PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-12


“Betul, memang sang prabu di Panjalu yang mengutusku menyusul dan mencarimu, tapi semua pembunuhan keji itu...“
“Tidak usah banyak cakap. Aku sudah tahu semua! Aku tahu siasat Darmokusumo yang jahat. Aku tahu... Aku tahu semua kesalahan ditimpakan kepada diriku. Dan kau datang untuk menangkapku, menyeretku ke hadapan kaki Raja Panjalu dan Raja Jenggala yang jahat!”
“Endang...!”
“Cukup! Tidak usah banyak cerewet lagi. Kau sudah mencoba menangkapku malam itu, kemudian... kemudian mencoba meracuniku... aku tidak takut. Hayo majulah, jika bukan engkau yang menggeletak tewas di sini, tentu aku!”
Kembali Endang Patibroto sudah menerjangnya dengan dahsyat sekali. Wanita ini teringat akan semua peristiwa yang menimpa dirinya, teringat akan kematian suaminya dan kini melihat Joko Wandiro yang hidupnya selalu lebih bahagia dari padanya, membuat ia ingin menumpahkan semua kebencian dan kemarahannya kepada musuh lama ini.
“Endang, dengar dulu. Kau tertipu...!”
Akan tetapi pada saat itu pula tampak banyak sekali bayangan manusia yang berkelebat dan ternyata tempat itu sudah terkurung oleh belasan orang senopati serta perwira yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kalanarmodo dan Sindupati.
“Tangkap mata-mata...!” terdengar teriakan-teriakan di sekeliling tempat itu.
Tejolaksono terkejut bukan main, tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi kepungan seperti ini. Ketika dua orang senopati menerjang dari kiri, dia menggerakkan kaki tangan dan dua orang lawan itu roboh terjengkang!
“Wuuuttt...!”
Tejolaksono cepat membuang diri ke kiri karena pukulan Endang Patibroto dari kanan itu dahsyat sekali datangnya.
“Endang, larilah. Mari kau ikut aku lari, Endang, sebelum terlambat. Marilah, nanti aku beri penjelasan. “
Tetapi Endang Patibroto tidak mempedulikannya dan pada saat itu pula Raden Sindupati, Mayangkurdo, Ki Patih Kalanarmodo, Klabangkoro, Klabangmuko serta beberapa orang senopati yang lain yang pilihan telah menerjang maju. Cepat Tejolaksono menggerakkan tubuhnya, kaki tangannya menyambar dan sambil menangkis semua hantaman lawan, la telah berhasil merobohkan Klabangmuko dan Klabangkoro dengan tendangan berantai.
Akan tetapi, karena ia dihujani serangan, seperti juga senopati-senopati yang ia robohkan tadi, Klabangkoro dan Klabangmuko tidak terluka parah dan dapat bangkit kembali sambil meringis kesakitan.
“Ehh dia ini si Sutejo tukang kuda.”
Terdengar seorang perwira berseru kaget dan semua orang tercengang. Siapa kira bahwa penjahat yang dianggap maling haguna (maling sakti) dan selama ini dicari-cari itu kiranya adalah si tukang kuda yang baru! Orang dusun yang tampak bodoh, jujur, dan rajin sekali bekerja!
Kini pun pakaiannya masih sederhana, namun setelah bergerak, bukan main hebatnya!.
Melihat banyaknya orang-orang yang mengeroyoknya, bukan orang-orang sembarangan pula, dan melihat betapa taman itu terkepung oleh seratus orang lebih prajurit sehingga merupakan pagar manusia yang tebal, Tejolaksono mulai khawatir.
Ia masih sibuk berkelebat ke sana ke marl menghadapi pengeroyokan para senopati yang kini sudah menggunakan senjata, dan untuk yang penghabisan ia berseru,
“Endang, dengarlah kepadaku. Mari kita lari bersama masih ada waktu. Kalau kita berdua menyerang, tikus-tikus busuk ini tak mungkin dapat menahan kita.“
Akan tetapi sebagai jawaban dari ajakan ini, Endang Patibroto kini malah mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dengan Aji Wisangnala yang dilakukan dengan pengerahan tenaga dahsyat sekali ke arah lambung Tejolaksono.
Itulah pukulan maut yang tidak mungkin dapat ditahan, meski oleh seorang manusia sakti seperti Adipati Tejolaksono sekali pun! Beberapa orang senopati yang terdekat sudah roboh mendengar pekik tadi dan Tejolaksono terkejut bukan main.
Dia sedang menghadapi serbuan senjata yang banyak sekali, dan kini dari samping kanan Endang Patibroto memukulnya ke arah lambung dengan pengerahan aji yang sedemikian dahsyatnya! Tidak ada pilihan lain baginya, mengelak tidak keburu lagi menangkis tentu kurang kuat dan tentu ia akan menjadi korban.
Maka ia langsung membalikkan tubuh ke kanan dan menerima pukulan Wisangnala yang ampuhnya menggila itu dengan dorongan kedua telapak tangannya pula ke depan sambil mengerahkan Aji Brojo Dahono (Kilat Berapi) yang dahulu ia terima dari gurunya, Ki Patih Narotama.
“Desssss...!”
Dua pasang tangan bertemu permukaannya dan tubuh Endang Patibroto terlempar ke belakang sampai tiga meter lebih dalam keadaan pingsan! Akan tetapi Tejolaksono juga terhuyung-huyung ke belakang, kepalanya pening pandang matanya berkunang.
Jika tadi ia mengerahkan seluruh tenaganya, tentu Endang Patibroto akan terpukul tewas dan dia sendiri tidak akan terluka parah. Akan tetapi bagaimana ia tega untuk membunuh Endang Patibroto? Maka tadi dia hanya mengerahkan sebagian saja dari tenaganya, tidak sepenuhnya sehingga akibatnya meski pun ia dapat membuat Endang Patibroto pingsan, tapi dia sendiri juga mendapat hantaman yang cukup hebat di sebelah dalam tubuhnya.
Sebelum Tejolaksono sempat memulihkan tenaga, segera banyak pukulan-pukulan keras dan penggada menghujani tubuhnya sehingga ia roboh pingsan.
Para senopati cepat menubruknya kemudian melibat-libat tubuhnya dengan ikatan­ikatan rantai yang amat kuat seperti seekor kerbau hendak disembelih saja. Kemudian, beramai-ramai mereka menggotong tubuh Tejolaksono sambil bersorak kegirangan.
Sedangkan Endang Patibroto yang pingsan itu sudah lebih dulu dipondong oleh Raden Sindupati dan dibawa pergi menuju ke rumah senopati itu sendiri.
Ketika Sindupati yang memondong tubuh Endang Patibroto tiba di rumah gedungnya, ia disambut oleh seorang wanita yang maslh sangat muda dan berwajah cantik jelita akan tetapi mukanya pucat pasi.
“Kakangmas!“ Wanita itu menegur dan matanya terbelalak lebar.
Akan tetapi dengan kasar Sindupati membentak, “Minggir kau!”
Lalu terus membawa tubuh Endang Patibroto memasuki kamarnya.
Wanita muda itu adalah selirnya, yaitu puteri Adipati Menak Linggo dari selir yang sudah ‘dihadiahkan’ kepada Sindupatl. Dibentak seperti itu, wanita ini segera minggir dan terisak menangis, akan tetapi dia tidak berani berbuat sesuatu, hanya pergi memasuki sebuah kamar lain dan membanting tubuh di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Semuda itu ia sudah terlampau banyak menderita tekanan batin, semenjak setahun yang lalu dia dihadiahkan kepada Sindupati, dijadikan benda permainan senopati itu yang sama sekali tidak mempedulikan hati wanita muda ini.
Endang Patibroto masih merasa pusing sekali dan napasnya agak terengah-engah ketika ia mendengar suara yang halus,
“Minumlah, diajeng, minumlah madu ini, tentu akan sembuh dan enak badanmu!”
Segera ia merasa ada benda menempel di bibirnya. Ia berada dalam keadaan setengah sadar akan tetapi dapat mengenal suara Sindupati, maka tanpa membuka mata ia segera membuka mulut kemudian minum madu manis dan harum dari cangkir itu dengan penuh kepercayaan.
Memang enak rasanya dan mendatangkan rasa hangat dalam dadanya. Madu yang manis dan harum bercampur jamu. Dia masih meramkan matanya, mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia akan pertandingan tadi. Tadikah? Ia tidak tahu bahwa ia telah rebah pingsan selama setengah malam.
Joko Wandiro, alangkah berat lawan itu.
Teringat ia betapa pukulan Wisangnala membentur gunung karang dan tenaga aji itu lalu membalik, membuat dadanya sesak dan tubuhnya terlempar ke belakang. Bukan main hebatnya Joko Wandiro
Tangan yang lembut membelai rambutnya, dahinya kemudian turun ke pipinya, terus ke lehernya. Bisikan-bisikan yang tadinya hampir tidak terdengar, kini mulai terdengar, lirih-lirih dekat telinga.
“Diajeng Endang Patibroto, alangkah cantik jelita engkau, alangkah gagah perkasa. Ahh, adinda, aku cinta padamu, diajeng.“
Jari tangan itu turun ke atas dada dan bibir yang panas menempel mulutnya!.
Endang Patibroto hampir saja tenggelam karena ia terbayang kepada kemesraan bercinta dengan suaminya, membayangkan bahwa yang berbisik-bisik, membelai dan menciumnya itu adalah suaminya. Akan tetapi ia segera teringat dan tersentak kaget. Bukan suaminya yang sudah mati, melainkan Raden Sindupati!
Segera dia mendorong sambil melompat bangun dari atas pangkuan, karena tadinya dia rebah telentang dengan kepala tergeletak di atas pangkuan Sindupati yang duduk di atas pembaringan.
Tubuh Sindupati terlempar keluar dari pembaringan dan laksana seekor burung kepinis, Endang Patibroto sudah melompat turun lalu berdiri menatap Sindupati yang terbanting roboh di atas lantai.
“Diajeng...“ Sindupati merintih.
Merah wajah Endang Patibroto. Kamar ini terang dan kiranya sinar matahari telah bersinar masuk melalui celah-celah daun jendela kamar itu. Sebuah kamar yang indah. Dan ia tadi berada di atas pembaringan, bersama Sindupati, semenjak malam tadi. Dia memandang senopati itu, bingung karena merasa malu, menyesal bercampur marah.
“Maaf, kakang Sindupati. Akan tetapi... aku... aku tidak dapat menerima cinta kasihmu, Betapa pun baik engkau sudah terhadap diriku, namun hemm... jangan sekali-kali berani meraba diriku lagi karena lain kali aku akan membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, Endang Patibroto lalu melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri.
“Diajeng Endang Patibroto...!”
Akan tetapi seruan Sindupati ini tidak terjawab dan senopati ini lalu merangkak bangun. Belakang kepalanya yang terbentur lantai menjendol dan terasa nyeri. la menyeringai, mukanya menjadi merah padam, kedua tangannya dikepal dan ia menggumam dengan marah,
“Hemm Endang Patibroto, engkau tak mau disayang orang! Lihat saja engkau nanti! Tidak bisa mendapatkan dirimu cara halus, aku akan menggunakan kekerasan! Ha-ha-ha, awas engkau jangan kira dapat melepaskan diri begitu saja dari tangan Raden Sindupati!”
Kalau saja Endang Patibroto dapat mendengar ucapan dan sikap Sindupati sesudah dia meninggalkan kamar senopati itu, tentu ia akan menjadi kaget sekali. Akan tetapi, Endang Patibroto sudah berlari jauh dan di dalam hatinya wanita ini malah merasa kasihan kepada Sindupati. Ia menganggap senopati itu amat baik dan biar pun tadi telah berani menjamah tubuhnya, bahkan mencium bibirnya, tapi ia dapat memaafkan perbuatan yang ia anggap terdorong oleh cinta kasih yang mendalam!
Seorang wanita seperti Endang Patibroto, tentu saja tidak dapat membedakan antara cinta kasih murni seperti cinta kasih mendiang suaminya, dengan cinta berahi seperti cinta seorang pria macam Sindupati yang menjadi hamba dari nafsu berahi dan menginginkan tubuhnya karena dia cantik jelita belaka, seperti rasa sayang seorang akan setangkai bunga mawar. Jika masih segar dinikmati keindahannya dan harumnya, jika sudah bosan dan kembang itu melayu lalu dibuang begitu saja!
Ketika Endang Patibroto memasuki tempat tinggalnya, ia mendengar dari para pengawal bahwa Adipati Tejolaksono telah tertangkap dan kini sedang mengalami siksaan di dalam penjara!.
“Menurut keputusan gusti adipati, mata-mata yang tadi malam sudah menewaskan tujuh orang pengeroyok itu, sore hari nanti akan dihukum picis di alun-alun!” demikian antara lain para pengawal memberitahukannya.
Berdebar jantung Endang Patibroto. Dihukum picis! Hukuman yang mengerikan. Tubuh orang hukuman akan diikat di alun-alun, dan setiap orang boleh menggunakan sebuah pisau tajam yang tersedia di situ untuk mengerat kulit dan daging si terhukum, kemudian algojo akan mengoleskan asam dan garam pada goresan pisau! Si terhukum tidak akan mati seketika, melainkan mati perlahan-lahan, menderita siksaan ngeri yang tiada taranya, kemudian mungkin baru pada keesokan harinya mati kehabisan darah!
Ia membayangkan wajah Joko Wandiro dan Endang Patibroto meramkan mata.
Kepalanya makin pening, pandang matanya berkunang. Teringat ia akan semua kebaikan Joko Wandiro.
Betapa pria itu sekarang sudah menampung ibu kandungnya, betapa Joko Wandiro tidak mendendam kepadanya sungguh pun dialah yang membunuh ibu kandung Joko Wandiro! Betapa dahulu ia amat tertarik kepada Joko Wandiro, betapa ia merindu, haus akan kasIh sayangnya namun pada lahirnya ia selalu bersikap keras dan bermusuh.
Bahkan terbayang pula betapa sering kali, sebelum akhirnya ia sungguh­sungguh jatuh cinta kepada Pangeran Panjirawit, sering kali dia membayangkan wajah Joko Wandiro di kala suaminya itu mencumbunyal.
“Tidak! Tidak boleh demikian!” teriak hatinya dan dengan kepala masih pening, dengan langkah terhuyung-huyung Endang Patibroto lalu berlari menuju ke penjara!.
Para pengawal yang menjaga penjara dengan ketat, semua mengenal Endang Patibroto dan tidak seorang pun di antara mereka berani mencegah ketika Endang Patibroto masuk ke dalam penjara. Bahkan Mayangkurdo yang bertugas memimpin barisan penjaga hanya bertanya,
“Apakah perlunya menemui keparat itu? Gusti adipati sudah memutuskan hukum picis, harap saja paduka jangan membunuhnya!”
Endang Patibroto hanya menggeleng kepala, tidak berani mengeluarkan suara karena ia tidak percaya kepada suaranya sendiri yang tentu akan tergetar.
Ada pun Mayangkurdo tidak terlihat keberatan sesuatu atas kunjungan Endang Patibroto. Meski disiksa sejak malam tadi, Tejolaksono tidak pernah mau mengaku sesuatu, hanya tersenyum mengejek dan menerima siksaan sampai berkali-kali jatuh pingsan.
Karena itu Mayangkurdo dan yang lain-lain tidak tahu bahwa rahasia busuk mereka telah diketahui Tejolaksono dari mulut Ki Brejeng! Mereka hanya mengira bahwa Tejolaksono datang atas perintah sang prabu di Panjalu untuk menangkap Endang Patibroto yang sampai sekarang tentu dianggap pemberontak oleh Panjalu dan Jenggala.
Ketika Endang Patibroto memasuki kamar tahanan, dia melihat Tejolaksono rebah dan setengah bersandar pada dinding. Kaki tangannya dibelenggu dengan rantai besi, juga lehernya. Pakaiannya hancur dan seluruh tubuhnya berdarah bekas cambukan!
Ksatria sakti ini tidak pingsan, sadar dan sinar matanya masih penuh semangat sungguh pun tampak lemah sekali. Sedikit pun tiada keluhan yang keluar dari mulutnya. Mukanya baret-baret bekas cambukan pula, mata kirinya membiru.
Hati Endang Patibroto trenyuh sekali. Apa lagi melihat betapa sinar mata itu menatapnya dengan senyum, seperti juga mulutnya.
“Pergilah kalian! Tinggalkan aku berdua saja dengan keparat ini!” bentak Endang Patibroto kepada tiga orang algojo tinggi besar yang agaknya sangat kelelahan karena harus terus menyiksa akan tetapi tidak boleh membunuh si tahanan. Mereka lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang segera menutupkan daun pintu besi.
Lalu ia berdiri di depan Tejolaksono.
“Hemm, Endang Patibroto. Agaknya engkau puas sekarang. Dapat melampiaskan semua kebencianmu kepadaku. Ahh, betapa bencimu kepadaku, Endang. Sejak sepuluh tahun yang lalu! Belum dapatkah engkau melupakan semua peristiwa yang lalu? Endang, demi bibi Kartikosari, demi paman Pujo, kau bunuhlah saja aku. Aku tidak takut menghadapi siksaan, akan tetapi ngeri menghadapi penghinaan. Kau pukullah aku sampai mati, aku akan berterima kasih dan dan tolonglah kau amat-amati keluargaku di Selopenangkep.”
Kata-kata itu meluncur dengan ringannya dari mulut Tejolaksono, sedikit pun tidak tampak berduka apa lagi takut. Alangkah perkasanya pria ini! Dan tanpa tertahankan lagi Endang Patibroto terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut, lalu tangannya meraih belenggu-belenggu kaki tangan Tejolaksono.
“Tidak usah, Endang. Tiada gunanya. Kalau aku menghendaki, agaknya aku masih akan mampu mematahkan belenggu-belenggu ini. Akan tetapi apa gunanya? Penjagaan terlalu kuat, sementara aku terlalu lelah dan lemah. Apa lagi ada engkau, bagaimana mungkin aku dapat lari?”
Makin mengguguk Endang Patibroto menangis.
“Joko Wandiro, kenapa engkau selalu memusuhi aku? Kenapa engkau yang diutus oleh si keparat Darmokusumo untuk mengejar dan menangkap aku? Aku sudah... sudah tidak lagi menganggap engkau sebagai musuh, tapi... tapi kau datang ke sini dan.. “
“Hussshh... engkau salah sangka. Soal inilah yang hendak kuterangkan kepadamu. Inilah sebabnya kenapa aku selalu hendak menemuimu. Kau telah tertipu! Kau harus segera lari dari sini. Mereka menipumu. Mereka hendak membunuhmu! Dengarlah baik-baik, Endang Patibroto. Semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu diatur oleh si keparat Sindupati!”
“Tidak mungkin! Aku mendengar sendiri dari mulut Wiku Kalawisesa.. “
“Kau dibohongi! Aku tahu semua ini dari mulut Ki Brejeng sebelum ia mati.”
“Ki Brejeng? Mati? Apa artinya ini...?”
“Aku memang mengejarmu, tetapi di tengah jalan aku bertemu dengan Ki Brejeng. Kau masuk perangkap! Wiku Kalawisesa adalah anak buah Sindupati. Sengaja membunuhi para ponggawa untuk melemahkan dua kerajaan yang akan diserbu. Mereka memasang jerat, menyebar desas-desus yang memburukkan namamu, hendak mengadu domba. Kau terkena hasutan sehingga kau menyerbu Pangeran Darmokusumo yang sebenarnya tidak berdosa! Kau... eh, kenapa, Endang...?“
Akan tetapi Endang sudah tidak mendengarnya lagi. Wanita ini menjadi pucat wajahnya, lalu berusaha bangkit berdiri, terhuyung-huyung, kedua tangannya memegang kepalanya sendiri, matanya dimeramkan, mulutnya mengeluh lirih,
“Ahhh kepalaku begini pening dan panas.”
Tejolaksono kaget bukan main. Sekali pandang melihat wajah yang agak pucat itu, kedua pipinya mangar-mangar merah, bibirnya yang terbuka itu pun merah seperti habis makan cabe, matanya setengah dipejamkan, napasnya tersendat-sendat, dan tubuhnya gemetar, tahulah dia bahwa Endang Patibroto yang seperti orang mabok arak ini telah keracunan!.
“Endang... kau keracunan... Lekas bersila mengatur napas, gunakan tenaga sakti untuk mengusir hawa racun dari dada dan kepalamu..., pergunakan Widodo Mantra.. “
Namun terlambat sudah. Endang Patibroto agaknya sudah tidak dapat menguasai diri dan pikirannya lagi, mulutnya berbisik-bisik, “Pangeran... kekasihku... pangeran....”
“Ha-ha-ha-ha! Jangan harap dapat lari dariku, diajeng!” Daun pintu kamar tahanan terbuka dari luar dan Sindupati melompat masuk.
Melihat Endang Patibroto yang terhuyung-huyung seperti orang mabuk, ia terkekeh girang lalu menubruk maju, memeluk dan memondong tubuh Endang Patibroto.
“Diajeng Endang Patibroto! Aku cinta padamu... ha-ha-ha, mengapa lari dari kakanda...”
“...pangeran... pangeran.. “
Dengan mata dipejamkan Endang Pathbroto berbisik-bisik dan ia sama sekali tidak marah lagi seperti tadi ketika tubuhnya didekap dan dipondong, bahkan kedua lengannya lantas merayap dan merangkul leher Sindupati, mukanya disembunyikan pada dada senopati itu!.
“Ha-ha-ha!” Sindupati tertawa bergelak, lalu sambil memondong tubuh wanita yang mabuk oleh racun pembangkit nafsu berahi yang tadi ia campurkan ke dalam madu, ia mengayun kaki menendang Tejolaksono yang memandang semua itu dengan mata melotot.
Dalam keadaan terbelenggu seperti itu, terpaksa Tejolaksono menerima tendangan yang mengenai pinggangnya sehingga tubuhnya terbentur dinding. Kembali Sindupati tertawa sambil membawa tubuh Endang Patibroto keluar dari dalam kamar tahanan.
Blambangan adalah gudangnya ilmu hitam, gudangnya jamu-jamu yang amat mujijat, dan di kadipaten ini terdapat banyak sekali ahli-ahli pembuat racun. Ketika Sindupati malam kemarin memberi minum madu kepada Endang Patibroto, dia mencampurkan bubukan jamur belang yang mengandung racun pembangkit nafsu berahi amat hebat. Orang yang terkena racun ini, terutama sekali wanita, akan mabuk dan tidak dapat menguasai dirinya lagi, tidak sadar apa yang dilakukannya, dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu berahi yang menyala-nyala.
Demikian pula, biar pun ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namun darahnya yang sudah keracunan membuat Endang Patibroto mabuk juga sehingga terbayang olehnya Pangeran Panjirawit yang tercinta dan pada saat ia dipondong Sindupati, ia menganggap bahwa suaminyalah yang memondongnya!.
Dengan kegirangan hati yang meluap-luap Sindupati memondong tubuh Endang Patibroto ke dalam rumahnya, masuk ke dalam kamarnya yang tadi ditinggalkan Endang Patibroto. Kini tercapailah keinginan hatinya. Ia ingin memiliki tubuh Endang Patibroto, baik secara suka rela atau pun paksa, dan sesudah itu barulah dia akan membunuh wanita ini untuk memenuhi perintah Adipati Blambangan! Kini, setelah Endang Patibroto mabuk oleh racun jamur belang, keinginan dan nafsunya pasti akan terpenuhi!
Dengan wajah berseri-seri ia melemparkan tubuh Endang Patibroto ke atas pembaringan. Endang Patibroto hanya mengeluh lirih dan bergulingan gelisah di atas pembaringan itu, matanya dipejamkan.
“Ha-ha-ha, Endang Patibroto. Akhirnya engkau terlempar juga dalam pelukanku, cah ayu denok.”
Dengan nafsu berkobar Raden Sindupati lalu menghampiri pembaringan, matanya jalang memerah, napasnya agak terengah-engah panas, hidungnya kembang kempis, wajahnya yang tampan kini tampak buas.
Lama ia berdiri di pinggir pembaringan, melahap tubuh Endang Patibroto dengan pandang matanya, kemudian ia membungkuk, terkekeh dan kedua tangannya menjangkau.
“Kakangmas senopati.. “
Raden Sindupati yang sudah menyentuh pundak Endang Patibroto dan sudah menaikkan sebelah lututnya ke atas pembaringan, tersentak kaget dan turun membalikkan tubuh dan menghardik,
“Umi! Mau apa engkau masuk ke sini? Hayo pergi, kalau tidak ingin kutempiling kau!”
Wanita muda bermuka pucat itu memandang dengan mata terbelalak ke arah tubuh Endang Patibroto yang bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan. Hatinya menjadl semakin panas, panas sekali oleh cemburu. Biar pun dia mengalami banyak derita batin semenjak oleh ayahnya, sang adipati, dihadiahkan kepada senopati Sindupati, namun la telah jatuh cinta kepada laki-laki ini sepenuh hatinya.
Tidak ingin ia melihat suaminya bermain dengan wanita lain, dan hatinya selalu sakit dan hancur kalau ia melihat Sindupati membawa pulang wanita-wanita cantik. Akan tetapi kali ini ia tidak dapat menahan kemarahannya melihat betapa suaminya Itu hendak memiliki seorang wanita dengan cara yang sangat tidak pantas, yaitu dengan paksa dan dengan bantuan jamu racun perangsang!
“Kakangmas.., jangan... jangan lakukan itu!”
Marah sekali Sindupati. Ia melangkah maju mendekati selirnya ini, mukanya merah.
“Apa? Sejak kapan engkau berani menghalangi kesenanganku?”
Dewi Umirah, wanita muda itu menggelengkan kepalanya dengan
“Tidak, kakangmas, saya tidak menghalangi kesenanganmu. Sebagai seorang selir, saya tidak berhak melakukan hal itu. Akan tetapi saya berkewajiban untuk mengingatkan suami dari perbuatan jahat dan keji! Memperkosa seorang wanita di luar kehendaknya adalah perbuatan jahat dan keji, kakangmas. Ingatlah dan harap kakangmas cepat sadar, jangan lakukan itu, wanita ini tidak sadar dia mabuk racun... tidak baik memperkosa...!”
“Tutup mulutmu! Ha, engkau iri hati! Engkau cemburu, setan!“
Dengan marah sekali Sindupati mendorong pundak selirnya sehingga tubuh Dewi Umirah terlempar ke belakang, menabrak dinding dan terguling. Namun wanita Itu bangun lagi, berlutut dan berkata,
“Saya tidak iri hati, tidak cemburu, kakangmas. Sudah lama kukubur perasaan itu! Akan tetapi... melihat kau hendak melakukan perkosaan keji... ah, bagaimana saya bisa melihat suami saya melakukan kekejian ini dan mendiamkan saja? Ingat kakangmas, perbuatan ini akan dikutuk para dewata!”
“Apa? Keparat engkau! Berani kau mengumpat? Pergi minggat!” Sindupati menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Dewi Umirah terlempar ke luar melalui pintu!
Sambil memaki-maki Sindupati lalu membanting daun pintu kamar dan menguncinya dari dalam! Napasnya terengah-engah saking marahnya dan kemarahannya ini telah mengusir gelora nafsu berahinya. Dia jengkel sekali, lalu menyambar sebuah botol berisi arak dari atas meja, menuangkan isinya ke dalam perut. Kini perut dan dadanya terasa panas dan perlahan-lahan nafsunya menggelora lagi.
Dilemparkannya botol kosong ke sudut kamar kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan di mana Endang Patibroto masih rebah menggeliat-geliat sambil mengeluh lirih. Sindupati terkekeh, tangannya meraih, merenggut.
“Breettt!”
Terdengar suara pakaian robek, disusul ketawa terbahak…..
********************
Ketika Tejolaksono melihat betapa tubuh Endang Patibroto yang dia tahu dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh racun itu dipondong oleh Sindupati dan dilarikan keluar tahanan, hatinya penuh kegelisahan dan kemarahan.
Tadinya ia sudah hampir putus asa karena bila ia memberontak dan dapat membebaskan diri, tak mungkin ia dapat melarikan diri karena di sana terdapat banyak senopati tangguh, terutama sekali ada Endang Patibroto! Kini, menyaksikan keadaan Endang Patibroto yang terancam bahaya lebih mengerikan dari pada maut, timbul semangatnya.
Ia segera meramkan mata, mengheningkan cipta, mengumpulkan seluruh daya dan hawa sakti di tubuhnya, mengetrapkan aji-ajinya lalu tiba­tiba terlengkinglah pekik yang dahsyat dari mulutnya, pekik Aji Dirodo Meta (Gajah Mengamuk) lalu pada saat itu juga ia meronta dan terdengar suara keras ketika semua rantai besi yang membelenggu kaki tangan dan lehernya hancur berkeping-keping!
Tejolaksono melompat bangun dan pada saat itu, para pengawal yang mendengar suara pekikan dahsyat tadi sudah menyerbu ke dalam. Namun lima orang pengawal termasuk tiga orang algojo yang terdahulu masuk, segera disambut oleh hantaman yang membuat mereka semua roboh terjengkang kembali keluar pintu!
Tubuh Tejolaksono menerjang keluar dan ia telah mengerahkan Aji Triwikrama, sebuah aji kesaktian agung yang didapatnya dari ajaran mendiang Sang Prabu Airlangga.
Begitu tubuhnya muncul keluar, para pengawal beserta penjaga bediri terpaku di tempat masing-masing dengan mata terbelalak dan muka pucat. Aji kesaktian agung Triwikrama bukanlah sembarang aji dan hanya Tejolaksono seoranglah yang dapat mewarisinya dari Sang Prabu Airlangga.
Di jaman Purwacarita, jamannya Mahabharata, orang yang memiliki aji kesaktian agung ini hanyalah Sang Prabu Dwarawati atau Sri Bathara Kresna. Aji kesaktian ini baru dapat dikeluarkan apa bila hati dalam keadaan marah dan sakit hati dan begitu aji diterapkan, akibatnya hebat luar biasa.
Para lawan akan terpesona, akan ngeri ketakutan sebab dari tubuh yang beraji Triwikrama ini seakan-akan keluar hawa mujijat yang amat menakutkan, mengeluarkan perbawa yang menggiriskan, seakan-akan berubah menjadi seorang raksasa sebesar Gunung Semeru yang akan menghancurkan segala yang menentangnya! Pihak lawan akan dicekam rasa ketakutan sehingga mereka sampai lupa untuk bergerak menentang musuh.
Ketika para pengawal itu berdiri terhenyak pucat ketakutan, Tejolaksono segera melesat keluar dan dengan kecepatan kilat ia sudah melewati kepala mereka untuk pergi mengejar Sindupati.
Selama beberapa pekan menjadi tukang kuda di Blambangan, waktunya tidak dibuang sia­sia sehingga ia sudah hafal akan keadaan di Blambangan, tahu pula di mana adanya istana senopati Sindupati.
Sesudah Tejolaksono lari jauh, baru para pengawal sadar akan keadaan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka berlari mengejar. Beberapa orang pengawal yang berada di depan sempat menghadang dan beiasan orang sudah menyeruduk maju dengan tornbak serta golok di tangan.
Namun dengan ketangkasan yang luar biasa, terdorong oleh rasa khawatir dan marah mengingat akan nasib Endang Patibroto, Tejolaksono menggerakkan kaki tangannya.
Dua orang roboh mencelat, seorang dapat ia tangkap tengkuknya, ia angkat tubuhnya dan ia putar-putar sedemikian rupa sehingga para pengeroyok cepat mundur dan menahan senjata, takut mengenai tubuh kawan sendiri.
Tejolaksono melempar tubuh orang yang dijadikan perisai tadi ke arah para pengeroyok, kemudian menggunakan kepanikan mereka ia meloncat lagi terus melanjutkan pengejaran nya. Kini semakin banyak prajurit-prajurit mengejarnya dari belakang, namun tak seorang pun dapat menandingi kecepatan gerak tubuh Tejolaksono yang melesat ke depan seperti burung terbang cepatnya.
Empat orang pengawal langsung menyambutnya di depan pintu rumah Raden Sindupati, tetapi dalam dua gebrakan saja Tejolaksono sudah merobohkan mereka dengan pukulan-pukulan jari tangannya yang mengandung Aji Pethit Nogo. Ia terus menyerbu ke dalam.
Dewi Umirah terbelalak dan dengan muka pucat wanita ini lari keluar dari rumahnya, terus melarikan diri ke istana ayahnya untuk melaporkan segala peristiwa yang sedang terjadi, peristiwa yang amat menghancurkan hatinya.
Tejolaksono tak mengenal dan tidak mempedulikan Dewi Umirah, juga tidak mengganggu para pelayan yang mendeprok dan menggigil di atas lantai. Ia terus lari ke dalam, ia tahu di mana adanya kamar senopati Raden Sindupa karena ia pernah menyelidiki rumah ini di waktu malam.
Daun pintu kamar itu tertutup dan ia mendengar suara ketawa bergelak di sebelah dalam. Tejolaksono mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuhnya lalu menggempur daun pintu dengan bahunya.
“Braaaakkkk...!” Daun pintu jebol dan pecah, tubuhnya menerjang ke dalam kamar.
Mata Tejolaksono menjadi merah saking marahnya ketika dia melihat Sindupati duduk di pinggir pembaringan, dengan tubuh Endang Patibroto rebah atas pembaringan. Pakaian Endang Patibroto terobek dari atas ke bawah, sedangkan senopati itu sambil tertawa-tawa sedang membuka bajunya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar