PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-10
Pertandingan kali ini adalah pertandingan untuk menguji kedigdayaan,
bukan perkelahian merebut kemenangan dengan taruhan nyawa. Kalau dalam
perkelahian, ia tidak akan berlaku terlalu sungkan atau mengalah, tentu
sudah digempurnya dengan gerak cepatnya, seperti yang telah ia lakukan
pada diri Haryo Baruno tadi.
Kemenangan sekali ini harus ia dapatkan tanpa membunuh lawan,
paling-paling hanya merobohkan dan melukainya tanpa membahayakan
keselamatan nyawa.
Maka iapun lalu memasang kuda-kuda yang amat indah dipandang. Indah dan
gagah. Ia berdiri miring dengan lawan di sebelah kanannya. Kaki kanan
diangkat dengan paha lurus kedepan, lutut ditekuk, kaki lurus ke bawah.
Kaki kiri tegak dan teguh. Lengan kanan diangkat, tangan kanan dengan
jari-jari terbuka dan dikembangkan menghadap musuh, telapak tangan di
atas dengan ibu jari ditekuk ke dalam. Tangan kiri dikepal, menempel di
siku kanan. Matanya melirik ke kanan ke arah lawan. Tubuhnya tak
bergerak sama sekali, teguh dan kokoh kuat, namun indah seperti sebuah
patung batu pualam, bibirnya yang merah membasah tersenyum mengejek.
Para senopati memandang tegang. Adipati Menak Linggo juga memandang
penuh perhatian, mulutnya menyeringai matanya melotot, tubuhnya agak
condong ke depan karena ia tidak ingin melewatkan sedikitpun gerakan
pertandingan ini. Ruangan menjadi sunyi sekali, seakan tiada manusianya.
Tiba-tiba Mayangkurdo bergerak, mula-mula yang tampak hanya getaran
pundak dan betis, lalu terdengar ia berseru keras dan tubuhnya sudah
menerjang maju bagaikan angin badai.
“Haaaaahhhhh!” Tubuhnya yang segi empat itu seperti sebuah peluru
menyambar ke depan, tangan kiri mencengkeram pundak lawan, tangan kanan
menyusul dengan pukulan keras sekali ke arah perut.
“Hyaaaaattt...!”
Seruan nyaring ini keluar dari mulut Endang Patibroto dan tubuhnya itu
sudah melejit seperti seekor burung walet, menghindar ke kiri. Dengan
membanting kaki kanan ke depan dan membalikkan tubuh, kini kaki kiri
yang berbalik di depan. Ketika membalikkan tubuh tadi, cengkeraman lawan
terelakkan, akan tetapi, pukulan lawan ditangkis dengan kepretan
jari-jari tangan kiri yang menyambar dari atas ke bawah, menampar lengan
kanan yang memukul perut itu dari atas ke bawah.
“Plakkk...!”
“Aiiihhh!” Tubuh Mayangkurdo seperti diseret dan hampir saja ia
terbanting kalau tidak cepat-cepat ia meloncat dan mematahkan tenaga
yang mendorongnya. Kepretan jari-jari tangan yang lentik halus itu bukan
sembarangan kiranya!
Bukan sembarang tamparan, melainkan tamparan dengan jari-jari kecil
halus yang penuh berisi “setrum” Aji Pethit Nogo! Mayangkurdo menjadi
merah mukanya. Lengan kanan di bagian pergelangan yang tercium jari-jari
tangan wanita itu terasa pedas dan panas. Ia sudah memasang kuda-kuda
lagi, kini tubuhnya makin merendah sehingga kepalanya kira-kira setinggi
dada Endang Patibroto.
Di lain fihak, Endang Patibroto juga tertegun. Kepretan jari tangannya
tadi hebat sekali dan jarang ada lawan dapat menahannya. Ia tadinya
menaksir bahwa dengan pengerahan tenaga sakti Pethit Nogo, ia akan
berhasil mematahkan lawan, atau setidaknya membuat lengan lawan keselio.
Akan tetapi ternyata lawan ini hanya berseru kesakitan saja.
Ketika ia memandang, pergelangan lawan itu jangankan patah, lecet atau
bengkak pun tidak! Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan lawan yang
memiliki aji kekebalan yang lumayan kuatnya. Kembali ia memasang
kuda-kuda, menanti lawan menerjang.
Hanya dengan cara inilah ia mengharapkan dapat merobohkan lawan tanpa
membunuhnya. Kalau dia yang mendahului menerjang, ia tidak percaya
kepada dirinya sendiri, tahu bahwa aji-ajinya terlampau hebat untuk
dibuat main-main. Ia khawatir kalau ia yang menyerang, lawannya ini akan
terpukul mati dan hal ini sama sekali tidak ia kehendaki karena ia
benar-benar ingin bersekutu dengan Blambangan agar maksud hatinya
membalas dendam tercapai.
Mayangkurdo seorang senopati yang tidak mengenal takut. Akan tetapi,
gebrakan pertama membuat ia berhati-hati sekali, dan tidak mau gegabah
menerjang lagi seperti tadi. Ia hanya memasang kuda-kuda, kemudian
melihat lawan tak bergerak sedikitpun, ia merubah kuda-kuda sambil
melangkah maju setindak mendekat.
Endang Patibroto tersenyum.Ia maklum bahwa perubahan kuda-kuda lawan
ini menempatkan ia dalam posisi terbuka dan lemah. Namun ia sengaja
tidak merubah kuda-kudanya yang amat sederhana, yaitu kedua kaki lurus,
tangan kiri miring di depan dada dengan jari terbuka, tangan kanan
menempel di pusar, juga dengan jari terbuka.
Kuda-kuda ini seperti kedudukan tangan orang yang sedang bersamadhi
berlatih pembinaan tenaga dalam. Karena kini Mayangkurdo sudah merubah
kuda-kuda dan menggeser ke sebelah kirinya, maka tentu saja kedudukan
Endang Patibroto menjadi lemah.
Kuda-kuda wanita sakti ini hanya menutup bagian depan tubuh, kalau lawan
berada di kirinya, tentu saja lambung, dan leher sebelah kirinya
menjadi terbuka dan tidak terjaga. Namun ia sengaja diam saja untuk
memberi kesempatan kepada lawan agar suka menyerang karena iapun dapat
menduga bahwa lawan menjadi hati-hati dan tidak mau menyerang secara
sembrono seperti tadi.
Saat yang dinanti-nantinya datang. Lawan menerjang dengan dahsyat sekali
dan amat cepatnya sehingga dalam gebrakan ini, Mayangkurdo sudah
menyerangnya dengan tiga serangan hampir sekaligus, yaitu dengan kedua
tangan menyerang lambung dan leher, disusul sabetan kaki kanan
menyerimpung kakinya!
“Haaaittttt!”
Mayangkurdo berkelebat cepat sekali ketika menyerang sehingga bagi yang
tidak dapat mengikuti gerakannya, melihat seolah-olah kedua lengannya
lenyap menjadi bayangan menyambar.
“Iiihhhh…“ Endang Patibroto berseru perlahan dan bagi Mayangkurdo, tubuh
lawannya itu tibatiba saja lenyap sehingga tiga serangannya mengenai
angin kosong! Barulah ia tahu ketika ada angin menyambar dari atas,
cepat ia menangkis, namun kalah cepat karena pundaknya tiba-tiba
disambar sesuatu yang lunak tetapi beratnya seperti Gunung Semeru
menindih pundak. Ia merasa pundaknya seperti ambleg dan kedua kakinya
menggigil dan tak dapat ia pertahankan lagi sehingga ia mendeprok
berlutut! Kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang-kunang akan
tetapi senopati yang tangguh ini belum juga roboh!
Bagi orang lain yang menonton, mereka melongo ketika tadi melihat betapa
tiba-tiba tubuh Endang Patibroto yang diserang dahsyat itu melambung
tinggi melewati atas kepala Mayangkurdo dan dari atas, Endang Patibroto
menggunakan tangan kirinya menghantam pundak lawan.
Biar pun kelihatannya hanya menepuk perlahan, namun sesungguhnya telapak
tangan kiri wanita sakti ini menggunakan Aji Gelap Musti yang ampuhnya
menggila dan hebatnya seperti kilat menyambar. Sengaja Endang Patibroto
tidak menggunakan Aji Pethit Nogo karena khawatir kalau-kalau ia akan
meremukkan tulang pundak dan hal ini terlalu berat bagi lawan. Memang
ada perbedaan antara semua aji yang dimilild Endang Patibroto.
Aji Pethit Nogo (Ekor Naga) keistimewaannya adalah hawa sakti yang
memenuhi ujung-ujung jari tangan. Aji ini didapatnya dari kakeknya, Resi
Bhargowo. Karena terdapat di ujung-ujung jari, maka digunakan sebagai
tamparan atau kepretan dan jari-jari yang berubah menjadi sekuat ekor
naga ini dapat meremukkan tulang-tulang yang tertampar.
Adapun aji pukulan Gelap Musti (Tinju Petir) ini dapat dipergunakan
dengan tangan terkepal atau hanya dengan telapak tangan yang penuh
dengan getaran tenaga yang timbul dari hawa sakti. Pukulan ini selain
terasa berat seperti tindihan gunung, juga mengandung hawa panas yang
melumpuhkan lawan, akan tetapi sifatnya tidak “tajam” sehingga tidak
membahayakan tulang seperti halnya Aji Pethit Nogo.
Ada lagi ilmu pukulan hebat luar biasa yang dimiliki Endang Patibroto,
yaitu yang disebut Aji Pukulan Wisangnala (Hati Beracun). Pukulan ini
hanya dapat digunakan jika ia berada dalam keadaan marah dan sakit hati,
jika ia bermaksud untuk membunuh lawan karena kemarahan yang hebatlah
yang menjadi pendorong pukulan ini hingga menjadi pukulan beracun yang
dapat menghanguskan isi rongga dada “manusia” llmu-ilmu yang hebat ini
ia dapatkan dari gurunya si manusia iblis Dibyo Mamangkoro!.
Kembali Endang Patibroto tertegun. Pukulan yang ke dua itu, Gelap Musti,
amat kuat dan ia tadinya mengharapkan memukul pingsan lawan. Akan
tetapi siapa kira, lawannya hanya jatuh terduduk dan pening sejenak,
terbukti dari kedua matanya yang dipejamkan. Kemudian tubuh pendek besar
itu sudah meloncat bangun lagi seakan-akan tidak pernah terpukul aji
yang ampuh!.
“Hebat...!” katanya di dalam hati.
Kiranya Blambangan memiliki senopati-senopati yang begini kuat. Ia tahu
bahwa dalam hal kekebalan, Mayangkurdo ini tentu jauh lebih menang dari
pada Raden Sindupati, sungguh pun dalam hal ilmu silat, si pendek besar
ini masih kalah setingkat.
Pada saat itu Mayangkurdo yang sudah menjadi marah sekali, telah
menerjangnya secara bertubi dan hebat. Kali ini dari kerongkongan
Mayangkurdo terdengar suara menggereng-gereng seperti seekor harimau
terluka.
Akan tetapi serangan yang cepat ini malah menggirangkan hati Endang
Patibroto. Makin cepat lawan menyerang, makin baik baginya karena
jangankan hanya dengan gerak cepat yang dimiliki Mayangkurdo seperti
itu, andai kata Mayangkurdo memlliki yang berlipat ganda, takkan dapat
menandingi gerak cepatnya dengan aji Bayu Tantra ditambah
gerakan-gerakan burung walet dan camar yang ia pelajari dahulu di waktu
kecilnya dan ibunya, Kartikosari!
Makin cepat Mayangkurdo menyerang, makin cepat pula tubuh Endang
Patibroto bergerak mengelak sehingga lenyaplah bentuk tubuhnya, berubah
menjadi bayangan yang kerkelebat ke sana ke mari! Mayangkurdo menjadi
pening kepalanya, pandang matanya berkunang-kunang karena ia merasa
seakan-akan bertanding melawan bayangannya sendiri.
Para senopati, termasuk juga Adipati Menak Linggo, memandang dengan mata
terbelalak dan mulut temganga. Gentarlah rasa hati mereka. Kecuali
Raden Sindupati yang menonton dengan pandang mata penuh kekaguman dan
dengan hati makin berdebar penuh rasa cinta berahi.
Ia harus mendapatkan wanita ini! Harus! Belum pernah selama hidupnya ia
mendapatkan seorang kekasih seperti Endang Patibroto ini, dalam mimpipun
tidak pernah. Ia harus menggunakan akal, la harus berhasil memiliki
tubuh denok ayu yang penuh dengan hawa sakti itu! Harus!
Pertandingan berjalan makin seru dan gerakan Endang Patibroto makin
cepat sehingga akhirnya Mayangkurdo menyerang secara ngawur. Ke mana pun
ia melihat bayangan berkelebat, ke sanalah ia mengirim tinjunya.
Akan tetapi karena bayangan itu makin lama makin banyak dan berkelebat
di sekeliling tubuhnya, iapun ikut berputaran sambil menghantam sana
sini sampai akhirnya ia roboh terguling pingsan dalam keadaan mata
ter-belalak dan napas hampir putus, tubuhnya-kejang-kejang!
Endang Patibroto berhenti bergerak, dan melihat keadaan lawannya, ia
kaget sekali. Ia tahu bahwa biar pun ia tadi tidak memukul, namun
keadaan Mayangkurdo kini lebih berbahaya lagi.
Lawannya ini telah mengalami akibat dari pada tenaga sendiri yang
membalik, ditambah pening dan kemarahan meluap-luap sehingga kalau
dibiarkan dalam keadaan seperti ini, ada bahaya akan putus napasnya.
Cepat ia menepuk pundak lawan yang segera lenyap kejangnya, tubuhnya
lemas dan pingsan, akan tetapi napasnyapun tidak magap-megap seperti.
tadi. Dan ketika menotok pundak orang itu, diam-diam Endang Patibroto
terkejut dan kagum karena baru ia tahu sekarang bahwa orang ini memiliki
ilmu kekebalan yang setingkat dengan ilmu kekebalan gurunya, Dibyo
Mamangkoro. Pantas saja kuat menahan pukulan-pukulan ampuh.
Kini berisiklah ruangan persidangan itu. Para senopati saling berbisik
dan rata-rata mereka itu memuji kehebatan ilmu kesaktian Endang
Patibroto. Bahkan Adipati Menak Linggo sampai lama tertegun, kemudian
setelah melihat Mayangkurdo bergerak dan bangkit duduk sambil mengeluh,
barulah ia tertawa terbahak.
“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar hebat, Endang Patibroto!”
Endang Patibroto menghadapi Adipati Menak Linggo, hatinya merasa puas.
“Memang sejak kecil aku digembleng. untuk menjadi senopati, adipati!
Kalau engkau masih belum yakin, boleh mengajukan penguji lagi.”
Ia menoleh ke sekelilingnya dan kali ini semua yang bertemu pandang dengannya, cepat-cepat menundukkan muka.
“Masih ada lagikah senopati gemblengan yang hendak main-main sebentar dengan aku?”
Kembali sunyi senyap di situ. Ketegangan timbul karena tantangan Endang
Patibroto ini. Adipati Menak Linggo sendiri menjadi malu karena
senopatinya seperti serombongan kelinci melihat munculnya seekor harimau
buas.
Bagaimanakah para jagoannya yang biasanya galakgalak itu kini menjadi
seperti orong-orong terpijak, tidak ada suaranya sama sekali?
Terdengar orang batuk-batuk, batuk buatan yang dimaksudkan mengusir keheningan yang mencekam.
“Gusti adipati, kalau paduka menghendaki, biarlah hamba sendiri yang menguji kesaktian Sang Puteri Endang Patibroto.”
Inilah suara Ki Patih Kalanarmodo yang tadi batuk-batuk. Semua mata memandang kepada patih yang tua ini.
Semua senopati maklum bahwa setelah Mayangkurdo kalah, memang tidak ada
lain orang lagi yang patut menandingi Endang Patibroto. Ki patih ini
adalah saudara seperguruan sang adipati sendiri, sungguh pun tingkat
kepandaiannya masih kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Adipati
Menak Linggo, namun is sakti sekali dan ada kemenangannya terhadap sang
adipati, yaitu ilmu di dalam air.
“Kau, kakang patih? Ahhh, tidak usah, tidak perlu lagi.. Aku sudah
percaya akan kesaktiannya. Endang Patibroto, engkau kuterima menjadi
senopati perang. Memang kau tepat untuk memimpin bala tentaraku menyerbu
Jenggala dan Panjalu. Akan tetapi, penyerbuan itu tidak perlu dilakukan
secara tergesa-gesa, karena sekali bergerak, kita harus jangan sampai
gagal. Kau boleh melatih dulu pasukan-pasukan istimewa yang akan menjadi
penggempur terdepan. Sementara itu, kau tinggallah di sini, dan
senangkan dirimu. Jangan khawatir, takkan lama lagi Jenggala dan Panjalu
kita gempur, kita bikin karang abang (lautan api) dan kau boleh
memuaskan hatimu membalas kematian suamimu, ha-ha-ha-ha!”
Demikianlah, sejak saat itu, Endang Patibroto menjadi senopati di
Blambangan. Ia diberi tempat tinggal mewah, di sebuah bangunan mungil
indah di sebelah kiri istana, lebih indah dan lebih mewah dari pada
istana mendiang suaminya.
Segala keperluannya disediakan oleh Adipati Menak Linggo dan tampaknya saja Endang Patibroto hidup senang, mewah dan mulia.
Akan tetapi, di samping kesibukannya menggembleng pasukan penyerbu yang
istimewa dan segala kemewahan yang menyelimuti hidupnya, di waktu malam
seorang diri di dalam kamarnya Endang Patibroto menangis tersedu-sedu,
menangisi suaminya dengan hati penuh kedukaan.
DARI Adipati Menak Linggo sampai semua hulubalang, terutama sekali Raden
Sindupati, semua amat menghormat dan ramah tamah kepadanya sehingga
Endang Patibroto sama sekali tidak menyangka bahwa di belakang
punggungnya, sang adipati seringkali berkasak-kusuk membuat
rencana-rencana jahat dengan para pembantunya dan terutama sekali Raden
Sindupati yang diserahi tugas untuk “membereskan” Endang Patibroto.
“Menurut pendapat hamba, kita harus dapat menarik keuntungan sebanyaknya
dari wanita iblis itu,” demikian antara lain Sindupati mengemukakan
siasatnya kepada sang adipati, “pertama-tama kita harus membiarkan dia
menggembleng dan melatih pasukan Blambangan, kemudian setelah waktunya
tiba, barulah diusahakan pembunuhan atas diri iblis betina itu untuk
membalas dendam paduka. Hamba sanggup melakukan hal itu, malah malah
menurut pendapat hamba, ada cara untuk membalas dendam yang lebih
memuaskan hati, yang lebih hebat dari pada membunuhnya begitu saja.”
“Heh-heh, cara bagaimana itu, senopatiku yang baik?”
Wajah tampan Sindupati tersenyum, matanya mengerling penuh arti. “Paduka
tentu dapat mengira sendiri apa yang lebih hebat bagi seorang wanita!”
Sejenak adipati itu merenung, mengangkat alis, kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Huah-ha-ha-ha-ha, dasar kau tak boleh melewatkan batuk kelimis (wanita
cantik) begitu saja. Aku mengerti ha-ha-ha-ha, aku mengerti, memang dia
hebat, denok ayu seperti puteri Bali. Ha-ha-ha!”
Beberapa pekan kemudian, Blambangan kedatangan seorang yang wajahnya
tampan namun membayangkan kebodohan seorang dusun. Laki-laki ini usianya
tiga puluhan tahun, pakaiannya sederhana sekali, pakaian petani yang
miskin. Wajahnya biar pun tampan tampak bodoh, terutama sinar matanya
yang seperti orang bingung. Laki-laki ini memasuki kota raja dan
menawarkan tenaga kepada siapa saja yang suka memberinya makan.
Akhirnya, pada suatu hari ia diterima menjadi tukang pemelihara kuda
karena ia rajin dan pandai mencari rumput-rumput gemuk. Seorang perwira
menerimanya dan menempatkannya di kandang kuda di mana dipelihara empat
puluh ekor kuda tunggangan para perwira Kerajaan Blambangan. Laki-laki
ini pandai sekali memelihara kuda dan semua kuda yang bagaimana binal
sekali pun selalu menurut kalau dituntun dan dibersihkan tubuhnya oleh
Sutejo, laki-laki ini.
Dari pagi sampai petang Sutejo bekerja giat dan rajin, mencari rumput,
memberi makan kuda, membersihkan mereka, dan membersihkan pula kandang.
Para perwira suka kepada pelayan baru ini yang mengaku berasal dari
dusun Cempa di kaki Gunung Tengger.
Akan tetapi kalau malam tiba, lewat tengah malam pada saat semua orang
sudah tidur, tampak bayangan hitam berkelebat ke atas atap kandang dan
kemudian lenyap ditelan kegelapan malam untuk kemudian berkelebatan pula
di atas atap istana!
Dialah Sutejo si tukang kuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro atau
lebih tepatnya sekarang bernama Tejolaksono, adipati di Selopenangkep!.
Seperti telah kita ketahui, Tejolaksono melakukan perjalanan ke
Blambangan dan di tengah jalan la bertemu dengan Ki Brejeng yang membuka
rahasia segala peristiwa yang terjadi di Jenggala dan Panjalu.
Ia melakukan perjalanan untuk mengejar dan mencari Endang Patibroto yang
menurut Ki Brejeng, telah ikut bersama rombongan pasukan Blambangan
menuju ke Blambangan di mana tersedia perangkap untuk mencelakakan
Endang Patibroto.
Setibanya di daerah Blambangan, Tejolaksono lalu menitipkan kudanya pada
seorang penduduk gunung, kemudian ia berjalan kaki memasuki kerajaan
atau Kadipaten Blambangan dengan menyamar sebagai seorang petani bodoh
yang mencari pekerjaan ke kota raja.
Dapat dibayangkan alangkah heran dan cemas hatinya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa Endang Patibroto kini telah menjadi seorang senopati
besar dari Blambangan! Ah, Endang Endang pikirnya di hati, mengapa
sampai sekarang engkau masih seperti dulu juga? Mengapa sudi menjadi
Senopati Blambangan dan membiarkan dirimu tertipu? Ia makin cemas karena
tidak mendengar akan diri Pangeran Panjirawit!
Menurut penyelidikannya, Endang Patibroto datang ke Blambangan.bersama
dengan pasukan dan tanpa Pangeran Panjirawit suaminya yang telah
dibebaskannya dari penjara Jenggala. Apa artinya ini? Ia mendengar pula
penuturan beberapa orang perwira tentang sepak terjang senopati wanita
itu yang telah mengalahkan para senopati gemblengan dari Blambangan dan
kini diperbolehkan tinggal di dalam istana Sang Adipati Menak Linggo
sendiri!.
Sudah beberapa malam ia melakukan penyelidikan ke istana, namum belum
juga ia mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Endang Patibroto.
Dalam penyamarannya sebagai tukang kuda seperti sekarang ini, tentu saja
tidak mungkin baginya untuk berjumpa secara berterang dengan Endang
Patibroto, bahkan di waktu senopati wanita itu melatih pasukan di
alun-alun, iapun hanya dapat menonton dari jauh saja.
Hatinya terharu kalau melihat wanita itu dari jauh. Tidak banyak
perubahan dalam bentuk tubuh wanita itu, pikirnya. Masih langsing dan
cantik jelita, tangkas seperti dahulu! Makin, trenyuh hatinya kalau
mengenangkan nasib wanita itu dan makin besar keinginan hatinya untuk
segera dapat berbicara dengan Endang Patibroto. Akan tetapi jangan
sampai diketahui orang lain di Blambangan karena hal itu akan menjadi
berbahaya sekali.
Malam itu ia sudah mengambil keputusan bulat untuk memasuki kamar Endang
Patibroto. Sebagaimana lajimnya tempat tinggal seorang senopati, rumah
di samping istana itu terjaga oleh para pengawal. Ia harus menemui
Endang dan kalau perlu, ia akan menggunakan aji penyirepan atau kalau
terpaksa akan merobohkan para. pengawal.
Dengan aji keringanan tubuh Aji Bayu Sakti, bagaikan seekor burung garuda saja
Tejolaksono berloncatan di atas atap istana yang amat tinggi. Andai kata
secara kebetulan ada penjaga yang melihatnya, tentu penjaga itu akan
mengira bahwa yang dilihatnya adalah bayangan burung malam atau kalong,
demikian cepatnya bayangan itu berkelebat. Tak lama kemudian Tejolaksono
sudah berada di atas sebuah bangunan mungil yang menjadi tempat tinggal
Endang Patibroto.
Ia mengintai dari atas dan melihat dua orang pengawal peronda. Tanpa
melalui dua orang pengawal ini, tak mungkin ia dapat turun mencari kamar
Endang Patibroto, pikirnya. Maka cepat ia menyambar dari atas, kedua
tangannya bergerak dan dua orang pengawal itu roboh pingsan tanpa mereka
tahu mengapa mereka begitu!
Cepat sekali pukulan Tejolaksono tadi menampar di belakang telinga dua
orang pengawal. Kemudian Tejolaksono berindap-indap menyelinap ke
pinggir bangunan dan tiba-tiba ia mendengar isak tertahan.
Cepat ia menyelinap dekat dan mengintai dari celah-celah daun jendela.
Dilihatnya Endang Patibroto menelungkup di atas pembaringan sambil
menangis! Yang tampak hanyalah belakang tubuh wanita itu, pinggulnya
yang menyendul dan pundaknya yang bergerak-gerak ketika terisak-isak
memeluk bantal.
Tejolaksono terpaku seperti berubah menjadi arca. Endang Patibroto
menangis! Selama hidupnya belum pernah ia melihat Endang Patibroto
menangis. Gadis yang dahulu menantang maut dengan keberanian yang tiada
taranya, gadis yang keras hati keras kepala, yang berhati baja, kini
menangis terisak-isak memeluk bantal seperti kebiasaan wanita-wanita
cengeng. Apa artinya ini?
Namun, biar pun agaknya Endang Patibroto telah kehilangan kekerasan
hatinya, jelas bahwa kewaspadaannya tidak berkurang. Hal ini diketahui
terlambat oleh Tejolaksono ketika tiba-tiba dari dalam kamar itu, dari
arah pembaringan Endang Patibroto, menyambar sinar terang menuju ke arah
jendela, menerobos celah jendela dan tentu akan tepat mengenai muka
Tejolaksono yang mengintai tadi kalau saja dia. tidak cepat miringkan
muka dan mengulur tangan menyambar benda bersinar itu yang ternyata
adalah sebatang anak panah.
Panah tangan beracun senjata rahasia Endang Patibroto yang dahulu amat
ditakuti lawan! Senjata rahasia ini pulalah yang dahulu pernah melukai
Ayu Candra, isterinya (baca Badai Laut Selatan)! Tejolaksono terkejut
dan hendak melompat ke dalam memperkenalkan diri, akan tetapi dari dalam
kamar itu sudah terdengar bentakan suara Endang Patibroto,
“Pengawal! Tangkap penjahat!”
Adipati Tejolaksono hendak melompat ke atas atap, akan tetapi tiba-tiba
menyerbulah tiga orang pengawal. Dia cepat melompat ke tempat gelap dan
seketika tiga orang pengawal itu menyerbu dengan senjata di tangan, ia
mendorong dengan kedua tangan ke depan, melakukan pukulan jarak jauh.
Tiga orang itu terpelanting roboh.
Tejolaksono cepat menghampiri seorang di antara mereka dan dengancepat
ia menampar dada orang itu dengan Pethit Nogo, dengan tenaga sedemikian
rupa sehingga pukulan ini tidak mematikan orang, melainkan hanya
meninggalkan bekas tapak lima buah jari tangan yang menghanguskan baju
dan menembus kulit sehingga pada dada orang itu kini terdapat tanda
tapak tangannya!
Dia sengaja melakukan hal ini untuk memperkenalkan diri kepada. Endang.
Patibroto. Ramailah suara para pengawal, akan tetapi ketika mereka
menyerbu ke situ, Adipati Tejolaksono telah tiada. Tak seorang pun
sampai melihat wajahnya, bahkan Endang Patibroto sendiripun tidak sampai
melihatnya. Untung Endang Patibroto yang tidak ingin terlihat orang
lain bahwa ia habis menangis itu, terlambat keluar karena harus mencuci
muka lebih dulu.
Endang Patibroto tadinya terheran-heran mendapat kenyataan bahwa ada
seorang maling yang dapat menghindarkan diri dari pada anak panah
tangan, senjata rahasianya yang ampuh itu. Bukan hanya dapat mengelak,
bahkan dapat menangkap dan merampas anak panah tangan itu karena
buktinya anak panahnya lenyap tak berbekas.
Akan tetapi keheranannya berubah menjadi kemarahan ketika ia melihat
tapak lima jari tangan di atas dada seorang pengawalnya. Aji Pethit
Nogo! Dan sekaligus ia dapat menduga siapa orangnya yang mengintai
kamarnya tadi, Joko Wandiro! Siapa lagi kalau bukan pria yang sakti
mandraguna, musuh besarnya semenjak ia kecil itu?
Apa maunya Joko Wandiro datang ke Blambangan dan mencarinya?.
Di dalam kamarnya, Endang Patibroto termenung. Ia tahu bahwa Joko
Wandiro kini telah diangkat menjadi Adipati Tejolaksono, adipati di
Selopenangkep yang termasuk wilayah Panjalu. Hemmm, tak salah lagi,
tentulah ini kehendak sang prabu di Panjalu, atau mungkin si keparat
Pangeran Darmokusumo yang memerintahkan Adipati Tejolaksono untuk
mengejar dan mencarinya.
“Setan kau Joko Wandiro,” gumamnya gemas di dalam hatinya. “Kau datang
hendak menangkap aku? ,Hemm, kaukira aku takut kepadamu, keparat!”
Ia teringat bahwa 'Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono itu hidup
bahagia, demikian berita yang pernah ia dengar dari suaminya, hidup di
samping isterinya yang tercinta, Ayu Candra! Masih teringat ia akan Ayu
Candra, masih ada rasa tidak suka mernbara di hatinya kalau ia teringat
akan Ayu Candra. Tidak suka yang timbul karena sebab yang ia sendiri.
tidak tahu mengapa. Mungkin karena iri hati? Pernah ia dahulu mengira,
atau mengharapkah? Mengira bahwa Joko Wandiro mencinta dirinya.
Joko Wandiro yang oleh mendiang ayahnya telah dijodohkan dengannya.
Kemudian Joko Wandiro malah mencinta Ayu Candra dan menjadi suami Ayu
Candra. Hal ini sebetulnya sama sekali terlupa olehnya ketika ia masih
berdampingan dengan suaminya. Tidak peduli itu semua selama suaminya
masih berada di sampingnya.
Akan tetapi,sekarang suaminya telah tiada! Dan Joko Wandiro masih berdua
dengan Ayu Candra!.Endang Patibroto tidak dapat menahan air matanya
yang pangs membasahi pipinya. Keparat Ayu Candra! Keparat Joko Wandiro!
Sekarang datang hendak menangkapnya? Boleh coba!
“Keparat, jangan lari kau!”
Tiba-tiba Endang Patibroto yang marah sekali tak dapat lagi menahan
kemarahannya. Tubuhnya melesat keluar dari jendela dan tak lama kemudian
tampaklah bayangannya, berkelebat di atas atap-atap rumah di sekitar
Kerajaan Blambangan. Dia mencaricari sampai hampir pagi tanpa hasil
sehingga ia menjadi makin mendongkol dan gemas.
Tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dari bawah dan tahu-tahu di
depannya telah berdiri seorang laki-laki yang tampan. Endang Patibroto
sudah siap menerjangnya, akan tetapi ia menjadi lemas lagi ketika
melihat bahwa yang datang bukanlah Adipati Tejolaksono melainkan
Sindupati yang sudah membawa sebatang keris telanjang di tangannya.
“Aku aku mendengar tentang penyerbuan orang jahat di tempatmu, aku
khawatir kalau-kalau andika akan mengalami ycelaka maka cepat-cepat
mencari ketika tak dapat mendapatkan andika di istana. Adinda Dewi,
tidak apa-apakah andika..?!”
Raden Sindupati cepat melangkah maju dan menangkap tubuh Endang
Patibroto yang terhuyung-huyung dan memegang dahi dengan tangan kirinya.
Wanita ini menjadi pening karena terlalu berduka bercampur marah dan
kecewa menjadi satu, ditambah lagi tidak tidur sernalam suntuk dan
lelah. Kedukaan hampir membuat Endang Patibroto hampir pingsan dan pada
saat seperti itu, setiap kata-kata halus yang menghiburnya membua
hatinya trenyuh.
Sejenak ia membiarka dirinya dirangkul pundaknya dan ia menyandarkan
kepalanya di atas pundak Raden Sindupati. la membutuhkan hiburan dan
kawan pada saat seperti itu dan karena selama ini sikap Sindupati amat
baik terhadap dirinya, halus dan ramah penuh kesopanan, ia menganggap
orang ini sebagai seorang sahabat. Ia terisak perlahan dan baru ia sadar
ketika merasa betapa tangan Sindupati dengan halus dan mesra membelai
rambut kepalanya.
Begitu sadar dia merenggut lepas dari pelukan, akan tetapi tidak terlalu
kasar karena ia tidak ingin menyinggung orang yang sudah begitu baik
terhadap dirinya. Ia cukup maklum melihat sikap Sindupati selama ini
bahwa senopati ini diam-diam mencinta dirinya.
“Ahhh, maafkan aku aku sejenak kehllangan akal,“ katanya menahan isak.
“Kasihan engkau, diajeng. Engkau telah banyak menderita. Kalau saja aku
bisa mendapat kehormatan untuk menghibur ah, aku bersedia mengorbankan
nyawaku untuk mengusir kedukaanmu. Diajeng Endang Patib roto, apakah
yang telah terjadi? Aku tadi mendengar dari para pengawal bahwa ada
orang jahat menyerbu tempat tinggalmu dan kemudian melarikan diri.
Melihat engkau tidak berada di sana, aku tahu bahwa engkau menge)ar
penjahat itu lalu menyusul dan mencari. Apakah diajeng tidak dapat
menangkapnya?”
Merah kedua pipi Endang Patibroto mendengar senopati ini menyebutnya
diajeng. Akan tetapi ia tidak marah dan hanya menghela napas panjang.
Diam-diam ia merasa kasihan kepada orang ini yang mencintanya dengan
sia-sia. Sia-sia belaka karena ia tahu bahwa tidak mungkin ia membalas
perasaan itu.....
Komentar
Posting Komentar