PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-18
Hanya karena kesadaran dan kesabaran hati Ki Tunggaljiwa saja maka
pertemuan dan perdebatan itu tidak berubah menjadi pertempuran. Setelah
terjadi hal itu, dengan hati penuh prihatin kembalilah sang pertapa ke
timur dan menetap di puncak Merapi. Biar pun ia sudah mengambil
keputusan untuk mencari murid, namun tetap saja sang pertapa menyerahkan
pemilihannya kepada Sang Hyang Wishnu sendiri, dan setiap hari hanya
berdoa agar ,memberi petunjuk dan agar bisa mendapatkan seorang murid
yang baik.
Maka terjadilah pertemuannya dengan Bagus Seta dengan perantaraan
sardulo pethak, binatang ajaib yang jarang ada ini dan yang menjadi
kelangenannya atau binatang peliharaan yang amat dikasihinya. Pertemuan
inilah yang dijadikan tanda oleh Ki Tunggaljiwa bahwa Sang Hyang Wishnu
telah memberi petunjuk. Apa lagi setelah diketahuinya bahwa anak itu
adalah putera Adipati Tejolaksono yang ia tahu adalah murid Ki Patih
Narotama, hatinya menjadi girang sekali. Inilah murid yang selama ini ia
tunggu-tunggu!
Di puncak Merapi, tak jauh dari kawah yang selalu mengeluarkan asap, uap
dan api panas, terdapat sebuah pondok yang dijadikan tempat bertapa Ki
Tunggaljiwa. Pondok tempat tinggalnya berada di sebelah bawah puncak, di
tempat yang subur, di mana tumbuh banyak pohon dan buah-buahan dan di
situ terdapat pula mata air yang mengeluarkan dua macam air dari dua
sumber yang berdampingan, yaitu sebuah sumber air panas mengandung
belerang, dan yang sebuah pula sumber air dingin yang amat dingin dan
jernih.
Begitu tiba di situ, pada hari-hari pertama Bagus Seta digembleng oleh
gurunya dengan ilmu bersamadhi yang amat berat. Biar pun baru berusia
sepuluh tahun, Bagus Seta tidaklah asing akan ilmu samadhi, karena sudah
diajari ayahnya. Akan tetapi, latihan samadhi yang diajarkan gurunya
ini amatlah sukar dan menyiksa diri karena ia disuruh bersamadhi di
siang hari sambil merendam tubuh sampai ke leher dalam air dari sumber
air panas yang berbau belerang dan panasnya bukan main itu.
Pada hari pertama, tubuhnya terasa terbakar dan hampir saja ia tidak
kuat bertahan kalau saja di situ tidak ada Ki Tunggaljiwa yang setiap
kali menyentuh kepalanya rasa panas membakar itu menjadi berkurang dan
dapat ia tahan! Latihan di malam hari tidak kurang menyiksanya karena ia
diharuskan bersamadhi sambil merendam diri di dalam air dari sumber air
dingin.
Bukan main dinginnya. Tubuhnya serasa membeku dan giginya sampai
berbunyi karena saling beradu, tubuh menggigil dan ia tentu pingsan
kalau saja tidak disentuh gurunya pada tengkuknya. Sentuhan bukan
sembarang sentuhan karena dari jari tangan gurunya ifu, keluar hawa
panas yang dapat melaw,an rasa dingin membeku itu!
Setelah genap tiga pekan berlatih samadhi seperti ini, mulailah Bagus
Seta terbiasa dan tidak perlu dibantu gurunya pula. Tubuhnya dapat
menahan, akan tetapi masih belum mudahlah baglnya untuk merigheningkan
cipta.
Semua pancaindranya ia kerahkan untuk melawan rasa panas jika berendam
di air panas dan rasa dingin pada malam harinya jika berendam di air
dingin, sehingga ;tidak ada sisa kekuatan lagi untuk mengendalikan
pancaindra dan mematikan raga.
Akan tetapi sudah mulai mendapat kemajuan, sedikit demi sedikit
dibimbing gurunya. Adanya sardulo pethak di siitu banyak membantu Bagus
Seta karena harimau ini ternyatapun kuat bertahan berendam di dalam air
dingini Bagus Seta adalah seorang anak yang menjunjung tinggi kegagahan,
juga telah memiliki harga diri yang tinggi, maka tentu saja la merasa
malu kalau sampai kalah, oleh seekor harimau! Hal ini banyak menolongnya
dan banyak membantunya memperoleh kemajuan pesat.
Kemajuan yang mulai tampak itu menggembirakan hati Bagus Seta sehingga
anak ini menjadi makin rajin. Memang dalam waktu kurang lebih satu bulan
itu, seringkali termenung kalau memikirkan orang tuanya dan
Selopenangkep, akan tetapi justeru hal ini pun merupakan latihan batin
yang amat baik baginya.
Mula-mula seringkali ia duduk menangis seorang diri teringat
akan,ibunya, akan tetapi akhirnya ia dapat melawannya, bahkan kalau
perasaan rindu kepada ibunya Itu datang menyerangnya, ia menceburkan
diri ke dalam air panas di waktu siang hari dan air dingin di waktu
malam, kemudian, menghilangkan semua rasa rindu itu dengan bersamadhi!
Biar pun di luarnya tidak menyatakan sesuatu, namun sesungguhnya, setiap
saat Ki Tungaljiwa memperhatikan gerak-gerik muridnya dan ia gembira
bukan main menyaksikan betapa muridnya yang masih kecil itu ternyata
sudah lulus dari ujian pertama yang amat berat. Ia kini yakin bahwa
memang Sang Hyang Wishnu sendirilah yang telah memilihkan murid baginya
dan ia merasa berterima kasih sekali
Kurang lebih delapan pekan telah lewat semenjak Bagus Seta berada di
puncak Gunung Merapi bersama Ki Tunggaljiwa. Pagi hari itu, seperti
biasa, setelah sarapan pagi yang amat sederhana, yaitu ubi bakar dan
minum air panas dari sumber yang berbau belerang untuk mengusir hawa
dingin pagi hari itu, Ki Tunggaljiwa bersama Bagus Seta duduk di depan
pondok. Setiap pagi, Ki Tunggaljiwa tentu mengajak muridnya untuk
menyambut munculnya matahari sambil duduk bersila di atas tanah.
“Sebelum dewangkara (matahari) naik sampai ke atas kepala kita,
cahayanya mengandung berkah yang berlimpah-limpah, sarinya, mengandung
dasar kekuatan yang tak ternilai harganya. Karena itu, kita harus dapat
menikmati berkahnya dan sedapat mungkin kau harus dapat menampung inti
sari kekuatan mujijat yang terdapat di dalam sinar kencana itu,
muridku.” Demikian Ki Tunggaljiwa memberitahu muridnya sehingga setiap
pagi mereka duduk bersila takberbaju. Hal ini dilakukan oleh guru dan
murid dengan sikap yang amat menghormat, karena menurut pendapat Ki
Tunggaljiwa, yang menguasai sang dewangkara adalah Sang Hyang Bathara
Surya sendiri, oleh karena itu berkah dan kekuatan itu harus diterima
dengan penuh hormat.
Guru yang amat tua dan murid yang masih kanak-kanak itu duduk bersila di
pagi hari itu di depan pondok. Tak lama kemudian, keduanya sudah duduk
diam dan berlatih samadhi sambil menikmati cahaya sinar matahari pagi
yang memandikan tubuh mereka. Demikian tekun dan hening mereka dalam
samadhi sehingga, tidak tahu bahwa ada dua orang yang memiliki gerakan
ringan dan gesit telah mendaki puncak dan tiba di dekat pondok mereka.
Dua prang itu bukan lain adalah Adipati Tejolaksono sendiri bersama
isterinya, Ayu Candra. Wanita ini berkeras tidak mau ditinggalkan
suaminya, hendak ikut dan turun tangan sendiri mencari puteranya yang
hilang.
Adipati Tejolaksono tidak dapat melarang isterinya, karena itu
berangkatlah suami isteri ini menunggang kuda menuju ke kaki Gunung
Merapi di mana dahulu sang adipati pernah bertemu dengan Ki Tunggaljiwa
ketika sedang memburu binatang hutan.
Setelah perjalanan mendaki gunung sampai di lereng dan amat sukar,
terpaksa suami isteri perkasa ini meninggalkan kuda mereka dan
melanjutkan pendakian ke puncak dengan jalan kaki.
Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan harapan ketika dari jauh
mereka melihat pondok kecil di dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba
Adipati Tejolaksono memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu
menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia menutup mulut
isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu Candra hendak membuka mulut
bertanya.
Mereka mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra dua sosok
bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata wanita itu terbelalak dan
bulu tengkuknya berdiri. Setan-setankah yang dilihatnya itu? Kalau
manusia mengapa dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang
saja mendaki puncak? Dan melihat bahwa mereka berdua itu agaknya sudah
amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di dalam hatinya, Adipati
Tejolaksono juga terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek yang lewat
dengan kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang amat
luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak isterinya
melanjutkan perjalanan mendekati pondok.
Ketika mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat Ki Tunggaljiwa
yang duduk di depan pondok di atas tanah bersama Bagus Seta, keduanya
tercengang dan terharu sekali. Putera mereka sehat dan selamat.
Dan baru sekarang mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan
tampan, duduk bersila bertelanjang dada seperti sebuah arca Sang Hyang
Wishnu sendiri di waktu masih kanalk-kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar
matahari itu bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih
membumbung atas membenttik lingkaran pelangi tipis. Hebat! Dan anak
mereka itu sedang tekun bersamadhi. Belum pernah mereka melihat putera
mereka bersamadhi seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh
kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang tersenyum. Sampai
terisak Ayu Candra saking girang dan terharu hatinya melihat puteranya
ini. Ingin ia berteriak memanggil dan lari memeluk puteranya, akan
tetapi tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang tidak berani
berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu memiliki kesaktian yang
amat tinggi itu.
Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor harimau putih yang
langsung melompat ke depan Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan
suara gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang runcing.
Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan suaminya, siap menghadapi
binatang buas yang amat besar dan menyeramkan itu. Akan tetapi
Tejolaksono bersikap tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu
dan berkata nyaring,
“Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam atas kematian anakmu? Tak dapatkah engkau memaafkan aku?”
Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas panjang, lalu tertawa halus.
“Ahh, kiranya Sang Adipati telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan
semua binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia. Kematian
anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang wajar dan tak terelakkan,
maka tak pernah menaruh dendam, baik kepada manusia maupun dewata,
karena segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak perlu
dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak mendendam kepadamu,
tidak pula memaafkan dan tidak sakit hati. Dia hanya merasa khawatir
kalau-kalau kalian datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sini “
Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya
sambil berkata lirih, “Kulup, Bagus Seta muridku yang baik, bangunlah.
Ini ayah bundamu telah datang, Angger.”
Bagus Seta yang tadinya rnaslh dalam keheningan sarnadhinya tidak
mendengar sesuatu, karena sudah biasa gurunya mernbangunkannya darl
samadhi, kini menjadi sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang
tajam bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan yang
tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu lalu melompat bangun
dan berseru gembira,
“Kanjeng Rama...! Kanjeng Ibu...!”
“Bagus Seta anakku...!” Ayu Candra lari menghampiri, berlutut di depan
puteranya sambil memeluk dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran
saking girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang, bahkan
sambil merangkul leher ibunya la berkata,
“Ibu, kenapa menangis? Saya tidak apa-apa, senang di sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak.”
Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra. Ucapan puteranya ini
biar pun dlucapkan dengan suara yang sama sebulan yang lalu, yaitu suara
puteranya yang nyaring dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda.
Di dalam suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh, sesuatu
yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang sekaligus membuat ia malu
akan diri sendiri, malu bahwa ia tadi telah memperlihatkan perasaan
yang rnembayangkan kelemahan hati.
Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara seperti seorang dewata yang
memiliki wibawa besar, seperti ayahnya! Diam-diarn Tejolaksono yang
menyaksikan sikap dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan
kagum sekali, apa lagi ketika ia tadi mendengar kakek itu menyebut murid
kepada Bagus Seta dan puteranya itu menyebut bapa guru kepada kakek
itu!
Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia sembarangan, maka
Tejolaksono menarik tangan Ayu Candra dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek itu. Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya
kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus menyembah seorang
kakek biasa yang tidak memiliki kedudukan.
Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipatl biasa yang terlalu
mementingkan dan membanggakan kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah
seorang ksatria yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi
seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah tanpa ragu-ragu
lagi. Juga Ayu Candra adalah puteri seorang pertapa sakti, tentu saja
wanita ini pun bukan seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan
biasa, kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah kakek
yang ia tahu telah menolong puteranya itu.
“Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan banyak terima kasih
kepada Eyang panembahan yang sudah menyuruh harimau putih untuk menolong
putera kami dari ancaman para perampok yang menyerang Kadipaten
Selopenangkep,” Tejolaksono berkata dengan sikap menghormat.
Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Ia
kagum juga menyaksikan sikap adipati dan isterinya ini yang begitu
rendah hati, sikap yang jarang ditemukan di antara pembesar atau
bangsawan.
“Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan bicara yang enak
dan Angger adipati harap jangan keliru menduga. Saya bukanlah seorang
panembahan melainkan seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah
dan tidak semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan marl kita
duduk di atas rumput yang empuk ini.”
Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka lalu duduk bersila
di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan Bagus Seta duduk di samping ibunya
yang bersimpuh.
“Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh dengan saya. Harap
jangan mengira bahwa saya yang memaksanya datang ke sini, melainkan dia
sendiri yang dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini
kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah yang dinamakan
jodoh, dan selama lima tahun saya harap Andika berdua rela melepaskan
putera Andika itu untuk tinggal bersamaku mempelajari ilmu.”
“Aahhhh...!”
Ayu Candra berseru kaget lalu memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya berpisah dari sampingnya.
“Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa beratnya seorang ibu
berpisah dari puteranya yang hanya satu-satunya. Bagus Seta masih
terlalu kecil dan biar pun saya seorang bodoh yang tiada kepandaian,
namun saya masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera saya.
Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki memperdalam ilmunya kepada
Eyang, tentu kami tidak keberatan. Akan tetapi sekarang... harap Eyang
suka memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya,” kata
Adipati Tejolaksono dengan suara tenang.
“Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa guru, harap Kanjeng
Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang hamba...” kata Bagus Seta tiba-tiba
sambil memandang ayah bundanya.
“Hushhh... Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat berpisah darimu, Nak? Apa lagi sampai lima tahun!” kata Ayu Candra.
“Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati Ibumu!” kata Tejolaksono.
Ki Tunggaljiwa tertawa. “Angger adipati berdua harap maklum bahwa
kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh perbuatan manusia.
Ketahuilah bahwa bukan semata-mata kehendak saya untuk mengambil murid
Bagus Seta, melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang memilih
anak ini untuk kelak menyelamatkan nama besarNya.”
“Akan tetapi, Eyang...!”
Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena pada saat itu
terdengar suara ketawa bergelak dan muncullah dua orang kakek yang entah
dari mana tahu-tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa
menghadapi Ki Tunggaljiwa.
Kakek ini memandang, menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap
,dua orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit berdiri,
diikuti Ayu Candra yang masih memeluk puteranya.
Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-diam menjadi terkejut.
Dari cahaya muka dan sinar mata mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini
adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah amat
tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya tidak kalah tua
oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir berapa usianya.
Yang seorang bertubuh pendek gendut, berkepala gundul licin, dengan
jubah kuning yang besar. Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum
dan pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan tidak ada
rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di kolong langit ini.
Tangan kirinya memegang seuntai tasbih dari batu putih halus mengkilap,
sedangkan tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang
kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap kakek gundul ini,
dari kaki sampai ke kepala, pada senyum mulutnya dan sinar matanya,
semua membayangkan ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan
jubah kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta beragama
Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar keluar dari matanya,
mudah diduga bahwa pendeta ini adalah seorang pendeta suci yang sudah
matang betul ilmunya.
Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan kakek inilah yang
tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya panjang seperti rambut Ki
Tunggaljiwa, juga sudah putih semua, akan tetapi mukanya berkulit merah
sehat seperti muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah sinar
matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat hidup, penuh gairah dan
panas. Anehnya, pakaian kakek ini yang juga merupakan jubah seorang
pendeta Hindu, berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak
memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak terselip gagang
sebuah senjata yang tersembunyi di ba;ik jubahnya.
Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata,
“Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang telah menurunkan
anugerah kebahagiaan pada saat ini! Pantas saja angin bersilir sejuk,
burung prenjak meng-ganter (berkicau riang), bajing lompat-lompat
berkejaran gembira, hari cerah dan jauh lebih indah dari pada biasanya.
Kiranya puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima sentuhan kaki
dua orang suci yang mendatangkan kebajikan kepada sesama umat manusia!
Sang Biku Janapati... dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak
Merapi!”
“Sadhu... sadhu... sadhu... semoga Sang Tri Ratna melindungi kita
semua!” Biku Janapati yang gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil
merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada. “Wahai sang sakti Ki
Tunggaljiwa, alangkah pandainya Andika memilih tempat yang begini indah.
Sahabatku yang baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda
suci Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan dinamakan Brahmana,
yang hidup tenang dan tenteram disebut Samana (orang suci), dan yang
mengenyahkan kekotoran dirinya dlnamakan Pabbayita (berslh dari noda).
Semoga Andika sudah mencapal tingkat itu, oh, sahabat dan saudaraku Ki
Tunggaljiwal”
Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya yang bening dan
bersinar terang itu ikut pula tersenyum. “Saudaraku yang bijaksana, Sang
Biku Janapati. Sabda sucl Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu
menerangkan tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan
untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-ha! Terlalu tinggi, sang
biku.
Masa mungkin seorang petani bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut
seorang Brahmana? Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku. Andika inilah
yang patut disebut seorang Bhikku yang telah matang jiwanya, seperti
telah disabdakan dalam Dhamma-pada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak
melebih-lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap
orang lain, karena seorang Bhlkku yang mengiri terhadap orang lain.
takkan memperoleh ketenangan batin!”
“Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki Tunggaljiwa. Sadhu...!”
“Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki Tunggaljiwa memang
seorang yang pandai dan bijaksana. Pandai lahir batin dan pandai pula
mengelus hati dan perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau
nina-bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma (pelajaran Agama
Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa, suara dari mulut itu bukanlah
pernyataan pikiran dan senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga
bukanlah anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah
menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di bibir. Lebih baik
kita mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagaimana adanya. Nah, aku
telah berkata demi nama Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm,
shanti-shanti-shanti...!”
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar.
Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang siku pada lengan
kanan dan tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti
benang-benang sutera perak yang halus.
“Duhai, Jagad Dewa Bhatara...! Sang Wasi Bagaspati semenjak puluhan
tahun yang lalu masih saja penuh api dan semangat, seperti tidak pernah
menjadi tua. Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama
sekali tidak... berkedok basa-basi yang kosong, Sahabat. Memang aku
menanam madu di bibir, akan tetapi, ini merupakan tata susila dan
kepribadian bangsa kita. Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian
bangsa kita, Sang Wasi? Tata susila pencerminan peradaban dan tanpa
peradaban, apa bedanya antara manusia dan binatang? Betapa janggalnya
kalau Andika berdua datang bertemu dengan aku lalu kita saling memandang
dengan mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti sekumpulan
binatang bertemu lawan.”
Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan kakek ini, Adipati
Tejolaksono benar-benar amat kagum dan tertarik hatinya. Juga ia tadi
kaget dan kagum mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini
benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah disangka oleh
mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum hatinya, tak terasa lagi ia
mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.
“Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya pandai
mengangguk-angguk menelan semua kata-kata manis seperti seekor kerbau
mendapat makanan rumput kering dari si petani!” kata pula Wasi Bagaspati
yang berwatak brangasan itu sambil memandang.
Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia mengangkat muka
memandang pendeta pemuja Sang Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya
bertemu dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main. Dari
sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat yang panas sekali
sehingga menyilaukan matanyal Akan tetapi Adipati Tejolaksono bukan
orang sembarangan. Dia pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan
pernah pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun memiliki
kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya
menentang pandang mata ini, namun biar dia kuat menentangnya, tidak
urung jantungnya berdebar dan uap panas mengepul dari ubun-ubun
kepalanya!
“Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang muda yang berisi juga,
Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia ini? Lebih baik kau menyuruh mereka
bertiga ini menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha penting
tidak terganggu.”
Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan pandang mata kepada Ki
Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa sebentar lagi, kalau adu pandang itu
dilanjutkan, a takkan kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang
Hyang Syiwa itu!
“Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku, Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati Selopenangkep.”
“Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan? Bagus sekali! Biarlah dia
menjadi saksi dan pendengar untuk menyampaikan kepada sang prabu di
Panjalu. Kami tidak takut!”
“Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang menentangmu, maka
memang tidak ada persoalan berani atau takut. Lebih baik kalau Andika
berdua Sang Biku Banapati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua.”
“Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu lagikah
dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti engkau yang kabarnya
memiliki mata batin yang tajam dan awas sehingga dapat melihat keadaan
masa mendatang?”
Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala. “Andika maklum, bukan hak
manusia untuk mendahului kehendak Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau
enggan mengaku, aku mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud
kedatangannya.”
Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak bergerak, kini
mendehem tiga kali, lalu merangkapkan kedua tangannya lagi. “Ah,
saudaraku Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku dari pada
kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon petunjuk dan
penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah tahun yang lalu di puncak
Sanggabuwana dengan seorang di antara murid-muridku. Engkau dan muridku
berdebat, juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan mendengar bahwa
Andika menentang berkembangnya Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya
ingin mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika menentang
Agama Buddha?”
“Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi? Andai kata benar demikian,
tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini tidak akan mengaku. Kita
semua tahu bahwa dia penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula
betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri di balik
ketajaman lidahnya!”
Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus jenggotnya.
“Memang benar seperti yang diucapkan Wasi Bagaspati. Perlu apa lagi aku
bicara kalau orang datang dengan etikat buruk? Orang yang telah diracuni
kebencian tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat
mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan membela kebenaran, tentu
akan kalian anggap keliru pula, bahkan jangan-jangan aku disangka
tumbak-cucukan (penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku
tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri. Hanya pendirianku
begini, hendaknya kalian berdua dengarkan secara teliti, dengan kepala
dingin. Tidak aku sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat
Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang penuh kasih dan
yang bijaksana yang hendak menuntun manusia ke jalan kebenaran, tidak
melawan kehendak Sang Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh
menyimpang dari pada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para pemujanya
membenci dan menghalangi perkembangan agama lain, karena kami tahu
bahwasanya semua agama itu bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun
kesemuanya mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang Hyang
Wisesa merupakan mercu suar dan ke arah mercu suar itulah semua jalan
menuju. Sahabat berdua, sekali lagi kutekankan bahwa kami anak murid Sri
Wishnu tidak akan menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami
juga tidak mau ditekan.”
“Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan semoga Sang Buddha
memberkahi kita sekalian yang berkemauan baik,” kata Biku Janapati
dengan wajah berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak
penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,
“Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun! Heh, Ki Tunggaljiwa!
Kakek-kakek seperti kita ini, perlu apa memutar-rnutar omongan? Lebih
baik engkau katakan bahwa engkau tidak rela melihat agama kami
berkembang ke Panjalu dan Jenggala!,. Aku Wasi Bagaspati semenjak muda
terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap jantan yang
blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!”
Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari tokoh pemuja Agama
Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa masih tersenyum, bukan senyum
sabar melainkan senyum penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat
kenakalan kanak-kanak.....
Komentar
Posting Komentar