PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-07
Mereka berburu di kaki Gunung Merapi, di mana terdapat sebuah hutan yang
amat lebat dan liar, penuh binatang-binatang hutan seperti harimau,
kijang, dan lain-lain binatang buruan. Mulailah mereka berburu. Yang
diutamakan oleh sang adlpati adalah memburu harimau karena pemburuan ini
lebih menggembirakan hati, lebih menegangkan.
Kalau bertemu harimau, pengawal-pengawalnya lalu menggiring dan
mengurungnya, kemudian sang adipati akan menghadapinya dengan tangan
kosong, membunuhnya dengan pukulan-pukulan maut. lni merupakan latihan
baginya, di samping kegembiraan mendapat kulit dan daging.
Akan tetapi kalau harimau itu terlalu gesit sehingga tidak dapat
dikurung, anak panah dipergunakan untuk merobohkannya. Juga kijang dan
binatang-binatang yang mempunyal daging lezat dipanah roboh.
Sudah setengah harian mereka memburu binatang akan tetapi hanya berhasil
memanah roboh empat ekor kijang. Tidak ada harimau tampak. Hati sang
adipati mulai kesal. Akan tetapi Bagus Seta yang baru pertama kali ini
ikut berburu, menjadi gembira bukan main.
Permainan ini penuh ketegangan, dan suasana di dalam hutan liar itu
menggairahkan hatinya. Dua kali mereka diserang ularular besar, sebesar
pahanya, akan tetapi dengan cekatan para pengawal memanah ular-ular itu
pada leher dan kepalanya. Mereka mengulitinya dan mengambil kulitnya
yang berwarna dan bercorak indah.
“Kita masuk ke dalam, masa tidak ada harimau di sana,” kata sang adipati penasaran.
Para pengawal menurut, sungguh pun di dalam hati mereka khawatir
kalau-kalau mereka akan kemalaman pulang. Belum pernah sang adipati
berburu sampai bermalam, karena hal ini tidak pernah diperkenankan
isterinya, Juga para blbinya. Sang adipati mengeprak kuda ke dalam hutan
yang amat rungkut, diikutl puteranya, kemudian barn para pengawal yang
merupakan barisan di kanan ldri dan belakang, terdiri empat orang
masing-masing bagian. Hal ini dilakukan untuk dapat cepat bergerak
mengurung kalau ada harimau.
Tiba-tiba kuda sang adipatl meringkik aneh. Wajah sang adipatl berseri,
karena ia mengenal watak kudanya, mengenal penciuman kudanya yang tajam
terlatih.
Harimau, pikirnya. Benar saja, terdengar auman keras yang menggetarkan
seluruh rimba raya itu. Bagus Seta tergetar hatinya, mendekatkan
kudanya. Mereka semua turun, dan Bagus Seta juga cepat-cepat turun terus
mendekati ayahnya, matanya memandang ke kanan kiri karena auman harimau
itu menimbulkan gema yang sukar ia terka dari mana datangnya.
Seakan-akan di sekelilingnya penuh dengan harimau mengaung-ngaung. Semua
pengawal sudah menyiapkan tombak, lalu mereka menyelinap-nyelinap di
antara semak belukar berusaha mengurung harimau yang berada di sebuah
gerombolan alang-alang.
Mereka mengambil batu, melempari semak-semak itu dan mengeprak-ngeprak
dengan tombak, berteriak-teriak. Tak lama kemudian, terdengar pula aum
yang dahsyat dan tampaklah kepala seekor harimau gembong yang besar
sekali. Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak, mulut celangap.
Sebesar kerbau macan itu, pikirnya. Jantungnya berdebar, “bukan karena
takut, melainkan karena tegang. la sudah digembleng sedemikian rupa oleh
ayahnya sehingga tidak ada rasa takut menyelinap ke dalam hatinya.
Sekecil itu ia sudah dapat mempertimbangkan dan menilai keadaan. Betapa
pun besar dan galaknya macan gembong itu, di situ terdapat dua belas
orang pengawal, bahkan terdapat pula ayahnya. Perlu apa takut? Tiada
alasan untuk takut. Maka ia memandang penuh perhatian, ingin melihat
dengan mata kepala sendiri kesaktian ayahnya yang sering didengarnya
dari dongengan para pengawal, betapa dengan tangan kosong ayahnya mampu
mengalahkan seekor harimau. Kini tibalah saatnya ia melihat dengan mata
kepala sendiri dan mempelajari gerakan-gerakan ayahnya ketika menghadapi
macan.
“Dia membawa anaknya!”
Tiba-tiba Bagus Seta tak dapat menahan kata-katanya yang diucapkan
setengah berteriak ketika ia melihat kepala macan itu menunduk lenyap ke
dalam semak-semak kemudian tampak lagi dan kin seperti seekor kucing,
harimau betina yang besar itu m enggigit punggung seekor harimau kecil.
Terlambat sang adipati mencegah puteranya berteriak. Harimau itu kaget,
kemudian mengeluarkan suara gerengan dengan kerongkongannya dan sekali
tubuhnya bergerak, ia sudah melompat jauh ke depan. Seorang pengawal
yang menjaga di situ, berusaha menggebah sang harimau kembali ke tengah
kurungan dengan menusukkan tombaknya. Akan tetapi harimau yang amat
besar itu menggerakan kaki depan menyampok dan...
“Krekkk...I” tombak itu patah dua dan si pengawal terpelanting. Harimau lalu lari.
“Biar kupanah dia! “
Tiba-tiba sang adipati berseru keras. Seruan ini keras dan seperti auman harimau tadi, mendatangkan gema.
Si harimau agaknya terkejut, menengok. Pada detik itulah anak panah sang
adipati menyambar, semula menyambar ke arah leher dengan amat cepatnya,
akan tetapi karena harimau itu menoleh, kini anak panah itu tepat
sekali mengenai perut harimau kecil yang digigit punggungnya.
Harimau kecil meronta, terlepas dari gigitan induknya, dan harimau yang
besar itu melompat cepat lalu menghilang ke dalam rimba, meninggalkan
raung yang seperti ratap tangis bunyinya.
Bagus Seta sudah lari ke arah harimau kecil yang terpanah, melihat
harimau itu berlumur darah dan sudah mati dengan pandang mata penuh
sesal. Ayahnya datang menghampiri.
“Rama, mengapa memanah anaknya 7” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan dan kekecewaan.
Sang adipati menaruh tangannya di atas pundak puteranya. “Bukan niatku
memanah dia, Bagus. Tadinya kuincar leher induknya, akan tetapi harimau
itu menoleh dan anak panah mengenai anaknya.”
Karena cuaca sudah mulai gelap di dalam hutan itu, sang adipati lalu
mengajak rombongannya pulang. Mereka menunggang kuda mereka dan biar pun
sang adipati tidak memperoieh seekor harimau besar sebagaimana yang
diharapkan, tetapi rombongan itu tetap gembira karena kijang-kijang dan
kulit dua ular besar itu lumayan juga. Sate daging kijang amat lezat,
tidak kalah oleh sate daging kambing.
Tiba-tiba terdengar auman yang luar biasa dahsyatnya. Auman yang jauh
lebih dahsyat dari pada auman harimau tadi. Dan kali ini, auman ini
membuat semua kuda, termasuk kuda sang adipati, gemetar dan meringkik
ketakutan, berdiri di atas kaki belakang dan bahkan beberapa ekor kuda
tunggangan pengawal lalu meloncat dan kabur.
Kuda tunggangan Bagus Seta juga berdirl di atas kaki belakang,
meringkik-ringklk dan meloncat jauh sambil meringkik tenis ketakutan.
Bagus Seta yang secara tiba-tiba dlbawa lari itu hampir terlempar jatuh,
dan cepat-cepat ia mendekam di atas kudanya, memegang kendali eret-erat
dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia sama sekall tidak mampu lagi
menguasai kudanya.
“Bagus! Bagus!”
Adipatl Tejoleksono berterlak memanggil, namun karena Bagus Seta tak
dapat menguasai kudanya, anak itu hanya berteriak-teriak, “Ayah! Ayah!“
Para pengawal juga bingung karena kuda mereka semua menjadi binal, apa
lagi ketika suara auman itu terdengar kembali, membuat kuda mereka semua
kabur ke pelbagai jurusan tanpa dapat dicegah.
Sang adipati yang mengkhawatirkan puteranya segera melompat turun dari
atas kuda, meninggalkan kuda yang tidak dapat dikuasai lagi itu lalu
berlari cepat melesat di antara semak belukar. Kuda putih itu pun lari
sambil meringkik-ringkik. Tetapi kuda tunggangan Bagus Seta sudah tak
tampak lagi dan dengan hati gelisah sang adipati tenis mengejar,
mengerahkan ajinya berlarl cepat.
Sang adipati memilild Aji Bayu Sakti yang amat hebat, akan tetapi karena
hutan itu amat liar, penuh semak belukar, dan ia tidak tahu ke mana
larinya kuda puteranya, ia harus menyusup-nyusup dan menyelinap-nyelinap
dengan hati tidak karuan rasanya.
Kuda tunggangan Bagus Seta berlari terus, jauh dari tempat tadi. Dari
gerombolan semak belukar tiba-tiba muncul seekor harimau yang sangat
luar biasa. Harimau ini amat besar, hampir setinggi kuda itu sendiri,
berdiri menghadang sambil menggereng. Gerengannya tidak nyaring, akan
tetapi bumi terasa tergetar.
Kuda itu berhenti seketika, ngoplok (menggigil kakinya) dan lumpuh
seketika, tak mampu berlari lagi, hanya mengeluarkan suara meringkik
seperti orang merintih. Melihat harimau yang amat besar dan berbulu
panjang putih ini, Bagus Seta juga merasa takut.
Baru kali ini ia merasa takut, karena ayahnya tidak berada di situ,
karena ia seorang did hams menghadapi harimau yang amat luar biasa ini.
Namun darah pendekar mengalir kencang di tubuhnya. Ketika kudanya lumpuh
dan mendeprok roboh, ia meloncat turun dan mencabut pisau belatinya.
Anak berusia sepuluh tahun ini berdiri tegak, memasang kuda-kuda seperti
yang diajarkan ayahnya, pisau belati di tangan kanan, siap menghadapi
terjangan harimau putih yang besar sekali itu! Pantang menyerah sebelum
kalah!
Macan putih itu berdiri memandang, agaknya terheran, kepalanya miring ke
kanan kemudian ke kiri, lalu membuka, mulutnya yang besar
memperlihatkan gigi yang besar-besar panjang dan kuat meruncing,
lidahnya merah kasar dan kumisnya yang kaku bergerak-gerak tertarik
kulit bibir atas yang menaik.
Kemudian terdengar suara gerengannya; gerengan yang membuat daun-daun
pohon di atasnya, yang sudah menguning tua, rontok melayang-layang.
Namun Bagus Seta tidak menjadi gentar, bahkan melangkah maju, mengatur
kuda-kuda dan mencari akal bagaimana untuk dapat mengatasi bahaya yang
mengancam ini.
Tiba-tiba ia teringat akan busur dan anak panah yang tersandang di
punggung. Tangan kirinya perlahan-lahan merayap, bergerak ke punggung,
akan tetapi pandang matanya tak pernah terlepas dari kepala harimau dan
pisau belati masih terpegang erat-erat di tangan kanan. ia berhasil
mengambil busur dan anak panah dengan tangan kini, kemudian tangan
kanannya membantu memasangkan anak panah pada busur, pisau belati
digigitnya agar sewaktu-waktu mudah ia pergunakan.
Kini ia menghadapi harimau dengan busur terpentang dan anak panah siap diluncurkan.
Harimau itu setelah memandang sejenak tanpa berkejap mata, kini melang
kah maju, langkah seenalmya dan sama sekali tidak bersikap untuk
menerkam. la melangkah menghampiri Bagus Seta yang tentu saja segera
menarik busur sampai melengkung dan begitu jarak antara dia dan macan
putih itu tinggal tiga meter lagi, ia melepas anak panahnya!
Busur dan anak panah itu memang kecil, akan tetapi Bagus Seta sudah
terlatih baik busur itu pun buatan seorang ahli dan anak panahnya yang
runcing dibungkus timah ujungnya.
“Singggg..! “
Dengan cepat sekali anak panah menyambar ke arah muka harimau, antara
kedua matanya. Kalau tepat mengenai sasarannya, tentu akan celaka
harimau itu
Akan tetapi ternyata harimau itu hebat sekali. ia menggereng lagi dan
kaki depan kiri diangkat, bergerak cepat menyampok ke depan dan anak
panah itu dapat ditangkap dalam cengkeramannya Bagus Seta tertegun di
antara para pengawal ayahnya yang gagah perkasa sekali pun tidak ada
yang mampu melakukan ini.
Hanya ayahnya dan eyang putri Kartikosari saja yang mampu menangkap anak panah terbang.
Tapi harimau ini dapat ,Bukan main, Harimau itu melemparkan anak panah
kemudian melangkah maju terus, menghampiri Bagus Seta. Anak ini melempar
busurnya, memegang pisau belatinya dan membentak,
“Pergi..! Pergilah kau, macan...! “
Ketika harimau itu menghampiri terus, Bagus Seta bertekad melakukan
perlawanan sedapat mungkin. Ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya
menerjang harimau itu, tangan yang memegang pisau bergerak menusuk ke
arah leher harimau itu
Akan tetapi sekali lagi harimau putih itu mengangkat kaki depan yang
kiri, menangkis dan pisau itu terlempar, Bagus Seta terpelanting. ia
meloncat berdiri akan tetapi sebuah tamparan kaki harimau mengenai
lehernya, membuat anak itu roboh dan pingsan.
Baiknya si harimau putih tidak mengulur kukunya ketika menampar, maka
leher anak itu tidak terluka. Ia hanya pingsan oleh kerasnya tamparan.
Harimau itu mengendus-endus, mencium-cium dengan hidungnya pada muka
Bagus Seta, kemudian membuka rahangnya, mendekati kepala anak itu dan
menggigit punggung baju Bagus Seta, diangkatnya kemudian dibawanya lari
dari situ.
Kalau Bagus Seta tidak pingsan dan dapat menyaksikan hal ini, tentu ia
akan teringat akan anak harimau yang tadi dibawa induknya dengan cara
seperti ini pula, digigit punggungnyal Harimau putih yang menggondol
tubuh Bagus Seta ini kini berlari cepat sekali keluar dari hutan dan
terus mendaki gunung.
Pada saat itu, Adipati Tejolaksono berada di atas sebuah pohon yang
tinggi, meneliti keadaan sekelilingnya dengan pandang matanya, mukanya
penuh kekhawatiran. Tadi ia menggetar di seluruh hutan, dan ketika ia
mengejar lebih jauh, ia melihat busur, anak panak, dan pisau belati
puteranya menggeletak di atas tanah.
“Bagus Seta...!“ ia mengerahkan suaranya memanggil, namun tiada jawaban.
Hatinya gelisah dan akhirnya ia me-. loncat ke atas pohon, memanjat ke
pucuk dan dari tempat tinggi mencari-can. Akhirnya tampak olehnya
bayangan putih itu berlari mendaki bukit, menggondol tubuh puteranya.
“Duh Jagad Dewa Bathara..!” ia berseru terkejut,melayang turun dari atas
pohon dan mengerahkan seluruh aji kesaktiannya untuk lari mengejar ke
arah iarinya harimau yang dilihat dari atas tadi.
Dengan jantung berdebar ia berdoa semoga Hyang Widhi melindungi
puteranya. Teringat akan hasil panahnya tadi yang mengenai harimau kecil
yang digondol induknya, ia cepat membuang busur dan anak panahnya. ia
tidak akan memanah harimau itu, khawatir kalau-kalau mengenai tubuh
puteranya sendiri. Di tangannya terpegang sebatang tombak dan ia berlari
makin kencang.
Ketika ia mengejar sampai di lereng gunung, hari telah mulai senja.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatirnya ketika di luar sebuah
hutan kecil ia melihat harimau putih yang besar sekali itu mendekam,
tubuh Bagus Seta tak bergerak-gerak rebah menelungkup di depan binatang
itu.
Saking gelisah, sang adipati tidak melihat adanya bayangan putih yang
berdiri tak jauh di sebelah depan harimau itu, teraling pohon. Cepat ia
memasang kuda-kuda, mengambil sasaran lalu tombaknya dilontarkan dengan
pengerahan tenaga mengarah leher harimau yang sedang mendekam.
Tombak meluncur melebihi kecepatan anak panah, lenyap bentulmya berubah
menjadi sinar, menuju leher harimau dengan ketepatan yang tak diragukan
lagi.
Betapa pun pandai dan sigapnya sang harimau, tak mungkin dapat mengelak
dari sambaran tombak seperti ini. Dan agaknya tombak itu pasti akan
mengena sasaran kalau saja tidak terjadi hal yang mujijat. Akan tetapi
terjadilah hal yang mujijat itu.
Kurang beberapa centimeter lagi ujung tombak mengenai sasaran leher
harimau, tiba-tiba sinar putih yang kecil hampir tak tampak menyentuh
tombak dan tombak itu menyeleweng dan menancap ke dalam tanah, ambles
sampai setengahnya lebih Adipatl Tejolaksono terkejut.
Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan harimau yang berbulu
putih, apa lagi harimau yang pandai ilmu sihir sehingga tanpa bergerak
mampu menangkis serangan tombaknya. ia menjadi makin marah saking
gelisahnya melihat keadaan Bagus Seta yang ia tidak tahu maslh hidup
ataukah sudah mati, kegelisahan wajar seorang ayah melihat puteranya
dalam bahaya.
Cepat bagaikan elang menyambar, tubuhnya sudah melesat dan mencelat ke
arah harimau putih, pukulan Pethit Nogo sekuatnya berada dalam pukulan
itu menyambar kepala harimau, dan mulutnya berseru, “Macan keparat,
berani kau mengganggu puteraku?”
“Desss..!“ Hebat bukan main pukulan Pethit Nogo itu dan tepat bertemu
dengan benda putih, akan tetapi yang terang bukan kepala macan karena
ketika Sang Adipati Tejolaksono memandang, macan itu tetap mendekam
seakan-akan tidak merasakan sama sekali hantamannya yang begitu hebat.
Ia mengangkat muka dan melihat seorang kakek tua renta berambut panjang
putih berdirl di depannya, maka mengertilah ia bahwa kakek ini yan telah
rnenangkis tombak dan pukulannya.
Kakek ini mengenakan kain putih bersih yang dikelit-kelitkan di
tubuhnya, memegang sebatang tongkat bambu kuning gading, kakinya
telanjang,kepalanya juga telanjang, alis, dan jenggot kumis semua putih,
akan tetapi kulit mukanya segar kemerahan seperti muka seorang pemuda
remaja dan sepasang matanya begitu bening dan terang seperti sepasang
mata anak kecil.
“Orang muda yang perkasaI Kalau boleh aku bertanya,mengapa andika hendak membunuh harimau ini?”
Sebelum menjawab, sang adipati mengerling ke arah puteranya yang masih rebah menelungkup.
Dia seorang ahli maka sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa puteranya
tidak terluka, juga sama sekali tidak mati, mungkin hanya pingsan saja.
Keadaannya seperti orang tidur. Hatinya lega dan kembali ia
memperhatikan kakek itu. ia maklum sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan
orang sakti mandraguna, yang entah bagaimana tadi sudah sanggup
menangkis pukulannya Pethit Nogo.
Akan tetapi karena kakek ini membela harimau, maka ia anggap sebagai musuhnya.
“Kakek tua,” jawabnya, suaranya juga halus akan tetapi mengandung
penasaran, “tentu saja aku hendak membunuh harimau keparat ini karena
dia telah menggondol pergi dan hendak membunuh anakku.”
Kakek itu mengulum senyum, wajahnya ramah sekali akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh wibawa.
“Orang muda, mengapa andika hendak membunuhnya? Tidak bolehkah ia menggondol puteramu, bahkan hendak memangsanya?”
“Tentu saja tidak boleh Sebagai seorang ayah aku harus melindungi puteraku, dan harimau yang jahat ini harus dibunuh! “
Kakek itu tertawa, ketawanya halus dan nyaring, wajar tidak dibuat-buat.
“Ahhh, apakah artinya jahat, orang muda? Lebih tepat disebut bodoh, akan
tetapi siapakah yang lebih bodoh antara harimau ini dengan andika?
Kalau andika bicara tentang kejahatan, andikalah orangnya yang jauh
lebih jahat dari pada harimau ini.”
Adipati Tejolaksono menjadi marah dan penasaran sekali. ia menatap tajam wajah orang tua itu, dan berkata,
“Agaknya karena andika berbaik dengan harimau keparat ini, andika hendak
membelanya Apa maksud andika mengatakan aku lebih jahat dari pada
binatang ini?”
Sikap sang adipati menantang, siap untuk bertarung melawan kakek sakti ini.
Akan tetapi kakek itu tidak marah, hanya pandang matanya tajam menusuk.
“Orang muda, kemanakah perginya rasa keadilanmu? Baru saja andika telah
membunuh anak harimau ini dan andika sama sekali tidak merasa bersalah,
kini, harimau ini baru menggondol pergi puteramu, andika sudah
marah-marah hendak membunuhnya...! “
Adlpatl Tejolaksono terkejut sekalila memandang harimau itu yang masih
mendekam dan mengertilah ia. Harimau itu tentulah harimau jantan yang
menjadi bapak dari harimau kecil yang dipanahnya tadi. Sejenak ia
termangu, akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.
“Kakek tua yang sakti, tidak salah wawasan andika. Akan tetapi andika
lupa agalmya bahwa aku seorang manusia, dan aku sedang berburu harimau
Aku memanah induknya, tidak sengaja mengenai anaknnya. Mana mungkin
manusia dapat disamakan dengan binatang harimau?”
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan suara halus, akan
tetapi ucapan ini terdengar bagaikan halilintar menyambar bagi sang
adipati.
“Heh, orang muda, apakah harimau ini juga tidak berhak berburu? Untuk
apa kau berburu harimau? Untuk dimakan dagingnya dan diambil kulitnya
untuk perhiasan Apakah engkau kekurangan makanan di kadipaten sehingga
harus mencari daging harimau? Apakah hidupmu akan kekurangan kalau tidak
ada hiasan kulit harimau? Engkau berburu hanya untuk menuruti nafsu
kesenangan, tidak mempunyai dasar atau alasan yang patut Akan tetapi
harimau berburu karena tuntutan hidup, karena wajar, yaitu bahwa harimau
harus makan daging mentah agar dapat hidup. Buaskah dia kalau terpaksa
harus menerkam mangsanya karena hanya itulah jalan yang diketahuinya
untuk dapat langsung hidup? Patutkah engkau yang tidak membutuhkan
dagingnya sebagai penyambung hidup, mengejar-ngejar dan membunuhnya
hanya untuk melampiaskan nafsu dan kepuasan hati?”
Sang adipati menundukkan kepalanya. Ucapan itu menusuk perasaannya dan tidak sanggup menjawab.
“Tapi tapi aku seorang manusia yang dijelmakan menjadi mahluk tertinggi
derajatnya, dan aku hanya melakukan kebiasaan yang dilakukan oleh semua
orang,“ dia menangkis dan bersandar kepada kebiasaan manusia, termasuk
raja dan para bangsawan yang suka berburu.
“Ha-ha-ha, engkau hanya berlindung pada kebiasaan manusia. Salah kaprah.
Kesalahan, bagaimana pun besarnya akan menjadi kebenaran kalau sudah
dilakukan semua orang. Begitukah? Hei, orang muda, beginikah ajaran yang
kau terima dari guru-gurumu? Dari Sang Patih Narotama yang sakti
mandraguna, dari Sang Prabu Airlangga yang arif bijaksana?”
Pucat wajah sang adipati. ia segera menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, “Aduh, eyang, ampunkan hamba Hamba mengaku salah, eyang.
Bolehkah hamba mengetahui siapa gerangan julukan eyang panembahan?”
“Hemmm, sang adipati, harap jangan merendahkan diri di depan seorang
petani biasa seperti aku. Aku bukan pendeta, bukan pertapa, aku seorang
kakek biasa, namaku Ki Tunggaljiwa. Bangkitlah, angger, dan mari kita
bicara.”
Pada saat itu, Bagus Seta sadar dari pingsarmya. ia membuka mata,
teringat akan semua peristiwa. Dia masih hidupi Dan harimau itu mendekam
di sebelahnya, sama sekali tidak kelihatan galak.
Mata harimau itu kehijauan, amat indahnya. Dan bulunya, seperti buiu
kucing putih di kadipaten. ia meraih, mengelus-elus leher binatang itu
dan sang harimau menjilati tangannya. Bugus Seta tersenyum, menoleh dan
ketika melihat ayahnya berada di situ bersama seorang kakek tua renta,
ia lalu berseru,
“Ayah, lihati Macan ini besar dan bagus sekali. Hamba kira tadi hendak membunuhku, kiranya tidak, dia macan baik “
Sang adipati terharu, lalu melangkah maju dan menarik tangan puteranya,
diajak menghadap kakek itu yang kini sudah duduk di atas sebuah batu.
Sang adipati mengajak puteranya duduk bersila depan kakek itu.
“Eyang Tunggaijiwa, sekarang hamba telah sadar akan semua kesalahan
hamba Hamba berjanji, mulai saat ini, hamba tidak akan berburu binatang
lagi.”
Kakek itu tersenyum. “Berburu tidak mengapa asal berdasarkan kebutuhan.
Memang Hyang Widhi telah menciptakan segala apa di mayapada ini untuk
manusia yang amat dikasihi-Nya. Kalau manusia lapar lalu membunuh
harimau atau apa saja untuk dimakan, itu wajar namanya, sewajar seekor
harimau menerkam dan memangsa kelinci. Akan tetapi kalau membunuh
sekedar membunuh, itu keji namanya, tidak wajar dan bersifat merusak.
Betapa bodohnya merusak ciptaan Hyang Widhi Wisesa. Sang adipati, bukan
hanya kebetulan saja pertemuan antara andika; putera andika, dengan
saya.Hyang Widhi sudah menentukannya bahwa puteramu akan ikut bersamaku
ke puncak Merapi. Andika harus tega melepaskannya, sang adipati.”
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Melepas puteranya, menjadi murid
kakek ini? Putera tunggalnya si Bagus Seta? Mana mungkin? Ibu anak ini
pun tentu akan melarangnya! Ia memegang tangan puteranya erat-erat, lalu
menjawab,
“Mohon eyang sudi mengampunkan saya Agaknya tidak mungkin saya dan ibu
anak ini berpisah dari Bagus Seta, eyang. Hanya dia seorang putera
kami,betapa dapat kami berpisah dari padanya?”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Sang adipati, kehendak Dewata tak akan dapat dirubah. Perbuatanmu hari
ini pasti akan mendatangkan malapetaka dan hukuman yang hebat, yang akan
menimpa anak andika. Hanya sebuah syarat membebaskannya, yaitu anakmu
ini harus ikut bersamaku selama lima tahun, menjadi muridku dan menjadi
sahabat si Putih, menghibur hatinya yang kehilangan anak. Aku tidak
memaksa, akan tetapi hanya memberi jalan demi kebaikan keluarga andika.
Apa lagi karena dalam waktu mendatang, andika harus meninggalkan
Selopenangkep, alangkah akan baiknya kalau putera andika dititipkan
kepada saya.”
“Maafkan saya, eyang. Betapa pun juga, saya tidak dapat melepaskan puteraku ini sebelum mendapat persetujuan dari pada ibunya.”
Kakek ini menghela napas lalu mengelus-elus kepala harimau putih.
“Putih, kau terimalah, memang tidak ada mahluk di dunia ini yang hanya mementingkan diri pribadi seperti manusia.”
Kemudlan kepada sang adipati ia berkata,
“Kalau begitu, sang adipati, biarlah saya serahkan kepada takdir. Betapa
pun juga, sewaktu-waktu si Putih dapat mengantar puteramu kepadaku.
Nah, selamat berpisah.”
Kakek itu lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ dengan langkah perlahan-lahan, diikuti harimau putih dari belakang.
“Eh, paman macan putih..!“
Tiba-tiba saja Bagus Seta berseru memanggil dan berlari menghampiri
harimau itu yang menghentikan langkah membalikkan tubuh. Anak itu
merangkul lehernya dan si harimau merendahkan tubuh, menjilat-jilat
pipinya.
“Engkau ikut saja bersamaku ke kadipaten “
Harimau itu mengeluarkan suara gerengan perlahan, kemudian membalikkan
tubuhnya dan lari mengejar Ki Tunggaljiwa. Bagus Seta tampak kecewa
sekali, kembali kepada ayahnya.
“Ayah, macan itu indah dan baik sekali, tidak galak. ingin aku bermain-main dengannya, menunggang di punggungnya.”
Adipati Tejolaksono menghela napas, hatinya merasa tidak enak. ia
seperti dapat merasakan getaran aneh yang mengubungkan puteranya dengan
kakek serta macan putih itu.
“Malam hampir tiba, hayo kita pulang. ibumu tentu akan khawatir sekali,” katanya.
Bagus Seta bertepuk tangan gembira. “Aahh, betapa kanjeng ibu akan
terheran-heran mendengar cerita hamba tentang macan putih!“ soraknya.
Adipati Tejolaksono menggendong puteranya lalu mengerahkan kesaktiannya
berlari turun dari lereng. Hari sudah malam ketika ia tiba di hutan dan
bertemu dengan para pengawal yang mencari-cari mereka dengan gelisah.
Para pengawal menjadi girang sekali dan pulanglah rombongan itu naik
kuda yang telah dapat dikumpulkan oleh para pengawal.
Adipati Tejolaksono memberi perintah agar semua hasil buruan itu
dibagi-bagi di antara petani di luar kadipaten yang jarang sekali dapat
merasai nikmatnya daging kijang. Para pengawal hanya saling dan melongo,
namun tak seorang pun berani membantah.
Ketika tiba di kadipaten, sang adipati dan puteranya disambut dengan
penuh kelegaan hati oleh keluarganya. Kemudian sang adipati bersama
puteranya bercerita di depan isteri dan kedua bibinya. Mendengar cerita
suaminya bahwa kakek sakti bernama Tunggaljiwa ini hendak mengambil
Bagus Seta menjadl murid, wajah Ayu Candra berubah pucat. Akan tetapi di
depan kedua bibinya, is tidak berkata sesuatu kepada suaminya.
Kartikosari mengerutkan keningnya.
“Serasa pernah aku mendengar nama Ki Tunggaljiwa ini. Dahulu ketika aku
masih bersama ayah di Bayuwisma dekat pantai, pernah ayah menyebut nama
ini sebagai satu-satunya tokoh sakti yang tak pernah mau mencampuri
urusan dunia, hanya hidup sebagai petani biasa di puncak Merapi. Siapa
kira, hari ini kalian berjumpa dengannya, bahkan beliau hendak mengambil
Bagus sebagai murid. Hemmm...”
Kartikosari memandang kepada Ayu Candra dan tidak melanjutkan
kata-katanya, akan tetapi sang adipati maklum dari pandang mata bibinya
itu bahwa bibinya menganggap hal itu amat baik dan menguntungkan.
“Orang yang dapat memelihara seekor harimau putih yang besar, tentu
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Tapi aku sendiri belum
pernah mendengar nama Ki Tunggaljiwa,” kata pula Roro Luhito.
Malam hari itu, ketika berada di dalam kamarnya berdua dengan isterinya,
Ayu Candra menangis. Setelah tidak ada orang lain, barulah din berani
menumpahkan segala kekhawatirarmya.
Adipati Tejolaksono memeluk isterinya. “Eh-eh, kenapa kau menangis, nimas?”
Ayu Candra merebahkan kepala di dada suaminya, tempat yang aman di
seluruh dunia ini baginya, dan makin sesenggukan. “Kakangmas aku aku
khawatir sekali, kakangmas.”
Adipati Tejolaksono merangkul dan membelai rambut isterinya. “Apa yang kau khawatirkan, nimas? Tentang anak kita si Bagus Seta?”
Isterinya mengangguk. “Tentang kata-kata Ki Tunggaljiwa itu... bahwa
akan tiba hukuman kalau anak kita tidak dibawanya... ah, aku ngeri,
kakang mas.”
Adipati Tejolaksono yang amat mencinta isterinya, segera menghibur dan menciumi untuk mengusir kekhawatirannya.....
Komentar
Posting Komentar