PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-06
“Teja-teja sulaksana! Siapakah gerangan andika, seorang wanita cantik menangis seorang diri di antara sekian banyaknya mayat?”
Endang Patibroto yang sedang menangis sambil memeluki tubuh suaminya,
mengangkat muka dan menengok. Matanya membendul merah karena tangis,
kini mengeluarkan sinar yang beringas dan liar.
Sejenak ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya, membuat
Klabangkoro undur dan ngeri, kemudian Endang Patibroto turun dari gubuk
itu dan berkata, suaranya serak karena terlalu banyak menangis,
“Semua orang harus mati, mengikuti suamiku!” bentaknya sambil melangkah maju.
Sindupati tersenyum, senyumnya yang selalu dapat meruntuhkan hati
wanita, baik ketika ia masih muda menjadi senopati di Jenggala dahulu
mau pun sekarang setelah ia berada di Blambangan.
Banyak wanita Blambangan, termasuk puteri adipati sendiri, jatuh hatinya
oleh senyum itu. Akan tetapi Endang Patibroto hanya memandang dengan
mata mendelik marah.
“Aih-aihh, tidak begitu mudah, wong ayu!” katanya sambil bersiap karena maklum betapa saktinya wanita ini.
Endang Patibroto mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya langsung
menerjang, dengan tangan kanan menghantam ke kepala Sindupati. Lawannya
mundur sambil mengerahkan tenaga mengibas, menangkis.
“Dukkk...!”
Raden Sindupati terhuyung mundur sampai tiga langkah, terkejut bukan
kepalang karena lengan wanita itu mengeluarkan tenaga dahsyat dan hawa
panas.
Juga Endang Patibroto terheran. Laki-laki itu dapat menangkis pukulannya
Gelap Musti? Baik, semakin tangguh lawannya semakin baik pula, pikirnya
dan timbul kegembiraannya bertanding. la lalu menerjang lagi. Kali ini
Sindupati mengelak dengan gerakan yang cepat sekali sehingga kembali
Endang Patibroto tertegun.
Pada saat itu sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau dari kanan
kiri Klabangkoro dan Klabangmuko menerjang maju, menghantam dengan
kepalan tangan mereka sebesar buah kelapa muda! Antep dan keras sekali
pukulan mereka, seperti serudukan celeng (babi hutan).
Tapi dengan cekatan Endang Patibroto dapat mengelak, bahkan menyambar
dan berhasil menepuk pundak Klabangkoro dengan ujung jari tangan. Biar
pun hanya menepuk karena tangannya tidak sampai, namun ujungujung jari
itu mengandung Aji Pethit Nogo, maka tubuh Klabangkoro terguling masuk
ke selokan, mukanya berlumur lumpur! Ia kaget dan terbelalak, lalu marah
dan bangkit kembali Klabang muko, seperti kakaknya, memiliki aji
kekebalan Lindungseto sehingga tidak tedas tapak paluning pande sisaning
gurindo (tidak mempan senjata tajam), akan tetapi tepukan jari tangan
Endang Patibroto membuat kulit pundaknya pedas panas dan tulang
pundaknya linu!
Pertandingan itu berlangsung seru. Sepak terjang Klabangkoro dan
Klabangmuko seperti dua ekor celeng goteng yang marah membabi-buta,
tenaga mereka besar dan pukulan-pukulan mereka walaupun tidak akan
menimbulkan luka dalam, namun cukup berbahaya bagi kulit Endang
Patibroto yang halus.
Ada pun gerakan Sindupati amat cepat, bagai seekor trenggiling, ada
kalanya bergulingan dan memang dia adalah ahli Aji Trenggiling Wesi,
yaitu semacam ilmu silat mendasarkan gerakan bergulingan lalu dari bawah
mengirim tendangan-tendangan kilat atau kadang-kadang meloncat dan
mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Endang Patibroto semakin gembira. Sudah lama ia tidak bertemu tanding
yang tangguh. Wiku Kalawisesa tidak termasuk lawan yang tangguh mengenai
ilmu berkelahi, sungguh pun ilmu hitam kakek hitam Itu berbahaya.
Kini Endang Patibroto mempergunakan ilmunya, gerakannya seperti burung
walet, kedua tangannya mengandung aji yang amat ampuh, yang kanan
dikepal mengandung Aji Gelap Musti ajaran Dibyo Mamangkoro, dan yang
kiri terbuka, jari-jarinya mengandung Aji Pethit Nogo ajaran
kakeknya,mendiang Resi Bhargowo!
Hebat bukan kepalang gerakannya, cepat tak dapat diikuti pandang mata,
hanya tampak bayangannya berkelebat menyambar ke sana ke mari.
Tiga orang tokoh Blambangan itu terdesak hebat.
Klabangkoro roboh terguling-guling ketika kena serempet pukulan Gelap
Musti, untungnya hanya terserempet pada pundaknya saja, akan tetapi
tulang pundak serasa remuk.
Klabangmuko juga roboh terpental oleh tendangan kaki Endang Patibroto,
untung Aji Lindungseto membuat ia tidak terluka. Raden Sindupati yang
dianggap lawan terberat oleh Endang Patibroto didesak sampai tak mampu
balas menyerang. Betapa pun tubuhnya bergulingan, selalu dikejar dan
dibayangi pukulan-pukulan maut sehingga ia terengah-engah dan wajahnya
berubah pucat.
Tiba-tiba sinar terang menyambar dari kiri. Endang Patibroto maklum
bahwa lawannya menggunakan senjata.Golok di tangan Klabangkoro yang
menyambar itu dielakkan dan terpaksa ia mengurangi tekanannya pada
Sindupati karena pada saat yang hampir bersamaan, golok Klabangmuko juga
menyambar, membabat ke arah pinggangnya.
Dua serangan sekaligus. Ia mengelak,miringkan tubuh dan meloncat ke atas
ketika golok ke dua membabat pinggang. Dari atas ia lalu menerjang
Sindupati yang sudah mencabut kerisnya. Keris ini mengeluarkan sinar
hijau, keris Nogo-kikik berlekuk tujuh dengan gandhik berbentuk kepala
anjing serigala. Ada hawa dingin terbawa oleh keris ini.
Namun Endang Patibroto sudah menggerakkan kakinya, dari depan membuat
gerakan melingkar, kemudian dari samping ia menendang dengan tumit
kakinya mengenai pergelangan tangan lawan.
Sindupati berseru keras dan meloncat menghindarkan tangannya, akan tetapi tusukannya gagal.
Baru saja kaki Endang Patibroto sudah menginjak tanah, kembali dua buah
golok menyambar, menyilang dari kanan kiri. Endang Patibroto membiarkan
dirinya terancam golok, agaknya ia memang memasang diri untuk dimakan
golok yang menyambar dari kanan kiri!
Sesuai dengan rencana Sindupati, memang sedapat mungkin kakak beradik
itu akan membunuh Endang Patibroto. Kalau ternyata wanita itu terlalu
sakti dan kuat, barulah dijalankan siasat selanjutnya.
Maka kini melihat betapa golok mereka agaknya akan berhasil mengenai
sasaran, kedua kakak beradik ini menjadi girang sekali. Merupakan
pantangan bagi ahli silat untuk terlalu terburu nafsu dan terseret
perasaan. Takut, gentar atau girang mabuk kemenangan merupakan
titik-titik kelemahan.
Karena kegirangan ini, Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi kurang
waspada, tidak dapat melihat bahwa wanita itu agaknya sengaja memasang
diri untuk dimakan golok dari kanan kiri, suatu hal yang sama sekali
tidak wajar dalam perkelahian.
“Awasss...!” teriak Sindupati yang lebih matang dalam siasat pertempuran, tapi terlambat.
Pada setengah detik terakhir, Endang Patibroto yang berada di tengah itu
merendahkan diri, kedua tangannya menangkap ke atas, tepat pada
pergelangan tangan kedua lawan yang memegang golok, ‘meminjam’ tenaga
bacokan mereka menarik mereka saling bacok sendiri dan pada detik
berikutnya, ia menggantung pada kedua lengan sambil menendang dengan
kedua kaki ke kiri kanan, tepat mengenai perut gendut kedua lawan.
“Blekk! Blekk!”
“Aduuhh...! Auggh...!”
Kedua orang raksasa Blambangan itu terjengkang ke belakang, golok
terpental dan pundak mereka berdarah terkena bacokan saudara sendiri!
Masih untung bahwa kekebalan mereka membuat golok itu meleset dan hanya
melukai kulit dan sedikit daging pundak, akan tetapi tendangan pada
perut itu membuat perut mereka seketika mules sekali.
Mereka menggeh-menggeh (terengah-engah) memegangi perut sambil menyeringai mirip kuda kedinginan.
Endang Patibroto hendak menerjang Sindupati, akan tetapi orang itu sudah
mengangkat tangan kanan ke atas dan Endang Patibroto menunda
serangannya, melihat dengan mata tajam ke arah pasukan sebanyak puluhan
orang yang datang berbondong-bondong dari tempat sembunyi.
“Bagus! Lebih banyak yang mati men jadi pengiring suamiku lebih baik!”
bentak Endang Patibroto dan tubuhnya sudah siap menerjang.
“Tahan dulu...!”
Tiba-tiba terdengar suara parau besar dan majulah seorang raksasa yang
tubuhnya amat kuat dan kokoh, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.
“Gusti Endang Patibroto... Gusti puteri...! Ahh, kiranya padukakah ini?”
Endang Patibroto memandang dengan mata merah. Ia merasa kenal dengar
raksasa ini akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan. Dengan wajah dingin
ia membentak,
“Siapa engkau?”
Ki Brejeng lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Duhai gusti puteri Endang Patibroto...! Lupakah paduka kepada hamba? Hamba adalah Ki Brejeng...”
Berkerut kening Endang Patibroto. Nama ini pun tidak asing baginya.
“Brejeng...?” Suaranya berbisik.
“Ya, hamba Ki Brejeng, pelayan guru paduka, Senopati Dibyo
Mamangkoro...!. Lupakah paduka ketika di Pulau Iblis hamba mengajak
paduka bermain-main...?”
Teringatlah kini Endang Patibroto, matanya berkejap-kejap memandang
penuh perhatian, terbayang semua peristiwa pada waktu dia masih kecil
dahulu, bersama gurunya Dibyo Mamangkoro. Ya, Ki Brejeng temannya
bermain-main di pulau itu.
“Gusti puteri, kita orang-orang sendiri, bukan musuh... Ah, kenapa gusti sampai menjadi begini...?”
Mendengar suara yang menyatakan belas kaslhan ini, tak tertahan lagi air
mata Endang Patibroto jatuh berderai, ia terhuyung maju, berlutut di
depan Ki Brejeng lalu merangkul pundak raksasa itu, menaruh muka pada
dada yang bidang itu sambil menangis.
“Aduh... paman Brejeng...!” keluhnya.
Ki Brejeng merangkul pundak wanita Itu, menepuk-nepuk punggungnya,
teringat ia dahulu ia seringkali mengendong wanita itu di waktu masih
kecil dan tak terasa lagi sepasang mata raksasa yang keras hati ini
menjadi basah.
Setelah tangis Endang Patibroto mereda, Ki Brejeng lalu berkata halus dan parau,
“Tenanglah, gusti puteri dan mari saya perkenalkan dengan kawan-kawan
ini. Sudah lama sejak guru paduka tewas, hamba melarikan diri ke
Blambangan dan bekerja mengabdi kepada Adipati Blambangan. Hamba ikut
dengan pasukan Blambangan ini, di bawah pimpinan Raden Sindupati untuk
menyelidil keadaan Panjalu dan Jenggala. Marilah gusti...”
Endang Patibroto bangkit berdiri dan Raden Sindupati cepat melangkah maju kemudian member! hormat.
“Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami.Sungguh saya menyangka
bahwa andika adalah puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal di
seluruh dunia! Melihat andika bersama mayat-mayat prajurit Jenggala,
kami menyangka andika adalah musuh. Maafkan saya Sindupati dari
Blambangan.”
Kalau tidak ada Ki Brejeng di situ, tentu Endang Patibroto tidak sudi
berbicara dengan orang-orang Blambangan. Sikapnya masih angkuh ketika ia
bertanya.
“Hemm, kalian orang-orang Blambangan mengapa berada di sini?”
Raden Sindupati tersenyum dan kembali memberi hormat.
“Seperti telah dikatakan paman Brejeng tadi, kami bertugas untuk
menyelidiki keadaan Jenggala dan Panjalu. Kami banyak mendengar hal-hal
aneh sekali yang membayangkan betapa kacau keadaan Jenggala! Hamba
mendengar betapa Raja Jenggala menangkap puteranya sendiri, tanda bahwa
Kerajaan Jenggala sedang mendekati kehancurannya! Blambangan telah lama
mencita-citakan untuk menyerbu Jenggala, untuk membalas atas penumpasan
Adipati Nusabarung.”
Akan tetapi mendengar peristiwa suaminya disebut-sebut, Endang Patibroto teringat akan suaminya dan ia berkata,
“Suamiku, Pangeran Panjirawit telah meninggal dunia...”
“Ya Jagad Dewa Bathara... l”
Raden SIndupati berseru kaget dan di dalam suaranya terkandung iba hati.
Akan tetapi Endang Patlbroto sudah menangis lagi dan berlari memasuki
gubuk, tidak mempedulikan lagi kepada pasukan Blambangan. Raden
Sindupati lalu memberi isyarat kepada Ki Brejeng yang menghampirinya,
lalu raksasa Itu dibisiki.
Ki Brejeng berulang-ulang mengangguk,kemudlan perlahan-lahan memasuki
gubuk. Dia memang kasihan kepada Endang Patibroto, maka suaranya
menggetar ketika berkata,
“Gusts puteri, yang sudah matl tidak perlu terlalu ditangIsl, tidak baik
untuk perjalanan ke alam asal. Lebih baik kita merawat dan melakukan
penyempurnaan jenazah gusti pangeran suami paduka. Biarlah, serahkan
saja kepada Ki Brejeng dan kawan-kawan dari Blambangan, gusti.
Percayalah, Ki Brejeng tak akan menipu paduka, tak akan membikin susah
paduka.”
“Aduh... paman Brejeng...“ kembali Endang Patibroto menangis mengguguk,
akan tetapi ia tidak membantah ketika Ki Brejeng memegang pundaknya dan
menariknya keluar dari gubuk. Ki Brejeng yang dibantu Sindupati dan anak
buahnya lalu membersihkan jenazah Pangeran Panjirawit, mencabut anak
panah dan membereskan pakaiannya.
Kebetulan sekali di situ terdapat gubuk itu, mereka lalu mengumpulkan
kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu mereka semua bermuja samadhi untuk
menghormat dan mengantar roh yang mati ke alam akhir.
Semua upacara ini diikuti oleh Endang Patibroto dengan hati penuh
keharuan. Akhirnya, ketika api mulai dinyalakan, gubuk di mana terdapat
suaminya dibakar, ia menangis lagi mengguguk memanggil-manggil nama
suaminya.
Semangatnya seakan-akan ikut terbang melayang bersama asap putih yang membubung tinggi.
Sementara itu Ki Brejeng yang tengah menemani dan mendekati Endang
Patibroto mulai membujuk Endang Patibroto. la bertanya apa sebenarnya
yang sudah terjadi. Karena pada saat seperti itu Endang Patibroto amat
membutuhkan seorang kawan yang dapat ia ajak bicara dan dapat
mendengarkan curahan hatinya yang penuh penasaran dan karena ia percaya
akan kesetiaan raksasa ini, maka berceritalah ia secara singkat akan
segala peristiwa yang sebetulnya sudah diketahui oleh Ki Brejeng.
Ki Brejeng menyumpah-nyumpah Pangeran Darmokusumo dan Sang Prabu
Jenggala, kemudian ia membujuk Endang Patibroto agar suka ikut ke
Blambangan.
“Paduka tentu dicari-cari dan dikejar-kejar oleh kedua kerajaan itu.”
“Aku tidak takut! Aku akan melawan!” jawab Endang Patibroto, penuh dendam.
“Apa gunanya, gusti? Apa gunanya paduka seorang diri melawan barisan
kedua kerajaan itu? Tidak, seyogianya paduka ke Blambangan. Kebetulan
sekali Blambangan memang berniat menggempur Jenggala dan Panjalu, dan
Adipati Blambangan amat baik, dapat menghargai orang-orang pandai. Lihat
saja, hamba juga telah diterima menjadi ponggawa. Kalau paduka suka
bersama hamba ke sana, paduka dapat bersama bala tentara Blambangan
kelak maju menggempur Jenggala dan Panjalu dan saat itulah paduka dapat
melakukan balas dendam atas kematian suami paduka!”.
Akhirnya, setelah Raden Sindupati juga ikut membujuk-bujuk dengan manis
budi dan janji-janji yang memungkinkan wanita ini membalas kematian
suaminya, Endang Patibroto lalu mengangguk.
“Baiklah, Ki Brejeng, aku menurut nasehatmu. Raden Sindupati, aku suka ikut denganmu ke Blambangan.”
Bukan kepalang girangnya hati Sindupati. Walau pun ia tidak berhasil
membunuh Endang Patibroto, namun ia sudah berhasil memancing wanita ini
ke sana!
Alangkah akan girangnya hati Adipati Blambangan dan untuk ini ia tentu
akan menerima pahala besar sekali. Apa lagi, ia telah berhasil pula
melemahkan kedua kerajaan dengan pembunuhan para ponggawanya. Betapa pun
juga, di hatinya terkandung niat lain.
Melihat Endang Patibroto, janda kembang yang cantik jelita dan
menggairahkan ini, hatinya sudah jatuh! la merasa sayang kalau wanita
secantik ini dibunuh begitu saja oleh Adipati Blambangan. Tidak, terlalu
sayang kalau begitu! Ia mempunyai siasat lain!
Setelah pembakaran jenazah selesai dan abu jenazah sudah dirawat untuk
kemudian dilarung (dihanyutkan) di laut, pasukan itu melanjutkan
perjalanan.
Endang Patibroto memulai hidup baru dan di sepanjang perjalanan, ia
dihibur oleh Ki Brejeng yang betul-betul merasa kasihan kepada bekas
junjungannya ini.
Kadipaten Selopenangkep! Kadipaten ini letaknya dl tepi Sungai Progo, tidak amat jauh dari pantai Laut Kidul.
Kadipaten yang tidak berapa besar, namun jelas tampak keadaan yang aman
tenteram kerta raharja meliputi seluruh daerah kadipaten.
Pamong tani hidup ayem, tanahnya subur tak kekurangan maupun kebanyakan
air, sawah ladang terlalu penuh tanaman yang subur sehingga di waktu
habis tandur, sawah ladang tampak ijo (hijau) royo-royo bagaikan lautan
tenang.
Ada pun menjelang panen, sawah ladang berubah menjadi lautan emas dengan
padi-padi menguning dan gemuk-gemuk menunduk. Semua penduduk, mulai
dari dusun sampai kadipaten, tiada yang malas,semua rajin bekerja karena
hasil karya mereka selain tampak di depan mata, juga terasa sampai di
perut sendiri dan perut anak isterinya.
Di wajah mereka tampak kegairahan bekerja itu, dari wajah anak-anak
penggembala yang mengarit rumput, sampai kepada wajah pamong tani,
nelayan, seniman dan pedagang, berseri penuh galrah kerja, memuliakan
karya masing-masing dengan hati cinta dan tulus. Tidak ada iri-mengiri
sehingga tidak pernah tercipta tindakan sesat, tidak ada maling atau
perampok.
Tidak ada waktu bermalas-malasan yang dapat terisi tindak iseng maksiat,
tidak ada perjudian, tidak ada perjinahan atau mabuk-mabukan, semua
tunduk kepada hukum yang tak tertulis, hukum kehidupan masyarakat damai,
makmur dan tenteram, yang cinta akan ketenteraman.
Semua ini adalah sebaglan besar akibat wibawa dan pengaruh dari penguasa
setempat, yaitu sang adipati di Selopenangkep. Perbawanya menyorot luas
sampai keluar daerah selo penangkep, perbawa yang didasari keadilan dan
cinta kasih seorang penguasa, seperti keadilan dan cinta kasih seorang
bapak terhadap anak-anakriya.
Keadilan dan cinta kasih Adipati Tejolaksono seolah-olah sinar matahari
yang menyorot ke segenap pelosok, tiada memilih bulu, tidak pilih kasih.
Adil dan keras dalam memberantas kejahatan disertai petunjuk-petunjuk
kembali ke jalan benar bagi yang sesat, menghukum bukan karena benci
karena bagi sang adipati yang arif bijaksana, bukan manusialah yang
dihukum, melainkan kejahatan untuk memaksa manusianya insyaf sadar dan
bertaubat, kembali ke jalan benar.
Kebaikan-kebaikan dipuji, dianjurkan, dipupuk, seperti halnya kesenian
dan kebudayaan yang serba indah. Kebaikan disamakan dengan keindahan,
sehingga kebaikan bukan lagi merupakan perbuatan yang dipamrihi balas
jasa dan ingin puji, melainkan menjadi semacam keindahan yang disuka
oleh segenap golongan.
Sang Adipati Tejolaksono adalah seorang adipati yang masih muda, bani
tiga puluh dua tahun usianya, namun memilild kebijaksanaan seorang sepuh
(tua) yang sepi hawa, artinya sepi dari pada hawa nafsu, yang patut
menjadi tetuanya masyarakat, yang bekerja bahkan hidup hanya dengan satu
pamrih, yakni mengabdi kepada Hyang Widhi dengan cara menyebar cinta
kasih antara manusia, bekerja demi kebahagiaan masyarakatnya,
keluarganya, baru dirinya sendiri.
Keadilan dan cinta kasih inilah yang menyinar seperti cahaya matahari
merata di antara kawulanya, sehingga menjadi milik semua orang, bahkan
meresap menjadi watak semua orang, yaitu, adil dan mencinta sesamanya.
Pagi itu amat indahnya. Matahari bersinar cerah. Pamong tani tidak lagi
begitu sibuknya seperti di musim, tandur atau panen. Musim tandur baru
saja lewat. Padi sudah mulai tumbuh subur.
Pekerjaan kaum tani menjadi lebih ringan, hanya menjaga dan merawat agar
tanaman mereka tidak kekurangan atau kebanyakan air, tidak terganggu
hama dan rumput liar.
Pada hari itu, serombongan orang berkuda keluar dari kadipaten. Dua
belas orang prajurit pengawal yang gagahgagah menunggang kuda,
mengiringkan seorang pria yang tarnpan dan gagah perkasa menunggang kuda
putih, berpakaian sederhana namun berbeda dengan kedua belas orang
pengawal.
Inilah Sang Adipati Tejolaksono sendiri, yang seperti kedua belas orang pengiringnya, menyandang sebatang anak panah.
Sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, sang adipati mellrik ke arah
sampingnya, di mana terdapat seorang anak laki-laki berusia sepuluh
tahun, menunggang kuda berbulu dawuk. Anak ini biar pun baru berusia
sepuluh tahun, namun jelas membayang kan sifat-sifat satria, duduk tegak
di punggung kuda seperti seorang ahli dan punggungnya tersandang sebuah
busur kecil pula, di pinggang kiri tergantung sebatang pisau bersarung
kulit.
Sang adipati tersenyum bahagia melihat puteranya. Pagi tadi ketika
berangkat, isterinya berkali-kali membekali pesan agar hati-hati menjaga
Bagus Seta.
Isterinya, yang pagi hari itu kelihatan seperti Dewi Sri yang
dipuja-puja rakyatnya untuk memberkahi sawah ladang mereka, yang tidak
pernah kelihatan berubah, tidak pernah bertambah tua sejak menikah,
seperti ibu-ibu di seluruh dunia ini amat menyayang puteranya dan
mengkhawatirkan keselamatannya.
Masih terdengar ucapan isterinya, “Kakangmas adipati, sebetulnya
Baguseta masih terlalu kecil untuk diajak berburu. Di hutan banyak
sekali binatang buas.”
“Ah, nimas Ayu, mengapa khawatir? Bagus Seta sudah cukup besar dan dapat
menjaga diri, apa lagi alai tidal( akan membiarkan ia diterkam
harimau.”
“Ihhh, kakangmas mengapa mengeluar kan kata-kata yang mengerikan Itu?”
“Ha-ha-ha-ha, nimas, lupakah bahwa engkau sendiri sejak dahulu selalu
bermain-main di hutan? Lupakah ketIka dahulu kita bermain-main dengan
harimau sebesar lembu?”
Ayu Candra, isterinya yang sesuai dengan namanya itu amat cantik seperti
bulan purnama, tersenyum dan mengerling manja, dengan kedua pipi
kemerahan, mengerling malu-malu kepada para pengawal yang sudah siap
mengiringkan junjungan mereka.
Kalau mereka berdua di dalam kamar di mana tiada mata lain memandang,
biasanya kalau sudah bersikap manja begitu Ayu Candra tentu akan
mencubitnya, karena percakapan tentang dahulu tentu akan berlarut-larut
menjadi godaan dan senda-gurau, menghidupkan lagi kenangan lama yang
membuat isterinya tersipu-sipu malu dan manja.
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum menjadi adipati di Selopenangkep atas
pengangkatan sang prabu di Panjalu, dia bernama Jaka Wandiro. Setelah
mengalami banyak hal-hal yang hebat, akhirnya ia memperoleh Ayu Candra
sebagai isteri dan menjadi adipati (baca cerita Badal Laut Selatan).
Dahulu Ayu Candra semenjak kecil ditunangkan dengan Joko Seta yang
kemudian gugur dalam perang sehingga dara itu bebas dan dapat menikah
dengannya. Untuk mengenang Joko Seta, seorang satria perkasa yang gugur
membela negara, maka putera mereka ini mereka beri nama Bagus Seta. Dan
nama ini memang tepat karena semenjak lahirnya, Bagus Seta berkulit
putih kuning dan bersih.
Hidupnya penuh bahagia! Memang, sang adipati puas dan selalu bersyukur
kepada Hyang Widhi, yang telah melimpahkan berkah yang tiada
berkeputusan kepadanya.
Di dalam kadipaten, ia merasa seperti di tempat yang aman, tenang, dan
menyenangkan selalu. Isterinya setia dan mencintanya sepenuh jiwa raga,
dan di samping isteri dan putera mereka, di kadipaten tinggal pula kedua
bibinya, yaitu bibi Roro Luhito dan bibi Kartiko sari.
Roro Luhito adalah adik kandung mendiang ayahnya, dan Kartikosari bibi
gurunya, ibu Endang Patibroto. Kedua orang wanita yang kini usianya
sudah sekitar empat puluh tahun ini telah janda, keduanya adalah isteri
mendiang guru pertamanya, atau bapak angkatnya yang bernama Pujo,
seorang satria utama pendekar perkasa yang oleh sang adipatl dijadikan
cermin atau tauladan hidupnya (baca Badal Laut Selatan).
Bibinya, Kartikosari, mempunyai seorang puteri yang baru berusia sebelas
tahun bernama Setyaningsih. sedangkan bibinya, Roro Luhito juga
mempunyai seorang puteri bernama Pusporini.
Mereka ini kedua adik-adiknya, biar baru berusia dua belas tahun, sudah
nampak sebagai dara-dara remaja yang cantik jelita, halus budi
pekertinya, sopan santun dan ramah budi bahasanya, pandai dalam segala
macam kesenian, merupakan calon-calon puteri pilihan yang menjadi
kebanggaan kadipaten. Adipati Tejolaksono dan isterinya amat menyayang
kedua orang puteri ini yang terhitung adik-adik misan mereka.
Kini rombongan itu menjalankan kuda perlahanlahan melalui tegalan yang
penuh rumput hijau. Tiga ekor kerbau asylk makan rumput yang gemuk hijau
dan tebal.
Tiba-tiba sang adipati menghentikan kudanya, diturut oleh puteranya dan
para pengawal yang tadinya bersenda-gurau dan bercakap-cakap, otomatis
juga menghentikan kuda mereka, tidak ada yang bicara lagi, ikut
memperhatikan. Kiranya sang adipati tekun mendengarkan suara orang
menembang, suara yang tidak begitu merdu, agak serak Seperti suara
orang-orang tua, yang sedang menyanyikan tembang Asmaradana.
“Nora suwe wong urip iki lelana ing slam donya tan rinasa pira lawase
weruh-weruh sugih uwan nora suwe mesti sirna cilik gedhe cendhek dhuwur
wekasan mesthi palastra Suglh mlarat kabeh sami menang kalah nora beda
yen wis pinasthi wancine kabeh bali marang asal mula yen sih doyan sega
ja nuruti hawa nepsu urip pisan sing sampurna.”
Terjemahannya: “Tidak lama manusia hidup ini berkelana di dalam dunia
tidak terasa berapa lamanya tahu-tahu banyak uban tidak lama tentu
lenyap kecil besar pendek tinggi akhlmya tentu mati Kaya miskin semua
sama menang kalah tiada beda kalau sudah dipastikan waktunya semua
kembali kepada asal maka kalau masih suka nasi jangan menurutkan hawa
nafsu hidup sekall yang sempurna.”
Sang Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk, terharu dalam hatinya.
“Kulup Bagus Seta. Kau mendengar tembang tadi, bukan?”
Anak itu mengangguk. Sejak kecil ia sudah diajar tembang dan kesenian lain.
“Timbang Asmaradana, ayah. Tapi kata-katanya kasar bersahaja.”
“Memang, anakku. Kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai sesuatu
lihatlah isi, jangan terpengaruh kulit. Justeru kesederhanaan itulah
yang mengharukan. Kau ingat baik-baik, mencari pujangga-pujangga besar
tak usah jauh-jauh ke kota raja. Mencari orang bijaksana tak usah dicari
di antara orang cerdik pandai. Dia yang mengerti akan hidup, dialah
orang bahagia, bijaksana dan berguna. Di dusun-dusun, di tempat -tempat
sunyi tempat orang-orang yang oleh orang kota dianggap bodoh, dimana
rakyat hidup diselimuti kesederhanaan yang tak dibuat-buat, di sanalah
tempat kebijaksanaan dan kebahagiaan, di mana orang hidup tidak menjadi
hamba nafsu, di mana orang hidup penuh kebahaglaan karena mereka ini
menerima segala apa yang mereka miliki dengan hati puas, dengan hati
menerirna, dengan hati tulus mengucap syukur kepada Hyang Widhi,
dijauhkan angkara murka dan ino hati. Kelak, kalau engkau sewaktu-waktu
berada di kota raja, dan engkau sudah dewasa, kalau engkau terjalin
dalam keributan orang-orang yang berebutan keduniawian, kau ingatlah
kepada kesederhanaan tembang dan kehidupan di dusun, anakku.”
Bagus Seta belum begitu mengerti atau belum dapat menangkap betul arti
dari pada wejangan ayahnya, akan tetapi para prajurit pengawal yang
berada di belakang menundukkan kepala dan di dalam hati terdapat kesan
yang dalam.
Seorang kakek yang berpakaian serba hitam, amat sederhana, akan tetapi
biar pun kepalanya penuh uban, wajahnya masih kemerahan dan sinar
matanya berseri, muncul dari balik rumput di mana tadi ia mengarit.
Ketika melihat rombongan sang adipati yang berkuda berhenti di pinggir
sawah, tergopoh-gopoh ia menghampiri dan berjongkok menghaturkan sembah
Adipati Tejolaksono tersenyum mengangguk. “Paman sedang menggembala
kerbau dan mengarit rumput?” tanyanya dengan suara halus dan pandang
mata berseri.
“Benar seperti yang paduka katakan, gusti adipati.”
“Kerbaumukah itu, paman?”
“Bukan, gusti. Milik anak mantu hamba yang dua ekor, yang seekor kepunyaan anak hamba. Hamba membantu mereka, gusti.”
Diam sejenak, pandang mata sang adipati menyelidik, merasa tertarik.
“Paman, maafkan pertanyaanku ini karena, menyangkut penghidupan dan isi
hatimu. Bahagiakah hidupmu, paman?”
Kakek itu termenung, agaknya bingung mendengar pertanyaan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.
“Bahagia? Apa maksud paduka, gusti? Hamba tidak membutuhkan bahagia itu!”
Sang adipati tertawa bergelak sambil menengadah, memandang angkasa di
mana awan putih bergerak seperti domba-domba putih. Ada persamaan antara
awan itu dengan kakek ini. Tidak membutuhkan apa-apa, tidak kekurangan
sesuatu. ltulah bahagia. Karena tidak mencari maka tidak pernah
terluput, karena tidak membutuhkan maka tidak akan kekurangan. Yang
mengejar-ngejar bahagia hanyalah orang pandir. Ha-ha-ha-ha! Adipati
Tejolaksono tertawa gembira sampai keluar air matanya. Kemudian ia
mengambil dua potong emas dari saku bajunya, memberikannya kepada si
kakek sederhana
“Sesungguhnya engkau tidak kekurangan sesuatu, paman, terimalah hadiahku
ini, belikan lagi satu dua ekor kerbau untuk membantu pekerjaan
keluargamu.”
Kakek itu terbelalak, menerima hadiah itu lalu menyembah, menghaturkan
terima kasih kepada junjungannya, akan tetapi sang adipati telah
menjalankan kudanya lagi, wajahnya berseri-seri.
Kakek yang sederhana itu telah mengajarkannya flisafat hidup yang tidak
ternilai, yang hanya bisa dinikmati dan dimengerti oleh dia seorang
karena selosin prajurit pengawalnya itu saling pandang, tidak
mengerti.....
Komentar
Posting Komentar