PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-15


“Nimas, engkau sudah tahu bahwa aku sekarang adalah Adipati Tejolaksono... mengapa kau tidak pernah menyebutku kakanda? Kau nakal sekali, manis... masa memanggilku dengan menyebut nama kecilku...”
Endang Patibroto tersenyum, lalu menghela papas panjang, tertawa kecil dan berkata, suaranya penuh kesungguhan, “Akan tetapi aku masih menganggapmu Joko Wandiro, karena engkau adalah Joko Wandiro bagiku, dan selamanya akan menjadi Joko Wandiro-ku! Joko Wandiro yang bertahun-tahun kurindukan, yang telah sering kumusuhi, biarlah sekarang kumelepaskan rinduku dan menebus kesalahan-kesalahanku kepada Joko Wandiro.”
Tejolaksono mencium dua butir air mata di atas pipi Endang Patibroto.
“Engkau memang wanita aneh dan hebat sejak dahulu.”
“Joko Wandiro, adakah sedikit cinta kasih di hatimu kepadaku sekarang?”
Tejolaksono membelai rambut yang kusut masai di atas pangkuannya.
“Adindaku, perlu lagikah kau bertanya? Perlukah aku menyatakan dengan mulut? Nimas, bagi cinta kasih di antara kita, pengakuan bibir adalah jauh terlalu hambar dan bahkan mengecilkan arti dan kebesarannya. Mungkinkah kata-kata dapat mewakili getaran yang terasa oleh kita? Pancaran sinar dari pandang matamu yang bagaikan cahaya sinar matahari pagi menembus dan menimbulkan embun sejuk di bunga dalam hatiku? Nyanyian dan gamelan dari Lokananta yang terkandung dalam getaran suara kita? Dapatkah kata-kata menggambarkan perasaan yang aneh dan ajaib ini? Menggantikan perasaan yang tercurah sehingga terasa benar cinta kasih di antara kita sampai ke bulu-bulu di tubuh yang meremang7 Sampai ke denyut-denyut darah yang mengencang tak menentu? Sampai, ke ujung-ujung hidung kita yang mencium ganda harum semerbak seluruh kembang di Indraloka? Endang Patibroto kekasihku, masih perlu lagikah aku mengaku cinta?”
Endang Patibroto rebah terlentang di atas pangkuan Tejolaksono, kedua matanya dipejamkan, bulu matanya yang hitam panjang melengkung itu membentuk bayang­bayang manis di pipinya dan bagaikan mutiara-mutiara keluarlah air matanya bertitik-titik. Bibirnya bergerak dan is berbisik lirih,
“Terima kasih, terima kasih Joko Wandiro,kekasihku, suamiku sekarang aku siap untuk menerima datangnya Sang Yamadipati, marilah Joko Wandiro, mari kita bersama menghadap ramanda Pujo kita bersama menemui Pangeran Panjirawit, kau bimbinglah tanganku, Joko Wandiro...”
Pada saat itu terdengar suara percik air dari atas lubang sumur dan bagaikan hujan turun, beljatuhan air ke atas kepala dan tubuh mereka berdual Air yang segar dingin ini seketika membuat tubuh mereka berdua yang sudah lunglai itu menjadi segar dan meloncatlah mereka bangun, berdiri lalu menengadah, memandang ke atas.
Kiranya dari atas sumur itu kini dipasangi bambu besar berlubang dan dari bambu itulah air dipancurkan ke dalam sumur! Dan tampak bayangan beberapa orang, bahkan terdengar, suara yang tertawa bergelak, suara Raden Sindupati,
“Ha-ha-ha, kalau mereka belum mampus, biarlah sekarang mereka menjadi tikus-tikus tenggelam! Joko Wandiro dan Endang Patibroto, selamat minum dan mandi sepuasnya!”
Kini dari bawah tampak bentuk kepala Sindupati yang sebentar kemudian lenyap lagi.
Dan kata-kata Sindupati itu benar-benar dilakukan oleh Endang Patibroto dan Tejolaksono! Setelah empat hari tidak pernah mendapat air, kini pancuran air itu membuat mereka berdua tiba-tiba menjadi haus. Mereka menerima air dengan kedua tangan dan minum sepuasnya, membiarkan air menyiram tubuh sehingga merekapun mandi sepuasnya.
Sejenak mereka lupa bahwa air tadi dipancurkan dari atas sama sekali bukan karena kebaikan hati Adipati Blambangan, sama sekali bukan memberi kesempatan mereka dapat minum dan mandi! Mereka tertawa-tawa dan menikmati air sambil berpelukan dan barulah mereka sadar akan ancaman kematian mengerikan setelah air menggenang di dalam ruangan itu sampai ke lutut mereka!.
“Endang, air mulai naik,“ kata Adipati Tejolaksono. Biar pun dia tahu kematian berada di depan mata, namun suaranya masih tenang saja, sedikitpun tidak membayangkan rasa takut atau ngeri.
Endang Patibroto malah tertawa! “Joko Wandiro, pegang tubuhku erat-erat agar kita tidak berpisah lagi. Mari kita hadapi kematian yang indah ini...”
“Endang, kurasa tidak seharusnya kita membiarkan diri mati konyol. Kalau begitu, akan sia-sia saja dahulu Eyang Resi Bhargowo menggembleng kita, kemudian orang tuamu, dan guru-gum kita. Tidak, kekasih, selama nyawa kita belum direnggut Sang Yamadipati, kita berkewajiban untuk mempertahankannya!”
“Engkau selalu benar, Joko Wandiro. Akan tetapi betapa mungkin? Air akan naik terus memenuhi tempat ini, dan tenaga dalam tubuh kita tidak ada setengahnya lagi. Betapa kita akan dapat melawan cengkeraman maut? Akan tetapi kita tidak akan mati seperti tikus yang dikatakan si jahanam keparat Sindupati tadi. Kita akan mati dengan tenang dan tak kenal takut, bukan, Joko Wandiro?”
“Hemmm, kalau air naik sampai memenuhi sumur, kita dapat berenang ke atas dan berusaha lobos dengan perlawanan. Setidaknya kita hams dapat membunuh si keparat Sindupati!” kata TejolakSono.
Akan tetapi, pada saat itu seakan-akan sebagal jawaban pernyataarmya, dari atas menyambar turun banyak sekall anak panah! Terpaksa Tejolaksono dan Endang Patibroto mundur sampai terlindung, tidak tepat di bawah lubang sumur yang lebih sempit.
“Tiada gunanya, Joko Wandiro. Lebih baik kita mati tenggelam dari pada dikeroyok anak panah dari atas. Marilah pegang erat-erat dan kita berpegang batu karang di sini sampai mati!”
Endang Patibroto memeluk pinggang Tejolaksono dan mendekapkan muka di dada pria yang dikasihinya ini. Mereka berdekapan, sementara air makin naik sampai di atas lutut. Dari atas lubang terdengar gema suara ketawa dan anak panah kadang-kadang menyambar turun seperti hujan. Agaknya Sindupati dan kawan-kawannya sudah menjaga kalau-kalau dua orang korban di bawah itu hendak naik melalui air. Bencana kematian sudah membayang di depan mata, agaknya mereka berdua tidak akan dapat lolos lagi!
Dengan mulut tersenyum Endang Patibroto membenamkan muka di dada Tejolaksono dan ia menutup seluruh panca indranya, dicurahkan kepada detak jantung di dada kekasihnya. Ia hendak mati dengan detak jantung ini memenuhi semua perasaan dan pikirannya, tidak mau memikirkan hal lain lagi, tidak merasa betapa air kini tidak lagi naik, malah turun sampai ke bawah lutut!
“Eh... airnya menurun...!” Tejolaksono berseru girang dan juga heran. Air dari atas masih terus memancur, akan tetapi mengapa air di kaki kini tidak menaik malah menurun?
Karena merasa betapa Tejolaksono melepaskan pelukannya karena pria ini sekarang memandang ke sekeliling penuh selidik, Endang Patibroto sadar dan membuka mata. Kebetulan sekali ia menghadap pada dinding yang berlapis besi dan dengan mata terbelalak ia melihat din-ding itu bergerak-gerak!
“Dinding itu bergerak...!” Iapun berteriak kaget dan heran.
Tejolaksono cepat memutar tubuh menengok dan benar saja, perlahan akan tetapi pasti dinding besi itu bergerak dan membuka lubang yang kini sudah kurang lebih setengah meter lebarnya! Dan air menerobos cepat sekali melalui lubang itu!
“Endang, lekas, melalui lubang itu...!” Tejolaksono menarik tangan Endang Patibroto dan mereka cepat menyelinap memasuki celah dinding yang terbuka itu.
Mereka harus mengerahkan seluruh sisa tenaga mereka karena arus air yang menyerbu keluar amat kuatnya sehingga mereka yang sudah lemah itu menjadi terhuyung­huyung ke depan. Namun dengan bergandeng tangan, mereka dapat menahan arus air. Karena air yang membobol keluar mendapat jalan lebih cepat dan lebih besar dari pada air yang memancur dari atas, maka sebentar saja air mengecil dan dua orang itu lalu meraba-raba dan terhuyung maju melalui terowongan tanah yang amat gelap.
“Ke mana kita...? “
Endang Patibroto bertanya,suaranya gemetar penuh ketegangan. Hal ini amat tidak disangka-sangkanya sehingga menimbulkan ketegangan hati.
Bahkan Adipati Tejolaksono yang biasanya tenang itu pun kini tampak tegang dan gugup. Diapun tadinya sudah yakin akan tewas di tempat itu dan hal ini benar amat ajaib baginya.
“Entahlah, setidaknya tentu ada jalan keluar dan kita tidak mati di dasar sumur!”
“Tapi.. tapi... siapa yang membuka dinding itu?”
“Siapa tahu, nimas? Tentu Dewata yang menolong kita...”
“Jangan-jangan jebakan mereka untuk menyiksa kita lebih hebat lagi...”
“Tidak peduli, setidaknya setiap kesempatan harus kita pergunakan. Lebih baik mati dalam perlawanan dari pada mati konyol di dalam sumur. Mari, nimas, jangan lepaskan tanganku, begini gelap...”
“Aihhh, apa ini...?”
Tejolaksono yang berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Kakinya tadi menyentuh benda lunak hangat. Mereka berdua siap sedia menghadapi segala kemungkinan.
“Aduhhh... Rintihan di bawah mereka itu lemah dan jelas adalah suara seorang wanita. Mendengar ini, Endang Patibroto cepat berjongkok dan tangannya meraba ke depan.
Memang seorang wanita yang rebah di situ, merintih-rintih kini, suaranya lirih dan napasnya terengah-engah. Ketika Endang Patibroto meraba terus, ia mendapat kenyataan bahwa wanita itu menderita luka parah di bagian kepalanya, seperti bekas dipukul atau terbanting pada benda keras.
Ia merangkul pundak wanita itu yang ia dudukkan, lalu bertanya, “Engkau siapakah?”
“Endang Patibroto... aku... aku isteri Sindupati...”
Teringatlah Endang Patibroto akan seorang wanita yang masIh amat muda, baru lima belas tahun usianya, puteri selir Sang Adipati Menak Linggo yang dihadiahkan sebagai selir Sindupati. Pernah ia beberapa kali bertemu dengan wanita ini di dalam gedung Sindupati.
“Ahh... kau... Dew! Umirah...”
“Betul, Endang Patibroto, aku... aku... aduhh...”
“Mengapa kau berada di sini? Kaukah yang membuka dinding besi?”
“Memang aku yang membuka... tempat ini merupakan tempat rahasia... peninggalan jaman dahulu... hanya RĂ¡manda Adipati dan para puteranya yang tahu akan rahasianya... aku... aku... ah, tidak sangka air itu amat deras, arusnya menyeret aku... terbanting pada batu-batu... aduuuhhh...”
Terharu hati Tejolaksono. Kiranya Hyang Widhi telah mengirim pertolongan melalui puteri Sang Adipati Blambangan sendiri. Hal yang amat luar biasa sekali. Juga Endang Patibroto menjadi terheran-heran.
“Dewi Umirah, kenapa engkau menolong kami?”
Napas wanita muda itu makin terengah-engah dan susah payah sekali ia memaksa diri bicara, “...Sindupati... dia terlalu menyakitkan hatiku..., Endang Patibroto, berjanjilah... kau balas pertolonganku dan... kau... bunuhlah Sindupati untukku!” Suaranya tersendat-sendat dan hanya di kerongkongan. Payah sekali agaknya keadaan wanita muda ini, kepalanya yang terluka parah mengeluarkan banyak darah.
Endang Patibroto menggigit bibir karena gemas. Sindupati memang jahanam besar dan tidak mengherankan kalau wanita muda yang dihadiahkan menjadi selirnya ini mendendam sakit hati.
“Legakan hatimu, Dewi Umirah. Aku bersumpah untuk membunuh si jahanam keparat Sindupatil” katanya geram-.
“...terima kasih... tidak sia-sia aku mengorbankan diri... menolongmu... Rama, maafkan hamba...“ napasnya makin sesak.
“Katakanlah di mana jalan untuk keluar...!” Tejolaksono berkata di dekat telinga wanita yang sudah sekarat itu.
“Terus saja... melalui terowongan yang amat jauh..., jangan belok... akan tiba di hutan... lubang tertutup batu... di goa...“ Terhenti kata-kata Dewi Umirah bersamaan dengan terhentinya napas dan darahnya.
“Dia mati...“ kata Endang Padbroto. “Kasihan dia telah menolong kita...”
“Hyang Widhi yang menggerakkan dia. Mari, Endang!” Tejolaksono bangkit dan menarik tangan Endang Patibroto. Mereka terpaksa meninggalkan jenazah penolong mereka itu dan terus berjalan sambil meraba-raba melalui terowongan yang gelap dan panjang, terowongan yang makln lama makin sempit sehingga tak dapat bagi mereka berjalan berdampingan lagi. Endang Patibroto berjalan di belakang Tejolaksono, namun tangan mereka masih saling berpegangan, tak pernah tangan mereka terpisah semenjak berada di dalam sumur.
Lebih dari satu jam mereka berjalan dan akhirnya, setelah jalan terowongan itu melalui banyak jalan simpangan yang menanjak, mereka tiba di dalam sebuah goa yang tertutup batu besar.
Agaknya jalan-jalan simpangan tadi adalah jalan yang menjadi jalan rahasia yang menembus istana dan tempat-tempat rahasia di kota raja Blambangan.
Setelah mengintai dari celah-celah batu penutup goa, Endang Patibroto dan Tejolaksono lalu mendorong batu penutup ke pinggir, kemudian mereka melompat keluar. Kiranya mereka telah berada di dalam sebuah hutan yang lebat dan liar! Tak tampak seorang pun manusia di situ.
“Mari kita lari, Endang. Ke barat!” kata Tejolaksono. Matahari telah naik tinggi dan mulai condong ke barat. Agaknya waktu itu sudah lewat tengah hari. Akan tetapi Endang Patibroto menahan tangannya yang ditarik.
“Tidak, aku mau kembali ke Blambangan!” katanya, suaranya keras dan tegas. “Eh, mau apa?”
“Membunuh si keparat Sindupati dan sebanyak mungkin orang Blambangan, apa lagi?”
Melihat wajah itu membayangkan kemarahan, Tejolaksono lalu merangkul pundaknya. “Aihh, Endang, belum waktunya sekarang! Keadaan kita amat lemah„ dan mereka itu amat banyak. Betapa mungkin kita melawan orang senegara? Kita hams menyelamatkan diri, ini yang terpenting. Kelak kita akan membawa pasukan Jenggala dan Panjalu, menggempur Blambangan dan itulah saatnya kita membunuh si jahat itu!”
Endang Patibroto tetap saja kelihatan ragu-ragu dan kini is memandang wajah Tejolaksono dengan sinar mata penuh selidik.
“Joko Wandiro!” dan tiba-tiba saja Endang Patibroto menangis sesenggukan!
“Eh-eh mengapa pula ini? Endang Patibroto, kekasihku, jiwa hatiku, kenapa kau menangis? Bukankah semestinya kita hams bergirang dan berbahagia bahwa Hyang Widhi masih melindungi kita dan menyelamatkan kita dari pada ancaman bahaya maut?”

Endang Patibroto terisak-isak. “Joko Wandiro,... aku ingin mati bersamamu...!”
Tejolaksono tersenyum, lalu dipegangnya muka Endang Patibroto dengan kedua telapak tangannya, dipaksanya muka itu tengadah dan menentang mukanya agar mereka dapat berpandangan. “Bocah bodoh kau Tidak senangkah engkau menjadi isteriku? Tidak cintakah kau kepadaku?”

Endang Patibroto yang mukanya dihimpit kedua tangan itu hanya bergerak mengangguk.
Tejolaksono lalu menciumi muka yang penuh air mata itu, menghapus air mata dengan kecupan bibirnya. “Nah, kalau begitu, hentikan tangismu. Bukahkah anugerah yang membahagiakan sekali kalau kita masih hidup, masih mendapat kesempatan untuk lebih lagi menikmati hidup dan cinta kasih kita? Bocah bodoh, pujaan hati, kalau aku girang dan bahagia, mengapa kau menangis?”
“Aku aku tadinya mengira kita akan mati, kalau tahu akan dapat lobos ah, betapa aku dapat membuka rahasia hatiku Betapa memalukan betapa hina aku “
“Ehhh, memang kau wanita aneh. Wanita aneh dan hebat, tiada keduanya di dunia ini. Ha-ha-ha!” Tejolaksono mencium bibir yang hendak banyak membantah lagi itu kemudian memondongnya dan membawanya lari cepat ke barat.
Tubuhnya amat lelah, tenaganya hampir habis, akan tetapi kebahagiaannya karena dapat lobos dari kematian itu seakan-akan mendatangkan tenaga baru kepadanya. Ia berlari terus keluar hutan masuk hutan sampai matahari tenggelam, cuaca menjadi gelap dan ia kehabisan tenaga lalu roboh terguling di dalam hutan. Pingsan!
Kini Endang Patibroto yang menjadi bingung dan gelisah setengah mati melihat Tejolaksono rebah tak berkutik. Dipeluk dan dipanggil-panggil namanya, ditangisi! Akan tetapi, barulah ia sadar akan kelakuannya yang seperti gila itu ketika ia mendapat kenyataan bahwa Tejolaksono hanya pingsan karena lelah. Ia menjadi geli dan tertawa sendiri.
Endang Patibroto, menangis dan bingung melihat Joko Wandiro yang hanya pingsan biasa. Takut kalau-kalau mati! Padahal tadinya mengajak mati bersama! Ah, benar-benar cinta kasih yang menggelora membuat orang menjadi bodoh dan lucu.
Di mana lagi perginya kegagahperkasaannya? Dia seorang wanita sakti mandraguna. Namun tadi bersikap sebagai seorang wanita lemah yang menangis takut ditinggal mati suaminya
Ketika Tejolaksono sadar dari pingsannya, ia telah rebah telentang di dekat api unggun yang hangat. Kepalanya berbantal paha Endang Patibroto yang membelai rambutnya dengan jari-jari tangan penuh kasih sayang. Begitu ia membuka mata, Endang Patibroto mencium matanya dan berbisik,
“Kakanda..., makanlah pisang ini, kupetik tadi dari dalam hutan di sana...”
Tejolaksono membelalakkan mata, lalu bangkit dan duduk. “Kakanda...?” Ia bertanya, mengulang sebutan itu.
Endang Patibroto menundukkan mukanya dan... aneh bukan main bagi Tejolaksono melihat betapa wajah wanita sakti ini menjadi kemalu-maluan seperti seorang dara diajak kawin! Di bawah sinar api yang kemerahan, wajah itu tampak amat jelita menggairahkan.
Rambut itu tidak kusut lagi, agaknya tadi Endang Patibroto sudah sempat membereskan rambutnya, pakaian mereka tidak basah lagi karena terpanggang dekat api unggun.
“Kita... kini akan hidup terus... lain lagi halnya dengan ketika di dalam sumur maut..., kini kita akan hidup di dunia ramai... tentu saja tidak pantas bagi seorang isteri menyebut suaminya dengan nama kecilnya saja...!”
Adipati Tejolaksono tertawa bergelak, lalu merangkul. Luar biasa sekall wanita ini. Wataknya amat aneh akan tetapi segalanya menyenangkan hatinyal Endang Patibroto menggunakan kedua tangan mendorong dadanya dengan gerakan halus.
“Hiss kau makanlah dulu agar jangan mati kelaparan!” katanya tersenyum.
Koko Wandiro kembali tertawa, lalu mengambil pisang yang besar-besar dan matang kemudian dikupas kulitnya. “Nih, kau makanlah.” ia menawarkan, karena tanpa bertanya ia tahu bahwa Endang Patibroto juga belum makan. Pisang itu masih dua sisir.
Endang Patibroto menerima pisang dan makanlah mereka. Perut yang sudah empat hari tidak diisi itu menerima pisang yang lembut dan terasa agak tidak enak pada permulaannya. Akan tetapi lama-lama mendatangkan rasa lega dan memulihkan tenaga sehingga tubuh mereka tidak lemas lagi.
“Endang, kenapa kau tadi tidak makan dulu pisang ini?”
“Bagaimanakah aku boleh makan dulu, Kakangmas Tejolaksono? Seorang isteri hams selalu melayani suami lebih dulu.”
“Aduh, isteriku yang tersayang!”
Tejolaksono menarik lengan Endang Patibroto, mendudukkannya di atas pangkuannya dan bagtikan. sepasang pengantin barn, mereka saling menyuapi pisang sambil bercumbuan!
“Kakanda,” kata Endang Patibroto kemudian jauh lewat tengah malam ketika tubuh mereka yang kelelahan itu beristirahat, rebah di atas rumput yang lunak dan dekat api unggun yang hangat, kepala Endang Patibroto berbantal dada suaminya, “bagaimanakah nanti kalau isterimu yang di Selopenangkep marah mengetahui bahwa aku telah menjadi isterimu?”
“Ayu Candra? Ah, tidak, nimas. Dia tidaklah demikian sempit pendapat. Apa-lagi kalau sudah kujelaskan akan semua pengalaman kita. Dia akan menyambutmu sebagai saudara madu yang baik dan aku percaya kalian akan dapat hidup rukun seperti ibumu, bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhita.”
Endang Patibroto menarik napas panjang. “Aku khawatir... kalau-kalau ibu akan marah kepadaku... ah, kalau aku ingat betapa dahulu aku menyakitkan hati ibu, dan Ayu Candra... betapa aku dahulu ingin membunuhnya...”
“Hushhh... urusan yang lalu tak perlu dipikirkan lagi. Aku yang akan mengatur segalanya, tak perlu kau khawatir, nimas.”
“Aku tidak mengkhawatirkan apa-apa lagi kalau teringat bahwa engkau berada di sampingku, Kakangmas Adipati. Asal engkau mencintaku, aku... aku sanggup menghadapi kesengsaraan yang bagaima--napun juga...”
Akhirnya kedua orang yang amat lelah itu tertidur pulas dan pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi, baru mereka bangun, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Jenggala. Perjalanan mereka merupakan perjalanan penuh kegembiraan dan kebahagiaan, penuh dengan cinta kasih mesra…..
********************
Munculnya Endang Patibroto di Jenggala tentu akan menimbulkan geger hebat kalau saja tidak bersama Adipati Tejolaksono.
Melihat wanita sakti yang dianggap memberontak ini muncul disamping Adipati Tejolaksono, para perwira dan ponggawa Jenggala menjadi terheran­heran.
Lebih besar lagi keheranan dan kebingungan mereka ketika Adipati Tejolaksono membawa Endang Patibroto menghadap sang prabu.
Barulah mereka tercengang ketika mendengar pelaporan Adipati Tejolaksono tentang semua penistiwa yang telah terjadi, tentang siasat adu domba yang dilakukan oleh pihak Blambangan.
Bukan main besarnya penyesalan mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Endang Patibroto sama sekali bukanlah seorang pemberontak, bahkan wanita sakti inilah yang telah menumpas Wiku Kalawisesa yang melakukan semua pembunuhan gelap dan keji itu!
Endang Patibroto bukan seorang yang berdosa terhadap Jenggala dan Panjalu, bahkan sebaliknya menjadi seorang yang amat berjasa! Dan untuk semua jasanya itu, Pangeran Panjirawit, suaminya, ditangkap bahkan mengorbankan nyawanya terkena anak panah ketika dikeroyok!.
Yang paling menyesal dan berduka adalah Sang Prabu Jenggala sendiri. Raja yang sudah mulai tua itu sampai berlinang air mata mendengar semua itu.
Panjirawit adalah puteranya dan dia sendiri yang membunuh puteranya melalui tangan para prajuritnya ketika mereka ini mengeroyok Endang Patibroto! Karena menyesal dan berduka, sang prabu menjadi marah sekali kepada Blambangan dan setelah menerima pelaporan Adipati Tejolaksono dan Endang Patibroto, seketika itu juga Sang Prabu di Jenggala mengumumkan perang terhadap Blambangan, memerintahkan barisan besar untuk menggempur Blambangan dan menyerahkan pimpinan pasukan kepada Endang Patibroto sendiri!
Adapun Adipati Tejolaksono, sebagai seorang ponggawa Panjalu, lalu berpisah dari Endang Patibroto yang terpaksa hams mempersiapkan pasukan-pasukan Jenggala, untuk menghadap sang prabu di Panjalu menyampaikan laporan.
“Adinda, untuk sementara kita hams berpisah. Engkau laksanakanlah perintah Sang Prabu dan persiapkan pasukan yang kuat. Aku akan melaporkan ke Panjalu, dan tidak lama aku tentu akan memimpin pasukan Panjalu untuk menggabung dan kita berdua akan kembali ke Blambangan membawa pasukan kuat dan mengancurkan Blambangan.”
Endang Patibroto mengangguk. Betapa pun besarnya cinta kasihnya kepada Adipati Tejolaksono dan betapa pun inginnya tidak berpisah lagi dari suaminya ini, namun sebagai seorang perkasa ia mengenal kewajiban. Sudah pulih kembali kegagahannya, sudah bangkit lagi jiwa ksatrianya.
“Baiklah, kakanda. Akan tetapi jangan terlalu lama Kakanda ke Panjalu. Saya menanti dan kita bersama akan pergi menggempur Blambangan.”
Adipati Tejolaksono lalu meninggalkan Jenggala sedangkan Endang Patibroto mulai mempersiap kan dan melatih pasukan sambil membuat rencana dengan para senopati yang akan ikut menggempur Blambangan.
Para senopati yang kini sudah tahu akan duduknya perkara, dan sudah mengenal kesaktian wanita ini, semua tunduk dan taat akan perintahnya.
Juga sang priibu di Panjalu bersama para senopati tercengang mendengar laporan yang disampai kan Adipati Tejolaksono. Sungguh tidak mereka duga bahwa Blambanganlah yang menjadi biang keladi semua peristiwa itu. Pangeran Darmokusumo tidak menyesal mendengar betapa Endang Patibroto menyerbunya karena dihasut oleh Wiku Kalawisesa, bahkan ia menjadi marah sekali kepada Blambangan. Seketika itu juga Pangeran Darmokusumo mohon kepada sang prabu untuk memimpin barisan Panjalu menggempur Blambangan!.
“Biarlah hamba menggabungkan barisan Panjalu dengan barisan Jenggala yang dipimpin yayi Endang Patibroto, Kanjeng Rama. Hamba harus membalas kematian Adimas Pangeran Panjirawit! Juga kematian para ponggawa haruss dibalas!”
“Hamba juga siap untuk membantu dalam perang melawan Blambangan!” kata pula Adipati Tejolaksono penuh semangat.
“Seyogianya memang andika yang paling tepat memimpin barisan menjadi senopati perang, Kakang Adipati,” kata Pangeran Darmokusumo. “Akan tetapi Pangeran ini menghentikan kata-katanya dan memandang kepada ramandanya.
Adipati Tejolaksono dapat menangkap pandang mata ini. Hatinya merasa tidak enak sekali dan is cepat bertanya, “Ada apakah, Gusti Pangeran? Apakah yang terjadi?”
Sang prabu mendehem beberapa kali, lalu menarik napas panjang. “Adipatiku yang baik! Kami khawatir bahwa engkau tak mungkin ikut menggempur Blambangan dan hams cepat kembali ke Selopenangkep. Ketahullah bahwa sepergimu dari sana, Selopenangkep telah diserbu oleh pasukan-pasukan dari barat yang kabarnya adalah gabungan dari para pemberontak Bagelen dan kerajaan­kerajaan kecil di Lembah Serayu yang dipimpin oleh Gagak Dwipa. Kami telah mengirim pasukan bantuan ke Selopenangkep dan perang di daerah itu masih belum dapat dipadamkan. Karena itu,. engkau hams cepat pergi ke sana untuk menanggulangi musuh dari barat itu!”
Di dalam hatinya, sang adipati kaget bukan main, namun wajahnya yang tampan tidak menampakkan perasaan hatinya ini. Teringat ia akan ucapan kakek tua renta yang memperingatkannya di dalam hutan. Kakek pemelihara macan putlh itu telah Memperingatkan bahwa ia akan segera meninggalkan Selopenangkep, dan telah membayangkan bahwa akan datang malapetaka sebagai hukumannya atas kedosaannya membunuh anak harimau yang tak bersalah apa-apa.
“Hamba menerima titah paduka, Gusti. Hamba akan segera kembali ke Selopenangkep. Hanya karena hamba tadinya telah berjanji dengan yayi Endang Patibroto untuk bersama-sama menggempur Biambangan, maka hamba mohon kepada Gusti Pangeran Darmokusumo untuk menyampaikan halangan ini kepada Yayi Dewi Endang Patibroto.”
“Baiklah, Kakang Adipati Tejolaksono,” jawab Pangeran Darmokusumo.
Setelah bermohon diri, berangkatlah Adipati Tejolaksono menuju pulang ke Selopenangkep. Ia menunggang sebuah kuda besar yang kuat karena kuda tunggangannya sendiri yang dibawanya ketika melakukan pengejaran ke Blambangan, masih ia titipkan pada seorang dusun dan ketika ia melarikan diri bersama Endang Patibroto melalui terowongan, tak dapat ia mengambilnya kembali. Kuda tunggangannya ini pun bukan kuda sembarangan karena kuda ini pemberian Sang Prabu Panjalu sendiri.
Tejolaksono melakukan perjalanan siang malam dengan cepat. Hatinya mulai gelisah sekali. Ia memang percaya penuh kepada isterinya yang bukan orang lemah, apa lagi di sana terdapat kedua orang bibinya, Kartikosari dan Roro Luhito yang sukar dicari tandingannya, di samping para pengawalnya yang pilihan dan terlatih pula.
Ia tidak akan merasa gelisah kalau Selopenangkep hanya menghadapi serangan gerombolan-gerombolan liar. Akan tetapi kali ini yang menyerang adalah pasukan-pasukan besar yang dipimpin oleh Gagak Dwipa! Dan ia sudah cukup mendengar tentang kekuatan pasukan-pasukan Bagelen dan Lembah Serayu! Tahu pula akan kesaktian dan kekejaman Lima Gagak Serayu!
Ia sudah mendengar betapa Lima Gagak Serayu ini sudah bertahun-tahun merajalela di sepanjang Lembah Serayu. Akan tetapi oleh karena mereka itu tidak pernah mengganggu wilayah Selopenangkep, ia membiarkannya saja. Kini mendengar mereka itu menyerbu Selopenangkep dengan pasukan besar yang digabungkan dengan pasukan Bagelen, inilah hebat dan berbahaya!
Lebih tidak enak lagi hatinya ketika ia sudah tiba di wilayah Selopenangkep sebelah timur, la melihat banyak penduduk dusun yang pergi mengungsi ke timur. Mereka ini tidak mengenal adipati mereka yang ketika ditanya mereka mengatakan bahwa pasukan-pasukan Bagelen dan Lembah Serayu membakari dusun-dusun di sebelah barat, membunuh dan merampok, memperkosa wanita-wanita muda dan bahwa Selopenangkep setiap hari sudah diserbu oleh para pengacau!.
“Selopenangkep tidak akan dapat bertahan lama!” Demikian penuturan seorang di antara mereka.
“Dan lebih baik kamu mengungsi lebih dulu sebelum para perampok itu datang menyerbu ke dusun kami.”
Sakit hati Adipati Tejolaksono mendengar ini. “Si keparat Lima Gagak Serayu! Berani engkau mengganggu rakyatku selama aku tidak berada di Selopenangkep!” geram hatinya dan ia melanjutkan perjalanannya dengan cepat. Kurang lebih sepuluh pal lagi jauhnya dan kota kadipaten, dari jauh ia mendengar ribut-ribut di dalam dusun di depan, bahkan tampak asap mengepul tinggi.
Mereka telah berani merampoki dusun-dusun di sekeliling Selopenangkep yang hanya sepuluh pal jauhnya! Tejolaksono membalapkan kudanya yang sudah lelah itu masuk ke dusun dan amarahnya berkobar-kobar ketika ia melihat banyak sekali perampok tinggi besar sedang mengamuk di dusun.
Para penduduk lari cerai berai dan mayat berserakan. Empat buah rumah sudah terbakar. Jerit lengking wanita terdengar di sana-sini. Dan di tengah­tengah dusun terjadi perang tanding mati-matian antara tiga puluh orang lebih prajurit Panjalu melawan perampok. Akan tetapi tidak seimbang perang itu. Pihak perampok ada seratus orang lebih dan pihak prajurit sudah terdesak hebat.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar