yang dikenal dengan Rajendra III. Ia memerintah pada tahun 1070 sampai 1112. Berdasarkan kemiripan bunyi namanya dan masa pemerintahannya, menurut Slamet Muljana, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa Ti-hwa-ka-lo ialah transliterasi Cina dari nama Dewa Kulottungga Cola I. Pada tahun 1067 itu nampaknya Kulottungga mengepalai perutusan ke Cina, dan ia belum menjadi raja karena penobatan sebagai raja Suwarnabhumi baru dilakukan pada tahun 1070, sehingga pada prasasti Kanton (1079) sudah disebut sebagai raja Suwarnabhumi yang pada dasarnya menjalankan kekuasaan Cola sebagai kerajaan induk. Selama negeri Suwarnabhumi di bawah kekuasaan Cola itulah para pedagang Tamil dengan leluasa berlayar bebas di selat Malaka dan untuk mengunjungi berbagai pelabuhan yang sebelumnya menjadi milik kerajaan Suwarnabhumi. Hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya serikat dagang Tamil seperti yang tercantum dalam prasasti Lubuk Tua di sebelah utara Barus yang bertarikh 1088 (Nilakanta Sastri) dan hal ini dianggap mempunyai kaitan erat dengan pendudukan Suwarnabhumi oleh Cola.[39]
Dominasi Cola di Suwarnabhumi sampai dengan awal abad ke-12 M itu telah menyingkirkan keluarga Syailendra dari kekuasaan dan mereka tersingkir ke daerah lain. Menurut Slamet Muljana, daerah tersebut kelak dikenal dengan kompleks percandian Muara Takus. Pendapat tersebut didasari oleh bukti bahwa dalam percandian tersebut ditemukan kepingan–kepingan emas dengan huruf Nagari, di mana penggunaan huruf Nagari dan bahasa Sansekerta itu merupakan ciri khusus dari wangsa Sailendra di Jawa Tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa percandian Muara Takus tersebut paling lambat dibangun dalam abad ke-12 M, bertepatan dengan tersingkirnya keluarga Sailendra yang digantikan oleh keluarga Malayupura yang berkuasa di Suwarnabhumi.[40]
Keberadaan wangsa Malayupura sebagai penguasa baru di kerajaan Suwarnabhumi setelah didominasi oleh Cola melalui keluarga Sailendra terdapat dalam prasasti Srilangka yang disiarkan oleh Saranath Paranavitana pada tahun 1966. Disebutkan dalam prasasti tersebut bahwa Pangeran Suryanarayana dari wangsa Malayapura yang telah mengalahkan Manabramana dinobatkan sebagai maharaja di Suwarnapura. Boleh dipastikan bahwa yang dimaksud dengan Suwarnapura ialah kerajaan Suwarnabhumi/Suwarnadwipa di Sumatera.[41] Lebih lanjut dikatakan bahwa dia tidak hanya membebaskan Suwarnabhumi dari kekuasaan Cola, bahkan berhasil menundukkan Cola.
Keberadaan keluarga Malayapura sebagai penguasa di Suwarnabhumi selain tertulis dalam prasasti Srilangka (diperkirakan sekitar abad ke-12 M) juga tercantum dalam sumber-sumber sejarah yang lain seperti dalam buku Ling-wai-tai-ta karya Chou-ku-fei (1178), yang dikutip kembali oleh Chau–Ju-kua dalam bukunya Chu-fan-chi (1225), dalam prasasti Grahi (1183), prasasti Amoghapasa (1286), kronik dinasti Yuan (1281), prasasti Padang Roco (1347), kronik dinasti Ming (1376), kitab Negarakertagama (abad ke-14 M), dan kitab Pararaton (abad ke-15 M).
Semua raja dari wangsa Malayapura dari permulaan abad ke-12 M sampai runtuhnya kerajaan Suwarnabhumi pada akhir abad ke-14 M, menyandang nama Mauli (warmadewa) di belakang nama pribadinya. Pernyataan Mauliwarmadewa itu merupakan ciri khusus bagi wangsa Malayapura, sama halnya dengan “hiasan wangsa Saillendra“ bagi anggota keluarga Sailendra (tidak dapat dipungkiri bahwa toponim “Malaya” itu mempunyai hubungan erat dengan toponim “Malayu”). Lebih lanjut Slamet Muljana mengemukakan bahwa oleh karena Pangeran Suryanarayana juga termasuk wangsa Malayu (Malayapura), boleh jadi dipastikan bahwa ia pun menyandang gelar Mauliwarmadewa. Karena itu dia adalah dianggap sebagai pendiri wangsa Malayu di kerajaan Suwarnabhumi.[42]
Masa kejayaan kerajaan Suwarnabhumi dicapai pada masa pemerintahan raja Sri Maharaja Trailokyaraja Mauliwarmadewa yang memerintah sekitar tahun 1183 (menurut prasasti Grahi). Luasnya daerah kekuasaan Suwarnabhumi pada saat itu mencerminkan kejayaan kerajaan tersebut, seperti yang dituliskan dalam buku Ling-wai-tai-ta dan Chu-fan-chi di mana ada 15 daerah bawahan, termasuk di dalamnya Si-lan (Srilangka), Tan–ma-ling (Tambralingga), Kia–lo-hi (Grahi) dan Pa-lin-fong (Palembang). Mengacu kepada sumber tersebut jelaslah bahwa sejak tahun 1178 Shih-li-fo-shih sudah tidak lagi disebut–sebut sekalipun sebagai negara bawahan, karena sejak itu hanya disebut Pa-lin-fong (Palembang), sedangkan yang terus disebut dalam sumber Cina hingga abad ke-14 M adalah San–fo-tsi.
Kerajaan Suwarnabhumi keberadaannya dikaitkan pula dengan kerajaan Singasari, seperti apa yang tertera dalam prasasti Amoghapasa (1286), Negarakertagama, dan Pararaton. Kerajaan Suwarnabhumi di bawah pemerintahan raja Srimat Maharaja Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa dengan kerajaan Singasari di bawah raja Sri Kertanegara terlibat dalam peperangan (Pamalayu) pada tahun 1275. Pada masa raja inilah Suwarnabhumi mulai mengalami kemunduran, luas wilayahnya jauh berkurang hingga terbatas di wilayah Sumatera saja, karena kekuasaannya di semenanjung Malayu sudah direbut oleh raja Candra Bhanu dari kerajaan Tambralingga (daerah Thailand selatan) yang dahulunya adalah salah satu daerah bawahan kerajaan Suwarnabhumi.
Berdasarkan apa yang tertulis dalam prasasti Amoghapasa, hubungan antara Suwarnabhumi dengan Singasari berubah menjadi baik, bahkan raja Sri Kertanegara mengirimkan hadiah kepada raja yang bersemayam di Dharmasraya, di daerah pedalaman Riau daratan. Dengan kata lain, ibu kota kerajaan Suwarnabhumi pada waktu itu nampaknya telah berpindah dari Jambi ke daerah Dhramasraya. Seiring dengan membaiknya hubungan itu maka kota Jambi dijadikan ibukota kembali oleh kerajaan Suwarnabhumi setelah tahun 1286.
Pada akhir abad ke-13 M kerajaan Suwarnabhumi mengalami kemunduran dalam segala bidang, baik politik maupun ekonomi. Secara politik daerah kekuasaan semakin berkurang dan terjepit berada di tengah–tengah persaingan antara kerajaan Singasari, Tambralingga, dan kekaisaran Cina di bawah dinasti Yuan, serta mulai tumbuhnya kekuasaan baru di daerah Sumatra Utara, tepatnya Aceh yakni kesultanan Samudra yang beragam Islam (tahun 1282 tercatat sudah mengirimkan utusan ke istana kerajaan Cina dari dinasti Yuan). Secara ekonomis, sekalipun Jambi sudah menjadi kota pelabuhan dan sekaligus ibu kota kembali namun tidak begitu menolong karena mulai mendapat saingan dari kota pelabuhan lain yang lebih strategis. Semenanjung Melayu, misalnya, dikuasai oleh kerajaan Tambralingga (dengan demikian mengurangi kekuasaan ekonomis kerajaan Suwarnabhumi di selat Malaka), sementara politik bebas-aktif yang dianjurkan oleh kaisar Kubilai Khan kepada para pedagang Cina mengakibatkan perahu–perahu dagang mereka dengan dukungan pemerintah bebas berkeliaran di negeri–negeri di sekitar laut selatan yang tidak jarang merugikan kerajaan lain, termasuk Suwarnabhumi. Sampai dengan akhir abad ke-14 M kerajaan Suwarnabhumi masih mengirimkan utusan ke negeri Cina (menurut kronik dari dinasti Ming, pengganti dinasti Yuan), tepatnya pada tahun 1376. Menurut Slamet Muljana, sampai masa keruntuhannya, sekitar tahun 1379, kerajaan tersebut dalam berita Cina tetap disebut sebagai San-fo-tsi, demikian pula ibukotanya tetap di Jambi.[43]
Mengenai masalah penetapan lokasi ibukota Sriwijaya pada abad ke-7 M, Slamet Muljana sependapat dengan G. Coedes, yakni di Palembang, meskipun argumentasinya berbeda. Jika G. Coedes merujuk kepada pendapat Samuel Beal yang melokalisasikan toponim Maliur – dalam karya Marco Polo – di Palembang dihubungkan dengan pernyataan I-tsing bahwa Malayu juga disebut Shih-li-fo-shih, maka Samuel Beal lalu menarik kesimpulan bahwa Shih-li-fo-shih itu terletak di Palembang. Kesimpulan ini disetujui oleh G. Coedes, dengan tambahan argumentasi bahwa prasasti–prasasti dari kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M tersebar di daerah pantai timur Sumatera Selatan, tepat dengan posisi Palembang. Sementara penetapan Palembang sebagai ibukota kerajaan Sriwijaya oleh Slamet Muljana didasari oleh asumsi yang dibangun dengan bantuan ilmu–ilmu lain seperti arkeologi, geografi, geomorfologi, filologi, dan epigraf.[44]
Pengidentifikasian ibukota kerajaan Sriwijaya, setelah melakukan kajian kritis terhadap penemuan beberapa ahli dengan latar belakang keilmuan yang berbeda, haruslah dimulai dari deskripsi umum yakni: (1) kerajaan Sriwijya itu terletak di sebelah timur/tenggara kerajaan Malayu, sejauh 15 hari pelayaran; (2) kerajaan Sriwijaya terletak di muara sungai, dengan demikian di tepi laut; dan (3) kerajaan Sriwijaya terletak dekat garis khatulistiwa. Oleh karena lokasi ibukota/pelabuhan Malayu telah diketahui, yakni di Jambi, maka tempat yang terletak di muara sungai di sebelah timur Jambi, sejauh 15 hari pelayaran, dan dekat garis khatulistiwa ialah Palembang. Pada abad ke-7 M nama “Palembang” memang belum muncul, pada waktu itu namanya masih “Sriwijaya”. Nama “Palembang” baru mulai dikenal dalam abad ke-12 M dalam karya Chau Ko-fei yang menulis nama “Pa-lin-fong”, transliterasi Cina dari toponim “Palembang”.
Akhirnya lokalisasi kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad ke-7 M itu diperkuat pula dari sumber-sumber sejarah yang berasal dari dinasti Ming di Cina yang mengatakan bahwa San–fo-tsi jatuh pada tahun 1397 akibat serangan dari tentara Majapahit, ibukotanya kemudian dipindahkan ke Ku-kang yang artinya “sungai lama”. Yang dimaksud dengan Ku-kang oleh orang–orang Cina hingga sekarang adalah Palembang.[45]
Analisa dan Komentar
Dari penjelasan di atas maka buku Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan, dengan jelas menggunakan rujukan dari pendapat G. Coedes dalam bukunya Le Royaume de Criwijaya yang menyatakan bahwa kerajaan Sriwijaya berkembang dari abad ke-7 hingga abad ke-14 M. Adapun argumentasi yang dikemukakan yakni bahwa istilah dalam kronik–kronik dinasti Cina seperti Shi-li-fo–shih adalah nama untuk kerajaan Sriwijaya, sama dengan istilah San–Fo-tsi yang muncul dalam kronik–kronik dinasti Cina setelah abad ke-9 hingga abad ke-14 M.[46] Konsekuensi dari kesimpulan tersebut di atas adalah nama kerajaan Suwarnadwipa yang disebut dalam sumber di India pada petengahan abad ke-9 M (menurut prasasti Nalanda), nama kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 M (menurut piagam Leiden dan prasasti Tanjore), dan nama kerajaan Suwarnabhumi pada abad ke-13 (menurut prasasti Amogapasya) dapat disamakan dengan kerajaan Sriwijaya yang juga disebut dengan Shih-li-fo-shih pada abad ke-7 M dan San-fo-tsi setalah abad ke-9 M pada kronik-kronik dinasti Cina.
Kelemahan dari bukunya Sartono Kartodirdjo dan kawan-kawan tersebut sesungguhnya berasal dari kelemahan argumentasi G. Coedes sendiri dalam membangun kesimpulannya. Alasan bahwa penulisan yang semula Shih-li-fo-shih untuk “Sriwijaya”, kemudian dirubah menjadi San-fo-tsi untuk kerajaan yang sama adalah terlalu gegabah. Apakah mungkin salah menulis tentang nama kerajaan Sriwijaya yang demikian lama dikenal oleh orang-orang Cina, serta apakah seceroboh itu pula pihak kekaisaran di Cina yang demikian besar dan terkenal di dunia dalam melakukan pencatatan sejarah dinastinya? Suatu hal yang ganjil, nampaknya, jika untuk kerajaan yang sama dan telah lama dikenal, kemudian diberikan nama yang berbeda. Memang G. Coedes tidak secara terbuka mengakui bahwa yang dimaksud dengan San–fo-tsi dalam kronik–kronik dinasti Cina itu sama dengan Shih-li-fo-shih. Dalam bagian akhir tulisannya, G. Coedes tampak ada keraguan terhadap anggapan apakah negeri San-fo-tsi pada abad ke-13 M masih sama dengan negeri Sriwijaya; ataukah sama dengan negeri “Melayu”. Keraguan tersebut berkaitan dengan adanya sumber yang berasal dari jaman dinasti Ming di Cina bahwa pada tahun 1376 datang utusan dari maharaja Mauli (dianggap keluarga/dinasti penguasa kerajaan Melayu) dan maharaja Palembang. Penyebutan keduanya dengan nama “maharaja” menunjukkan bahwa kedua kerajaan itu memiliki kedudukan yang setara. Apakah penyebutan tersebut bisa diartikan bahwa kerajaan Melayu pada abad ke-14 M bukan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya yang pada abad ke-7 M berkedudukan di Palembang?
Dalam hal ini Slamet Muljana adalah sarjana pertama yang menolak kesimpulan G. Coedes tentang toponim Shih-li-fo-shih disamakan dengan San–fo-tsi. Slamet Muljana memang sependapat dalam satu hal yakni bahwa Shih-li-fo-shih adalah toponim Cina untuk kerajaan Sriwijaya, tetapi dia tidak setuju jika San–fo-tsi pun diartikan sama sebagai sebutan bagi kerajaan Sriwijaya, artinya Shih-li-fo-shih jelas tidak sama dengan San–fo-tsi. Lebih lanjut dikemukakan oleh Slamet Muljana bahwa San–fo-tsi yang tercantum dalam kronik dinasti Cina pada abad ke-9 M itu adalah sebutan bagi kerajaan Suwarnadwipa yang diperintah oleh raja Balaputradewa, sebagaimana tertera dalam prasasti Nalanda. Sedangkan San-fo-tsi yang tertulis dalam kronik dinasti Cina pada abad ke–13 M adalah negeri Suwarnabhumi atau Melayu yang diperintah oleh raja Tribuwanaraja Mauliwarmadewa, sebagaimana diwartakan oleh prasasti Amoghapasya (1286). Toponim “Suwarnadwipa” dan “Suwarnabhumi” oleh Slamet Muljana dianggap sama karena memiliki makna yang sama, dan dikenal pula sebagai kerajaan “Malayu” yang berkedudukan di daerah Jambi. Kesimpulannya adalah bahwa negeri San-fo-tsi itu sama dengan kerajaan Suwarnadwipa, sama dengan kerajaan Suwarnabhumi, dan sama pula dengan kerajaan Malayu; namun berbeda dengan Shih-li-fo-shih atau Sriwijaya yang berkedudukan di daerah Palembang.[47]
Berdasarkan logika tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa kerajaan Sriwijaya yang berdiri sejak abad ke-7 M mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-9 M, setelah itu digantikan oleh kerajaan Suwarnabhumi atau kerajaan Melayu yang diperintah oleh raja Balaputradewa, cucu raja Dharanindra dari dinasti Sailendra, yang pernah berkuasa di Jawa. Sejak itu kerajaan Sriwijaya memang masih ada, tetapi tidak lagi sebagai kerajaan merdeka. Sehingga tidak heran jika keterangan tentang kerajaan Sriwijaya sejak pertengahan abad ke-9 M tidak tertulis lagi sebagai negeri yang mengirimkan utusan ke negeri Cina, karena yang berhak mengirimkan utusan ke Cina adalah kerajaan yang merdeka.
Menyimak dua pendapat dari Slamet Muljana bahwa: (1) kerajaan Sriwijaya runtuh dan menjadi daerah bawahan dari kerajaan Suwarnabhumi sejak pertengahan abad ke-9 M; dan (2) hanya kerajaan merdeka yang berhak menjalin hubungan dengan luar negeri, juga nampaknya mengandung beberapa kelemahan. Untuk pendapat yang pertama, jika kerajaan Sriwijaya sudah runtuh dan menjadi daerah bawahan pada pertengahan abad ke-9 M, mengapa di dalam piagam Leiden (1006) disebutkan bahwa raja Kesarirajaraja dari kerajaan Cola membina kerjasama yang erat dengan raja Cudamaniwarman dan juga dengan puteranya, raja Marawijayatunggawarman, yang jelas-jelas disebut sebagai penguasa dari kerajaan Sriwijaya dan bukan penguasa dari kerajaan Suwarnabhumi? Apakah mungkin kerajaan sebesar Cola menjalin kerjasama yang erat dengan salah satu kerajaan yang tidak berdaulat? Dalam hal ini memang Slamet Muljana memberikan argumentasi mengenai penyebutan “Sriwijaya” dalam piagam Leiden itu sekedar kebiasaan bagi raja–raja Cola untuk menyebut negeri di wilayah Sumatera dengan sebutan “Sriwijaya”. Namun menurut saya argunmentasi itu terlalu mengada-ada, sama seperti halnya kritik beliau terhadap pendapat G. Coedes yang memberikan alasan kurang logis tentang penyamaan nama Shih-li-fo-shih dengan San-fo-tsi. Sementara itu terhadap pendapat yang kedua, saya kira, ada ketidakkonsistenan karena terbukti bahwa Sriwijaya, yang dikatakan sebagai kerajaan yang tidak merdeka, ternyata bisa juga menjalin kerjasama dengan kerajaan lain di luar negeri.
Mencermati sisi lain dari pendapat pertama tersebut di atas, nampaknya, masih timbul beberapa pertanyaan yang memerlukan jawaban. Mengapa Slamet Muljana, misalnya, menyatakan bahwa keruntuhan kerajaan Sriwijaya itu pada pertengahan abad ke-9 M dan tidak pada abad ke-8 M manakala kerajaan itu ditaklukan oleh tentara dari Jawa sekitar tahun 767? Apakah itu berarti bahwa penaklukan oleh Jawa tersebut tidak serta-merta diikuti oleh adanya pengalihan kekuasaan; dan mengapa mesti pada masa pemerintahan Balaputradewa, yang merupakan keturunan dari raja Jawa, yang justru dijadikan sebagai momentumnya?
Dalam pada itu, pendapat Nia Kurnia tentang kerajaan Sriwijaya nampaknya lebih difokuskan untuk memecahkan masalah toponim San–fo-tsi. Nia Kurnia mengatakan bahwa istilah San-fo-tsi menunjukkan kepada dua kerajaan yang berbeda, yaitu kerajaan Sriwijaya yang beribukota di Palembang di satu sisi, dan di sisi lain adalah kerajaan Melayu yang berkedudukan di Jambi. Sebutan Shih-li-fo-shih pada abad ke-7 M hingga San–fo-tsi pada abad ke-11 M dalam kronik dinasti Cina diberikan pada kerajaan yang sama yakni Sriwijaya atau Suwarnabhumi, tetapi sebutan San–fo-tsi setelah abad ke-11 M diberikan sebagai sebutan bagi kerajaan Malayu.[48]
Akhirnya Nia Kurnia tidak dengan jelas memberikan argumentasi bagaimana bisa sebutan San–fo-tsi bisa ditujukan untuk dua kerajaan yang berbeda, yakni Sriwijaya dan Suwarnabhumi? Kelemahan lain dari pendapat Nia Kurnia adalah apakah mungkin sebutan San-fo-tsi diberikan untuk kerajaan Malayu, sementara di dalam kronik–kronik dinasti Cina pada abad ke-7 M nama kerajaan Malayu (bahkan menurut laporan perjalanan I-tsing) sudah dikenalnya, mengapa tiba–tiba pada abad ke-13 M negeri Melayu itu disebut San–fo-tsi? Dalam batas–batas tertentu, menurut saya, pendapat Nia Kurnia tersebut agak membingungkan dan kurang logis.
Penutup
Setelah mengamati dan mengkaji secara kritis pendapat ketiga akhli – melalui ketiga buku tersebut di atas – tentang keberadaan kerajaan Sriwijaya, dan menyadari kenyataan bahwa penafsiran terhadap topik tersebut terdapat banyak perbedaan, bahkan cenderung kontroversial, di samping beberapa kesamaan pendapat – sehubungan dengan belum ditemukan bukti–bukti baru yang lebih relevan – maka saya mengajak kepada para pengamat/pembaca untuk lebih membuka diri terhadap kenyataan bahwa di dalam pembahasan/pengkajian tentang kerajaan Sriwijaya ini masih banyak menyisakan berbagai pertanyaan/permasalahan yang memerlukan pemecahan secara ilmiah, kreatif, dan imajinatif.
Melalui pengembangan topik materi sejarah yang masih kontroversial ini diharapkan bisa dijadikan sebagai wahana bagi pengembangan kemampuan bepfikir tingkat tinggi baik di kalangan guru sejarah maupun peserta didik. Mengenai keberpihakan terhadap salah satu pendapat yang saya angkat dalam penjelasan di atas, sepenuhnya diserahkan kepada para pembaca. Pengangkatan aspek yang memperkuat atau memperlemah pendapat–pendapat tersebut diharapkan bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan di dalam mengambil keputusan tentang pendapat mana yang lebih mendekati kebenaran, baik secara rasional maupun meta rasional.
Daftar Pustaka
Burger, D.H.. 1956. Sedjarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia. Djakarta: Pradnya Paramita.
Groeneveldt, W.P.. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Comfiled from Chinese Sourses. Djakarta: C.V. Bhratara.
Kartodirdjo, Sartono, Marwati Djoened P. dan Nugroho Notosusanto (Ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta: Depdikbud RI.
Kurnia, Nia. 1983. Kerajaan Sriwijaya. Jakarta: PT Girimukti Pusaka.
Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Jakarta: Penerbit Yayasan Idayu.
Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan. 1993. Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah. Palembang: Pemda Tk.I Sumsel.
Van der Meulen, W.J.. 1988. Indonesia di Ambang Sejarah. Jogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2002. Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global. Bandung: Historia Utama Press.
Wolters, O.W.. 1974. Early Indonesian Commerce. Ithaca, New York: Cornell University Press.
**)Drs. I Nyoman Wendra adalah Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung.
[1]Lihat O.W. Wolters, Early Indonesian Commerce (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974).
[2]Ibid..
[3]W.J. Van der Meulen, Indonesia di Ambang Sejarah (Jogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988).
[4]Sebagaimana dikutip oleh D.H. Burger, Sedjarah Ekonomis-Sosiologis Indonesia (Djakarta: Pradnya Paramita, 1956).
[5]Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P. dan Nugroho Notosusanto (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II (Jakarta: Depdikbud RI, 1977).
[6]Ibid., hlm.51-71.
[7]Lihat Slamet Muljana, Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi (Jakarta: Penerbit Yayasan Idayu, 1981).
[8]Ibid..
[9]Nia Kurnia, Kerajaan Sriwijaya (Jakarta: PT Girimukti Pusaka, 1983).
[10]Ibid..
[11]Tentang aneka pendapat itu diringkaskan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan, Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (Palembang: Pemda Tk.I Sumsel, 1993).
[12]Lihat Rochiati Wiriaatmadja, Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global (Bandung: Historia Utama Press, 2002), hlm.133-42.
[13]Ibid..
[14]Lihat Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P. dan Nugroho Notosusanto (Ed.), 1977, Op.Cit., hlm.61.
[15]Ibid., hlm.64.
[16]Ibid., hlm.67.
[17]Ibid..
[18]Ibid., hlm.170.
[19]Ibid..
[20]Ibid..
[21]Ibid..
[22]Lihat Nia Kurnia, 1983, Op.Cit..
[23]Ibid..
[24]Ibid..
[25]Ibid..
[26]Ibid..
[27]Lihat Slamet Mulyana, 1981, Op.Cit..
[28]Ibid..
[29]Ibid..
[30]Ibid., hlm.88.
[31]Ibid..
[32]Ibid..
[33]Ibid..
[34]Lihat W.P. Groeneveldt, Historical Notes on Indonesia and Malaya Comfiled from Chinese Sourses (Djakarta: C.V. Bhratara, 1960), hlm.62.
[35]Slamet Muljana, 1981, Loc.Cit..
[36]Ibid., hlm.209.
[37]Ibid., hlm.214.
[38]Ibid..
[39]Ibid., hlm.216.
[40]Ibid..
[41]Ibid., hlm.225.
[42]Ibid., hlm.223.
[43]Ibid., hlm.181.
[44]Ibid..
[45]Ibid..
[46]Sartono Kartodirdjo, Marwati Djoened P. dan Nugroho Notosusanto (Ed.), 1977, Op.Cit..
[47]Slamet Muljana, 1981, Op.Cit..
[48]Nia Kurnia, 1983, Op.Cit..
Komentar
Posting Komentar