PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-03


“Uhh, itulah kebodohanmu! Ponggawa-ponggawa yang terbunuh itu, seperti Tumenggung Diroprono, Senopati Surabala putera Patih Suroyudo, termasuk mereka yang menentang cita-cita Pangeran Darmokusumo, mereka harus mati. Pangeran Darmokusumo sendiri yang memesan kepadaku untuk jangan sampai gagal membunuh engkau dan suamimu, heh-heh-heh, dan sekarang cita-cita beliau itu akan terlaksana...!
“Iblis laknat engkau, bukan aku, melainkan engkau yang akan mampus mendahului Darmokusumo!”
Kemarahan Endang Patibroto tidak tertahankan lagi. Kini ia makin percaya bahwa benar-benar Pangeran Darmokusumo hendak memberontak, dan yang lebih menjengkelkan lagi, berniat membunuh dia dan suaminya, kakak ipar pangeran itu sendiri.
Alangkah keji dan jahatnya! Tak boleh ia mendiamkan saja. Pangeran itu harus diseret di muka umum, dihajar dan dipaksa mengakui semua rencana pemberontakannya! Dalam kemarahannya, ia sudah mengeluarkan aji kesaktiannya, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang, hawa sakti terkumpul di tubuh, berputaran berupa hawa panas yang menjalar dan berputar-putar dari ujung kaki sampai di ubun-ubun kepala. Ia sudah siap menandingl kakek sakti ini.
Wiku Kalawisesa mengangkat tongkat hitamnya sambil terkekeh dan mengeluarkan bunyi mencicit seperti suara kelelawar, kemudian tiga benda hitam tiba-tiba terbang menyambar kepala Endang Patibroto. Itulah tiga ekor kelelawar yang semenjak tadi menggantung di bawah.
Mereka ini menerjang Endang Patibroto, di bawah sinar pelita yang remang-remang itu tampak mata binatangbinatang ini merah bersInar-sinar, mulut terbuka memperlihatkan gigi yang runcing, kuku-kuku melengkung terbuka siap mencakar.
Apa artinya serangan tiga ekor kelelawar bagi Endang Patibroto? Sungguh pun tiga ekor kelelawar itu besar-besar, sebesar kucing, namun tanpa merubah kedudukan kaki, hanya dengan gerakan tangan kiri saja tanpa menggerakkan tangan kanan yang bertolak pinggang, Endang Patibroto berhasil menampar tiga kali berturut-turut, gerakannya amat cepat dan tiga ekor kelelawar itu mencelat, terlempar dan terbanting pada dinding pondok! Akan tetapi, tiga ekor binatang itu sudah terbang lagi menyambar, seakan-akan pukulan dan bantingan itu tidak mereka rasakan sama sekali.
Endang Patibroto terkejut. Tamparan tangannya tadi cukup keras untuk membikin pecah kepala kerbau, bagaimana tiga ekor kelelawar itu hanya terlempar dan agaknya sama sekali tidak terluka? Ia mendengar kakek itu terkekeh dan sekarang, bersama tiga ekor kelelawarnya, kakek itu sudah menyerangnya dengan tusukan tongkat hitam ke arah dadanya.
Endang Patibroto lega melihat betapa gerakan menusuk kakek itu tidak terlampau cepat, sungguh pun amat kuat.
Mengertilah ia bahwa betapa pun sakti kakek ini, akan tetapi dalam hal ilmu silat tidaklah tangguh. Kakek ini hanya mengandalkan keampuhan aji ilmu hitam dan tenaga mujijatnya saja.
Dengan mudah dia mengelak sambil melangkah mundur, kemudian merendahkan tubuh membiarkan tiga ekor kelelawar itu menyambar lewat, kemudian dengan Aji Bayu Tantra tubuhnya mencelat ke depan, cepatnya melebihi seekor burung, dan tangannya sudah mengandung Aji Gelap Musti ketika dipukulkan ke dada Sang Wiku Kalawisesa.
“Dessss...!”
Pukulan ini tepat sekali, mengenai dada yang hanya tulang-tulang dibungkus kulit. Endang Patibroto dapat merasa betapa kepalan tangannya bertemu dengan tulang-tulang iga.
Akan tetapi anehnya, ada semacam hawa dingin yang menolak pukulannya, atau yang melindungi tulang-tulang itu sehingga tulang-tulangnya tidak remuk, hanya tubuh kakek itu yang terlempar ke dinding, dekat arca Bathara Kala.
“Aduuhhh... aduuhhh... aduuhhh...!”
Kakek itu mengeluh panjang pendek dan begitu tongkatnya menuding ke arah Endang Patibroto, segumpal asap hitam langsung menyambar. Asap ini tebal dan membawa bau apak seperti bau kelelawar.
Endang Patibroto miringkan tangan dan menampar dengan jari-jari terbuka, jari-jari yang mengandung Aji Pethit Nogo.
“Pyurrr...!”
Asap hitam yang bergulung tebal itu ambyar mawut, membubung ke udara, menerobos atap hitam dan lenyap. Ketika itu, tiga ekor kelelawar sudah menyambar lagi, lebih ganas dari pada tadi.
Endang Patibroto menjadi gemas, dua ekor dapat ia pukul terpental, yang seekor, paling besar dan yang tadi mengelilingi rumahnya, ia tangkap. Kedua tangannya lalu bergerak, mencengkeram sayap dan...
”Krek-krekkk...!” sepasang sayap binatang itu hancur berkeping-keping, dlcabik-cabiknya, kemudian tubuh binatang Itu dibantIngnya ke Iantai.
Tubuh yang sudah tidak bersayap itu terbanting, terpental, terbanting lagi seperti sebuah bola, kemudian menggelundung ke sudut, mengeluarkan bunyi mencicit aneh bagai orang mengerang dalam sekarat.
Binatang itu tidak mati, agaknya memiliki kekebalan luar biasa, akan tetapi tidak berdaya lagi karena sepasang sayapnya sudah hancur. Yang dua lagi datang menyambar.
Endang Patibroto kembali menangkap mereka, merobek-robek sayap mereka kemudian membanting tubuh mereka seperti tadi. Dua ekor kelelawar ini pun terguling ke sudut pondok,tak dapat menyerang lagi.
Dengan pandang mata mulai beringas, semangat dan kegembiraan bertanding mulai menggairah di hatinya, Endang Patibroto membalikkan tubuh, mencari Wiku Kalawisesa. Dilihatnya kakek itu berlutut memeluk kaki arca, mengeluarkan ucapan-ucapan mantera yang tak dimengerti maksudnya.
Dan yang paling mengejutkan adalah ketika ia melihat sepasang mata arca itu.
Dari sepasang mata itu keluar sinar kehijauan yang hebat dan menyilaukan mata! Tanpa disadari Endang Patibroto memandang sepasang mata arca itu dan ia seperti orang kena pesona, tubuhnya menjadi kaku dan ia tak dapat mengalihkan pandang matanya dari pada sinar mata hijau yang melekat pandang matanya itu!.
Pada saat itu pula perlahan-lahan Wiku Kalawisesa sudah bangkit dari berlutut, tertawa terkekeh-kekeh dan terhuyunghuyung menghampiri Endang Patibroto.
Tangan kirinya mencabut keris kecil sejengkal, tangan kanan mengangkat tongkat hitam tinggi-tinggi di atas kepala.
“Heh-heh-heh,...hi-hi-hih, bersiaplah mati kau Endang Patibroto... ha-ha!”
Endang hendak meloncat, akan tetapi kedua kakinya seperti lekat pada tanah, hendak menggerakkan tangan akan tetapi kedua lengannya seperti lumpuh, hendak membuang muka tapi tak mampu melepaskan sinar hijau itu.
Matanya perih dan lelah, amat lelah, mengantuk dan nikmat seperti kalau ia berada dalam dekapan suaminya. Suaminya! Tentu celaka kalau ia tidak segera menyelamatkan diri dari pada pengaruh kekuatan mujijat. Suaminya yang tercinta!
Endang Patibroto melihat dengan perasaannya bahwa Wiku Kalawisesa sudah datang dekat, ujung keris sudah makin dekat, siap menusuknya. Ia mengerahkan segala tenaga batinnya, membayangkan wajah gurunya Dibyo Mamangkoro yang tertawa terbahak-bahak, kemudian bagaikan sebuah bendungan air yang pecah, terdengar mulutnya mengeluarkan suara jerit melengking yang sama sekali tidak menyerupai jerit manusia, melainkan lebih mirip pekik auman harimau betina.
“Aaauuuuuhhhhhmmmmm...!”
Luar biasa sekali pekik ini, karena ini bukan sembarang pekik, melainkan Aji Sardulo Bairowo yang suaranya mampu melumpuhkan lawan yang tangguh. Akibatnya pun hebat karena tiga ekor kelelawar yang tadinya mencicit-cicit belum mati, sekarang berkelojotan, kaku dan... mati.
Kakek sakti Wiku Kalawisesa yang tadinya sudah menyeringai kejam, siap menusuk dada dan menghantam kepala Endang Patibroto seketika menjadi pucat dan terhuyung ke belakang, ke dekat arca Bathara Kala.
Akan tetapi yang amat menguntungkan bagi Endang Patibroto, pengaruh mujijat yang mempesonakannya tadi telah buyar, tidak mengikatnya lagi sehingga ia mampu bergerak seperti biasa. la maklum akan bahayanya sinar hijau dari mata arca itu, dan ia tahu bahwa ia tIdak boleh terlalu lama memandang sinar mata hijau itu. Ia meloncat ke depan dan menantang.
“Hayo, Wiku Kalawisesa dukun lepus pendeta sesat, kerahkan semua kesaktianmu! Inilah Endang Patibroto yang tak akan mundur setapak menandingimu. Akulah orangnya yang akan menamatkan riwayatmu yang kotor,mengirimmu ke asalmu menjadi intip neraka!”
Sumbar seperti ini sama sekali bukan terdorong oleh kesombongan, melainkan sebuah di antara taktik-taktlk pertandingan, karena sedikit banyak dapat melemahkan batin lawan, menimbulkan takut dan ragu.
Padahal,pantangan bagi orang yang menghadapi lawan berat adalah ragu dan gentar, yang dapat mengurangi kewaspadaan.
Wiku Kalawisesa yang sudah amat kecewa karena kemenangan yang sudah di depan mata itu meleset dan gagal, sedikit banyak menjadi gentar juga. Ia tahu apa artinya pekik dahsyat tadi.
Seorang yang sudah dapat memiliki aji seperti itu, bukanlah orang sembarangan.
Aji itu tidak mudah dipelajari, membutuhkan kematangan tenaga dalam dan harus pandai mengatur dan menguasai “getaran”.
Akan tetapi, teringat akan hikmat arca pujaannya yang lebih ia percaya dari pada segala apa di dunia ini, bahkan melebihi dirinya sendiri, bangkit kembali semangat kakek itu. Kini dia menerjang maju, gerakannya tidak cepat, tidak tergesa-gesa, bahkan perlahan-lahan seperti orang mengancam. Yang sangat mengejutkan hati Endang Patibroto adalah keris kecil sejengkal itu.
Dari keris ini memancar keluar sinar hijau yang mempengaruhinya seperti yang terpancar keluar dari sepasang mata arca Bathara Kala! Ia mundur-mundur dan mengambil kuda-kuda yang kuat untuk menghadapi lawan.
“Heh-heh-heh, kau takut, bocah sombong? Kau takut, ya? Heh-heh-heh, kau akan mati di ujung kerisku ini!” kata Wiku Kalawisesa yang dapat melihat bahwa lawannya agak gentar menghadapi kerisnya.
“Inilah keris pusaka Ki Kolokenaka! Inilah yang membunuh semua ponggawa, dan ini pula yang akan membunuhmu, lalu membunuh suamimu. Heh-heh!”
Hemm, keris ini berbahaya, pikir Endang Patibroto. Ia siap menanti terjangan lawan, awas terhadap kerisnya. Ia harus dapat menghalau keris itu, harus dapat merampasnya! Ia mundur-mundur memasang sikap, dua tumitnya berjungkit, lengan kiri ditekuk menyilang di depan dada, tangan kanan dlangkat tinggi di atas kepala, semua jari tangan terbuka.
Inilah gerak pembukaan Aji Wisang Nala! Tubuhnya dimasuki aji meringankan tubuh yang dulu ia pelajari dari ibunya, gerakan yang mengandung sari gerakan burung walet dan camar di Laut Kidul. Seluruh urat syaraf menggetar, siap dengan gerakan otomatis yang mendarah daging.
Serangan datang dengan tusukan keris disusul hantaman tongkat. Dahsyat sekali.
“Siuuutt... wussss...!”
Wiku Kalawisesa gelagapan. Tahu-tahu lawannya lenyap. la cepat membalik menurutkan gerak reflex dan perasaan dan ternyata lawannya sudah berada di belakangnya! Ia lalu menyerang bertubi-tubl, kinI cepat karena maklum bahwa lawannya ini memiliki gerakan cepat sekali melebihi burung walet.
Endang Patibtoto melejit ke sana ke sini, gerakannya cepat sekali, namun diam-diam ia mengeluh karena sinar hljau keris itu benarbenar ampuh sekali, seakan-akan menghalangi gerakannya,membuat ia silau dan canggung.
Ketika untuk ke sekian kalinya tongkat menghantam ke arah kepala, dia miringkan tubuh membiarkan tongkat lewat di dekat pundaknya, kemudian secepat kiIat tangan kanannya menangkap pergelangan tangan kiri lawan yang memegang keris. Dia harus merampas keris ampuh ini sebelum dia celaka! Dengan mengerahkan tenaga sakti, jari-jari tangan kanan yang penuh dengan Aji Pethit Nogo ini mencengkeram pergelangan tangan lawan.
Ajl Pethit Nogo adalah aji ciptaan eyangnya, ayah dari ibunya, yang bernama Resi Bhargowo atau Bhagawan Rukmoseto. Hebatnya bukan kepalang.
Dengan aji ini, tangan yang halus itu dapat meremas hancur batu karang yang kuat! Kini ia mencengkeram pergelangan tangan Wiku Kalawisesa, tak mau melepaskannya lagi.
Sang wiku mengaduh-aduh, memekik-mekik berusaha melepaskan cengkeraman, namun sia-sia. Dengan marah tongkatnya menyambar kepada Endang Patibroto, mengarah kepala,dari atas ke bawah. Endang Patibroto tidak mau melepaskan cengkeramannya, bahkan menambah tenaganya, sambil miringkan tubuh.
“Krekkkk...! Dessss...!”
Bersamaan detik terjadinya! Pergelangan kiri Wiku Kalawisesa hancur tulangnya, dan keris Ki Kolokenaka terampas oleh Endang Patibroto, akan tetapi pukulan tongkat hitam itu meleset dan mengenai pundak wanita sakti ini.
Endang Patibroto terlempar menabrak arca Bathara Kala. Ia pening, pundaknya seperti remuk,membuat lengan kirinya sementara lumpuh. Ia bersandar kepada arca, terengah-engah.
“Augg... aduhh... tanganku...”
Wiku Kalawisesa mengaduh-aduh, menyumpah-nyumpah, kemudian melangkah maju dan mengayun tongkat.
Endang Patibroto maklum akan datangnya bahaya, berusaha mengelak, namun tubuhnya tidak dapat digerakkan. Punggungnya yang menempel arca seperti lekat pada arca„ atau seolah-olah ada tenaga mujijat yang keluar dari tubuh arca itu yang menahannya! Tongkat sudah datang, mengarah kepalanya! Endang Patibroto meronta, dapat bergerak miring, namun pundaknya masih lekat.
Terpaksa ia mengangkat lengan kanannya yang memegang.keris, menangkis tongkat dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga dalam yang didasari hawa sakti yang kuat.
“Dukk...!“
Wiku Kalawisesa terpental mundur, terhuyung-huyung ke belakang.
Lengan kiri yang sudah remuk tulangnya itu tergantung lumpuh. Ia marah sekali,matanya mendelik marah, mulutnya mengeluarkan busa di kanan kiri, hidungnya yang panjang dan melengkung seperti hidung betet itu mekar, mendengus-dengus.
Kemudian ia mengerahkan seluruh tenaga, perlahanlahan mengangkat tongkat ke atas kepala, tidak tergesa-gesa karena calon korbannya sudah tak berdaya, tak mampu melepaskan diri dari arca, seperti seekor lalat yang terjaring lekat di jala sarang laba-laba. Ia tidak tergesa-gesa, harus memukul yang tepat, sekall pukul membinasakan lawan.
Terbelalak Endang Patibroto memandang. Maklum bahwa jiwanya berada dalam bahaya. Karena tubuhnya tak dapat terlepas dari arca, akhirnya ia tentu akan kena pukul. Wanita sakti ini memutar otak, mengingat ucapan gurunya, Dibyo Mamangkoro.
Hancurkan dahulu kesaktian arca Bathara Kala, baru kesaktian pemujanya akan punah, demikian pesan gurunya.
la melirik ke atas, tampak betapa sinar kehijauan yang memancar keluar dari sepasang mata arca Itu makin terang bercahaya, seakan-akan mengeluarkan api hijau.
Dan keris di tangannya pun semakin terang cahayanya. Ia mengerahkan seluruh tenaga batlnnya, bibirnya berkemak-kemik membaca mantera seperti yang diajarkan gurunya untuk melawan kekuasaan ilmu hitam yang ampuh, kemudian... secepat kilat keris di tangan kanannya bergerak, menusuk mata arca itu, dua kali berturut-turut pada sepasang mata yang bercahaya hijau.
“Cesss...! Cesss...!”
Terdengar suara seperti api tersiram air dan tampak asap putih tebal bergulung-gulung keluar dari sepasang mata arca! Dan... sinar hijau lenyap, baik dari kedua mata mau pun dari keris kecil.
Saat itu, tongkat di tangan Wiku Kalawisesa sudah melayang datang, akan tetapi tiba-tiba terhenti di tengah jalan dan mata kakek itu terbelalak memandang patung, mulutnya celangap dan keluar rintihan dan tangisan dari dalam mulut.
Endang Patibroto menggerakkan tubuh, kini tidak ada lagi kekuasaan hitam menahannya. la meloncat dan melempar keris kecil ke sudut, tangannya dikepal dan dengan tenaga dahsyat ia menghantam ke arah... kepala arca.
“Darrr...!”
Kepala itu meledak, hancur berkeping-keping dihantam tangan sakti dengan Aji Gelap Musti, seolh-olah disambar geledek. Dan pada saat itu, perut patung yang besar, berikut kaki tangannya, mengeluarkan bunyi gemuruh seperti Gunung Bromo mengamuk.
Endang Patibroto mencelat mundur dan cepat melesat keluar pondok pada saat tubuh patung meledak.
“Blaaarrrr...!” Pondok itu hancur, atapnya terbang entah ke mana, dinding bambu hancur berkeping-keping.
Tubuh Wiku Kalawisesa terlempar keluar pondok, jatuh terbanting bergulingan.
Kakek itu mengaduh tubuhnya sakit-sakit. Namun ia memiliki kekebalan sehingga tidak terluka hebat. Dengan satu lengannya yang maslh waras, ia memegang tongkat hitam, ia merangkak bangun dan berdiri. Lengan kirinya tetap lumpuh, pergelangan yang remuk tulangnya mulai menggembung besar.
Wajahnya pucat, matanya beringas, kemarahan dan kedukaan bercampur dengan rasa takut ketika ia melihat Endang Patibroto melangkah menghampirinya sambil tersenyum. Senyum yang dingin, sedingin tengkuknya yang meremang karena gentar.
“Engkau masih belum mati, Wiku Kalawisesa? Mari kita selesaikan.”
Habis harapan Wiku Kalawisesa. Ia takut sekali dan karena tidak melihat jalan keluar, ia menjadi nekat. Sambil menggereng macam serigala tersudut, ia menubruk maju, tongkat di tangannya menghantam.
Tetapi dengan tenang Endang Patibroto menanti sampai tongkat dekat, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya dimiringkan, kakinya digeser lalu melangkah maju dari samping, tangan kanannya menyambar dan…
“Desss...!”
Lengan kanan kakek itu terpukul dari samping, membuat tongkatnya terlempar entah ke mana. Kemudian sebuah tamparan tangan kiri Endang Patibroto disertai Aji Pethit Nogo membuat kakek itu langsung terpekik dan terbanting roboh, terengah-engah, tangan kanan memegangi kepala yang disambar geledek, napasnya hampir putus. Ia merangkak duduk, berusaha bangkit akan tetapi tidak kuat dan ambruk terduduk lagi.
“Keparat..., Endang Patibroto, sempurnakanlah (bunuhlah) aku...!”
Endang Patibroto tersenyum menyindir. “Terlalu nyaman bagimu. Kau harus merasakan hasil perbuatanmu yang terkutuk!” Endang lalu membungkuk, mengambil sekepal tanah lempung, dikepalkepal agar lunak sambil memandang lawan, bibirnya masih tersenyum manis akan tetapi pandang matanya dingin. Kakek itu mengangkat muka, melihat wanita itu, terbelalak matanya.
“Apa... apa yang akan kau lakukan...?”
“Seperti apa yang kau lakukan terhadap suamiku,terhadap ponggawaponggawa lainnya.”
Pucat wajah Wiku Kalawisesa, kemudian la terkekeh menutupi rasa ngerinya.
“He-he-heh, kau takkan mampu...”
Endang Patibroto tak menjawab, melainkan duduk di atas tanah, tiga meter jauhnya dari kakek yang ketakutan,duduk bersila sambil membentuk lempung Itu menjadi boneka, boneka yang menyerupai Wiku Kalawisesa.
Setelah jadi, tiba-tiba saja tubuhnya dengan masih bersila mencelat ke arah kakek itu yang merasa, kepalanya sakit dan sekali lagi Endang Patibroto berkelebat, kembalI ke tempat semula dalam keadaan duduk bersila, segumpal rambut kakek itu di tangannya.
Wiku Kalawisesa tercengang kagum. Ahh, dla sungguh tidak tahu diri, pikirnya. Dia terlalu memandang rendah wanita ini. Pantas saja adik seperguruannya, Cekel Aksomolo tewas di tangan wanita ini, dan diapun tentu akan tewas.
Kiranya wanita ini sedemikian saktinya. Dapat melompat dalam keadaan duduk adalah perbuatan yang langka bagi orang yang tidak memiliki kesaktian tinggi sekali. Ia tidak penasaran lagi kalau roboh di tangan wanita sakti ini. Hanya rasa penasaran karena tidak tercapai maksudnya membalas dendam. Akan tetapi, ia tidak kehilangan kecerdikannya dan kembali ia terkekeh.
Siapa bilang maksudnya tak tercapai? Tunggulah kau, Endang Patibroto, pembalasanku akan tiba juga!
Akan tetapi suara ketawanya lenyap ditelan kengerian ketika ia melihat Endang Patibroto mencabut tusuk konde. Rambutnya sudah dipasangkan pada boneka itu.
Endang Patibroto duduk bersila dan bersamadhi sebentar, meramkan mata, mulut masih tersenyum, kemudian tubuhnya gemetar dan mata dibuka, ia menggerakkan tusuk konde mendekati kaki kanan boneka.
“Jaga kaki kananmu, Wiku Kalawlsesal”
“Kau takkan mampu!” kakek itu mendengus marah.
“Kau lihat saja. Rasakanlah!”
Tusuk konde ditusukkan ke paha kaki kanan boneka. Sang wiku mengerahkan kesaktian menolak. Endang Patibroto merasa betapa kaki boneka itu mengeras, akan tetapi iapun mengerahkan kesaktian, terus menusuk. Setelah mengadu kekuatan batin, akhirnya...
“Blesss…!” paha kanan boneka itu tertusuk dan darah mengucur keluar.
“Aaaugggghh...I”
Wiku Kalawisesa mengaduh, tangan kanan yang masih dapat bergerak memegangi paha kanannya yang bercucuran darah.
“Sekarang paha kiri, wiku bedebah, manusia berhati iblis!”
Kembali Endang Patibroto menusuk, sekali ini lawannya tidak menahan karena maklum akan sia-sia usahanya itu.
“Blessss…!”
Dan paha kiri boneka itu tertusuk, berdarah seperti juga paha kanan Wiku Kalawlsesa.
“Aduhh... bunuh saja aku, Endang Patibroto!”
“Enaknya...! Rasakan hasil kekejianmu sendiri.Awas lenganmu!”
Kembali Endang Patibroto menusuk lengan kanan lalu lengan kiri. Kaki tangan kakek itu mengucurkan darah segar dan ia pun mengeliat-geliat, mengaduh-aduh dan merintih-rintih minta mati.
“Ja... jangan lanjutkan... jangan tusuk lagi... kau pukul matilah aku, Endang...!”
“Apa? Kau merasa tersiksa? Tak ingatkah akan para ponggawa yang kau bunuh? Tidak ingatkah akan penderitaan suamiku? Ya, suamiku yang hendak kau bunuh itu? Rasakan sekarang, perlahan-lahan kutusuk dadamu...!“
“Aduh, ampun, Endang Patibroto! Ampunkan aku seorang tua... hu-huhuuhh...”
Kakek itu menangis saking takutnya!
Endang Patibroto menahan tusuk kondenya di kulit dada boneka.
“Ampunkan? Betapa mudahnya minta ampun. Hayo katakan, jangan bohong, siapa yang menyuruhmu? Aku masih tidak percaya akan semua keteranganmu tadi. Katakan siapa sekongkolmu? Siapa menyuruhmu membunuh suamiku? Membunuh para ponggawa?”
“Sudah kukatakan,... kepadamu... tiada lain... Pangeran Darmokusumo...”
“Bohong!”
“Demi dewata...”
“Kau tidak mengindahkan para dewata!”
“Demi Hyang Widhi...”
“Manusia macam kau tidak takut Hyang Widhi!”
“Aduh, ampun, aku tidak membohong Endang Patibroto. Benar Pangeran Darmokusumo yang menyuruhku...”
“Sekali lagi, jangan bohong! Lihat tusuk kondeku siap menusuk. Katakan sebenarnya, bila kau mengaku, mungkin aku dapat mengampunimu!” Endang Patibroto membujuk.
“Bukan orang lain, tetapi Pangeran Darmokusumo seorang. Demi Sang Hyang Bathara Kala... aku bersumpah...!”
Lega hati Endang Patibroto, sebab ia tidak lancang dan sembrono. Setelah kakek pemuja Bathara Kala ini bersumpah demi Bathara Kala, agaknya ia tidak berbohong.
Si keparat Pangeran Darmokusumo! Dengan gemas ia menusukkan tusuk kondenya di ulu hati boneka itu.
“Aauuuurrrghh...!”
Wiku Kalawisesa roboh tergelimpang. Dari dadanya mengucur darah segar. Dua matanya mendelik dan aneh sekali, pada saat terakhir itu, ia terkekeh.
“Heh-heh-heh-hih-hik, Endang Patibroto. Aku akan membalas dendam kepadamu! Akan kuhancurkan kau, suamimu, rumah... ha-ha-ha,... tunggu... kau tunggu pembalasanku...!” Dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat.
Endang Patibroto melemparkan membersihkan tusuk kondenya dan memakainya lagi di rambutnya. Kemudian ia meloncat dan berkelebat lenyap diteIan kegelapan malam.
Sambil berloncatan Endang Patibroto berpikir. Keparat si Pangeran Darmokusumo! Kejam benar hatimu. Demi tercapainya cita-cita, tega benar membunuhi para ponggawa setia. Bahkan tega hendak membunuh Pangeran Panjirawit, kakak iparnya sendiri. Kalau aku pulang dan menceritakan hal ini kepada suamiku, tentu dia tidak akan percaya. Dan celakalah kalau sampai ketidak-percayaan menguasai hati suamiku. Ketidak-percayaan pangkal keruntuhan cinta.
Tidak baik menaruh ganjalan hati. Lebih tepat sekarang juga bertindak sebelum keadaan terlampau parah. Ia dapat menyelinap ke Kerajaan Panjalu, akan ditangkapnya, Pangeran Darmokusumo, dipaksanya supaya mengakui segala perbuatannya yang laknat.
Kalau sudah begitu terserah keputusan Sang Prabu Panjalu terhadap puteranya.
Akan tetapi ia akan bebas dari pada tuduhan, akan tercuci bersih namanya. Tiada jalan lain, Wiku Kalawisesa sudah mati. Percuma saja ia jadikan bukti atau saksi.
“Heh, sira (kamu) Pangeran Darmokusumo! Awaslah engkau, aku tak akan mendiamkan saja ulah tingkahmu memburuk-burukkan namaku dan terutama sekali hendak membunuh suamiku. Pangeran Darmokusumo, jangan kaget. Endang Patibroto yang akan membuka kedokmu!”
Makin cepat tubuhnya berkelebat, mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya lenyap hanya tampak bayangan seperti bayangan seekor garuda melayang di angkasa.
“Nini bocah ayu, siapakah engkau?” tanya Ki Patih Bratamanggala dengan sikap tenang dan sabar sambil menatap Suminten yang duduk bersimpuh di depannya dan menangis.
“Hamba Suminten, gusti patih, hamba adalah abdi dalem, pelayan dari Gusti Pangeran Panjirawit.”
Suminten menyembah dan berkata dengan suara gemetar. Ki Patih yang sudah berusia lima puluh tahun lebih itu mengerutkan keningnya, kemudian sambil memandang penuh selidik bertanya,
“Heh, Suminten. Apa kehendakmu di pagi hari buta ini memaksa para pengawal, mohon menghadap kepadaku?”
Hari itu masih pagi sekali, Ki Patlh Bratamenggala baru saja bangun tidur ketika kepala pengawal menghadap dan menyatakan bahwa ada seorang gadis remaja memaksa untuk minta menghadap karena urusan yang amat penting.
Dari sikap pengawal ini, ki patih tahu bahwa tentu pengawal ini sudah mendengar akan urusannya dan mempertimbangkan bahwa hal itu amatlah pentingnya sehingga ia berani menyampaikan permohonan si gadis.
“Ampun beribu ampun, gusti. Hamba telah berani mengganggu paduka di pagi hari ini. Akan tetapi kepada siapakah gerangan hamba harus melaporkan peristiwa mengerikan semalam kalau tidak kepada paduka? Hamba tidak berani menghadap gusti prabu.”
Berdebar jantung ki patih. Tadi malam dia sudah mendengar akan berita dahsyat yang mengabarkan tentang kematian Ki Demang Kanaroga, kematian yang mengerikan, seperti terjadi pada diri Tumenggung Wirodwipo dan yang lain-lain.
Mengerikan sekali, berdarah sampai mati tanpa luka. Berita apa pula yang dibawa gadis ini, yang lebih mengerikan dari pada peristiwa kematian Demang Kanaroga? Dia sedang bingung dan pusing serta gelisah memikirkan kematian-kematian.itu, dan kini di pagi hari buta gadis ini mengganggunya dengan urusan tetek-bengek.
“Hemm, bocah ayu, tahukah kau bahwa bukan main-main menghadap dan mengganggu waktuku di pagi hari begini? Ceritakanlah dan berdoalah bahwa ceritamu cukup penting agar kau tidak membikin marah kepadaku.”
Suminten tidak takut. la merasa yakin bahwa ceritanya amat penting, dan bahwa sudah bulat tekatnya untuk menyampaikan berita ini kepada ki patih. Hanya inilah yang dapat dilakukan seorang pelayan rendah seperti dia,hanya inilah yang dapat ia lakukan untuk melampiaskan iri hati dan cemburu, melampiaskan duka karena tidak mendapat perhatian Pangeran Panjirawit yang dicintanya.
“Ampun, gusti patih. Semalam, tanpa hamba sengaja, hamba telah menyaksikan sesuatu yang sangat hebat, perbuatan mengerikan dan menyeramkan yang dilakukan oleh... gusti puteri...!
“Gust! puteri...?”
“Garwa (isteri) gusti pangeran,” Suminten membenarkan.
“Isteri Sang Pangeran Panjirawit?” Ki patih tertarik. Tentu saja ia tertarik sekali mendengar sesuatu tentang isteri pangeran itu, tentang Endang Patibroto, wanita sakti bekas kepala pengawal Jenggala sepuluh tahun yang lalu, yang telah menggegerkan seluruh kerajaan. “Apa yang beliau lakukan?”
“Hamba... iihh, hamba masih ngeri bila mengenangkan semua itu...!” Suminten menggigil. “Tanpa sengaja hamba telah melihat gusti puteri bercengkerama dengan gusti pangeran, kemudian gusti puteri membuat sebuah boneka Si Petak...”
“Siapa Si Petak?”
“Ayam kelangenan (kesayangan) gusti pangeran. Kemudian gusti puteri mengambil tusuk kondenya dan ditusukkan paha ayam itu dan...”
“Dan bagaimana?” Ki Patih Bratamenggala makin tertarik, sampai-sampai terbungkuk dari kursinya agar lebih dekat dengan gadis itu dan lebih jelas mendengar penuturannya.
“Terdengar Si Petak memekik dan... ketika kemudian hamba melihat ke kandang... paha Si Petak itu berdarah seperti ditusuk, padahal tidak ada lukanya sama sekali...”
“Nanti dulu!” Ki patih membentak keras sampai Suminten terkejut. Wajah patih itu menjadi pucat, tangan yang memegang lengan kursi menggigil. “Coba ceritakan lagi dengan jelas!”
Maka Suminten lalu bercerita lagi, tidak gugup macam tadi, diceritakannya semua tentang perbuatan Endang Patibroto menusuk boneka ayam putih dan betapa akibatnya ayam itu bercucuran darah pahanya.
Berdebar jantung Ki Patlh Bratamenggala. Kiranya tidak kosong desas-desus itu!
Desas-desus yang mengatakan bahwa semua pembunuhan yang terjadi atas diri para ponggawa Jenggala dan Panjalu merupakan perbuatan Endang Patibroto. Apa maksudnya gerangan? Tentu tersembunyi niat buruk. Perlu segera dilaporkan kepada sang prabu, sekarang juga!
Setelah menyuruh Suminten menanti, dengan tergesa-gesa Ki Patih Bratamenggala lalu berdandan, kemudian dia membawa Suminten pergi ke istana, menghadap Sang Prabu Jenggala.
Di depan sang prabu yang mendengarkan dengan kening berkerut, berceritalah Ki patih tentang apa yang didengarnya dari Suminten.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar