PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-01


Asap kemenyan yang mengepul dari setiap rumah berkumpul di udara, bermain dengan sinar bulan, suram-muram mengandung keajaiban menyeramkan.
Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pada malam hari Respati, apa lagi pada waktu terang bulan, jin setan iblis siluman dan roh-roh yang gentayangan tengah berpesta-pora, keluyuran di seluruh permukaan bumi untuk mencari mangsa dan korban di antara orang-orang yang batinnya lemah.
Sesudah senja, begitu matahari yang sangat mereka takuti tenggelam, mereka keluar dari pohon-pohon besar, dari goa-goa angker, memasuki kota dan dusun. Mula-mula ributlah suara mereka, bercampur-baur dengan suara margasatwa, kerak jangkerik, tangis walang kekek, kerak kalak dan bunyi burung burung malam.
“Kulikkk... kulik... kulikkk...!”
Suara ini terdengar di angkasa, melewati rumah-rumah orang, suaranya nyaring dan tinggi, kadang-kadang diiringi kelepak sayap.
“Huuuuukk.. huukkk huuukkk...!”
Suara besar parau, jarang akan tetapi amat mengesankan sehingga gemanya terdengar membangunkan bulu roma.
“Klebek... klebek... klebek...!”
Suara ini terdengar di bawah di sekitar rumah, membuat orang menengok ke kolong balai dengan hati giris.
Sukar menentukan siapa pembuat suara-suara itu.
Burung kulikkah atau kuntilanak yang menangis akibat kehilangan anak lalu mencari-carl penggantinya di antara bayi-bayi manusia yang baru saja terlahir? Suara burung hantukah yang besar parau itu, ataukah suara iblis raksasa dan gendruwo berambut panjang riap-riapan dan gimbal, bermata merah menyala sebesar bende, bersiung sejengkal-jengkal dan lidahnya tergantung sampai di leher?
Dan yang terakhir itu, suara kalepak sayap ayamkah, atau suara banaspatl si glundung pringis, kepala tanpa tubuh yang bergulingan ke atas tanah kadang-kadang berloncatan bagai bola, matanya melotot mulutnya lebar meringis ketawa tidak menangis pun bukan?
Kadang-kadang, apa bila angin berhentl bertiup, suara-suara ltupun lenyap. Sunyi senyap menyelimuti bumi, keadaan begini lebih menyeramkan lagi karena kata orang, pada saat beginilah roh-roh jahat menerkam korbannya. Bila mana sudah begini, bunyi pintu berderit sedikit saja cukup menegangkan urat syaraf.
Dan pada saat sunyi senyap seperti itu, di waktu bulan purnama tengah menyembunyikan sebagian mukanya yang keemasan di balik awan hitam berbentuk kepala Bathara Kala, di waktu angin berhenti bertiup dan semua penduduk Kota Raja Jenggala tak berani berkutik pula dalam rumah di atas tempat tidur masing-masing, ibu-ibu mendekap anaknya, suami-suami mendekap isterinya, hati berdebar-debar gelisah, pada saat itulah terdengar suara jerit melengking yang nyaring mengerikan.
Jerit yang hanya dapat keluar dari mulut iblis, atau dari mulut seekor serigala terluka, atau juga dari mulut seorang yang nyawanya direnggut maut! Jerit melengking yang membuat seluruh penghuni Kota Raja Jenggala terbelalak ketakutan.
Sampai berdiri rambut kepala saking kaget dan takut.
Dan lebih gelisah lagi mereka yang berdekatan tinggalnya dengan rumah gedung itu dari mana jerit melengking tadi terdengar kemudian disusul tangis dan ratap memilukan hati.
Mereka ini tahu bahwa tentu terjadi sesuatu yang sangat hebat di dalam rumah gedung Tumenggung Wirodwipo itu. Akan tetapi rasa seram dan ngeri membuat mereka pura-pura tidak tahu karena siapakah yang berani datang bertandang? Siapa berani keluar dari pintu rumah pada malam terkutuk sepertl itu?
Dua bayangan hitam menyellnap keluar dari pekarangan rumah gedung Tumenggung Wirodwipo. Mereka adalah dua orang laki-laki tinggi besar dengan tubuh yang kokoh kuat.
Keduanya memelihara kumis tebal sekepal sebelah dan kepala mereka memakai pengikat kepala yang ujungnya menjulang runcing keatas sehingga bayangan mereka tampak bertanduk.
Walau pun tubuh mereka gempal besar, akan tetapi gerakan mereka amat lincah, ringan dan cepat mengagumkan. Seolah-olah kaki mereka tak menimbulkan suara sama sekali. Kalau ada penduduk yang melihat mereka pada waktu itu, tentu dia yakin sudah melihat setan, tidak akan percaya bahwa manusia­manusia jugalah yang ia lihat.
Dua orang tinggi besar itu berlari terus tanpa mengeluarkan suara, tanpa berkata-kata dan mereka. keluar dari kota raja dengan cara yang hebat pula, yakni dengan melompati pintu gerbang sebelah selatan.
Mereka memasuki hutan jati yang berada tak jauh dari kota raja, akhirnya membuka pintu sebuah pondok
“Geriiiiiittttt...!”
Daun pintu bergerit terbuka dan api pelita dl sebelah dalam bergoyang-goyang terbawa angin yang ikut masuk bersama dua orang tinggi besar ke dalam pondok.
Pintu ditutupkan kembali dan api pelita lalu berhenti bergoyang. Tiga ekor binatang kalong (kelelawar) yang sangat besar terbang berputaran dalam pondok itu, mengeluarkan bunyi mencicit dan kelepak sayap mereka terdengar jarang.
Kembali api pelita bergoyang. Agaknya binatang­binatang yang menyeramkan ini terbang menyambut kedatangan dua orang tinggl besar, atau mungkin juga karena kaget.
Setelah kedua orang laki-laki itu duduk, kalong-kalong itu baru berhentl terbang, hinggap menggantung di bawah atap.
“Heh-heh-heh-hih-hikl” Di balik asap kemenyan yang mengepul tinggi dan tebal, suara ketawa itu terdengar seperti suara ketawa iblis,
Dua orang laki-laki tinggi besar itu memandang kagum bercampur seram. Mereka berdua adalah orang-orang yang biasa akan hal-hal menyeramkan, bahkan mereka berdua dapat mencekik leher orang sampai mati, tanpa mengejapkan mata.
Tapi penglihatan malam ini di dalam pondok, apa lagi setelah tadi mereka membuktikan sendiri hasilnya di dalam gedung Tumenggung Wirodwipo, benar­benar melampaui batas ketabahan mereka dan bulu tengkuk mereka meremang.
Kakek yang bersila di belakang tabir asap kemenyan itu sudah tua.
Begitu tuanya sampai wajahnya yang berkeriputan itu seperti bukan wajah manusia lagi.
Tubuhnya kurus dan bongkok, mukanya berkulit hitam sehingga yang tampak jelas hanya warna putih matanya dan dua buah giginya yang menguning. Kepalanya dibungkus sorban kuning yang kotor.
Memang segala sesuatunya pada kakek ini kelihatan kotor belaka. Ruangan pondok yang tidak luas terhias banyak tengkorak manusia yang oleh gerakan asap bergulung tampak seakan­akan hidup, mata yang tak berbiji seperti melotot dan mulut tak berbibir seperti tertawa.
Kakek yang tertawa-tawa itu memegang sebatang keris kecil, panjangnya hanya sekitar sejengkal dan ujung keris berlumur darah segar.
Di depan perutnya, tangan kirinya memegang sebuah boneka dari lempung, boneka yang juga berlumur darah, boneka yang mengenakan pakaian. Kalau dipandang dengan teliti, tampaklah bahwa boneka ini serupa benar dengan Tumenggung Wirodwipo!
“Heh-heh-hi-hik, bagaimanakah, anakmas? Berhasilkan?”
Kakek itu bertanya kepada dua orang laki-laki itu sambil melempar boneka ke sudut dan menyimpan keris di ikat pinggangnya.
“Bagus sekali hasilnya, paman wiku. Kami mendengar sendiri jerit kematiannya yang terakhir sesudah dua kali dia mengerang kesakitan,” jawab Klabangkoro yang mempunyai tanda bekas bacokan pada pipi kanannya.
“Ha-ha-heh-heh, aku sudah tahu, anakmas. Sebelum kalian datang, kalong­kalongku telah pulang lebih dulu mewartakan hasil usahaku. Dan darah di kerisku menjadi tanda yang tak dapat dlsangkal lagi, heh-heh-heh!”
Klabangmuko, adik Klabangkoro, bergidik. Memang tadi ia mendengar kelepak sayap kalong-kalong itu di atas rumah gedung Tumenggung Wirodwipo. “Paman Wiku Kalawisesa, hebat sekali kesaktian paman. Semua berhasil sesuai dengan rencana. Gusti adipati di Blambangan tentu akan gembira sekali mendengar ini.”
“Paman wiku tentu akan menerima ganjaran (hadiah) yang besar. Ha-ha­hal” kata Klabangkoro yang ikut gembira karena berhasilnya tugas ini berarti dia sendiri berdua adiknya akan menerima ganjaran pula.
“Heh-heh-heh, nanti dulu, masih kurang satu.Kalian lihat saja nanti hari Respati pekan depan, lihat baik-baik dan bergembiralah karena pada malam hari itu, Pangeran Panjirawit menerima gilirannya mati di ujung keris wasiatku. Heh-heh-heh-heh!”
Dua orang kakak beradik itu kaget, juga girang. “Dia...? Tapi... menurut rencana, kita hanya akan menghitamkan namanya agar ia menerima hukuman dari dua kerajaan bersaudara, tidak... tidak perlu paman bunuh.”
“Heh-heh, kalian tahu apa, nak-mas? Bukan hanya Gusti Adipati Blambangan yang menaruh dendam kepada isteri pangeran itu, juga aku mempunyai perhitungan setinggi langit! Adik seperguruanku, Cekel Aksomolo, tewas di tangan Endang Patibroto, yang kini menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Inilah sebabnya mengapa aku segera menerima penawaran kerja sama dari Gusti Adipati Blambangan. Memang, cara yang direncanakan gusti adipati cukup hebat, akan tetapi hatiku tidak puas kalau tidak melihat wanita itu sengsara hebat. Maka suaminya harus kubunuh, baru nanti dia dimusuhi kedua kerajaan. Ha-ha-heh-heh!”
“Tapi... dia amat sakti... bukankah berbahaya itu, paman?” tanya Klabangmuko.
“Hik...hik... boleh jadi dia sendiri tak dapat dibunuh secara ini. Akan tetapi suaminya orang biasa! Kalian boleh lihat pekan nanti, akan tetapi awas, jangan terlalu dekat mengintai istana pangeran itu.”
“Baiklah, paman. Kini kami mohon pamit untuk melaporkan hasil ini kepada Raden Sindupati.”
Kakek itu mengangguk-angguk. Dua orang tinggi besar ini lalu membuka daun pintu pondok, keluar dan menutupkan.kembali daun pintunya.
Pelita di dalam bergoyang apinya, si kakek terkekeh girang lalu bangkit menghampiri sebuah arca Bathara Kala yang berdiri angker di südut, menjatuhkan diri berlutut dan mencium kaki arca, menyembah dan mulut yang ompong itu berkemak-kemik. Sepasang mata arca itu seolah-olah mengeluarkan cahaya berkilat.
Siapakah sesungguhnya kakek sakti yang mengerikan ini? Para pembaca BADAI LAUT SELATAN tentu mengenal nama Cekel Aksomolo, seorang pendeta seperti Bhagawan Durna bentuk tubuhnya, pendeta sakti yang menyeleweng ke jalan resat, dan akhirnya tewas di tangan Endang Patibroto isteri Pangeran Panjirawit dari Kerajaan Jenggala.
Pendeta Itu adalah kakak seperguruan Cekel Aksomolo, yang selama puluhan tahun bertapa di Gunung Cermai. Pendeta ini sebetulnya adalah seorang Bangsa Hindu yang datang merantau ke Nusantara, seperguruan dengan Cekel Aksomolo dalam ilmu hitam dan ilmu sihir, juga kesaktian. Akan tetapi berbeda dalam agama karena Wiku Kalawisesa ini adalah seorang penyembah Bathara Kala.
Ketika ia mendengar tentang kematian adik seperguruannya di tangan Endang Patibroto, hatinya sakit sekali.
Maka turunlah ia dari pertapaannya di Gunung Cermai dan mulailah ia berdaya upaya untuk membalas dendam.Namun karena ia mendengar bahwa isteri Pangeran Panjirawit itu adalah seorang wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, maka ia berlaku hati-hati dan hampir sepuluh tahun lamanya belum berani turun tangan.
Akhirnya tibalah kesempatan yang dinanti-nantikannya. Adipati Blambangan yang juga merasa sakit hati kepada Endang Patibroto atas kematian Bhagawan Kundilomuko, pamannya dan penyembah Bhatari Durgo, dan di samping sakit hati terhadap Endang Patibroto juga kepada Kerajaan Jenggala yang sudah menghancurkan Kadipaten Nusabarung yang masih saudaranya, datang menghubungi kakek ini.
Maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka lalu direncanakan siasat keji yaitu mengenyahkan orang-orang penting di Kerajaan Jenggala dan Panjalu dengan menjatuhkan dosanya di pundak Endang Patibroto.
Dengan siasat ini kalau berhasil, selain kedudukan dua kerajaan menjadi lemah, juga Endang Patibroto akan ditangkap dan kalau sudah begitu, Blambangan akan datang menyerbu Jenggala!.
Adapun yang dipercayal tugas ini oleh Adipati Blambangan adalah seorang perwiranya yang bernama Raden Sindupati, seorang bekas senopati Jenggala yang sudah melarikan diri karena mempunyai dosa, yaitu membujuk rayu dan memperkosa seorang puteri Jenggala dan kini ia menjadi perwira di Blambangan.
Raden Sindupati membawa sepasukan pengawal Blambangan yang berkepandaian tinggi, dipimpin oleh kakak beradik Klabangkoro.
Ia bermarkas di dalam hutan yang tersembunyi dan melakukan “operasinya” dari tempat ini.Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi penghubung antara pasukan ini dengan si dukun lepus Wiku Kalawisesa.
Bagaimana adanya rencana itu dapat di ikuti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya, siasat yang keji dan menciptakan malam-malam terkutuk yang mengerikan, seperti yang terjadi pada malam itu yang membawa maut bagi Tumenggung Wirodwipo, seorang tokoh perajurit Jenggala yang tangguh.
Kerajaan Panjalu dan Kerajaan Jenggala geger! Betapa tidak kalau dalam waktu beberapa pekan saja beberapa orang perwira yang penting-penting telah mati dalam keadaan yang amat ajaib?
Mula-mula lengan kiri korban-korban ini secara tiba-tiba mengucurkan darah, kemudian lengan kanan bercucuran darah dan terasa sakit seperti ditusuk keris, dan akhirnya ulu hati mereka mengucurkan darah segar yang mendatangkan kematian.
Dan semua terjadi tiap hari Respati malam! Perbuatan setankah? Kanjeng Ratu Raro Kidul entah sebab apa menjadi murka dan bala tentaranya mendarat lalu mengamuk menyebar maut dl antara ponggawa kedua kerajaan? Ataukah iblis-iblis penghuni Pancagiri (Lima Gunung Semeru-Bromo-Kelud-Arjuno-Anjasmoro) oleh sebab yang belum diketahui menjadi marah-marah kepada dua kerajaan bersaudara?
Sang prabu di Panjalu dan sang prabu di Jenggala menjadi prihatin dan mengerahkan para cerdik pandai untuk mencari sebab-sebabnya dan menangkap biang keladinya.
Dan terdengarlah desas-desus yang disebar oleh kaki tangan Raden Sindupati di Kerajaan Panjalu bahwa satu-satunya orang yang mungkin dapat melakukan perbuatan keji itu bukan lain dalah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawit yang masih mendendam hati kepada Kerajaan Panjalu!
Desas-desus ini santer ditiupkan oleh kaki tangan Blambangan.
Endang Patibroto, bekas kepala pengawal Jenggala itu adalah murid mendiang Dibyo Mamangkoro, seorang manusia setengah iblis, senopati kerajaan iblis, yaitu Kerajaan Wengker yang dahulu dirajai Prabu Boko! Mungkin karena mendendam, atau karena iri hati melihat betapa Kerajaan Panjalu lebih besar dan makmur dari pada Kerajaan Jenggala! Atau mungkin untuk melampiaskan amarah karena isteri Pangeran Panjirawit ini setelah menikah selama hampir sepuluh tahun belum juga dikaruniai putera!
Bermacam-macamlah isi desas-desus itu yang kesemuanya jatuh ke pundak Endang Patibroto.
Wanita sakti yang banyak musuhnya karena sepak terjangnya yang dahulu telah menjatuhkan banyak korban itu kini dikeroyok oleh mereka yang membencinya, biar pun tidak tahu-menahu sama sekali tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia itu,langsung saja memberi komentar dan menjatuhkan fitnahnya atas namanya!
Desas-desus itu menembus pintu gerbang istana dan sampai ke telinga sang prabu di Panjalu. Akan tetapi karena sang prabu adalah seorang yang arif bijaksana, tidak mau menelan mentah-mentah fitnah yang jatuh atas diri Endang Patibroto, maklum betapa hebat dan berbahayanya fitnah ini.
Diam-diam sang prabu hanya berpesan kepada ponggawa-ponggawa yang pandai dan setia untuk memasang mata dan memperketat penyelidikan.
Endang Patibroto sendiri juga terkejut ketika mendengar tentang kematian­kematian aneh mengerikan Itu. Sebagal murid Dibyo Mamangkoro yang ahil Ilmu hitam, Ia dapat menduga bahwa ini tentulah hasil perbuatan seorang ahli sihir yang jahat. Lebih kaget dan penasaran lagi hatinya ketika sampai ke telinganya desas-desus bahwa dialah orangnya yang disangka umum melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu.
Pangeran Panjirawit juga mendengar desas-desus ini dan melihat sikap isterinya yang marah-marah dan penasaran, Ia di senja hari itu menghibur isterinya. Dipeluknya isteri tercinta Itu dan dItariknya duduk di atas pangkuan.
Sepuluh tahun mereka menjadi suami isteri, dan biar pun Endang Patibroto belum melahirkan putera, namun sang pangeran tidak berubah cinta kasihnya yang mendalam, bahkan tidak pernah mau mengambil selir untuk menyambung keturunan.
Pangeran Panjirawit adalah putera selir Sang Prabu Jenggala. Dia seorang pangeran yang tampan dan pandai olah keprajuritan. Seorang pangeran yang hidup sederhana, tidak suka bermewahan, setia kepada kerajaan ramanda, dan jujur dalam melakukan tugas,ramah terhadap bawahan, tidak menjilat kepada atasan. Oleh karena itu, semua orang suka belaka kepada pangeran ini dan tertutuplah sebagian rasa tidak suka terhadap isterinya, Endang Patibroto.
Tidak mengherankan apa bila banyak orang tidak suka kepada Endang Patibroto. Sebelum menjadi isteri Pangeran Panjirawit (baca Badai Laut Selatan), Endang Patibroto
adalah seorang gadis yang liar, sakti mandraguna sehingga menggiriskan semua orang, wataknya ganas dan mudah membunuh, pernah pula menjadi kepala pengawal keraton Jenggala. Akan tetapi semenjak ia menjadi isteri Pangeran Panjirawit, ia tidak pernah lagi bertualang, bahkan jarang keluar dari istana di mana ia tenggelam dalam kasih sayang suaminya. Harus diakui bahwa tadinya tidak ada cinta kasih dalam hatinya terhadap Pangeran Panjirawit, akan tetapi penumpahan cinta kasih yang berlimpahan dari suaminya mencairkan kekerasan hatinya dan menumbuhkan cinta kasih yang besar pula.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang amat sakti. Sebelum menjadi murid Dibyo Mamangkoro, ia sudah memiliki bermacam ilmu. Setelah menjadi murid tokoh iblis ini, ia seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sakti mandraguna dan jarang bertemu tanding. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa pembunuhan itu membangkitkan semangatnya, membakar hatinya membuatnya penasaran dan bersumpah di dalam hati untuk menangkap dan menghukum biang keladinya.
Ketika suaminya memeluk dan memangkunya, ia merangkulkan kedua lengan di leher Pangeran Panjirawit. Sudah sepuluh tahun menikah, namun suami isteri ini masih tetap seperti pengantin baru, saling menumpahkan kasih sayang yang tak kunjung padam. Betapa pun gagah dan saktinya, dalam saat­saat bermain asmara seperti itu, timbul pula sifat kewanitaan Endang Patibroto dan ia kadang-kadang menjadi aleman (manja).
Sore itu mereka duduk di ruangan dalam, di samping kamar tidur, menghadapi taman bunga. Tempat inilah menjadl tempat kesukaan mereka sehabis makan sore, duduk bercakap-cakap atau bersenda-gurau, bermain asmara, menghadapi bunga-bunga yang mekar dan semerbak wangi.
Kesukaan Endang Patibroto adalah bunga melati dan bunga menur yang sedap. Adapun kesukaan sang pangeran adalah bunga mawar merah dan putih yang harum.
Ketiga macam bunga itu memenuhi taman di depan ruang duduk ini, di samping bunga-bunga kenanga, kantil, dan arum dalu yang menyiarkan ganda harum sedap seperti di dalam taman sorgaloka, menyentuh rasa dan membangkitkan cinta.
Ruangan itu sederhana namun menyenangkan. Hanya terdapat beberapa kursi, sebuah meja hiasan-hiasan binatang. Sejuk hawanya,harum semerbak baunya, dan para pelayan memang tidak pernah memasuk ruangan ini di waktu suami isteri di situ. Mereka semua sudah maklum akan keadaan pangeran dan isterinya yang selaIu berpengantinan mesra sehingga mereka enggan dan takut mengganggu.
“Isteriku Endang jiwa hatiku tersayang, mengapa wajahmu yang ayu muram sejak siang tadi? Lihat bulan sampai bersembunyi di balik awan seperti wajahmu yang muram. Apa yang kau susahkan, sayang?” Pangeran Panjirawit bertanya sambil mengelus-elus rambut ikal dengan belaian mesra.
Endang Patibroto menghela napas panjang. Biasanya, kalau suaminya sudah mencumbunya seperti inl, hatinya serasa nikmat dan senang, sebesar Gunung Semeru. Akan tetapi sekali ini perasaan senang itu tidak kunjung datang, bahkan ingin ia menangis, makin tertindih dan risau hatinya mengingat akan segala penasaran yang didengarnya.
“Aduh, pangeran. Bagaimana hatiku tidak risau kalau teringat akan segala peristiwa yang terjadi dan mendengar segala desas-desus tentang diriku? Ah, tentu kakangmas pangeran telah mendengar pula?,
Panjirawit mempererat pelukannya sampai terasa detak jantung isterinya menjadi satu dengan debar jantungnya sendiri. Alangkah besar cintanya kepada isterinya ini!.
“Endang, mengapa kau pedulikan segala omong kosong itu? Biarkan saja mulut usil bicara, asal tidak langsung di depan kita. Di bagian manakah di dunia in! tidak ada orang yang usil mulut? Mereka itu iri hati terhadap engkau, nimas, terhadap kita, melihat kebahagiaan kita...”
“Tidak... tidak begitu, pangeran. Semua desas-desus tentu ada sebabnya. Kematian-kematian yang aneh itu. Bahkan pekan lalu kakang Tumenggung Wirorodwipo juga menjadi korban. Sudah tiga orang ponggawa setla dan perkasa Jenggala tewas secara keji. Juga ada tujuh orang ponggawa Panjalu tewas seperti itu...”
“Hidup mati manusia berada di tangan Dewata, lsteriku. Kebetulan saja para ponggawa yang mati itu yang telah terpilih oleh Hyang Widi untuk dipanggil kembali, mengapa merisaukan kematian yang sudah disuratkan takdir?” Pangeran itu masih berusaha menghibur, jari-jarinya dengan penuh cinta kasih menyislhkan sinom rambut yang berikal di tengkuk, kemudian mencium kulit tengkuk yang putih bersih itu dengan bibirnya.
Biasanya, kalau dicium seperti itu, meremang seluruh bulu di tubuh Endang Patibroto, menimbulkan gairah dan ia akan membalas belaian suami tersayang. Akan tetapi kali ini la melawan gairah itu dengan menggeliatkan tubuh dan berkata lagi, agak merajuk,
“Pangeran,suami junjunganku, berpura-purakah paduka? Kematian-­kematian itu jelas berada di tangan Hyang Widi, akan tetapi sebab kematiannya dapat dibuat orang yang mengandung hati jahat. Itupun tidaklah amat kurisaukan kalau saja nama hamba tidak didesas-desuskan orang.Siapa dapat menahan kalau mendengar desas-desus itu? Dlkabarkan bahwa hambalah yang elakukan perbuatan keji itu,karena hamba murid Dibyo Mamangkoro, karena hamba iri hati, dengki, karena hamba tidak...tidak punya anak...” Kalimat terakhir ini disusul dengan sedu-sedan.
Pangeran Panjirawit mengerutkan kening, memegang dagu isterinya, diangkat muka itu sehingga berhadapan dengan mukanya, kemudian dengan sepenuh cinta kasihnya ia menempelkan mulut pada mulut isterinya, menciumnya dengan halus, lembut dan mesra.
Sedu-sedan itu terhenti, lenyap dalam ciuman yang dibalas oleh Endang Patibroto dengan penyerahan yang tulus, dengan cinta kasih yang sama besarnya. Sejenak keduanya tenggelam dalam kasih asmara, sampai akhirnya Endang Patibroto terengah dan gemetar dalam dekapan suaminya, tubuhnya menjadi hangat, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi kembali pangeran itu mengerutkan keningnya yang tebal ketika melihat air mata mengalir turun di kedua pipi isterinya.
“Endang, kekasihku, dewiku... kau... kau menangis?”
Memang mengherankan bahkan mengejutkan melihat isterinya menangis.
Endang Patibroto adalah seorang wanita sakti, gagah perkasa tak kenal takut, tak kenal susah, dan tak pernah meruntuhkan waspa (air mata).
“Kakangmas, hamba harus... harus menyelidiki semua ini...!”
Panjirawit mencium kening isterinya yang kanan.Kening ini kecil panjang dan hitam, melengkung indah dan sedemikian indahnya sehingga kulit di dekat kening tampak lebih putih dari pada kulit di bagian lain pada wajah ayu itu.
“Aduh yayi, mutiara hatiku.Sesungguhnya aku tidak mau bicara tentang semua peristiwa ini, khawatir mencemaskan hatimu. Jangan mengira bahwa aku tidak mendengar segala macam desas-desus keji tentang dirimu, nimas. Akan tetapi, setelah sekarang engkau mendesak dan agaknya engkau benar-benar merasa penasaran, baiklah kita bicara tentang ini. Akan tetapi, adindaku, lupakah engkau akan janjimu kepadaku bahwa kau tidak akan bertualang mempergunakan kesaktianmu seperti dahulu lagi? Aku amat khawatir, nimas...”
Kini Endang Patibroto bangkit, merangkul leher suaminya dan dialah yang kini mencium mulut yang dicintanya itu. Kemudian ia turun dari atas pangkuan sambil berkata manja,
“Takkan mungkin bicara benar kalau kita tenggelam dalam bercinta.”
Ia tersenyum dan lenyaplah semua kemuraman wajahnya. Senyum itu pula yang membuat Panjirawit lupa akan kekhawatirannya, bahwa isterinya akan menonjolkan kesaktiannya yang mengerikan dan ditakutinya, karena sekali isterinya bertualang dalam permusuhan, bencana hebat tentu akan timbul. Akan tetapi senyum itu terlalu cerah, terlalu indah dan menyilaukan mata, mengusir semua keraguan hati.
“Betapa aku dapat menghentikan cintaku kepadamu walaupun sekejap mata?”
Ia menggoda dan hendak meraih lagi. Akan tetapi Endang Patibroto mlringkan tubuh, raihan itu tidak mengenai sasaran. Endang Patibroto duduk di atas kursi menghadapi suaminya, lalu berkata sungguh-sungguh,
“Pangeran, aku tahu apa yang terjadi pada mereka.Dahulu guruku pernah menjelaskan tentang ilmu membunuh musuh melalui guna-guna, melalui aji ilmu hitam yang disebut Aji Kalacakra. Ilmu itu mujijat dan keji, sanggup membunuh orang dari jauh hanya dengan menusuk-nusuk boneka yang dibuat menyerupai orang yang dijadikan korbannya.”
“Ihhh...! Aji terkutuk!”
Endang Patibroto tersenyum. “Memang semua aji itu terkutuk kalau dipergunakan untuk kejahatan, kakanda.”
“Dan siapakah orangnya yang dituju, akan tewas begitu saja?” Pangeran itu masih kurang percaya.
Endang Patibroto menggeleng kepala. “Tidak ada kekuasaan di dunia ini, betapa pun hebatnya,dapat mengalahkan orang yang bersih batinnya dan yang tidak mempunyai dosa.Aji Kalacakra tidak mempan tentunya kepada orang yang memiliki kesaktian lebih tinggi dari pada orang yang melakukan aji itu, juga tidak akan mempan (mempengaruhi) orang yang tidak pernah berdosa. Akan tetapi, manusia manakah yang tidak pernah melakukan dosa? Itulah sebabnya mengapa aji itu amat berbahaya.”
“Akan tetapi, betul-betulkah aji semacam itu dapat dilakukan orang?”
“Kakanda masih sangsi akan kebenarannya? Sungguh pun hamba selamanya belum pernah melakukannya, akan tetapi mengerti caranya. Harap paduka lihat baik-baik!”
Endang Patibroto lalu turun dari anak tangga ke dalam taman, mengambil sekepal tanah lempung dan sehelai bulu ayam, lalu kembali ke dekat suaminya yang memandangnya dengan mata penuh perhatian.
“Paduka mengenal ini?”
“Eh..., itu bulu ayam. Putih... hemm, hanya ayam kelangenan (kesukaan) kita Si Petak yang suka masuk ke taman.”
“Betul, kakangmas. Ini bulu Si Petak, dan lihatlah ini.”
“Engkau membuat boneka Si Petak dari tanah lempung!”
“Kembali benar,” kata Endang Patibroto sambil memasangkan bulu putih itu pada tubuh boneka ayam.
Kemudian ia mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari pada emas, lalu duduk bersila pada permadani dan berkata, “Sekarang harap paduka lihat baik-baik, adinda akan membuat bukti akan kebenaran dugaan adinda.”
Pangeran Panjirawit memandang dengan mata terbelalak.
Dilihatnya isteri tercinta itu duduk bersamadhi, boneka di tangan kiri, tusuk konde di tangan kanan,matanya dipejamkan dan bibirnya berkemak-kemik,kemudian tubuh isterinya seperti menegang dan kedua tangan gemetaran, matanya dibuka lalu ujung tusuk konde yang runcing itu ia tusukkan ke arah paha boneka ayam.
Hampir Pangeran Panjirawit terpekik saking kagetnya melihat darah keluar dari paha ayam itu! la melompat dari tempat duduknya dan keluar dari situ melalui pintu tengah dan... hampir ia bertubrukan dengan seorang gadis yang jongkok di belakang pintu.
“Eh?! Engkau ini, Minten? Apa yang kau kerjakan di sini?”
Gadis Itu berusia kurang lebih enam belas tahun. Cantik manis, tubuhnya padat dan mulai mekar, jelas nampak pada bagian dadanya yang tertutup kemben, kulitnya halus dan hitam manis. Tubuh gadis itu gemetar ketika ia berjongkok di depan sang pangeran.
“Ampun...gusti... hamba... hamba tadinya ingin mencari kembang melati dan mawar untuk tambah sesaji...”
“Hemm, jangan ganggu kami. Pergi!” kata pangeran itu yang tergesa-gesa lari terus menuju ke belakang, ke kandang ayam di mana Petak berada.
Sebagai seorang pria ia tidak begitu memperhatikan tentang sesaji, tidak tahu bahwa kembang untuk itu sudah lengkap tersedia. Akan tetapi bukankah Suminten seorang gadis pelayan dalam? Tidak terlalu mengherankan kehadiran gadis itu di sana. Ia tidak pikirkan lagi gadis Itu dan jantungnya berdebar keras ketika tiba di luar kandang ia mendengar suara Petak berkeok-keok.
Cepat ia membuka pintu kamar dan wajahnya menjadI pucat. Si Petak tampak rebah miring, paha kanannya mengucurkan darah!
Pangeran Panjirawit cepat melompat dan lari kembali ke tempat isterinya.
“Endang jangan bunuh Si Petak...!” katanya Iirih, suaranya gemetar dan wajahnya masih pucat.
Endang PatIbroto yang duduk bersila menggeleng kepala, lalu mencabut tusuk kondenya dari paha boneka ayam, mencabut bulu putih lalu melempar boneka dan bulu ayam ke taman. Ia bangkit berdiri sambil berkata,
“Jangan khawatlr, kakanda. Hamba terlalu sayang kepada ayam kita itu untuk membunuhnya. Hanya untuk pembuktian kebenaran ucapan dan dugaan adinda.”
Pangeran Pannirawit menghela napas panjang. “Engkau benar, yayi. Kulihat tadi paha Si Petak berdarah. Hiihhhh menggigil aku sekarang. Terkutuk benar orang yang melakukan perbuatan sekeji itu terhadap para ponggawa kerajaan.”
“Dan setelah terjadi perbuatan pengecut itu, disebar desas-desus tentang diri hamba. Tidakkah sekarang kakanda pikir bahwa hamba harus menyelidiki peristiwa ini?” kata pula Endang Patibroto sambil membetulkan rambutnya yang terurai lepas karena tadi ia mencabut tusuk kondenya.Ia menggunakan kedua tangan untuk membereskan gelungnya dan gerakan ini, mengangkat kedua lengan membetulkan rambut, amatlah manisnya.
Lenyaplah sifat Endang Patibroto wanita sakti, yang tampak kini seorang puteri yang cantik jelita, dengan sepasang lengan yang indah bentuknya dan halus kulitnya seperti batu pualam.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar