PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-14
“Joko Wandiro, akupun tidak takut menghadapi kematian. Apakah artinya
kematian bagi seorang yang sengsara seperti aku? Ahhh, dari pada
mengenang kesengsaraanku, lebih baik kau ceritakan kembali, kini yang
jelas, tentang segala pengalamanmu. Aku masih merasa seolah-olah dalam
mimpi mendengar keteranganmu kemarin yang amat mengejutkan hatiku.”
“Memang siasat Adipati Blambangan amat busuk, Endang. Demikian rapi dan
pandai siasat itu dijalankan sehingga aku tidak bisa menyalahkan engkau.
Baiklah kuceritakan sejelasnya agar kau dapat mengerti. Mula-mula aku
diperintah oleh sang prabu di Panjalu untuk menyelidiki
pembunuhan-pembunuhan aneh yang terjadi di Panjalu dan Jenggala, yang
memakan korban nyawa banyak ponggawa penting. Berangkatlah aku segera ke
Panjalu dan di sana aku mendengar tentang penyerbuanmu ke istana
Pangeran Darmokusumo. Dapat kau bayangkan betapa terkejut dan heran
hatiku. Pangeran Darmokusumo adalah suami adik suamimu sendiri, dan di
antara kau dan dia ada permusuhan. Kalau kau sudah menyerbu seperti itu,
sudah pasti ada alasan-alasan yang sangat kuat. Selain itu, aku
mendengar desas-desus bahwa engkaulah orangnya yang melakukan
pembunuhan-pembunuhan aneh itu. Hal ini pun aku tidak percaya, sama
sekali karena aku yakin bahwa kau bukanlah seorang yang sudi melakukan
pembunuhan secara demikian pengecut dan keji. Tanpa berlaku pengecut dan
sembunyi-sembunyi, apa sukarnya kalau kau memang mau membunuh mereka?
Mereka itu sama sekali bukan lawanmu. Maka berangkatlah aku ke Jenggala
dengan maksud menemuimu sendiri dan bertanya kepadamu secara berterang
tentang penyerbuanmu ke Panjalu itu. Dan di Jenggala aku mendengar bahwa
kau telah membebaskan suamimu yang dipenjara oleh Sang Prabu Jenggala!”
Tejolaksono berhenti sebentar, memandang wajah yang termenung dan kini
alis yang indah bentuknya itu mengerut, sinar mata itu jelas
membayangkan kedukaan besar.
“Aku terkejut sekali dan makin terheran-heran. Tentu telah terjadi
sesuatu yang amat aneh. Entah kejadian apa dan baru setelah aku bertemu
denganmu akan dapat terbuka semua rahasia itu. Maka aku lalu mulai
mencarimu. Aku sudah mempunyai dugaan bahwa dalam hal ini tentu terselip
rahasia yang besar, dan bahwa orang yang mempunyai keinginan merusak
Jenggala dan Panjalu, tentulah musuh besar kedua kerajaan itu. Dan siapa
musuh besar yang pada saat ini paling kuat kecuali Blambangan? Dengan
dasar inilah maka aku segera berangkat ke Blambangan untuk mengusut
rahasia itu.”
Endang Patibroto menghela napas panjang. “Engkau selalu jauh lebih
cerdik dari pada aku, Joko Wandiro. Aku sudah tertipu dan terbujuk “
“Tidak, Endang. Bukan karena aku lebih cerdik, melainkan mungkin lebih
teliti dan hati-hati. Dan kebetulan sekali di tengah jalan aku bertemu
dengan Ki Brejeng yang menceritakan segala macam rahasia itu. Ki Brejeng
menjadi ponggawa Blambangan dan dipercaya untuk ikut dalam pasukan
Sindupati.”
“Si keparat jahanam Sindupati' Ahh aku akan mati penasaran sebelum dapat menghancurkan kepala jahanam keji itu”
“Dia memang amat jahat dan cerdik bukan main. Aku telah memukulnya
dengan Aji Pethit Nogo, akan tetapi ternyata ia belum mati. Selain
cerdik ia juga sakti. Karena kecerdikannya itulah maka dia diserahi
pimpinan pasukan untuk mengacau Jenggala dan Panjalu. Dan Sindupati
menjalankan siasatnya dengan amat baiknya. Kau tentu ingat akan mendiang
Bhagawan Kundilomuko penyembah Bathari Durgo itu, bukan? Nah, Bhagawan
Kundilomuko adalah paman dari Adipati Menak Linggo, maka Adipati
Blambangan mendendam kepadamu dan berpesan kepada Sindupati agar
mencelakaimu atau sedapat mungkin membunuhmu.”
“Mengapa Ki Brejeng tidak menceritakan semua itu kepadaku?”
“Biar pun tidak bercerita kepadamu karena takut kepada Sindupati, namun
diam-diam Ki Brejeng setia kepadamu, Endang. Nanti akan kuceritakan
tentang itu. Menurut penuturan Ki Brejeng, Sindupati mempergunakan dukun
lepus Sang Wiku Kalawisesa untuk membunuh-bunuhi para ponggawa penting
kedua kerajaan untuk melemahkan kedua kerajaan itu. Di samping itu,
Sindupati menyebar desas-desus untuk menjatuhkan nama baikmu. Setelah
kau berhasil memaksa Wiku Kalawisesa mengaku, sang wiku yang jahat itu
makin menjerumus kan engkau dengan mengaku bahwa Darmokusumo yang
menyuruhnya. Demikianlah, tentu saja pihak Panjalu makin menyangka buruk
kepadamu ketika kau menyerbu ke sana. Dan Sang Prabu Jenggala setelah
melihat bukti penyerbuanmu itu, tentu saja menjadi marah dan menahan
suamimu. Engkau menyerbu penjara, memaksa suamimu bebas, kemudian
melarikan diri. Nah, tentu saja kalau aku tidak bertemu dan mendengar
cerita Ki Brejeng, akupun akan menyesalkan semua yang kau lakukan itu.
Ki Brejenglah yang membuka semua rahasia itu.”
“Kenapa dia mati? Menurut Sindupati si laknat, Ki Brejeng melarikan diri karena ingin hidup bebas.”
“Ha, memang Sindupati pandai berdusta. Ki Brejeng melihat betapa engkau
hendak dibunuh dengan racun, maka ia yang masih setia kepadamu mencegah
perbuatan itu dengan mengganti makananmu yang, teracun. Akibatnya, ia
disiksa dan dilempar ke dalam jurang dan disangka sudah mati. Siapa
kira, Ki Brejeng memilikl daya tahan luar biasa, sampai tiga malam masih
belum mati sehingga ketika aku lewat, dia dapat bertemu dan bicara
denganku.”
Sepasang mata Endang Patibroto bersinar-sinar penuh kemarahan dan kebencian.
“Hemm si keparat Sindupati! Dan kalau teringat betapa aku selalu
menganggapnya orang baik-baik, seorang sahabat sejati ahh, aku malu
kepada did sendiri.Alangkah bodohku.”
“Bukan kau yang bodoh, Endang ,” kata Tejolaksono menghibur,
“melainkan Sindupati yang terlalu licik dan cerdik. Akan tetapi, ada
sebuah hal yang amat menggelisahkan hatiku. Mengapa engkau di Blambangan
seorang diri saja, Endang Patibroto? Di manakah kau sembunyikan
Pangeran Panjirawit, suamimu.? “
Endang Patibroto menarik napas dari mulut keras-keras seperti tersedak.
Ia memandang kepada Tejolaksono dengan sepasang mata terbelalak dan muka
pucat. Melihat Tejolaksono mengira bahwa wanita yang keras hati ini
kembali kurang percaya kepadanya karena kekurangpercayaan itu memancar
dari pandang matanya, maka ia cepat menyambung,
“Kurasa kalau ada sang pangeran, beliau tentu tidak akan begitu mudah terbujuk, bersekutu dengan Blambangan.”
“Endang! Endang! Kau kenapa..?”
Tejolaksono terkejut dan heran sekali karena wanita itu tiba-tiba
menangis sesenggukan. Jantungnya berdebar keras penuh kekhawatiran dan
prasangka buruk.
“Aduh, Joko kau kau benar-benarkah tidak tahu? Apakah kau tidak mendengar dari Ki Brejeng?”
Tejolaksono menggeleng kepala. “Dia tidak menyebut-nyebut tentang suamimu!”
Tangis Endang Patibroto makin mengguguk dan dengan suara tersendat-sendat ia berbisik,
“ dia... dia... suamiku... dia telah tewas!”
“Duh Jagad Dewa Bathara!”
Tejolaksono berseru kaget sekali dan saking terharu hatinya, la menerima
tubuh Endang Patibroto yang menelungkup, memeluk pundak wanita itu yang
menangis sesenggukan sepertl anak kecil sehIngga muka itu membasahi
dadanya.
Sampai lama Endang Patibroto menangis. Baru sekali ini ia dapat
menumpahkan seluruh kedukaan yang terkumpul di hati dan tangisnya kali
ini seperti air bah yang jebol tanggulnya. Ia merintih-rintih dan
memanggil nama suaminya, memeluk pinggang Tejolaksono, membenamkan
mukanya di dada yang bidang Itu.
Tejolaksono mengelus-elus kepala Endang Patibroto. Hatinya penuh
keharuan. Betapa buruknya nasib wanita Ini, pikirnya. Terbayanglah ia
semenjak Endang Patibroto masih kecil. Demikian banyaknya percobaan
hidup, demikian banyaknya kenyataan pahit harus ditelan oleh Endang
Patibroto. Kemudian, setelah mengalami masa bahagia bersama suaminya
hanya untuk beberapa tahun saja, kini sudah lagi harus menderita
sengsara yang amat hebat.
Akan tetapi, sebagai jawaban, Endang Patibroto menangis makin mengguguk
sehingga Tejolaksono menjadi bingung dan hanya dapat mendekap erat-erat
sambil mengelus-elus rambut yang halus itu. Setelah mereda tangis yang
menggelora, Endang Patibroto menarik napas panjang, terisak dan tanpa
mengangkat mukanya dari dada Tejolaksono ia berbisik,
“Ia terbunuh ketika aku melarikannya, terkena anak panah yang datang bagaikan hujan.”
“Aduh, kasihan kau Endang Patibroto...”
Joko Wandiro atau Tejolaksono kini dapat merasakan betapa hebat
penderitaan batin yang menimpa wanita ini. Dengan mata basah ia lalu
mendekap kepala Endang Patibroto dengan maksud hati menghiburnya.
Sementara Itu, Endang Patibroto menangis lagi sampai tubuhnya
tergoyang-goyang dalam pelukan Tejolaksono.
Sampai lama mereka berpelukan di dasar sumur itu, dan akhirnya tangis
Endang Patibroto terhenti. Namun ia tidak bangkit dari atas dada
Tejolaksono dan berkata lemah,
“Joko Wandiro... sejak dahulu... alangkah baiknya engkau terhadap
diriku. Aku dahulu seperti orang buta. Engkau... engkau selalu baik
kepadaku, Joko Wandiro “
Berdebar jantung Tejolaksono.
“Endang, kau lupa, aku sekarang adalah Adipati Tejolaksono,“ katanya sambil menekan perasaannya.
“Bagiku kau tetap Joko Wandiro yang baik hati, yang selalu mengalah kepadaku.“
“Hemm, dan kau dahulu membenci aku, membenciku setengah mati dan memusuhiku “
Tejolaksono tersenyum, teringat akan watak wanita ini dahulu yang amat
keras. Maka amatlah mengherankan melihat wanita ini sekarang menangis
begitu sedihnya, dan memeluknya seperti ini. Hampir tak dapai
dipercaya!.
Tiba-tiba Endang Patibroto merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan Tejolaksono.
Ia duduk bersimpuh di depan pria itu, matanya memandang dengan tajam,
wajahnya yang masih basah itu pucat, rambutnya kusut, namun menambah
kecantikannya yang aseli, cantik jelita sehingga mengharukan hati
Tejolaksono yang memandangnya.
“Tidak...! Tidak, Joko Wandiro! Aku tidak pernah membencimu! Tidak belum pernah aku membencimu!”
Mata itu memandang dengan pancaran sinar yang membikin Tejolaksono
terkejut dan bingung. Begitu tajam, begitu mesra, begitu penuh perasaan
dan mengandung cinta kasih seperti kalau mata Ayu Candra memandangnya!
Ia cepat menekan hatinya.
“Ah, Endang Patibroto, engkau dahulu selalu memusuhiku, bukan? Semenjak kita kecil..”
“Tentu saja, karena aku tidak mau kalah olehmu Aku ingin menang darimu,
ingin kau kagumi. Aku tidak pernah mau kalah oleh siapa juga,
teristimewa oleh engkau Joko Wandiro. Akan tetapi, akhirnya aku harus
mengakui keunggulanmu dan... dan hal itu tidak membuatku benci...“
“Tetapi setelah kita dewasapun, kau selalu memusuhiku. Kau membenciku!”
“Tidak! Memang kita selalu bertentangan, keadaan keluarga kita yang
melibat kita sehingga terjadi pertentangan. Akan tetapi., aku tak pernah
membencimu, Joko Wandiro. Di sudut hatiku, tak pernah lenyap aku aku
ah, perlu apa aku berpurapura lagi? Kita sekarang menghadapi maut di
depan mata. Kita takkan dapat lolos dart sini, hal ini aku yakin benar.
Kita pasti akan mati di sini; entah berapa hari lagi. Karena itu, karena
kita berdua akan mati bersama di sini, tak perlu lagi aku berpura-pura,
tak perlu lagi malu-malu. Andai kata kita tidak menghadapi kematian
yang tak mungkin dapat dihindarkan lagi, sampai matipun aku tentu tidak
sudi membuka mulut mengadakan pengakuan ini. Joko Wandiro, engkau keliru
besar kalau mengira bahwa dahulu aku membencimu. Tidak sama sekali!
Ingatkah engkau di dalam hutan itu, ketika engkau dari belakang
memelukku? Dari belakang engkau mendekap dan menciumku? Kalau aku
membencimu, tentu sudah kupukul mati kau di saat itu selagi engkau tidak
siap! Akan tetapi tidak! Aku tidak menyerangmu, aku menggigil karena
bahagia! Akupun merasa bahagia sekali ketika sebelum meninggal ayah
berpesan agar aku berjodoh denganmu. Tidak, Joko Wandiro. Aku tidak
membencimu ketika itu. Aku aku cinta kepadamu! Nah, dengar engkau
sekarang? Menghadapi kematian aku tidak malu-malu lagi mengaku. Aku
cinta padamu.”
“Endang!”
Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono berseru kaget, matanya terbelalak
memandang, hampir tidak percaya akan pendengaran telinganya ketika
mendengar pengakuan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kemudian
dengan suara gemetar ia mencoba untuk membantah, “Tapi... kau hendak
membunuhku..., ingatkah pertandingan di badai itu? Berebutan keris
pusaka Brojol Luwuk?”
“Tentu saja, Joko Wandiro.” Endang Patibroto menghela napas panjang.
“Tentu saja. Hati siapa yang tidak sakit karena ditolak cintanya? Engkau
menolak dijodohkan denganku. Engkau memilih Ayu Candra!”
Melihat kini wanita itu menunduk dan mengalirkan air mata, Tejolaksono
menghela napas panjang„ menekan perasaannya yang menggelora, lalu
berkata lirih,
“Endang Patibroto, perlu apakah hal-hal yang sudah lalu kauceritakan?
Perlu apakah hal itu disebut-sebut lagi? Hanya untuk menghancurkan
perasaan kita berdua.”
Sampai lama Endang Patibroto tidak menjawab, terisak-isak. Kemudian ia
berkata lagi, “Orang selalu keliru menyangka tentang diriku, keliru
menafsirkan isi hatiku. Mungkin karena aku liar dan ganas, karena aku
murid Dibyo Mamangkoro... Biarlah sekarang aku mengaku semua... pada
saat terakhir hidup kita ini. Engkau tahu, Joko Wandiro, setelah aku
kalah olehmu, setelah aku putus harapan, kehilangan engkau yang
mencintai Ayu Candra, kehilangan Brojol Luwuk yang telah kaurampas,
kehllangan kasih lbu kandung... kehilangan semuanya, bahkan kehilangan
hati karena cintaku padamu tak terbalas... ketika itu... aku hendak
membunuh diri di dalam badai...”
“Endang...“ Tejolaksono berseru lagi penuh keharuan.
“Biarlah kuceritakan semua... kita toh akan mati... biarlah kau anggap
aku wanita tak bermalu... semua ini kenyataan hatiku... Joko Wandiro,
ketika aku hendak membunuh diri, muncul Pangeran Panjirawit yang
mencintaku. Dialah yang merenggutku dari maut, kemudian menghiburku...
melimpahkan kebaikan budi kepadaku... ah, kasihan Pangeran Panjirawit
suamiku...“ Ia terisak lagi dan tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Tejolaksono hanya duduk bersila dan memandang, seperti arca. Pengakuan
wanita ini benar-benar merupakan serangan dahsyat pada hatinya, membuat
ia lupa sama sekali bahwa mereka berdua pada saat itu menghadapi ancaman
maut yang tak terhindarkan lagi.
Setelah menyusut air matanya Endang Patibroto melanjutkan kata-katanya
dengan penuh pengertian, “Penuh kesabaran dia membimbingku, mengisi
hidupku, seolah-olah menghidupkan lagi aku yang bangkit dari kematian...
melimpahkan cinta kasihnya sampai aku berhasil membalas cintanya...
tapi... tapi akhirnya ia tewas dalam membela diriku... ah, hampir aku
gila dibuatnya. Hanya satu cita-cita hidupku. Membalas kematiannya,
mendendam kepada Jenggala dan Panjalu, sehingga nekat bersekutu dengan
Blambangan. Akan tetapi kau muncul...! Ternyata aku keliru sangka, bukan
Jenggala dan Panjalu yang menjadi sebab kematian suamiku, melainkan
Blambangan! Dan kini... aku diperternukan lagi dengan engkau... kini di
tepi kematian. Ahhh, Joko Wandiro...!” Endang Patibroto menubruk dan
menangis di atas pangkuan Tejolaksono yang masih terbenam dalam
keharuan, diam seperti arca.
Endang Patibroto kembali bangkit dan duduk. Agaknya ia bisa menguasai
hatinya yang remuk redam, tidak menangis lagi, bahkan ia mulai
membenarkan rambutnya yang kusut, disanggulnya, akan tetapi kedua
tangannya menggigil sehingga sanggul itu tidak benar, bahkan terlepas
dan terurai lagi, sepasang matanya memandang wajah pria yang bersila di
depannya.
Cahaya matahari menyinar dari lubang di atas sehingga cahaya
remang-remang di ruangan bawah tanah itu tidak begitu gelap benar.
Mereka bertemu pandang dan sukar dilukiskan apa yang tersinar keluar
dari pandang mata masing-masing.
“Joko Wandiro...”
Seperti mimpi Tejolaksono mendengar panggilan ini, panggilan yang
dikeluarkan dari bibir yang gemetar. Ia memandang, tak mampu menjawab,
hanya menggumam lirih,
“Hemmmm...?”
“...aku..., kita...“ Endang Patibroto tak dapat melanjutkan kata-atanya,
lalu menunduk dan menarik napas panjang. Agaknya sukar ia menyatakan
isi hatinya.
“Bicaralah, Endang Patibroto. Aku mendengar...“
“Joko Wandiro..., aku telah berdosa kepada ayah... dan sekarang kita
berdua menghadapi kematian. Tak lama lagi kita akan bertemu dengan
ayah..., aku telah mengecewakan hati ayah... tidak dapat memenuhi
pesannya yang terakhir, yang keluar dari mulutnya sebelum ia meninggal
dunia. Joko Wandiro...”
Kembali ia terdiam dan kepalanya makin menunduk. Sampai lama
-Tejolaksono menanti, namun tidak juga keluar ucapan lanjutan wanita itu
dan ia sama sekali tidak dapat menduga apa yang akan dikatakan wanita
luar biasa ini.
“Bagaimana, Endang Patibroto? Apa yang hendak kau katakan?”
“...Joko Wandiro... ahh... bagaimana aku harus mengatakan kepadamu...
Akan tetapi... biarlah, biar semua orang menganggapku seorang wanita
hina... biar kau sendiri menganggapku rendah... aku tidak peduli... Joko
Wandiro, kalau ada sedikit saja rasa cinta dan kasihan di hatimu
terhadap diriku... aku...”
Melihat betapa sukarnya Endang Patibroto menyampaikan perasaan hatinya,
Tejolaksono segera berkata menghibur, “Terus terang saja, dahulu aku
pernah amat kagum dan cinta kepadamu, Endang, sebelum aku bertemu dengan
Ayu Candra... dan tentang kasihan, kau tahu bahwa aku selalu
mengasihanimu...”
Endang Patibroto mengangkat mukanya dengan wajah berseri sedikit. Ia
menggigit bibir bawah, agaknya menahan perasaan jengah dan malu,
kemudian la berkata, “Kalau begitu Joko Wandiro, kau terimalah aku
sebagai isterimu...”
“Haahhhh...?” Tejolaksono memandang dengan terbelalak. Sungguh mati ia
tidak pernah menyangka bahwa Endang Patibroto akan berkata demikian.
Pantas saja begitu sukar keluar dari mulut!
“Joko Wandiro, aku tahu bahwa engkau tentu akan memandang rendah dan
hina kepadaku dengan permintaanku ini. Akan tetapi... aku ingin mati
sebagai isterimu! Aku ingin menghadap ayah setelah memenuhi pesannya.
Aku... aku... ahhh...” Kembali ia menubruk dan terisak perlahan ketika
melihat sinar mata Tejolaksono seperti itu.
“Tapi... tapi... Endang... ingatlah kepada Pangeran Panjirawit, mendiang
suamimul!” Tejolaksono yang wajahnya menjadi pucat itu berkata gagap.
Ia harus mengatakan sesuatu untuk memulihkan ketenangannya, untuk
menangkis serangan Endang Patibroto yang langsung menusuk jantung
menembus hati menyentuh perasaan.
“Pangeran Panjirawit? Kasihan suamiku, semoga rohnya diterima Sang Hyang
Widhi.l Tidak, dia tidak apa-apa, karena dia sudah tahu, Joko Wandiro!
Aku telah membuka rahasia hatiku ketika ia meminangku, terus terang
kuceritakan kepadanya bahwa aku adalah jodohmu yang ditentukan ayah,
bahwa aku... aku mencintaimu! Akan tetapi, dia dapat mengerti, dan dapat
mengasuh, begitu sabar dan penuh pengertian sehingga beberapa tahun
kemudian dia berhasil menjatuhkan hatiku. Ia tahu bahwa pada bulan-bulan
pertama, di waktu dia mencumbu rayu, aku menganggap bahwa dia bukanlah
Pangeran Panjirawit, melainkan... Joko Wandiro... Nah, aku telah membuka
rahasia, terserah kepadamu, aku rela kauanggap apa saja..., wanita tak
bermalu, wanita hina dina dan rendah... tidak setia... apa saja, Joko
Wandiro. Kita akan mati bersama... dan aku ingin mati sebagai...
isterimu...!”
Sampai lama Tejolaksono yang masih duduk bersila itu menatap wajah yang
menunduk, rambut yang kusut terurai, dada yang turun naik diseling
tangis, pakaian yang robek-robek, tubuh yang membayangkan kelemahan dan
kelelahan, kesengsaraan dan duka nestapa menimbulkan haru dan iba.
Alangkah mudahnya bagi seorang pria untuk menyayang seorang wanita
sehebat Endang Patibroto! Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta! Akan
tetapi ia teringat akan isterinya, terbayang wajah Ayu Candra yang
mencintanya dengan sifatnya yang halus dan setia.
Hampir semua ponggawa di masa itu, apa lagi yang pangkatnya adipati,
tentu mempunyai selir, pada umumnya sampai belasan orang selir,
sedikitnya tiga orang. Akan tetapi selama sepuluh tahun ini Adipati
Tejolaksono tidak mau mengambil selir, bukan karena Ayu Candra
melarangnya, sama sekali bukan. Ayu Candra dapat memaklumi kedudukan
wanita dan “hak” kaum pria pada masa itu. Akan tetapi Adipati
Tejolaksono tidak mau mengambil selir karena cinta kasihnya kepada
isterinya amat mendalam, ia tidak mau membagi cinta kasihnya itu dengan
wanita lain!
“Endang Patibroto..., aku... kasihan kepada Ayu Candra...”
Endang Patibroto menutupi mukanya dengan telapak tangannya.
“Aduh... sungguh aku seorang wanita yang tidak tahu malu, Joko
Wandiro..., kalau saja tidak menghadapi kematian yang tak terelakkan
lagi, sampai mati sekali pun tak mungkin aku dapat membuka semua rahasia
hati dan hidupku padamu! Memang sesungguhnya engkau seorang laki-laki
yang patut dicinta, engkau setia dan memang semestinya engkau mengasihi
Ayu Candra isterimu... akan tetapi... aku mendengar bahwa dia mempunyai
putera... Ayu Candra ada puteranya dan di sana ada... ibu Kartikosari
dan bibi Roro Luhito... sedangkan aku... aku tidak mempunyai siapa-siapa
di dunia ini... karena itu... aku ingin sekali mempunyai engkau di alam
baka, Joko Wandiro...! Tidak kasihankah engkau kepadaku? Sedikitpun
tidak...?”
Endang Patibroto menangis sambil menutupi mukanya. Air matanya mengalir
turun melalui celah-celah jari tangannya. Wanita ini telah membongkar
semua rahasia hatinya yang tak diketahui oleh orang lain kecuali
mendiang suaminya yang pernah ia ceritakan, itu pun tidak semua, tidak
seperti pengakuannya kepada Joko Wandiro sekarang ini.
Ia telah membuka semua isi hatinya, maklum bahwa ia menghadapi resiko
yang amat berat, dapat membuat ia dipandang rendah dan hina. Namun,
karena yakin bahwa mereka berdua akan mati, ia tidak peduli lagi.
Ia ingin menjadi isteri Joko Wandiro pada saat-saat terakhir hidupnya,
untuk memenuhi pes an ayah kandungnya, untuk memenuhi hasrat yang
menjadi kandungan hatinya semenjak dahulu, semenjak pertemuannya dengan
Joko Wandiro setelah ia menjadi dewasa, semenjak diam-diam ia jatuh
cinta kepada pria ini namun keadaan tidak memberi kesempatan kepada dua
hati ini untuk bersatu padu, bahkan membuat mereka menjadi saling
bertentangan!
“Endang kasihan kau, Endang!”
Ketika jari-jari tangan Tejolaksono dengan gerakan halus mesra menyentuh
kedua pundaknya, Endang Patibroto merasa seakan-akan ubun-ubun
kepalanya disiram air embun dari surga loka! Menyusup masuk memenuhi
hati dan perasaan, meluap keluar melalui kedua matanya dan ia
mengeluarkan suara setengah menjerit setengah merintih ketika memeluk
pinggang Adipati Tejolaksono dan membenamkan mukanya di dada pria yang
selalu dicintanya dalam hati akan tetapi dimusuhinya pada lahirnya itu.
“Terima kasih... terima kasih, Joko... kalau engkau ada sedikit kasihan
dan sudi membagi cintamu kepada diriku yang hina ini...“ ia tersedu.
“Hushhhh... mengapa kau bilang begitu, Endang?”
Joko Wandiro atau Tejolaksono memegang ujung dagu Endang Patibroto
dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu mengangkat muka wanita
itu sehingga rnenengadah.
Mereka bertemu pandang, muka mereka saling mendekat sehingga napas hangat mereka terasa ke muka masingmasing.
“Endang Patibroto, engkau sama sekali tidak hina, tidak rendah engkau
mulia dalam pandanganku karena pengakuanmu menghapus lenyap semua salah
pengertian dahulu... tidak, bukan engkau yang minta menjadi isteriku,
melainkan akulah kini yang meminangmu. Endang Patibroto, maukah engkau
menjadi isteriku, menjadi selirku yang pertama dan terakhir?”
Wajah cantik yang tengadah itu, pucat dan rambutnya kusut, matanya
dipejamkan akan tetapi air matanya terus berlinang keluar melalui
sepasang pipi, bibirnya gemetar, menggigil setengah menangis setengah
tersenyum, hanya dapat tergerak perlahan mengangguk-angguk.
Kedua tangan Joko Wandiro mendekap muka itu, pada leher di bawah
telinga, memandang seperti orang memandang sebuah mustika yang amat
berharga, kemudian seperti tanpa mereka sadari, bibir mereka bertemu
dalam sebuah ciuman yang mesra, yang didorong oleh getaran dua buah hati
yang saling berjumpa, setelah lama dan jauh berpisah.
Ciuman ini membuat Joko Wandiro seakan-akan mendapatkan kembali sebuah
keindahan yang sudah lama terhilang sehingga keharuan memenuhi hatinya,
menaikkan sedu sedan dari dalam dada ke lehernya, menjadi satu dengan
sedu sedan yang naik dari dalam dada Endang Patlbroto!
Adipati Tejolaksono atau Joko Wandiro adalah seorang manusia juga.
Seorang manusia dari darah dan daging. Betapa pun saktinya, ia masih tak
dapat membebaskan diri dari pada perasaan dan hawa nafsu. Apa lagi
terjun dalam lautan asmara bersama seorang wanita seperti Endang
Patibroto!
Mereka berdua bergandeng tangan menghadapi maut, telah berada di ambang
pintu kematian. Menghadapi ancaman kematian. bersama:, hanya mereka
berdua, kepadanya amat besar, akan tetapi tenang dan halus. Kini ia
terseret oleh cinta kasih Endang Patibroto yang bagaikan badai Laut
Selatan, menggelora dan menyeretnya sampai ke dasar yang paling dalam.
Sesuai dengan watak Endang Patibroto, apa lagi ditambah oleh racun yang
telah terminum oleh wanita itu.
Juga Endang Patibroto seperti mabuk. Dahulu ia selalu terbuai oleh
gelora cinta kasih suaminya, Pangeran Panjirawit yang amat besar. Akan
tetapi sekarang ia mabuk oleh cinta kasihnya sendiri yang meluap-luap.
Semua perasaannya terhadap Joko Wandiro yang dahulu ia tindas dan
pendam, kini meletus dan meluap, tak terbendung lagi.
Kedua orang insan ini seperti dalam sekarat menghadapi maut. Memang
mereka menghadapi maut, dan karena Inilah maka mereka seperti dalam
sekarat. Tak pernah sedetikpun mereka terpisah lagi semenjak saat mereka
berciuman itu. Mereka lupa akan segala, lupa waktu, bahkan ancaman
kematian, hanya tahu bahwa mereka hidup bersama dan akan mati bersama,
dan pengetahuan inilah yang menambah kemesraan di antara mereka. Kini
mereka tidak peduli apa-apa lagi, bahkan menanti datangnya maut dengan
bibir tersenyum.
Tiga hari tiga malam mereka berada di ruangan bawah tanah itu. Tubuh
mereka sudah lemah. Kekosongan perut membuat mereka lemas. Namun mereka
tak pernah mengeluh, juga tak pernah saling melepaskan. Seakan-akan
mereka hendak menebus semua kehilangan belasan tahun itu dalam beberapa
hari ini selagi nyawa masih belum meninggalkan badan yang makln lemah.
Beberapa kali Endang Patibroto sudah pingsan di atas pangkuan Adipati
Tejolaksono, pingsan dalam pelukannya.
Akan tetapi begitu ia siuman, la selalu merangkul leher pria itu,
berbisik-bisik mesra, selalu haus akan cinta kasih Joko Wandiro, ldni
suaaminya! Kehausan yang tak pernah terpuaskan.
Bagi orang-orang yang memiliki kesaktian seperti Endang Patibroto dan
Adipati Tejolaksono, agaknya berpuasa sampai sebulan pun kiranya tidak
akan membuat mereka mad. Akan tetapi, sekali ini mereka bukan berpuasa,
bukan bertapa, melainkan terpaksa tidak makan tidak minum.
Dltambah lagi dengan luka-luka mereka bekas pertempuran hebat, kemudian
tenggelam dalam bercinta kasih yang hanya dapat dilakukan oleh
orangorang yang sudah tiada harapan untuk hidup lagi!
Pada hari ke empat, Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan
Adipati Tejolaksono, tubuhnya lemas, wajahnya pucat sekali, dan sinar
matanya layu, akan tetapi bibirnya tersenyum penuh bahagia ketika ia
menengadah dan memandang wajah Tejolaksono. Ia baru saja siuman kembali
dari pingsan yang ke sekian kalinya.
Akan tetapi ia merasa seperti orang baru bangun dari tidur yang amat
nyenyak dan nyaman., Ia menggerakkan lengan dengan lemah, lalu menangkap
tangan Tejolaksono yang mengeluselus rambutnya. Jari-jari tangan
mereka saling cengkeram dan dad jari-jari tangan mereka itu saja sudah
terpancar getaran-getaran penuh cinta kasih! Jelas terasa oleh jari-jari
tangan masing-masing. Endang Patibroto tersenyum bahagia, mempererat
cengkeraman jari tangannya.
“Joko Wandiro... belum mati jugakah kita...?”
Tejolaksono tersenyum, menaikkan pahanya, merangkul dan mencium dahi yang pucat itu, di mana rambut-rambut sinom melingkar layu.
“Ingin benarkah engkau mati, nimas?”
Jari-jari tangan Endang Patibroto yang sudah lemas itu seketika menjadi
kuat kembali terdorong oleh cinta kasihnya yang selalu membara. Ia sudah
menjambak rambut kepala Tejolaksono, menarik kepala itu sehingga turun
dan bukan lagi dahinya yang tercium, melainkan mulutnya. Kemudian ia
melepaskan tangannya dan terkulai lemas ke atas dada Tejolaksono,
napasnya terengah ketika menjawab lirih. “Mati bersamamu adalah nikmat
bagiku, Joko Wandiro..”
Mendengar betapa Endang Patibroto selalu menyebut nama kecilnya,
Tejolaksono tersenyum. Selama tiga hari tiga malam itu, di waktu Endang
Patibroto tidur entah pingsan di atas pangkuannya, tak pernah bosan ia
memandang wajahnya, penuh cinta kasih, kekaguman dan keheranan.....
Komentar
Posting Komentar