PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-11


“Ah, begitukah? Siapakah dia gerangan?”
la tertarik sekali karena merasa terheran-heran. Di seluruh Kerajaan Blambangan, kiranya hanya sang adipati saja yang menganggap wanita sakti dan jelita ini sebagai musuh besar yang harus dibunuh. Dan yang tahu mengenai hal ini hanyalah dia, Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo dan kedua kakak beradik Klabangkoro dan Klabangmuko. Siapa lagi yang mempunyai niat buruk bahkan berani menyerbu tempat kediaman ini?
“Hanya dugaanku saja, akan tetapi aku sendiri masih ragu-ragu.”
“Engkau agaknya kurang sehat. Tidak baik berdiam di sini. Marilah kita kembali dan berbicara yang enak di gedungmu, diajeng. Percayalah, siapa pun adanya si keparat itu, aku Sindupati akan menyediakan segenap jiwa ragaku untuk membelamu dan menangkap orang itu sampai dapat.”
Diam-diam Endang Patibroto tertawa di dalam hatinya. Jika betul dugaannya bahwa orang itu adalah Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono, jangankan baru Sindupati seorang, biar pun dikerahkan semua senopati di Blambangan, tak mungkin akan dapat menangkapnya! Akan tetapi ia tidak berkata sesuatu dan menurut saja diajak pulang. Mereka melompat turun dari atas atap lalu berjalan berdampingan menuju ke istana.
Ketika tiba kembali di gedung tempat tinggal Endang Patibroto, para pengawal yang tadi dirobohkan pingsan tanpa mereka tahu apa yang terjadi, bersama tiga orang pengawal yang bertanding melawan “penjahat” itu dipanggil menghadap. Setelah mendengar cerita mereka yang aneh, yaitu bahwa penjahat itu sangat sakti sehingga mereka keburu roboh tanpa diberi kesempatan melihat wajahnya.
Endang Patibroto lalu menyuruh pengawalnya yang terpukul itu membuka baju sehingga dadanya yang terdapat tanda tapak lima jari tangan itu tampak nyata seperti dibakar besi panas! Kemudian Endang Patibroto menyuruh para pengawal itu mundur dan dia berkata kepada Raden Sindupati.
“Kau melihat sendiri, raden. Tanda tapak lima jari tangan di dada pengawal tadi adalah tanda bekas pukulan Pethit Nogo. Seperti ini!”
Endang Patibroto mengayun telapak tangan kirinya menghantam lantai, perlahan sekali dan tampaklah jelas tapak jari tangannya di lantai batu itu!
“Aihhh! Kalau begitu sama dengan aji pukulan yang dimiliki diajeng!”
Endang Patibroto mengangguk. “Benar begitu, dan karena itulah maka aku bisa menduga siapa adanya orang itu “
“Siapa, diajeng Endang Patibroto?”
“Di dalam dunia ini, yang mempunyai ilmu pukulan itu hanya dua orang, aku sendiri dan adipati di Selopenangkep, Adipati Tejolaksono.”
Biar pun belum pernah bertemu dengan Adipati Tejolaksono, tetapi Raden Sindupati telah mendengar tentang Adipati Selopenangkep yang sakti mandraguna itu, maka berubahlah air mukanya ketika berseru,
“Yang dahulu bernama Joko Wandiro!”
“Betul, dialah orangnya, dan aku merasa yakin akan hal ini.”
“Tapi... tapi mengapa?!“ Sindupati terheran. “Apakah dia musuhmu, diajeng?”
“Dahulu memang musuh besarku, akan tetapi selama sepuluh tahun di antara kami tidak ada permusuhan, tidak ada hubungan apa-apa lagi.”
Ia diam sebentar, termenung-menung. Memang tidak ada permusuhan di antara mereka. Bagaimana bisa bermusuhan? Ibunya sendiri, ibu kandungnya, tinggal bersama Adipati Tejolaksono!
“Agaknya aku tahu bahwa dia tentulah menjadi utusan Kerajaan Panjalu untuk mencariku, menangkapku atau membunuhku...”
Raden Sindupati meloncat bangun dari kursinya, wajahnya yang tampan menjadi merah padam, matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Babo-babo... Si keparat Tejolaksono! Beraninya dia datang seorang diri di Blambangan dengan niat yang begitu keji? Membunuhmu? Huh, harus bisa menyempal bahu kananku dulu, harus melangkahi mayat Sindupati dulu baru dapat menyentuh ujung rambut Endang Patibroto!”
Endang Patibroto tersenyum pahit. Ia terharu sekali menyaksikan tingkah pria ini, tingkah seorang yang menjadi korban asmara, akan tetapi alangkah lucunya kalau pria ini hendak menantang kesaktian Joko Wandiro! Bahkan dia sendiri pun sudah beberapa kali terpaksa harus mengakui keunggulan Adipati Selopenangkep itu.
“Raden Sindupati, dia itu amat sakti mandraguna, tidak mudah dikalahkan.”
“Aku tidak takut! Diajeng Endang Patibroto, lihatlah sinar mataku, lihatlah wajahku. Masih tidak percayakah adinda bahwa aku akan membelamu dengan mempertaruhkan seluruh jiwa ragaku? Akan kukerahkan seluruh pasukan Blambangan! Biar Tejolaksono bersekutu dengan dewa sekali pun, tak mungkin dia bisa menandingi pasukan Blambangan seorang diri saja!”
Endang Patibroto menghela napas panjang. Memang sukar berdebat dengan orang yang sudah mabuk cinta. Ia tidak tega untuk membuyarkan harapan, merusak hati laki-laki
Masih banyak waktu untuk membuka mata Sindupati kelak bahwa dia tak mungkin dapat membalas cintanya. Tidak mungkin! Wajah suaminya tidak pernah meninggalkan hatinya, biar sedetik sekali pun. Di siang hari terbayang di depan pelupuk mata, pada malam hari menjadi kembang mimpi
“Cobalah kau usahakan, raden. Kurasa Adipati Tejolaksono bersembunyi di sekitar kota raja. Aku cukup mengenalnya dan tahu bahwa orang seperti dia tidak akan mau mundur sebelum cita-citanya tercapai, sebelum tugasnya terpenuhi. Kadipaten Selopenangkep termasuk wllayah Panjalu, tentu dia menjadi jago sang prabu di Panjalu untuk menangkap saya. Tubuhku amat lelah, aku ingin tidur.”
“Aduh kasihan diajeng yang bernasib malang. Kau beristirahatlah dan jangan khawatir, akan kukerahkan pasukan sekarang juga untuk mencari di seluruh kota raja. Dan tentang keselamatanmu, aku yang menjamin dan aku sendiri yang akan memimpin para pengawal menjaga tempat tinggalmu ini!”
Setelah berkata demikian, dengan sikap mengasih dan gagah Raden Sindupati memberi hormat lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang duduk termenung. Laki-laki yang baik, pikirnya. Sayang aku terpaksa akan menghancurkan hatinya dengan penolakan cinta kasihnya.
Dan Adipati Tejolaksono! Joko Wandiro! Ah, mengapa ia terbayang-bayang akan semua pengalamannya di masa dahulu, sepuluh tahun yang silam? Teringat akan masa dahulu, terbayang pula pangalaman yang tak dapat dilupakan, pengalaman yang amat pahit, yang amat menusuk perasaannya, yang membuatnya membenci Joko Wandiro dan membenci pula Ayu Candra! Terbayang dia betapa pada waktu dia dipeluk dari belakang oleh Joko Wandiro, dibelai dan dicium tengkuknya, penuh kasih sayang, penuh kemesraan.
Pada waktu itu ia belum ada hati sedikit pun juga terhadap Pangeran Panjirawit dan ketika itu dengan sepenuh jiwa raganya ia menyerahkan diri. Hangat hatinya menyambut cinta kasih Joko Wandiro, orang yang oleh ayahnya telah dijodohkan kepadanya!. Akan tetapi, bagaikan halilintar menyambar kepalanya, mulut Joko Wandiro membisikkan nama Ayu Candra.
Kiranya Joko Wandiro bukan memeluk dan membelainya, melainkan mengira bahwa dia adalah Ayu Candra. Bukan dia yang dicinta Joko Wandiro, melainkan Ayu Candra (baca Badai Laut Selatan)! Maka timbullah bencinya yang hebat terhadap dua orang itu, benci yang tanpa dia sadari sendiri didasari oleh cinta kasih yang dikecewakan, oleh cemburu dan iri hati! Sampai akhirnya datang obat penawar yang sangat manjur, yaitu limpahan cinta kasih Pangeran Panjirawit yang akhirnya dapat menyembuhkan sakit hatinya
Kini suami tercinta sudah meninggal dunia. Dan tanpa disangka-sangkanya, muncul pula Joko Wandiro dalam hidupnya, muncul sebagai Adipati Tejolaksono, sebagai utusan dari musuh besarnya, Pangeran Darmokusumo yang datang dengan niat jahat, menangkap atau membunuhnya!
Dia mengerutkan kening, jantungnya seperti ditusuk oleh duka, kecewa dan dendam, lalu terhuyung memasuki kamarnya di mana dia membanting diri di atas kasur, menangis sampai dia tertidur pulas dengan bantal basah air mata.
Biar pun sepekan lamanya Raden Sindupati mengerahkan semua pasukan untuk mencari Adipati Tejdaksono, namun hasilnya sia-sia belaka. Orang yang dicari-carinya itu masih enak-enak bekerja sebagai tukang kuda yang rajin dan menyenangkan para perwira.
Namun Endang Patibroto tidak mempedulikan hal itu. Ia tidak peduli apakah penyerbu itu tertangkap atau tidak, tak peduli siapa penyerbu itu, benarkah Joko Wandiro seperti yang disangkanya ataukah bukan. Ia sudah berhasil mengatasi kedukaan hatinya yang sangat hebat di malam munculnya penyerbu itu, dan kini ia melakukan tugasnya kembali seperti biasa, yaitu melatih pasukan, karena cita-citanya hanya untuk dapat menyerbu Jenggala, membalas dendam kematian suaminya.
Tiap hari Raden Sindupati sedikitnya satu kali tentu datang menjenguknya untuk memberi laporan mengenai usaha mencari penjahat itu, dan dalam kesempatan ini selalu senopati muda itu menunjukkan sikap manis, ramah tamah, menghiburnya dan tak lupa membawa apa saja untuk menyenangkan hatinya.
Buah-buahan yang sukar didapat di Blambangan, sutera-sutera tenun yang sangat indah, perhiasan emas permata. Pendeknya, semakin jelas tampak sikap Raden Sindupati yang mencintanya, sungguh pun belum pernah menyatakan perasaan hatinya melalui mulut.
Endang Patibroto tak dapat mengelak, tak dapat menolak semua pemberian tanda cinta itu, karena ia tak mau menyakiti hati satu-satunya orang yang pada saat itu dianggapnya sebagai seorang sahabat baik. Tetapi ia sudah mengambil keputusan untuk dengan halus menolak apa bila Sindupati menyatakan cinta kasihnya dengan kata­kata. Dan agaknya, saatnya tentu akan tiba sewaktu-waktu, melihat sikap yang makin mendesak itu.
Pada pagi hari itu, seperti biasa setelah bangun pagi-pagi„ Endang Patibroto mandi lalu berganti pakaian, merias diri secara sederhana dan sudah siap untuk melakukan tugasnya setiap hari. Hari itu dia akan mulai dengan melatih barisan anak panah kepada pasukan istimewa yang digemblengnya. Dan sebelum berangkat ke alun-alun, lebih dulu dia duduk menghadapi meja di ruangan depan untuk sekedar mengisi perut dengan sarapan pagi yang disediakan oleh seorang pelayan.
Endang Patibroto yang tidak mencurigai sesuatu, tidak tahu bahwa semenjak sebelum ia bangun dari tidur tadi, sepasang. mata telah mengawasi setiap gerak-geriknya. Sepasang mata Raden Sindupati!
Kini, pada waktu dia menghadapl meja untuk minum kopi dan makan ketan kelapa yang disediakan, Raden Sindupati juga sudah menyelinap ke depan dan bersembunyi.
Endang Patibroto hendak mulai sarapan pagi dengan menghirup kopi panas. Akan tetapi baru saja cangkirnya menempel bibir, tiba-tiba terdengar suara nyaring.
“Diajeng, jangan diminum itu...!”
Endang Patibroto menoleh dan melihat Sindupati sudah ada di belakangnya. Wajah yang tampan dan biasanya tersenyum-senyum padanya itu kini nampak gelisah dan sungguh-sungguh, bahkan wajahnya agak pucat.
Endang Patibroto meletakkan kembali cangkir kopinya yang belum dia minum isinya, ke atas meja.
“Ada apakah, kakang Sindupati?”
Sudah beberapa hari ini, atas permintaan Sindupati yang berkali-kali, ia menyebut kakang kepada senopati ini.
“Engkau belum makan ketan itu dan belum minum kopi itu, bukan?”
Endang Patibroto menggelengkan kepala. “Belum. Mengapakah?”
“Coba diajeng panggil pelayan yang menyediakan makan minum ini dan diajeng akan menyakslkan sendiri,” jawab Raden Sindupati, mukanya masih pucat.
Endang Patibroto bertepuk tangan. Seorang pelayan muncul kemudian pelayan ini disuruh memanggil pelayan yang tadi menyediakan sarapan pagi. Tak lama kemudian muncullah seorang pelayan, wanita yang setengah tua.
“Engkaukah yang menyediakan sarapan pagi untuk diajeng Endang Patibroto?” Sindupati bertanya, suaranya kereng.
“Betul seperti yang paduka katakan, raden. Memang tugas hamba adalah menyediakan semua makanan dan minuman gusti puteri.“
“Bibi, kalau demikian coba kau makan ketan itu dan minum kopinya!” kata pula Sindupati sambil menudingkan jari telunjuknya ke atas meja di mana terdapat sepiring kecil ketan kelapa dan secangkir kopi hitam.
“Tapi... tapi...“ Wanita pelayan itu terbelalak memandang. Tentu saja la terheran dan tidak berani melakukan hal ini.
Sarapan itu adalah persediaan untuk sang puteri, bagaimana dia berani menyantapnya? Beberapa orang pelayan yang tertarik oleh ribut-ribut dan berada di situ, juga terbelalak memandang heran.
“Tidak ada tapi! Hayo lekas makan dan minum ketan dan kopi itu atau kujejalkan nanti ke mulutmu!” bentak Raden Sindupati sehingga Endang Patibroto sendiri memandang heran.
Tidak biasanya senopati muda ini bersikap demikian galak dan kasar. Akan tetapi karena ia menyangka tentu ada terjadi sesuatu, ia lalu berkata kepada pelayannya,
“Bibi, kalau memang engkau tidak mempunyai kesalahan dalam menghidangkan makanan dan minuman ini, mengapa kau tidak mau makan dan minum? Kau cobalah dan jangan takut, aku tidak akan marah.”
Karena sang puteri yang dilayaninya sudah memberi ijin, terpaksa dengan muka pucat pelayan wanita itu tidak membantah lagi. Jari-jari tangannya gemeter ketika ia mengambil piring ketan dan memakan isinya sampai setengahnya. Kemudian dia pun minum kopi itu sampai setengah cangkir. Tidak terjadi apa-apa!
“Kakang Sindupati.“
Endang Patibroto hendak menegur senopati itu, tetapi segera menghentikan kata­katanya karena pada saat itu pula si wanita pelayan menjerit dan roboh terguling mencengkeram perutnya sendiri, merintih-rintih kemudian berkelojotan dan tewas.
Endang Patibroto cepat menyambar piring ketan, kemudian mengambil sedikit ketan dan memasukkan ke mulut. Namun begitu lidahnya merasakan ketan Itu, cepat-cepat dibuang dan diludahkannya kembali.
Demikian pula dia mencicipi kopi yang cepat dia ludahkan keluar. Sikapnya tenang-tenang saja, Dia tidak tahu betapa Sindupati memandangnya dengan kagum dan khawatir sekali. Kemudian ia membalikkan tubuhnya memandang senopati itu,
“Kakang Sindupati, ketan dan kopi mengandung racun. Bagaimana kau bisa tahu?”
Di dalam hatinya, Sindupati tersenyum girang. Untung ia berlaku cerdik, pikirnya. Tadinya Adipati Menak Linggo yang mengusulkan rencana untuk membunuh Endang Patibroto dengan jalan meracunnya, mencampurkan racun dalam makanan dan minumannya.
“Wanita itu terlampau sakti, terlalu berbahaya,” demikian antara lain sang adipati berkata, “biar pun sekarang kelihatan bersekutu dengan kita, tetapi sekali rahasia kita terbongkar, ia merupakan ancaman bahaya yang tak boleh dipandang ringan. Aku menghendaki agar dia mati, biar dengan cara apa pun juga. Dan kaulah orangnya yang kuserahi tugas untuk membunuhnya, Sindupati “
Untung bahwa Sindupati memiliki kecerdikan yang luar biasa dan ia ganti membeberkan rencananya kepada sang adipati.
“Hamba yakin bahwa seorang sakti seperti Endang Patibroto, tidak mudah diracun begitu saja, gusti adipati. Mencampurkan racun dalam makanan dan minumannya adalah amat berbahaya karena selain belum tentu ia akan dapat diracuni karena memiliki daya tahan dan daya penolak untuk itu, jika ketahuan bukankah akan menggagalkan semua rencana? Hamba mempunyai siasat yang lebih halus lagi.”
la lalu menuturkan siasatnya dan sang adipati menyetujuinya. Dan apa yang terjadi pada pagi hari ini adalah hasil dari pada siasatnya yang amat licik.
Tanpa setahu pelayan, diam­diam dia menaruh racun ke dalam ketan dan kopi, kemudian dia pula yang datang memberi peringatan kepada Endang Patibroto, bahkan secara kejam sekali ia memaksa si pelayan yang sebenarnya tidak tahu apa-apa itu untuk makan dan minum sarapan pagi yang sudah ia campuri racun sampai tewas!
Ketika melihat Endang Patibroto dapat mengenali racun hanya dengan hanya mencicipi sedikit ketan dan kopi itu, maka terbuktilah kebenaran dugaannya. Andai kata tidak dia peringatkan sekali pun, Endang Patibroto akan tahu tentang racun dan tidak akan menjadi korban, bahkan akan menjadi curiga!
Kini, dengan mengorbankan nyawa si pelayan, ia dapat menangkan kepercayaan Endang Patibroto bahkan tampaklah ia sebagai seorang yang baik dan setia kawan, membuat ia makin menonjol dalam pandangan wanita sakti ini!.
Ketika ditanya oleh Endang Patibroto bagaimana ia bisa mengetahui bahwa sarapan itu ada racunnya, ia sudah menyediakan jawabannya seperti yang ia rencanakan.
“Ah... syukurlah bahwa para dewata masih melindungimu, diajeng,” demikian jawabnya setelah ia memerintahkan para pengawal untuk membawa pergi mayat si pelayan dan di situ tidak terdapat orang lain lagi.
“Alangkah ngerinya! Kalau sampai diajeng menjadi korban racun ahhh... betapa mungkin aku dapat hidup lebih lama lagi...!”
Wajahnya pucat, suaranya menggetar dan ia melangkah maju, seperti hendak meraih dan memeluk karena hatinya terharu dan tegang. Akan tetapi Endang Patibroto melangkah mundur dan berkata,
“Bahaya telah lewat, kakang Sindupati. Sungguh beruntung bahwa kakang telah tahu dan dapat memperingatkan aku, sungguh pun belum tentu aku akan dapat diracun begitu saja. Duduklah dan ceritakan, bagaimana engkau bisa mengetahui akan perbuatan keji itu!”
Melihat wanita itu tidak melayani hasratnya, Sindupati tidak mau memaksa dan segera mengambil tempat duduk. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan kedua tangannya yang ditaruh di atas meja masih gemetar.
Sesungguhnya bukan gemetar karena kekhawatirannya terhadap Endang Patibroto, akan tetapi gemetar karena girang melihat berhasilnya siasatnya dan karena nafsu berahi yang menggelora!.
“Diajeng Endang Patibroto, jantungku masih berdebar seakan-akan hendak pecah kalau kuingat betapa tadi keselamatan adinda terancam maut yang mengerikan! Ketahuilah bahwa biar pun kami tidak berhasil menangkap si penjahat Tejolaksono atau siapa pun dia yang menyerbu kamar adinda, akan tetapi diam-diam aku selalu menaruh penyelidik dan mata-mata di sekitar istana untuk mengawasi gerak-gerik yang mencurigakan. Semalam, demikian menurut penyelidikku, terlihat pelayan laknat itu mengadakan pertemuan dengan seorang yang tak dikenal di taman. Ketika para penyelidik hendak menyergapn; orang itu berkelebat lenyap cepat sekali. Para penyelidik segera melapor padaku dan aku menjadi curiga kepada pelayan itu. Semalam aku tidak tidur memikirkan segala kemungklnan dan akhirnya aku teringat bahwa pelayan yang bertugas melayani makan minurnmu itu tentu hendak melakukan sesuatu atas perintah musuh keparat itu. Aku menghubungkan segala sesuatu dan mengambil kesimpulan bahwa mungkin si jahat itu akan meracunimu. Maka aku lalu cepat­cepat berlari ke sini dan syukurlah bahwa kau belum makan atau minum sarapanmu!” Kembali ia menggigil.
Endang Patibroto tersenyum. Terharu juga hatinya. Senopati muda ini benar-benar amat memikirkan keselamatannya sehingga mau menyiksa diri sendiri sedemikian rupa. Karena terharu dan berterima kasih, ia mengulurkan tangan dan menyentuh tangan senopati itu di atas meja.
“Terima kasih, kakang Sindupati. Engkau memang baik sekali terhadap diriku.”
Sindupati cepat memegang tangan yang halus itu dan meremas jari-jari tangan Endang Patibroto. “Diajeng aku aku menyediakan nyawaku untukmu dan...”
Endang Patibroto menarik tangannya terlepas dari genggaman Sindupati.
“Kakang Sindupati,” katanya cepat­cepat memotong kalimat yang diucapkan senopati itu, “sungguh amat disayangkan bahwa kakang tadi terlalu terburu nafsu. Kalau saja pelayan itu tidak dibunuh dan sekarang masih hidup, tentu kita dapat memaksanya mengaku siapa orangnya yang menyuruh dia menaruh racun dalam sarapanku.”
Wajah yang tampan itu kelihatan marah sekali, matanya bersinar-sinar.
“Siapa yang dapat menahan kemarahan, diajeng?“
Endang Patibroto maklum bahwa senopati di depannya ini, di samping kesaktiannya, juga memilili kecerdikan luar biasa, maka ia segera memandang dengan penuh perhatian dan bertanya,
“Bagaimana siasatmu, kakang Sindupati?”
“Beginilah seharusnya diatur. Sudah jelas bahwa siapa pun adanya orang yang malam itu mendatangimu, dan mungkin sekali Adipati Tejolaksono melihat dari kesaktiannya dan aji pukulan Pethit Nogo seperti yang adinda katakan, kini berada dalam persembunyiannya dan masih berada dalam kota raja. Dan jelas pula bahwa dia tentu menanti saat yang baik untuk bertemu dengan engkau, karena kalau menghadapi pengeroyokan semua senopati dan pengawal, tentu dia tidak berani, betapa pun juga hebat kepandaiannya. Oleh karena itu tiada jalan lain kecuall memancingnya keluar dari tempat persembunyiannya dan satu-satunya orang yang dapat memancingnya keluar, adalah diajeng sendiri.”
Endang Patibroto mengangguk-angguk, namun keningnya yang kecil panjang dan hitam seperti dilukis itu berkerut. Sebagai orang yang mengutamakan kegagahan ia tidak suka akan segala macam siasat.
Tapi ia pun tahu bahwa ucapan ini mengandung kebenaran. Kalau tidak keliru dugaannya, tentu Joko Wandiro sedang menunggu kesernpatan untuk turun tangan terhadap dirinya, dan karena maklum bahwa dia merupakan lawan setanding dan berat, tentu saja Joko Wandiro berlaku hati-hati dan tidak sembrono.
Memang benar kalau sampai dikeroyok, betapa pun saktinya Joko Wandiro, tak mungkin dia dapat menang. Kebenciannya terhadap Joko Wandiro telah bertambah-tambah ketika terdapat bukti bahwa ia hendak diracun tadi, sungguh pun ia masih meragu apakah Joko Wandiro sudi melakukan hal seperti itu, hal yang amat pengecut dan rendah sedangkan ia tahu betul bahwa Joko Wandiro bukan seorang pengecut, apa lagi berjiwa rendah!.
“Bagaimana rencanamu untuk memancingnya, kakang Sindupati?”
“Malam ini juga sebaiknya diajeng keluar dari istana dan berada seorang diri di tempat yang sunyi. Untuk itu, menurut rencanaku, taman istana merupakan tempat yang sangat baik. Apa bila diajeng muncul pada malam hari di tempat sunyi seorang diri, aku merasa yakin bahwa penjahat itu tentu akan muncul. Aku akan mengepung tempat itu dan kalau dia muncul, kita akan maju menangkapnya. Orang ini harus ditangkap untuk diperiksa dan diketahui maksud kedatangannya di Blambangan. Gustl adipati ingin sekali mengetahui, karena selain hendak mencelakai diajeng, siapa tahu dia adalah seorang mata-mata dari Jenggala atau Panjalu yang berbahaya.”
Di dalam hatinya, Endang Patibroto kurang setuju. Akan tetapi dia tidak melihat cara lain untuk menghadapi Joko Wandiro. Dia sendiri pun ingin melihat orang itu tertangkap, ingin melihat Joko Wandiro dikalahkan untuk memuaskan hatlnya yang diracuni kebencian.
Kalau Joko Wandiro memusuhinya dan menjadi utusan Pangeran Darmokusumo untuk membunuhnya, mengapa ia harus ragu-ragu untuk membantu Sindupati menangkap Joko Wandiro?
“Baiklah, malam nanti aku akan berada di dalam taman.”
“Sebaiknya menjelang tengah malam jika semua penghuni istana sudah tidur, agar jangan meragukan hati penjahat itu diajeng.”
Endang Patibroto setuju, kemudian berundinglah mereka berdua untuk menghadapi dan menangkap Joko Wandiro atau Adlpati Tejolaksono seperti yang diduga penuh keyakinan oleh wanita sakti ini. Dengan hati girang Raden Sindupati lalu meninggalkan tempat itu untuk melakukan persiapan.
Dia menghubungi para senopati yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, juga Ki Patih Kalanarmodo dan Mayangkurdo, kemudian mempersiapkan pula seratus orang prajurit pilihan termasuk dua losin barisan anak panah yang mengepung taman sari dengan busur dan anak panah siap di tangan masing-masing…..
********************
Malam hari itu, Adipati Tejolaksono atau yang kini berganti nama menjadi Sutejo tukang kuda, sedang rebah di atas setumpukan jerami kering di dalam kamar di dekat kandang kuda. Hatinya gelisah sekali dan berkali-kali ia menghela napas panjang.
Sudah beberapa pekan ia bekerja di situ sebagai tukang kuda, akan tetapi belum juga ia berhasil bertemu empat mata dengan Endang Patibroto. Ia tidak berani lagi mendatangi tempat Endang Patibroto secara sembrono, setelah malam itu hampir saja ia tertangkap.
Kalau sampai ia dikenal orang, tentu keselamatan wanita itu akan menjadi terancam. Ah, dia sudah meninggalkan tanda tapak jari Aji Pethit Nogo, tidak mungkin Endang Patibroto tidak mengenalnya!
Mengapa Endang Patibroto tidak mencarinya, bahkan para senopati dan pengawal yang berkeliaran mencari? Kini penjagaan makin diperketat sehingga ia tidak berani sembrono memperlihatkan diri, tambah tekun bekerja menyembunyikan diri di balik penyamarannya sebagai tukang kuda.
Ia sudah mendengar percakapan para perwira yang sering kali datang jika membutuhkan kuda tunggangan mereka tentang keadaan Endang Patibroto, malah dia mendengar pula bahwa Raden Sindupati, senopati yang menjadi tokoh penting dan dipercaya sang adipati, agaknya jatuh cinta pada Endang Patibroto! Ia mendengar pula percakapan para perwira mengenai watak Raden Sindupati yang tidak pernah mau melewatkan begitu saja wanita denok!
Semua ini tidak menggelisahkan hati Tejolaksono. Yang membuat ia terkejut sekali adalah ketika siang tadi ia mendengar bahwa Endang Patibroto nyaris menjadi korban peracunan dalam sarapan paginya. Ia harus cepat-cepat ­menemui Endang Patibroto yang terancam keselamatannya, malam hari ini juga, sebelum ia terlambat!
Demikianlah, menjelang tengah malam tukang kuda Sutejo ini lalu melompat keluar dari kamarnya dan sebentar saja dia sudah berlompatan di atas atap dengan kecepatan luar biasa. Malam itu masih terang bulan dan kebetulan tidak ada mendung sehingga sinar bulan menerangi permukaan bumi.
Dengan pandang matanya yang sangat tajam dan waspada, ketika melewatl atap istana, Tejolaksono bisa melihat berkelebatnya bayangan yang amat cepat menuju ke taman sari, yaitu taman bunga yang amat luas dan indah dari istana Kadipaten Blambangan. Hatinya berdebar keras. Bayangan seorang wanita yang bertubuh langsing.
Tidak salah dugaannya ketika ia melihat wajah bayangan itu. Siapa lagi wanita yang dapat bergerak secepat itu kalau bukan Endang Patibroto! Dengan gembira sekali Tejolaksono lalu melompat turun dan mengikuti dari jauh. Hatinya semakin berdebar ketika dia melihat Endang Patibroto memasuki taman sari lalu duduk di atas bangku di tengah taman sari itu, lalu termenung menghadapi kolam ikan emas yang penuh dengan teratai putih.
Sejenak Tejolaksono memandang tubuh yang duduk termenung itu dengan hati terharu. Inilah Endang Patibroto, wanita yang sejak kecil ia kenal, yang pernah menjadi musuhnya berkali-kali, lawan terberat yang pernah ia jumpai. Endang Patibroto, puteri kandung bibi Kartikosarl dan ayah angkatnya, Pujo. Masih tunggal guru dengannya, ketika keduanya di waktu kecil digembleng oleh Resi Bhargowo di Pulau Sempu (baca Badai Laut Salatan).
Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah bertemu muka dengan Endang Patibroto yang sejak menjadi isteri Pangeran Panjirawit tak pernah meninggalkan istana suaminya. Kini, secara aneh terlibat oleh peristiwa-peristiwa yang tak tersangka-sangka, mereka kembali bertemu dl Blambangan. Sungguh tidak dapat disangka lika-liku hidup ini. Ia lalu melangkah maju menghampiri dan memanggil lirih,
“Endang…!”
Tubuh yang duduk diam seperti arca itu mendadak bergerak melompat sambil memutar tubuh menghadapi Tejolaksono, sepasang matanya tampak bagaikan bintang bercahaya dan suaranya penuh teguran, “Joko Wandiro, ternyata benar engkau...!”
Tejolaksono terpesona memandang Endang Patibroto. Masih tetap seperti dulu, seakan-akan usianya tidak bertambah sepuluh tahun. Masih tetap cantik jelita dan masih penuh semangat, panas dan galak seperti dahulu. Mendengar suaranya ketika menyebut nama kecilnya dengan nada marah, Tejolaksono mau tak mau tersenyum.
“Benar aku, Endang Patibroto. Akan tetapi namaku sekarang Tejolaksono...”
“Tidak peduli Joko Wandiro atau Tejolaksono, engkau tetap selalu memusuhiku! Engkau pengecut rendah. Memang sudah kunanti-nanti kau.”
Sambil berkata demikian Endang Patibroto langsung menerjang maju dengan tangkas dan cepat, mengirim tamparan ke arah kepala Tejolaksono. Tangannya ketika berkelebat itu mengeluarkan angin panas menyambar.
“Plakk!“
Endang Patibroto menjadi miring kedudukan tubuhnya ketika lengannya bertemu dengan tapak tangan Tejolaksono yang menangkisnya. Tapi secepat kilat Endang Patibroto sudah memukul lagi ke dada lawan.
Tejolaksono melompat mundur dan beseru, “Nanti dulu, Endang, engkau salah sangka!“
“Weerrrr...! Plakk!”
Kembali Tejolaksono terpaksa menangkis karena tamparan yang menyusul hantaman ke tiga itu tidak dapat dia elakkan lagi, demikian cepat sekali datangnya. Kembali keduanya terdorong ke belakang.
“Endang, dengarlah keteranganku kau... kau... tertipu masuk perangkap!”
Adipati Tejolaksono kembali melejit ke kanan agak jauh untuk menghindari tendangan kilat yang disusul hantaman Aji Wisangnala yang ampuhnya menggiriskan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar