PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-13


“Sindupati keparat engkau...!”
Tejolaksono memaki sambil miringkan tubuhnya sehingga tombak itu menyeleweng dekat lambungnya. Tangan kiri meyambar menangkap tombak, ditarik dengan gentakan keras hingga tubuh lawan ikut tertarik mendekat, tangan kiri dengan jari-jari terbuka menampar dengan Aji Pethit Nogo
“Bresssss...!”
Tubuh Sindupati terlempar dibarengi jeritnya dan terus menubruk jeruji jendela yang menjadi patah-patah, tidak tahan menerima hantaman tubuh yang sakti itu, dan tubuh Sindupati terus terlempar keluar kamar, dan terbanting jatuh bergulingan. Pingsan! Pukulan tadi amat kerasnya, dilakukan dalam keadaan amarah meluap-luap oleh Tejolaksono.
Kalau orang lain tentu akan tancur remuk tulang-tulang iganya. Akan tetapi karena Sindupati bukan orang biasa, kekebalannya menyelamatkan nyawa dan ia hanya terlempar dan terbanting pingsan seperti orang diseruduk gajah!.
“Endang...!”
Tejolaksono melompat mendekati pembaringan.
Hatinya lega melihat dan mendapat kenyataan bahwa kedatangannya belum terlambat. Untung sekalil Beberapa menit lagi saja terlambat tentu ah, ngeri ia membayangkan.
Endang Patibroto menoleh, akan tetapi matanya setengah terpejam, bibirnya terbuka dan agak terengah sambil tersenyum, berbisik-bisik tak menentu.
Ketika Tejolaksono meraba dahi, terasa amat panas. Cepat ia menyambar tubuh Endang Patibroto yang panas dan lemas itu setelah merapikan kembali pakaian yang hampir telanjang, memanggulnya menelungkup di atas pundak kiri, merangkul kedua pahanya dengan lengan kiri kemudian ia cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan orang-orang di pintu.
“Joko Wandiro! Lebih baik kau menyerah, percuma saja kau melawan. Tempat ini telah terkepung ribuan orang prajurit! Kalau melawan, akan hancur tubuh kalian di bawah senjata kami!” kata Ki Patih Kalanarmodo yang mengepalai sendiri pengejaran terhadap tawanan yang lolos ini.
Di sampingnya tampak Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko serta para senopati lainnya, senjata di tangan!
“Hai!, orang-orang Blambangan! Dengarlah! Inilah aku Adipati Tejolaksono, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu yang pantang menyerah! Jangan harap akan dapat menangkap kami berdua sebelum pecah dadaku. Minggir!”
Tiba-tiba Tejolaksono menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke depan karena ksatria sakti ini telah mempergunakan Aji Bojro Dahono untuk membuka jalan.
Ki Patih Kalanardomo dan Mayangkurdo adalah dua orang tokoh sakti di Blambangan, dan mereka sudah mengerahkan kekebalan untuk menahan pukulan jarak jauh ini, namun tetap saja mereka terdorong roboh ke belakang, terjengkang dan menabrak Klabangkoro dan Klabangmuko!
Ributlah keadaan di pintu itu dan Tejolaksono mempergunakan kesempatan ini untuk melesat keluar melalui lubang jendela di mana tadi tubuh Sindupati terlempar. Di luar jendela, tampak Sindupati yang hanya mengenakan sebuah celana hitam sampai ke lutut, berdiri dan mencak-mencak sambil berteriak-teriak,
“Tangkap... Tangkap!”
Akan tetapi dia sendiri lari mundur saking gentar menghadapi Tejolaksono. Ksatria ini tidak mempedulikannya, terus saja melesat ke depan lari keluar dari pintu samping. Namun di sini ia tertahan pula oleh barisan pengawal yang sudah menghujankan tombak dan gobok ke arah tubuhnya
Tejolaksono menangkis dan merampas sebatang golok. Diputarnya gobok ini dan terdengarlah angin bersiutan, goloknya berdering aneh dan yang tampak hanya segulung sinar putih yang menyelimuti tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto.
“Trang-trang-cring...!”
Beberapa batang tombak dan golok lawan patah-patah. Mereka mundur dan Tejolaksono maju terus sambil memutar golok, mainkan ilmu goloknya yang dahulu ia pelajari dari Ki Tejoranu, pertapa perantau ahli golok. Itulah Ilmu Golok Lebah Putih yang mengeluarkan suara mengaung seperti suara serombongan lemah mengamuk keluar dari sarang mereka yang terganggu.
Senjata-senjata lawan beterbangan, terdengar jerit kesakitan dan darah muncrat dari lengan yang tertabas putus atau dari pundak yang terluka.
Sebentar saja ujung golok di tangan kanan Tejolaksono telah menjadi merah oleh darah musuh. Ia mengamuk terus sambil bergerak maju sampai akhirnya ia tiba di pekarangan depan di mana musuh lebih banyak lagi mengurungnya.
Kini ia dihadapi oleh para senopati yang dipimpin oleh Ki Putih Kalanarmodo. Terpaksa Tejolaksono tidak dapat melarikan diri dan hanya rnemutar golok untuk melindungi tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto. Ah, kalau saja Endang tidak menjadi korban racun, mereka berdua tentu akan dapat membuka jalan darah dan menerobos keluar, pikir Tejolaksono dengan menyesal.
Dengan adanya Endang Patibroto di sampingnya, mereka akan dapat mengamuk dan mengatasi pengeroyokan sekian banyaknya lawan.
“Joko Wandiro!”
Bisikan lemah di dekat telinganya membuat ia berdebar. Endang Patibroto telah sadar!
Biar pun masih lemas dan lemah, namun jelas sudah ingat dan buktinya dapat mengenalnya!.
“Jangan khawatir, Endang, aku melindungimu!” bisiknya kembali dan “trangg!” ia membuat dua golok di tangan Klabangkoro dan Klabangmuko patah sekaligus! Dua orang kakak beradik raksasa ini menyumpah-nyumpah karena telapak tangan mereka lecet-lecet.
Cepat mereka telah menyambar lain golok dari tangan anak buah mereka. Sementara itu, lain-lain senopati telah menyerbu dari sekeliling Tejolaksono yang kembali hams memutar golok dengan cepat dan kuat.
Ia kini mengambil sikap bertahan sambil memasang mata mencari bagian yang paling lemah untuk dapat menerobos keluar. Ia pikir bahwa dalam keadaan terkurung ini, sementara ia masih dapat bertahan, karena kalau tidak terkurung, musuh dapat menghujankan anak panah dan ini berbahaya.
Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri terhadap kepungan yang demiklan ketatnya, sampai berapa lama ia dapat bertahan? Andai kata pengeroyokan itu terjadi di malam hari, ia masih mempunyai banyak kesempatan meloloskan diri. Akan tetapi pada siang hari!.
“Joko Wandiro, keteranganmu tadi, bagaimana itu Aku tidak mengerti “
Kembali terdengar bisikan suara Endang Patibroto yang kini mulai mengangkat muka dan lengannya tidak lemas lagi melainkan kini dapat merangkul leher menekan pundaknya.
Sebelum menjawab, Tejolaksono mainkan Ilmu Golok Lebah Putih dengan cepat dan mainkan jurus-jurus pertahanan sehingga kini sinar golok putih bergulung­gulung membungkus tubuh mereka berdua.
Jangankan hanya hujan senjata lawan, andai kata ada hujan air yang deras sekali pun tubuh mereka takkan menjadi basah! Setelah yakin bahwa pertahanannya cukup kuat dan untuk sementara ia tidak akan dapat terancam, Adipati Tejolaksono lalu membagi perhatiannya kepada Endang Patibroto, lalu berbislk menjawab.
“Aku datang ke Blambangan bukan untuk menangkaprnu, Endang. Engkau, juga Panjalu dan Jenggala, semua telah tertipu oleh Sindupati. Wiku Kalawisesa adalah kaki tangan mereka dan kau sengaja diadu domba. Darmokusurno tidak berdosa, maka penyerbuan ke sana tentu saja menimbulkan salah faham. Semua adalah hasil siasat Sindupati yang menjadi utusan pemerintah Blambangan. Sadarlah kau hampir saja menjadi korban...!”
“Ah.. aku.. aku mengapa tadi... Sindupati.. ah, apa yang terjadi 7” Suara ini bercampur isak.
“Si keparat itu harnpir saja mencemarkanmu, hampir memperkosamu, Endang! Kau telah diracun sehingga mabuk dan tidak wajar, tidak sadar Sindupati adalah kaki tangan Blambangan yang mengatur semua siasat. Dialah musuh besar kita!”
Endang Patibroto mengeluh.
“Aahhhh. madu itu. ahhh.. kakang Sindupati. dia. dia!”
Kembali Endang Patibroto terisak, agaknya pikirannya yang mulai sadar teringat akan segala peristiwa yang terbayang dan saling muncul dalam benaknya.
“Tenanglah, Endang. Kau tidak apa-apa. Belum terlambat. Nyaris.. ah, Dewata. masih melindungimu!”
“Trang-trang-cring. “
Oleh percakapan itu, perhatian Tejolaksono terpecah dan hampir saja ia menjadi korban ketika senjata di tangan Ki Patih Kalanarmodo,Mayangkurdo dan Klabangkoro berhasil menerobos memasuki garis pertahanan gulungan sinar goloknya.
“Joko Wandiro... kau lepaskan aku... kau lepaskan, akan kuhancurkan kepalas mereka “.
Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. Suara Endang Patibroto itu! Itukah suara Endang Patibroto yang dahulu! Penuh semangat, penuh keberanian, seperti suara seekor harimau betina.
Endang Patibroto sudah sadar sepenuhnya! Dan ini merupakan cahaya yang membuka harapan baru untuk kebebasan.
“Tapi, kau masih lemah!”
“Tidak! Tidak, lebih baik kita berdua mati dalam perlawanan dari pada aku mati memberatkan engkau seorang diri menghadapi mereka. Turunkan aku, Joko Wandiro!”
Lengan kiri Tejolaksono yang memeluk kedua paha wanita sakti itu dapat merasa betapa di balik kain yang membungkus paha, di balik kulit paha yang halus itu kini terasa bergerak-gerak penuh tenaga sakti, ia girang sekali karena ini merupakan tanda bahwa Endang Patibroto tidak lagi selemah tadi.
Ia segera menurunkan tubuh itu, melepaskan pelukannya, akan tetapi masih menjaga dan waspada dengan permainan goloknya agar dapat melindungi tubuh Endang Patibroto.
Kedua kaki Endang Patibroto masih menggigil, kepalanya masih agak pening, tubuhnya masih panas terpengaruh racun perangsang nafsu. Akan tetapi begitu telapak kakinya menginjak tanah, tubuhnya membalik dan kedua tangannya bergerak menyambar.
“Desss! Prakkkk!“
Dua orang pengeroyok yang berada di belakang Tejolaksono roboh dengan dada remuk dan kepala pecah terkena sambaran jari tangan Endang Patibroto yang memukul dengan Aji Pethit Nogo!
“Bagus, Endang! Mari kita hajar mereka ini!” seru Tejolaksono gembira sekali dan ia tidak mau kalah, sekali bergerak, tangan kirinya menghantam roboh seorang lawan dan goloknya membabat ke depan mengenai paha kiri Klabangmuko yang memekik dan roboh dengan paha robek. Ia cepat ditolong anak buahnya dan dibawa mundur.
“Mari, Joko Wandiro. Mari kita basmi orang-orang Blambangan!” kata pula Endang Patibroto yang sudah berhasil merobohkan seorang lawan sambil merampas sebatang pedang, lalu mengamuk. Tubuhya masih lemah, kepalanya masih pening, namun para pengeroyok itu bukanlah tandingan wanita sakti ini.
Demikian girangnya hati Tejolaksono sehingga ia kembali mengeluarkan pekik dahsyat Dirodo Meto lalu bersumbar, “Hayoh orang-orang Blambangan! Babo babo! Inilah Endang Patibroto dan Joko Wandiro, keturunan orang-orang Mataram! Keroyoklah, kerahkan seluruh prajurit Blambangan!”
Hebat sekali amukan Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok, bergelimpangan dan kini kedua orang yang perkasa itu telah keluar dari pekarangan, sampai di jalan-jalan akan tetapi selalu dikeroyok seperti dua ekor jengkerik dikeroyok ribuan semut! Bukan hanya puluhan, ada ratusan orang pengeroyok roboh tewas atau terluka parah.
Sudah lima kali Tejolaksono berganti golok yang sudah rompal, demikian dengan Endang Patibroto. Namun, Endang Patibroto masih belum sehat benar.
Pengaruh racun masih amat mengganggunya, membuat darahnya panas bergolak, kepalanya pening, matanya mengantuk! Dan pengeroyokpun amatlah banyaknya, ada ribuan orang banyaknya! Mulailah kedua orang gagah ini terdesak. Tejolaksono boleh jadi gagah perkasa, sakti mandraguna, namun iapun hanya seorang manusia dari darah dan daging. Ia mulai lelah.
“Joko Wandiro... mari kita melarikan diri... aku... aku... ah, panas sekali tubuhku... pening kepalaku “
Walau pun berkata demikian, akan tetapi seorang pengeroyok yang terlalu dekat terbelah dadanya oleh pedang di tangan wanita sakti ini!
“Kurungan terlalu rapat.. tak mungin lari..., mari kita menyerbu ke istana saja, Endang...”
Tejolaksono menubruk maju merobohkan dua orang pengeroyok.
“Ke... istana...?“
“Ya, kita serbu istana dan tawan adipati, baru ada harapan kita selamat. Hayolah...!”
Endang Patibroto mengerti apa yang dimaksudkan Tejolaksono. Memang melihat banyaknya pengeroyok, kiranya tak akan mudah meloloskan diri, apa lagi karena dia sendiri masih lemah dan mabuk.
Dan kalau mereka berhasil menawan Adipati Menak Linggo, mereka dapat memaksa adipati itu membebaskan mereka! Endang Patibroto lalu mengerahkan tenaga, menahan kepeningan kepalanya lalu mengamuk di samping Tejolaksono.
Amukan dua orang sakti ini membuat para pengeroyok terdesak mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tejolaksono untuk menyambar tangan Endang Patibroto, diajaknya meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok naik ke atas atap.
“Kejar...!”
“Siap barisan panah...!”
Tejolaksono dan Endang Patibroto memutar cepat pedang dan golok rampasan mereka ketika mendengar bersiutnya banyak anak panah menyambar mereka.
Anak­anak panah itu runtuh semua ke bawah atap. Akan tetapi para pengeroyok itu sudah mengejar, dan ke mana pun juga dua orang saki itu melompat dan lari, mereka selalu dikurung dari bawah dan dihujani anak panah. Tejolaksono dan Endang Patibroto lari terus sampai tiba di atas atap istana. Hari telah mulai menjadi senja.
Setengah hari mereka tadi bertanding menghadapi keroyokan ratusan orang prajurit itu.
“Mari kita turun!” kata Tejolaksono. Mereka meloncat turun dan kembali para pengawal mengeroyok mereka sambil berteriak-teriak. Dua orang ini mengamuk lagi, sambil mencari rt.4 kesempatan untuk menyerbu ke dalam istana.
Tiba-tiba terdengar sambaran anak panak yang banyak sekali. Anak-anak panah ini berbeda dengan yang tadi, menyambarnya dengan kecepatan yang luar biasa tanda bahwa yang melepaskan adalah seorang ahli.
Dan banyaknya tentulah banyak orang pula yang melepaskan anak-anak panah itu.
Endang Patibroto dan Tejolaksono cepat memutar senjata menangkis, dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika belasan melihat orang prajurit pengeroyok menjadi korban anak-anak panah ini. Akan tetapi anak-anak panah itu meluncur terus sebagai hujan.
Endang Patibroto menjerit lirih. Pahanya terkena anak panah. Karena ia pening dan lelah, dan karena anak-anak panah yang menyambar itu amat kuat dan cepat, akhirnya ia termakan oleh anak panah pada paha kirinya, jauh di atas dekat pangkal pahanya.
Endang Patibroto terhuyung-huyung dan Tejolaksono cepat meloncat mendekat sambil memutar golok melindungi tubuh Endang Patibroto.
“Kuatkan tubuhmu hayo kita lari ke dalam!”
Tejolaksono membiarkan Endang Patibroto lari lebih dulu, sedangkan ia melindungi dari belakang dengan putaran golok. Kiranya pihak lawan telah menggunakan ahli panah yang luar biasa dan bahkan mereka tidak segan-segan mengorbankan belasan orang prajurit menjadi korban anak panah mereka sendiri.
Endang Patibroto berhasil memasuki gerbang pendopo dan pada saat Tejolaksono hendak menyelinap masuk, punggungnya terasa nyeri sekali. Kiranya sebatang anak panah telah menancap di punggungnya! la mengerahkan hawa sakti di tubuh menahan sakit dan alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa bagian yang terkena anak panah itu panas dan gatal-gatal tanda bahwa anak panah itu ujungnya diberi racun!.
“Cepat! Kita masuk ke dalam, harus tangkap adipati sekarang juga!” katanya tergesa-gesa.
Maklumlah ia bahwa setelah kini dia dan Endang Patibroto terluka, dan anak panah itu mengandung racun pula, kalau mereka tidak lekas-lekas dapat menawan sang adipati, tentu akan celaka!
Beberapa orang pengawal istana yang menghadang mereka, dapat dengan mudah mereka robohkan. Kemudian mereka terus lari memasuki istana, mencari sang adipati di dalam kamarnya. Endang Patibroto yang terpincang­pincang menjadi petunjuk jalan.
Tejolaksono melindungi dari belakang. Setelah masuk ke dalam istana mereka aman dari serangan anak panah. Akan tetapi sunyi sekali di dalam istana itu. Bahkan seorang pun abdi dalem tiada tampak. Yang tampak hanya beberapa orang pengawal istana yang kadang-kadang menyambut mereka namun dengan mudah mereka robohkan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak. Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo!
Girang sekali hati Endang Patibroto dan Tejolaksono. Suara itu keluar dari sebuah kamar yang tertutup pintunya. Setahu Endang Patibroto, kamar ini bukan kamar tidur, bukan pula kamar sidang, melainkan kamar belakang.
Tejolaksono lalu menghampiri pintu kamar dan menendang daun pintunya yang seketika pecah berantakan. Tampaklah kini di sudut kamar itu, sebelah dalam, Adipati Menak Linggo duduk di kursi gading, memangku seorang selir yang muda dan cantik, dan di belakangnya berdiri pula Raden Sindupati, Ki Patih Kalanarmodo, dan senopati Mayangkurdo yang kesemuanya memegang senjata tajam di tangan!.
Keadaan dua orang sakti ini sesungguhnya sudah payah. Keringat membasahi seluruh tubuh dan mereka Telah Lebih-lebih Endang Patibroto yang masih berada dalam pengaruh racun perangsang nafsu.
Kini anak panah beracun pula menancap di paha, belum dicabutnya. juga anak panah yang menancap di punggung Tejolaksono belum tercabut. Namun dua orang sakti ini tidak menjadi gentar, bahkan kini timbul harapan baru ketika mereka melihat Adipati Menak Linggo.
Akan tetapi, Endang Patibroto yang melihat Raden Sindupati di situ, sama sekali tidak peduli lagi akan sang adipati. Seluruh perhatiannya tertuju kepada Sindupati. Ia memandang dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap, seolah-olah hendak ditelannya hidup-hidup senopati muda itu yang telah mempermainkannya, betapa ia telah berbaik dengan senopati itu, betapa ia telah menganggapnya sebagai seorang sahabat baik, betapa ia hampir saja ternoda, diperkosa oleh Sindupati! Saking marahnya, Endang Patibroto sampai menggigil tubuhnya dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
“Huah-ha-ha-ha! Joko Wandiro dan Endang Patibroto. Dua orang yang amat hebat!” Adipati Menak Linggo tertawa bergelak. “Akan tetapi akan menemui ajal di Blambangan kecuali kalau kalian suka menakluk!”
Endang Patibroto mengeluarkan lengking mengerikan disusul bentakannya,
“Sindupati ,jahanam keji!” Tubuhnya sudah menerjang:masuk ke dalam kamar itu.
“Endang, hati-hati!”
Tejolaksono terpaksa menerjang masuk pula untuk melindungi temannya. Tadinya ia menaruh curiga, akan tetapi melihat Endang Patibroto sudah melompat masuk, ia tentu saja tidak mau membiarkan temannya itu terancam bahaya.
Begitu kaki kedua orang sakti yang melompat ini menyentuh lantai “kraaaaakkkk!” lantai itu terbuka ke bawah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh kedua orang ini terjun ke dalam lubang.
Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo menggema mengikuti jatuhnya dua orang itu!.
Tejolaksono cepat meraih tangan Endang Patibroto dan dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, ia dapat menahan luncuran tubuh sehingga ketika kaki mereka tiba di dasar sumur, tidaklah terbanting keras.
“Ah.. keparat.. kita tertipu, Joko Wandiro!” Endang Patibroto mengeluh.
“Kau duduklah istirahat, Endang. Pahamu terluka dan kalau aku tidak keliru sangka, tentu anak panah itu beracun, seperti yang menancap di punggungku. Paling perlu kita harus mencegah menjalarnya racun. Bagaimana rasanya?”
“Memang beracun. Panas dan gatal-gatal,” jawab Endang Patibroto sambil menjatuhkan diri duduk di lantai sumur itu dan bersandar pada dinding.
Ternyata sumur ini adalah sumur buatan manusia, dindingnya dari batu yang amat keras, lantainyapun dilapis besi sehingga tidak mungkin menggali terowongan. Tempatnya cukup luas, segi empat dan tidak kurang dari lima meter panjangnya. Keadaan di situ remang-remang, mendapat sinar dari atas karena setelah mereka termasuk perangkap, lubang sumur di atas itu dibuka terus dan dijaga kuat.
“Endang Patibroto dalam keadaan seperti ini,kau maafkan aku, ya? Tiada jalan lain untuk mengatasi racun anak panah kecuali menghisap racunnya keluar. Dapatkah kau mengisap luka anak panah yang menancap di pahamu?”
Endang Patibroto tidak menjawab, lalu mengerahkan tenaga mencabut keluar anak panah yang menancap di pahanya. Darah yang menghitam akan tetapi hanya sedikit sekali, mengalir keluar.
Karena memang pakaiannya tadi terobek oleh Sindupati, maka dengan mudah ia menyingkap bagian paha yang terluka itu, lalu ia menundukkan muka ke arah paha sambil mengangkat kakinya.
Namun, betapa pun ia membungkuk, tak mungkin mulutnya mencapai paha yang terluka. Mulutnya hanya dapat mencapai paha di atas lutut saja, sedangkan yang terluka adalah dekat pangkal paha!
Adipati Tejolaksono dalam keadaan remang-remang itu hanya melihat saja dan merasa kasihan. Ia sudah memeriksa keadaan ruangan ini, mendapat kenyataan bahwa tidak ada jalan keluar bagi mereka, kecuali melalui lubang yang berada di atas itu, yang tingginya tidak kurang dari lima belas meter! Ruangan di bawah tanah yang menjadi penjara mereka ini dilapis besi semua! Kini ia mendekati Endang Patibroto dan berkata,
“Endang Patibroto, kalau tidak dikeluarkan racun itu akan berbahaya. Bolehkah aku membantumu?”
Ia ragu-ragu karena tempat yang terkena adalah paha, tempat yang tentu saja merupakan bagian terlarang untuk disentuh orang apa lagi laki-laki!.
Kesuraman tempat itu menyembunyikan wama merah yang menjalar di seluruh muka Endang Patibroto, sampai telinga dan lehernya. Ia menunduk dan tidak menjawab. Kepalanya masih pening, dadanya panas sekali dan ia diam tak bergerak seperti arca, tidak kuasa menjawab.
Tejolaksono dapat memahami perasaan Endang Patibroto, maka dengan hati-hati ia mendekati, duduk dan berkata perlahan,
“Sekali lagi maafkan aku, Endang. Dalam keadaan seperti ini, segala perasaan sungkan harus ditindas. Yang terpenting adalah menyelamatkan diri dari bahaya racun yang mengancam kita, baru kita mencari jalan untuk berusaha keluar dari sini. Bolehkan aku membantu mengeluarkan racun itu?”
Endang Patibroto masih menunduk dan hanya dapat mengangguk. Tejolaksono lalu membungkuk dan tanpa ragu-ragu menempelkan mulutnya pada paha yang berkulit halus, putih, dan panas itu.
Pendekar sakti ini menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk menutup semua panca indra, terutama sekali menutup perasaannya sehingga yang terasa olehnya hanyalah luka yang harus ia hisap dan keluarkan darahnya yang telah keracunan. la menahan napas dan menggunakan tenaganya menghisap sampai mulutnya penuh dengan darah yang memancar keluar dari lubang luka, untuk kemudian diludahkan dan dihisap lagi.
Endang Patibroto yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya tengadah, keningnya berkerut­kerut, bibirnya digigit. Hampir ia tidak kuat menahan, bukan karena nyeri, melainkan karena ia merasa tersiksa bukan main.
Rangsangan racun pada tubuhnya masih mengamuk hebat, membuat seluruh tubuhnya panas, membuat perasaannya haus akan kemesraan, membuat ia ingin sekali menerima belaian cinta kasih pria! Dan kini merasa betapa mulut Joko Wandiro menempel di paha, tempat yang amat perasa, betapa mulut yang basah dan panas itu menghisap, hampir saja ia tidak kuat bertahan.
Napasnya makin terengah-engah dan ia harus menggenggam dan mencengkeram jari-jari tangannya sendiri agar jangan mencengkeram dan merangkul Joko Wandiro! Hebat bukan main siksaan bath ini dan kedua pipi Endang Patibroto sampai penuh dengan air mata yang bercucuran dari kedua matanya. la membayangkan wajah suaminya, terus berpegang kepada suaminya, kepada kesetiaannya terhadap suaminya almarhum agar dari situ ia mendapat tambahan tenaga untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang memuncak!
Akhirnya selesailah siksaan yang dirasakannya amat lama itu. Terdengar suara Joko Wandiro seakan-akan terdengar dari jauh, seperti dalam mimpi,
“Beres sudah, Endang. Semua racun telah keluar dan kau boleh sekarang menghimpun tenaga sakti untuk memulihkan tenagamu.”
Endang Patibroto membuka mata, menggunakan punggung tangan kiri untuk menghapus air matanya.
“Terima kasih, Joko Wandiro. Sekarang kau membaliklah, biar aku membersihkan racun di punggungmu.”
Tejolaksono mengangguk, lalu membalikkan tubuh, duduk bersila membelakangi Endang Patibroto. Wanita perkasa ini lalu menggunakan tangan mencabut anak panah yang menancap di punggung, membuka baju Tejolaksono dan seperti yang dilakukan oleh adipati ini tadi, iapun lalu menempelkan mulutnya pada luka bekas anak panah dan menyedot.
Tejolaksono haruss mengerahkan tenaga batin untuk melawan perasaan aneh yang menyerang hatinya ketika ia merasa betapa bibir yang lembut dan panas itu menempel punggungnya. Iaptin menderita, akan tetapi tidaklah sehebat penderitaan Endang Patibroto yang harus pula menahan serangan racun perangsang yang masih menguasai dirinya.
Akhirnya selesailah cara pengobatan yang sederhana itu.
Racun telah keluar semua dari punggung Tejolaksono dan mereka kini duduk bersila, bersamadhi dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Bahaya maut yang mengancam mereka melalui racun anak panah sudah terlewat. Akan tetapi bahaya yang lebih besar lagi terbentang di depan mata! Mereka terkurung dan tidak mungkin dapat keluar dari dalam sumur. Seakan-akan mereka berdua telah terkubur hidup-hidup!.
“Hujani anak panah saja!”
“Kubur saja mereka dan tutup lubang ini dengan batu­batu besar!”
“Alirkan saja air sungai ke dalam lubang agar mereka mati tenggelam seperti dua ekor tikus!”
Suara-suara ini mereka dengar dari atas sumur dan tampak bayangan-bayangan di atas itu.
Mereka berdua hanya dapat menekan batin melawan kengerian, akan tetapi mereka maklum sedalamnya bahwa semua ancaman itu kalau dilaksanakan, akan mengakibatkan mereka tewas di dalam sumur. Tiada bedanya. Apa pun yang mereka akan lakukan, akhirnya mereka akan mati!
“Huah-ha-ha-ha, enak benar kalau mereka dibikin mati begitu saja! Tidak, si wanita iblis Endang tidak boleh mati terlalu enak begitu! Biarkan mereka kelaparan sampai mampus di dalam lubang. Ha-ha-ha!”
Ucapan ini, yang biar pun suaranya berubah terdengar dari dalam lubang itu, dapat mereka duga adalah suara Adipati Menak Linggo. Dengan adanya ucapan itu agak legalah hati Endang Patibroto dan Tejolaksono.
Ucapan sang adipati merupakan keputusan dan hal ini berarti mereka tidak akan mati seketika, masih akan dapat bertahan sampai beberapa hari. Dan selama nyawa masih berada di dalam tubuh, mereka tidak akan putus asa!.
Setelah bersamadhi agak lama, pulih kembali tenaga mereka. Juga Endang Patibroto tidaklah terlalu tersiksa seperti tadi, sungguh pun pengaruh jamu perangsang itu masih belum meninggalkan tubuhnya.
Memang hebat sekali daya rangsang racun jamur belang. Sekali memasuki tubuh lewat makanan atau minuman, racun jamur belang ini akan memasuki darah dan tidak akan punah sebelum si korban terlampiaskan dan terpuaskan nafsunya!.
Setelah pulih kembali tenaga mereka, mulailah dua orang sakti ini memeriksa keadaan dasar sumur atau ruangan bawah tanah itu. Mereka memeriksa dan meraba­raba akan tetapi ternyata bahwa benar-benar tidak ada jalan keluar melalui bawah. Dinding sebelah kin adalah batu gunung yang menghitam dan kuat sekali, demikian pula dua dinding yang lain.
Adapun dinding di kanan malah dilapis besi, sedikitpun tak dapat digeakkan. Mereka sudah mencoba untuk menghantam dengan telapak tangan mereka sambil mengerahkan aji kesaktian, namun dinding-dinding itu hanya tergetar saja dan sedikit batu remuk, namun dinding tetap tertutup rapat!
Mereka sudah pula berusaha meloncat ke atas mengerahkan Aji Bayu Sakti, namun sia-sia. Tak mungkin meloncat keluar dari tempat sedalam itu, apa lagi meloncat secara tegak lurus begitu.
Habis sudah akal mereka pergunakan, semua tenaga mereka kerahkan, namun sia-sia. Andai kata mereka dapat mencapai atas sumur, tetap saja mereka akan berhadapan dengan penjagaan yang amat ketat, dan sebelum dapat keluar tentu akan dihujani anak panah sehingga terpaksa hams turun kembali!.
Tejolaksono menindas perasaannya, bersikap tenang. Ia mengajak Endang Patibroto duduk bersila di lantai, berhadapan.
“Tidak ada jalan untuk lolos, Endang Patibroto, akan tetapi aku tetap yakin bahwa selama Hyang Widhi belum menghendaki kita mati, tentu kita akan dapat lolos juga akhimya.”
Endang Patibroto menghela papas. panjang. Sudah semalam suntuk mereka berusaha mencari jalan keluar dengan sia-sia. Kini agaknya hari telah siang kembali, melihat sinar terang yang turun dari lubang di atas.
Kadang-­kadang tampak bayangan kepala orang di atas lubang, akan tetapi biar pun ada orang menjenguk dari atas, dasar lubang terlampau dalam sehingga takkan tampak. Apa lagi, dasar lubang itu merupakan ruangan tiga kali lebih luas dari pada mulut lubang sehingga mereka berdua dapat duduk agak terlindung ke pinggir, tidak tepat di bawah lubang sumur. Endang Patibroto juga tidak merasa takut atau susah hatinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar