PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-02


“Biarkan rambutmu, sayang. Biarkan terurai seperti itu...!” Ia menyusupkan muka pada selimut rambut yang harum dan halus, meramkan mata.
Endang Patibroto tertawa kecil, mengelus-elus dagu suaminya. “Belum paduka menjawab pertanyaan adinda...”
“Apa...? Ah, tentang penyelidikan, biarlah besok kuperintahkan kakang Sungkono untuk mengerahkan para abdi pengawal menyelidik.”
“Tidak akan ada gunanya, pangeran. Penjahat itu sakti,kakang Sungkono bukanlah lawannya. Harus diakui bahwa kakang Sungkono merupakan abdi yang baik dan setia,akan tetapi menghadapi penjahat sakti ini harus dilawan dengan kesaktian pula.”
“Baiklah, yayi. Besok kau bersama aku menyelidik,sekarang mari temani aku tidur, sayang. Aku menjadi ngeri dan serem.” la memeluk dan hendak memondong tubuh isterinya.
Akan tetapi Endang Patibroto meronta dan turun dari pondongan suaminya karena la tahu bahwa sekali ia sudah memasuki peraduan bersama suaminya, ia akan lupa segala. Padahal malam inilah saat yang tepat untuk menyelldik, malam hari Respati!
“Kakanda, maafkan adinda untuk saat in!. Hari ini hari Respati, bukan? Nah, inilah saatnya penjahat itu turun tangan. Karena, ketahuilah kanda bahwa amat sukar untuk mencari penjahat sakti Ini kalau tidak pada waktu ia melepas kejahatannya. Biasanya, pada saat ia melakukan kejahatannya, tentu ia melepas pengintai yang akan mengabarkan apakah usahanya itu berhasil atau tidak.”
“Pengintai? Kalau begitu, mengapa para penyelidik kedua kerajaan tidak dapat menangkapnya?”
“Ah, mana dapat? Biasanya, pengintai itu bukan manusia, melainkan binatang, biasanya burung hantu,burung gagak dan sebangsanya...”
“Ihhh...! Pangeran itu bergidik dan merangkul leher isterinya. “Jangan pergi, Endang, aku... aku... hihh, aku takut!”
Endang tersenyum dan mencium suaminya. “Paduka? Takut? Pangeran Panjirawit yang gagah perkasa, suami hamba yang terclnta..., takut...?”
Panjirawit mencubit pinggul isterinya dengan gemas.
“Tidak takut menghadapi musuh siapa pun juga, tapi setan dan ibiis... hihh, ngeri aku...”
“Perkenankan hamba pergi, kakanda. Tidak akan lama.Setelah selesai menyelidik, hamba akan cepat kembali.Mudah-mudahan berhasil membekuk batang leher penjahat itu, demi keamanan Jenggala dan Panjalu dan demi bersihnya nama hamba. Hamba past! kembali dan...mudah-mudahan paduka belum tidur.”
“Mana bisa aku tidur tanpa kau di sampingku, manis? Bibirmu itu lho...”
“Mengapa dengan bibir hamba...?” Endang mengusap-usap bibirnya dan suaminya tertawa.
“Bibirmu yang membuat aku tidak bisa tidur sendirian.” lapun meraih lagi isterinya, mencium bibir yang selalu merah tanpa menginang (makan sirih) itu, merah membasah, lembut dan hangat penuh madu asmara. setelah puas berciuman,
Endang Patibroto akhirnya merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan suaminya, membenarkan rambutnya yang awut-awutan, meringkaskan pakaiannya.
Melihat isterinya berkemas dan mengenakan celana hitam sebatas lutut, mengaitkan kain yang berubah menjadi dandanan seorang pendekar wanita, kembali Pangeran Panjirawit gelisah.
“Engkau tidak membawa senjata, Endang?” Ia bergidik kalau teringat betapa dahulu, sepuluh tahun yang lalu,isterinya ini dengan keris pusaka Ki Brojol Luwuk (pusaka Mataram) merupakan seorang wanita perkasa yang menggiriskan dan menggegerkan seluruh Kerajaan Panjalu dan Jenggala.
Endang tersenyum. “Menghadapi penjahat pengecut perlu apa bersenjata? Tusuk konde hamba inipun belum tentu perlu hamba pergunakan. Nah, suami pujaan hati,hamba pergi, sampai nanti!”
Begitu selesai kata-kata ini,tubuh Endang Patibroto berkelebat dan lenyap dari depan Pangeran Panjirawit. Pangeran ini termenung, tidak heran menyaksikan kesaktian isterinya yang ia tahu memiliki ilmu Aji Bayu Tantra yang memungkinkan isterinya berkelebat cepat seperti terbang dan lari seperti angin cepatnya. Ia menarik napas panjang berkali-kali, hatinya merasa kosong setelah isterinya tidak berada di sampingnya. Ia lalu bangkit dan memasuki kamar tidurnya. Akan tetapi di pintu ia terhenti karena melihat bayangan Suminten menyelinap.
“Heiii, kau lagi, Minten? Tidak dipanggil mengapa kau berada di sini? Tidak mengaso di belakang, di pondok abdi dalem?”
Gadis yang berdada montok itu maju, berlangkah jongkok sampai dekat kaki Pangeran Panjirawit,menyembah dan sedikit menyentuh kaki sang pangeran,kemudian menengadah memandang pangeran itu, mata yang jeli bersinar-sinar penuh harapan, hidung yang mancung berkembang-kempis, mulutnya setengah terbuka sehingga tampak di balik sepasang bibir yang basah itu ujung deretan gigi yang putih dalam mulut yang merah.
Lalu terdengar mulut yang menggairahkan itu berbisik,
“Ampunkan hamba, gusti... hamba kira...barangkali... paduka masih membutuhkan sesuatu yang dapat hamba kerjakan...”
Pangeran Panjirawit mengerutkan kening. Aneh sekali,pada mata dan mulut gadis ini terdapat sesuatu yang mengingatkan ia akan isterinya, akan pandang mata dan mulut isterinya sewaktu ia cumbu! Aiihh, tidak! Ia takkan membiarkan dirinya tertarik oleh lain wanita. Tiada wanita di dunia ini yang dapat menandingi isterinya!.
“Tidak, Minten. Kau pergilah ke belakang, aku mau tidur.” Pangeran. itu memasuki kamarnya tanpa menutup daun pintu karena ia ingin melihat apa bila isterinya pulang.
Perlahan Suminten bangkit berdiri, sejenak ia berdiri di depan pintu kamar, kedua tangan dengan jari-jari kecil itu dikepal-kepal, glginya yang kecil-kecil putih menggigit bibir bawah, matanya layu dan air mata mengalir turun di kedua pipinya. Ia sampal tak sedap makan tak nyenyak tidur, siang malam memikirkan sang pangeran, mengharap-harap dan diusahakannya sedapat mungkin menarik perhatiannya.
Namun sia-sia, pangeran itu sama sekali tidak tertarik padanya, melihat dengan pandang mata seperti kebanyakan pria kalau memandangnyapun tidak pernah.
Bukankah wajar dan sudah selayaknya kalau seorang pangeran mengambil dara abdi-dalem menjadi selir? Apakah yang dipunyai isterl pangeran yang tidak ada pada dirinya? Ia penasaran dan menderita karena tergilagila dan jatuh cinta kepada sang pangeran.
Begitu gagah,begitu tampan, begitu halus, begitu dekat namun... begitu jauh tak terjangkau tangan dan hati. Ini semua gara-gara isteri pangeran. Gara-gara Endang Patibroto sehingga suaminya tidak wajar seperti para pangeran lain.
Wanita iblis itu, dengan ilmu iblisnya. Suminten bergidik ngeri,akan tetapl matanya menyinarkan cahaya. Desas-desus itu memang benar. Ia telah menyaksikan sendiri. Dengan ilmu iblisnya isteri pangeran telah mengguna-gunai Si Petak tadi!
Bergeraklah kedua kakinya perlahan menuju ke belakang, di mana tersedia kamar-kamar dalam pondok khusus untuk para abdi.
Bagaikan iblis sendiri, tubuh Endang Patibroto melesat naik ke atas atap rumah dan mulailah ia dengan petualangannya, dengan perjalanan malamnya melakukan penyelldikan.
Begitu kedua kakinya menginjak genteng, begitu angin malam bermain dengan rambutnya, timbul kegairahannya, teringat ia akan hidupnya, naluri seorang pendekar yang waspada akan setiap gerak dan suara.
Ketajaman telinganya bertambah, pandahg matanya yang selama sepuluh tahun ini terbenam dalam kemesraan,dalam lautan asmara yang tak kunjung padam bersama suaminya kini bersinar-sinar tajam, indera ke enam yang ada pada diri setiap orang pendekar yang sudah matang ilmunya, kini hidup dan menjadi sandaran baginya untuk melakukan penyelidikan.
Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kadang-kadang di atas genteng berlompatan, kadang-kadang di bawah berlarian.
Malam ini amat sunyi. Tak tampak seorang pun penduduk kota raja keluar dari pintu. Hanya orang-orang yang mabuk minuman, mabuk asmara, mabuk judi, dan sebangsa maling saja yang berani keluar pintu di malam Respati itu. Mereka ini tentu saja tidak takut dicaplok iblis karena sudah mabuk.
Namun Endang Patibroto tidak menaruh perhatian kepada mereka ini. Ia bahkan menujukan perhatiannya ke atas! Ke arah pohon-pohon besar, ke arah atap-atap gedung di mana tinggal para ponggawa tinggi, para pangeran dan tumenggung, para panglima dan perwira.
Kalau ia berloncatan dari genteng ke genteng, jelas tercium bau kemenyan yang memenuhi udara.
Suasana malam itu tentu akan mengecilkan hati seorang pendekar,namun Endang sama sekali tidak merasa gentar.
Kepercayaan akan diri sendiri timbul kembali pada saat itu.Di dalam pelukan dan di bawah cumbu rayu dan belaian Pangeran Panjirawit, la merasa kehilangan kepercayaan ini,tidak berdaya dan lemah, seakan-akan tidak kuasa akan tubuhnya sendiri, tidak kuasa akan hatinya sendiri.
Seakan-akan tubuh dan hatinya sudah menjadi sebagian milik suaminya dan ia hanya menurut apa yang dikehendaki suaminya karena kebahagiaanlah yang terasa olehnya dalam pelayanan terhadap suaminya ini. Ia bahagia melihat suaminya bahagia karena dia. la puas melihat suaminya puas karena dia..
Tapi sekarang ia merasa seperti seekor burung yang bebas. Dengan seluruh dlrinya seorang la menentang segala bahaya. Tiba-tiba, ketika ia meloncat ke atas genteng tinggi gedung Pangeran Panjirawit, ia berhenti bergerak.
Telinganya mendengar sesuatu. Pekik mengerikan!.. Jelas sekali dari atas genteng itu. Datang dari rumah gedung Demang Kanaroga, demang yang ahli dalam ilmu perang yang selalu menjadi tangan kanan setiap orang senopati Jenggala dalam perang.
Secepat kilat tubuhnya melesat dan berlarilah ia ke arah gedung itu, lalu melayang naik ke atas atap gedung. Ia mencari-cari lalu mengintai ke dalam kamar ki demang. Terlambat! Demang Kanaroga tampak terkapar di dalam kamarnya, dirubung dan ditangisi anak isterinya.Mati dan darah mengalir dari kedua lengan, dan terutama banyak sekali dari dadanya. Tiada gunanya masuk, ia takkan mampu berbuat sesuatu.
Endang Patibroto meloncat ke bagian yang paling tinggi dari atap itu. Dan tampaklah olehnya kini dua ekor benda terbang berputaran di atas gedung itu.
Burungkah? Burung hitam? Bukan! Sayapnya tidak mengeluarkan bunyi dan bentuk tubuhnya tidak seperti burung, pendek, tapi sayapnya amat lebar.
Dua ekor binatang Itu mencicit. Kalong (kelelawar)! Tak salah lagi, lnilah yang ia cari-cari, pikir Endang Patibroto. Jantungnya berdebar tegang dan gembira.
Mampuslah kau sekarang,pengecut berhati keji! Peliharaanmu yang akan mengantarku ke sarangmu. Awas kau, ini Endang Patibroto akan datang untuk membekuk batang lehermu! Ketika dua ekor kelelawar itu terbang ke barat
Endang Patibrotopun segera melompat turun dan berlari cepat ke barat, mengikuti dua ekor kelelawar itu dari bawah. Ke manakah ia akan dibawa oleh dua ekor binatang itu? Ke luar kota? Ke mana pun juga, akan kuikuti kalian!
Heee! Mereka menuju ke barat terus?. Eh, membelok ke selatan kini. Terus ke selatan. Endang Patibroto masih berdebar tegang dan terus berlari.
Kini ia berlari melalui depan istana suaminya! Arah terbang dua ekor kelelawar menuju ke selatan itu mengharuskan ia mengambi jalan ini.
Aduh, betapa kalau suaminya mengetahui! Ah, tentu suaminya kini sedang tidur seorang diri di atas pembaringan bersih lunak yang menjadi saksi tunggal cinta kasih di antara mereka. Mendadak saja timbul perasaan mesra yang membuat Endang Patibroto meloncat naik ke atas atap rumahnya sendiri.
Dua ekor kelelawar masih terbang di atas. Dan pada saat kedua kakinya menginjak genteng rumahnya itulah ia menahan pekik yang hampir keluar dari mulutnya. Di atas genteng itu terbang berputaran pula seekor kelelawar yang lain! Lebih besar dari pada yang dua itu.
Dan ia mendengar suara mengaduh di bawah. Suara suaminya!
Serasa berhenti detak jantung Endang Patibroto. Ia tidak mempedulikan lagi kepada kalong itu dan langsung ia melayang turun, memasuki taman dan melompat ke dalam,terus berkelebat masuk melalui pintu kamar tidur mereka yan tidak tertutup.
“Kakanda...!”
Suaminya tidak tidur, melainkan duduk dengan mata terbelalak. Lengan kirinya berdarah di dekat siku dan tangan kanannya berusaha menghentikan keluarnya darah dari lengan yang tidak luka itu.
Dan pada saat ia meloncat masuk, suaminya mengaduh lagi dan terbelalak memandang lengan kanannya yang sekarang juga berdarah!
Dari atas terdengar suara burung hantu terbang lewat,
“Huuu uukkkk huukk huuukkk!”
Seakan-akan burung hantu Itu mentertawakan Pangeran Panjirawit.
“Endang... lekas...! Ini lenganku ini...,bagaimana...?”
“Tenanglah, suamiku! Tenang... hemm, bedebah! Keparat...!”

Panjirawit bukanlah seorang penakut, apa lagi ada isterinya di situ. Mendengar maki-makian keluar dari mulut isterinya yang biasanya halus ramah itu, ia memandang,
bertanya, “Kau memakl siapa, yayi?”

“Tenanglah, suamiku..., tenanglah...“ kata Endang Patibroto dengan suara bercampur sedu-sedan.
Terlambat sedikit saja, ia akan menemukan suaminya dalam kamar seperti halnya Demang Kanaroga tadi,terkapar mati! Cepat ia menubruk suaminya, bersila di depan suaminya, menaruh kedua telapak tangan ke depan dada, menempel ulu hati suaminya.
Melihat keadaan isterinya yang demikian sungguh-sungguh,teringatlah lagi Pangeran Panjirawit akan keadaannya. Teringat lagi bahwa kali ini dialah yang hendak dijadikan korban. Mula-mula kedua lengan,kemudian ulu hati. Tahulah ia bahwa isterinya mempergunakan kesaktiannya untuk melindunginya.
Dari kedua telapak tangan yang halus itu, yang ia ingat benar kalau membelai-belainya, kini keluar hawa panas yang menjalar dari ulu hati ke seluruh tubuhnya, ke arah kedua lengannya dan darah tidak mengalir lagi dari kedua lengannya.
Tiba-tiba Endang Patibroto melompat dan menyambar bokor perak, tempolong perak dan semua benda terbuat dari pada perak yang berada di kamar itu.
Pangeran dan dia memang lebih suka akan perak dari pada emas. Kedua tangannya bergerak cepat, secepat tubuhnya ketika melesat dan bergerak mengumpulkan benda-benda tadi.
Tidak sampai satu menit lamanya, semua benda perak itu telah ia robek, kait-kaitkan dan kini la kembali kepada suaminya,menggunakan robekan-robekan perak itu menutupi tubuh suaminya.
“Tutup baik-baik, kakanda. Bagian-bagian yang lemah,kakanda tahu, dada, punggung, perut, pusar, kepala. Kaki tangan tidak mengapa. Tutup bagian-bagian yang lemah.Jangan takut, jangan khawatir, kakanda tidak akan mengapa, aku akan menghancurkan bedebah laknat itu! Berani dia mengganggu suamiku!”
Suara ini bercampur isak dan tubuh Endang Patibroto sudah melesat lenyap lagi.
“Endang...!” Pangeran Panjirawit memanggil, akan tetapi ia menahan kecemasannya. Ia harus percaya kepada isterinya. Endang tidak akan kalah.
Cepat ia melakukan pesan isterinya, menutupi bagian-bagian tubuh yang lemah yang akan membuatnya tewas dengan sekali tusuk. Kaki tangan biarlah, tusuklah kalau mau tusuk, pikirnya penuh geram.
Endang Patibroto sudah melompat naik, tangannya menyambar genteng, sekali remas ia mendapatkan sepotong genteng. Kelelawar yang dua ekor tak tampak lagi, akan tetapi yang seekor dan paling besar masih beterbangan di atas gedungnya, berputaran, seakan-akan menanti keluarnya pekik maut yang diharapkan keluar dari dalam gedung.
Dengan menahan geram dan mengukur tenaga karena ia tIdak ingin membunuh kelelawar Itu, la mengayun tangan menyambit.
Kelelawar besar itu mengeluarkan bunyi mencicit keras, terbangnya terhuyung dan setelah mencicit-cicit bingung akhirnya ia terbang ke arah selatan.
Inilah yang dikehendaki Endang Patibroto. ia berhasli mengusir kelelawar itu agar terbang pulang sebelum menyelesalkan tugas. Terbang pulang dan membawa dia ke tempat majikannyal Dengan jantung berdebar tegang dan girang Endang Patibroto melesat cepat. Ia tidak mau tertinggal oleh kelelawar itu.
Kelelawar itu terbang terus ke selatan melalui pintu gerbang selatan. Keluar kota raja. Sudah ia duga akan hal ini.
Siapa pun dia yang melakukan semua pembunuhan keji dan pengecut ini, tentu tidak berani tinggal di kota raja, di mana terdapat banyak perwira-perwira berilmu tinggi dan di mana terdapat dia. Ia meloncat melalul dinding yang mengelilingi kota raja, terus berlari cepat.
Untung bulan yang tinggal sepotong masih terang. Tidak ada awan malam itu. Langit tampak suram muram, namun bayangan kecil hitam Itu tampak jelas.
Alangkah besarnya kelelawar Itu yang terbang rendah. Dari ujung ke ujung sayap tentu lebih dari pada sedepa. Binatang Itu terbang ke atas sebuah hutan.
Celaka! Hutan yang banyak pohonnya, kalaulah di bawah pohon itu ia akan kehilangan bayangan itu.
Terpaksa Endang Patibroto lalu meloncat naik ke atas pohon,kemudian dengan cekatan la berloncatan dari pohon ke pohon.
Betapa pun juga, tak salah perhitungannya, tentu penjahat itu berdiam dan bersembunyi di dalam hutan ini.Ia naik ke atas pohon yang tinggi dan tampaklah kelelawar itu yang menukik turun ke atas atap sebuah pondok kecil di tengah hutan.
Pondok itu! Tentu di situ tempat bersembunyi si bedebah. Dengan hati-hati Endang Patibroto melompat ke atas pohon yang berdekatan dengan pondok, mengintai.
Kelelawar itu menggelepar-gelepar di atas atap lalu menerobos masuk melalui pintu setelah dengan berat badannya menabrak pintu terbuka sedikit.
Terdengar suara orang mengutuk dari dalam.
Endang Patibroto meloncat turun, kakinya tidak menimbulkan suara sedikitpun seperti seekor kucing melompat.
Berindap-indap namun cepat ia mendekati pondok, mengintai dari celah daun pintu yang terbuka sedikit. Giginya berkerotan ketika ia melihat ke dalam pondok!
Kakek tinggi kurus itu duduk bersila, memaki-maki kelelawar yang hinggap di bawah atap, di atas sebuah arca Bathara Kala.
“Kelelawar bodoh! Kalong yang tiada. gunanya! Belum selesai tugas sudah pulang! Apa hendak melapor akan gagalnya usahaku? Bedebah, kubakar dagingmu besok untuk santapan!” Kakek itu mengomel panjang pendek.
Sebuah boneka berada di tangan kirinya, sebatang keras kecil di tangan kanan.
“Setan alas! Belum mau tunduk juga engkau, Pangeran Panjirawit? Tubuhmu kebal, ya? Keparat!” Ia menggunakan kerisnya menusuk-nusuki tubuh boneka itu, lambungnya, dadanya, pusarnya, punggungnya, kemudian lehernya dan kepalanya.
Akan tetapi betapa pun kuat ia menusuk,kerisnya tidak mampu menembusl tanah lempung yang tidak keras itu, seolah-olah tubuh boneka lempung itu berubah menjadi baja!
Endang Patibroto bergidik. Kalau terlambat sedikit saja ia pulang tadi, tentu suaminya sudah terkapar mati dengan tubuh mandi darah. Ia melihat kaki kanan dan lengan kiri boneka itu berlumur darah. Suaminya tentu menderita,akan tetapi alangkah gagah suaminya.
Biar pun kaki dan tangan berdarah, namun tetap dapat menjaga tubuh di bagian berbahaya. Dapat ia bayangkan betapa suaminya menderita dan cemas.
“Setan keparat kau Panjirawit. Heh-heh-hih-hi-hik! Hanya kaki tanganmu saja yang tidak kebal, ya? Hendak kulihat bagaimana kalau darahmu habis keluar dari kaki tanganmu, akan kuhancurleburkan kaki tanganmu!”
Tangan yang hanya tulang terbungkus kulit itu kini menghujamkan keras ke arah kaki kira boneka Panjirawit.
Akan tetapi keras itu terhenti di tengah gerakan karena tangannya tertahan oleh sebuah tangan yang berkulit putih halus. Hidungnya mencium bau sedap harum dan tiba-tiba ada tangan putih halus lain lagi yang menyambar dan merampas boneka itu.
Wiku Kalawisesa terbelalak kaget dan mengangkat muka. Matanya yang tersembunyi dalam-dalam di rongga mata, memandang seolah-olah ia tidak percaya akan apa yang tampak olehnya.
Seorang wanita cantik jelita sudah berdiri di depannya, boneka itu telah berada di tangan si wanita yang dengan tenang mencabuti beberapa helai rambut hitam yang menempel di kepala patung. Rambut suaminya. la memasukkan gumpalan rambut itu ke balik kemben, lalu menghancurkan patung dengan remasan tangannya sehingga berubah menjadi sekepal tanah lempung!
“Manusia berwatak iblis, tua bangka yang tidak mencari jalan terang, calon penderita di dasar neraka jahanam! Siapakah engkau wahai kakek yang lebih rendah dari pada binatang, lebih keji dari pada iblis?”
Biar pun suara Endang Patibroto halus, merdu, akan tetapi bagi kakek itu seperti menyambarnya guntur di siang hari!.
Tahulah ia kini mengapa usahanya membunuh Pangeran Panjirawit gagal. Kiranya ada wanita sakti ini dan biar pun selama hidupnya ia belum pernah bertemu muka dengan Endang Patibroto, namun ia dapat menduga dengan siapa ia berhadapan. Lalu meloncat bangun, gerakannya cepat dan tangkas tidak sesuai dengan tubuhnya yang lapuk.
“Engkaukah yang bernama Endang Patlbroto?”
Gumamnya, matanya mendeilk mukanya terasa panas membakar karena memang wanita inilah yang dimusuhinya. Semua perbuatannya membunuhi para ponggawa itupun didasari rasa benci dan dendam kepada wanita ini.
Endang Patibroto tersenyum, senyum yang dingin yang sudah sepuluh tahun tak pernah membayang di bibirnya.Biasanya hanya untuk suaminya, senyum mesra dan hangat.
Hampir ia lupa bagaimana ia tersenyum di waktu ia masih gadis dan menghadapi lawan yang sakti dan jahat.
Kini otomatis senyum itu muncul di bibirnya. senyum yang membuat seorang seperti Wiku Kalawisesa saja sampai bergidik.
“Tidak salah seujung rambutpun dugaanmu, keparat tua bangka. Aku bukan pengecut macam engkau yang melempar batu sembunyi tangan melakukan pembunuhan-pembunuhan keji sambil bersembunyi. Akulah Endang Patibroto, isteri dari Pangeran Panjirawit yang kau usahakan kematiannya. Kau... Kau... si laknat pengotor jagad! Kau telah berani lancang tangan,menyerang suamiku secara keji. Hayo mengakulah siapa namamu, sebelum kujuwing-juwing (cabik-cabik) kulitmu,sebelum kupatahkan semua tulangmu, sebelum kuhancurkan kepalamu!”
Kini senyum dingin meninggalkan wajah ayu itu, berganti dengan warna merah membara, sepasang mata itu berkilat seperti mengeluarkan cahaya terang, lubang hidungnya mendengus seolah-olah keluar apinya.
Teringat akan suaminya, kemarahan Endang Patibroto memuncak dan beginilah Endang Patibroto di kala gadisnya, di kala ia menjadi orang yang paling ditakuti seluruh kerajaan, di kala keris pusaka Ki Brojol Luwuk masih berada di tangannya. Kalau sudah begini, dia seolah-olah menjadi malaikat maut sendiri!.
Wiku Kalawisesa bukan seorang yang lemah. Tidak,bahkan sebaliknya. Dia adalah kakak seperguruan Cekel Aksomolo yang dulu terkenal sakti mandraguna. Dia seorang tokoh dari India yang membawa datang banyak aji yang aneh-aneh, terutama sekali ilmu hitamnya.
Maka ia lalu menggunakan, kekuatan batinnya untuk menekan rasa ngeri dan getarnya. Biar pun ia bongkok, namun karena tubuhnya jangkung sekali, ia masih lebih tinggi dari pada Endang Patibroto dan ketinggiannya ini ia pergunakan untuk memaksa hati memandang rendah lawan.
Satu-satunya syarat bagi keampuhan ilmu hitam adalah perasaan lebih tinggl dan lebih kuat dari pada lawan, jauh dari pada rasa gentar.
“Heh-heh-hi-hi-hik! Babo-babo, Endang Pitibroto! Sumbarmu melebihi letusan Gunung Bromo! Kesombonganmu seolah-olah engkau dapat mencapai puncak Mahameru dan menyelam sampai di dasar Laut Kidul! Jangan kau mengira bahwa aku adalah sebangsa coro yang dapat kau perbuat sesukamu begitu saja, inilah lawanmu, Endang Patibroto, inilah Sang Wiku Kalawisesa yang sudah bertahun-tahun menanti saat ini untuk menyambut nyawamu dan membalas kematian adik seperguruanku Cekel Aksomolo. Hah-hah-hi-hikl”
Tangan kiri kakek itu bergerak menyambar sebatang tongkat yang tadi bersandar di dinding.
Tongkat ini berwarna hitam, sebesar ibu jari, bengkak-bengkok dan butut, akan tetapi dari tongkat ini keluar pengaruh yang mengerikan. Tongkat bukan sembarang tongkat, melainkan tongkat pusaka yang sudah ia rapal, yang sudah bertahun-tahun menerima hikmat sinar matahari dan bulan purnama, sudah bertahuntahun ia menghisap pengaruh sakti dan hawa mujijat dari tempat-tempat angker dan kuburan-kuburan keramat!.
Endang Patibroto menggangguk-angguk. Ia berdiri tegak,bertolak pinggang, sinar matanya tajam menyelidik,menyapu keadaan dalam pondok dan tahulah ia bahwa pendeta ini adalah seorang pemuja Bathara Kala.
Maka ia berhati-hati, maklum bahwa pemuja Bathara Kala biasanya memiliki ilmu-ilmu yang mujijat dan sakti mandraguna.
Gurunya dahulu pernah berpesan kepadanya agar hati-hati kalau bertemu dengan tokoh pemuja Bathara Kala. “Arca Bathara Kala dapat mengeluarkan mujijat, muridku.” demikian kata gurunya, “kalau dipuja secara setia berpuluh tahun, dapat kemasukan roh dan kesak tian Bathara Kala yang haus akan darah manusia, lapar akan daging manusia. Hancurkan lebih dahulu kesaktian arca ini, baru penyembahnya kehilangan sinar kesaktian yang menjadi dasarnya.”
Teringat akan nasehat gurunya ini, besar hati Endang Patibroto. Ia tersenyum mengejek ketika menjawab.
“Aehhh, kiranya engkau ini kakak seperguruan Cekel Aksomolo si Durna itu? Dan namamu Wiku Kalawisesa? Heh, wiku sesat! Cekel Aksomolo adalah aku yang membunuhnya! Kalau engkau hendak membalaskan kematiannya, aku Endang Patibroto siap untuk menghadapi setiap saat. Kenapa engkau berlaku begini pengecut, menyerang suamiku? Dan kenapa pula engkau membunuhbunuhi ponggawa Panjalu dan Jenggala?”
Wiku Kalawisesa amatlah cerdik dan banyak siasatnya.
Karena cerdiknya, la amat berhati-hati dan harus mengakui bahwa menghadapi wanita ini, belum tentu ia akan menang. Kalau ia menang maka itulah yang dikehendakinya dan tidak akan ada urusan lagi.
Akan tetapi kalau ia kalah dan tewas? Ia tidak takut mata, akan tetapi matinya akan mengandung mati penasaran karena tujuannya tidak tercapai.
Dan mati penasaran akan membuat rohnya gentayangan tidak menentu. Karena itu ia harus mengatur siasat sebelumnya. Baik ia akan kalah atau menang, wanita musuh besarnya ini harus dlhancurkannya.
“Hoah-ha-ha-hah, bagaimana seorang perempuan muda yang bodoh macam engkau ini hendak menjagoi? Urusan yang terjadi di depan matamu saja engkau maslh tidak mengerti, dan kau mengaku dirimu pintar?”
“Wiku sombong, aku memang bukan orang pintar, akan tetapi setidaknya bukan manusia pengecut sebodoh engkau sehingga berani kau mengganggu aku! Melihat adanya para korban yang terdiri dari ponggawa-ponggawa pilihan, tentu engkau bersekongkol dengan orang yang ingin melihat Kerajaan Jenggala dan Panjalu menjadi lemah. Nah, kau katakan siapa orangnya yang bersekongkol denganmu!”
Diam-diam kakek ini terkejut. Kiranya cerdik pula wanita ini, dapat menduga dengan tepat. la tertawa terkekeh-kekeh.
“Kalau kau sakti mandraguna, awas paningal, tahu akan segala rahasia alam, melihat akan segala yang tergelar di jagad raya, tentu engkau tak perlu bertanya-tanya lagi.”
“Akan tetapi, kuberitahu juga tidak mengapa agar kau tidak mati dalam penasaran. Aku tahu bahwa engkau akan mati di tanganku, Endang Patibroto, maka kau dengarlah dulu baik-baik dan jangan kaget akan hal-hal yang tentu tidak akan kau sangka-sangka. Heh-heh-heh! Memang tanpa tedeng aling-aling aku mengaku bahwa para ponggawa itu kubunuh atas perintah orang. Bukan sembarang orang, melainkan calon maharaja besar yang akan, menguasai seluruh Panjalu dan Jenggala dijadikan satu! Dan untuk dapat menguasai kedua kerajaan ini, perlu sekali para penentangnya dan para penghalangnya disingkirkan lebih dulu untuk persiapan.”
“Hemmm, sudah kuduga. Kemudian kau dan sekutumu menghamburkan desas-desus bahwa akulah orangnya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji itu, bukan?”
“Heh-heh-hl-hi-hih! Itu akalku, Endang Patibroto. Akalku untuk memancing kau keluar mencariku. Akan tetapi kau ternyata penakut, tidak berani keluar sehingga terpaksa aku menyerang suamimu sebagai pancingan dan benar saja, kau datang menyerahkan nyawamu, hehhehheh!”
“Wiku jahanam, katakan siapa sekongkolmu itu!”
“Itu rahasia, heh-heh-heh, kau carilah sendIri. Tapi kau akan matl di sini, agar jangan menjadi setan penasaran, baik kuberitahu. Calon maharaja itu adalah Pangeran Darmokusumo di Panjalu.”
“Apa...?”
Endang Patibroto benar-benar kaget sekali karena tak pernah menduga. Pangeran Darmokusumo putera sang prabu di Panjalu? Ah, tidak mungkin! Pangeran Darmokusumo selain putera Sang Prabu Panjalu, juga putera mantu Sang Prabu Jenggala! Menikah dengan Puteri Mayagaluh, adik kandung Pangeran Panjirawit, suaminya! Mana mungkin ini?
“Engkau dukun lepus, engkau tukang tenung hina-dina,engkau pembohong rendah! Siapa percaya omonganmu?”
“Heh-heh-heh, bocah kemarin sore semacam engkau ini yang begini tolol mana percaya? Mana bisa melihat kenyataan? Pangeran Darmokusumo tidak suka melihat kerajaan menjadi dua, beliau hendak menguasai seluruh kerajaan, dijadikan satu, pulih kembali seperti jaman Kahuripan, jaman Mataram.”
“Tak mungkin ia mau membunuh-bunuhi ponggawa Jenggala, apa lagi ponggawa Panjalu sendirI. Kau mengadu domba.°
“Sesukamulah, Endang Patibroto. Kau memang tolol, tidak tahu isi hati orang. Ponggawa-ponggawa Jenggala yang penting harus disingkirkan karena kelak menjadi penghalang, termasuk engkau sendiri yang terutama Karena inilah beliau memilih aku yang memang ingin membunuhmu. Selama kau masih hidup, cita-citaku takkan tercapai. Maka rencana cerdik beliaulah yang mendesas-desuskan keadaanmu, mengatakan bahwa engkau yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, karena engkau murid Dibyo Mamangkoro si manusia iblis! Ha-ha-ha, rencana yang bagus sekali dan kelak kalau beliau menjadi maharaja, aku Sang Wiku Kalawisesa akan diangkat menjadi sesepuh kerajaan.”
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. Nafsu amarah sudah memenuhi hati Endang Patibroto, matanya berkilat-kilat dan dia mulai ragu-ragu akan kebersihan Pangeran Darmokusumo. Memang sejak kerajaan dibagi dua, selalu timbul ketegangan di antara kedua kerajaan bersaudara, bahkan dahulu sampai terjadi permusuhan, peperangan. Bukan tak bisa jadi kalau Pangeran Darmokusumo bercita-cita seperti itu, mempersatukan dua kerajaan, bila perlu dengan kekerasan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar