PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-21
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di samping wajahnya
yang cantik manis. Kulit tubuhnya hitam manis seperti ibunya,
perawakannya singsat padat dan langsing, rambutnya hitam agak berikal.
Anak ini maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka ia
belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin sehingga amat
mengagumkan hati Tejolaksono.
Adipati ini maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh lebih
saktl dari padanya, dan karena tidak ada anak lain yang akan ia warisi
ilmunya, maka satu-satunya anak yang telah menjadi muridnya adalah adik
misannya ini, puteri bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut
dibanggakan.
Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini adalah bakatnya
dalam ilmu meringankan tubuh dan gerakan yang amat gesit lincah, sesuai
dengan wataknya yang periang.
Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol dari pada yang lain-lain
sehingga dalam beberapa tahun saja ia sudah pandai berloncatan dan
berkelebat cepat sekali melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri,
bahkan menyusul pula tingkat Ayu Candra! Aji kecepatan Bayu Tantra dapat
ia pelajari dengan mudah dan tidak menghabiskan waktu terlalu lama,
bahkan empat tahun kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan
Bayu Sakti!
Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari pada diri Pusporini.
Ia dapat bergerak dengan lemas dan lemah gemulai sehingga di waktu ia
dilatih ilmu silat oleh Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu
indahnya seperti orang menari-nari saja.
Rakandanya yang menjadi gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan
juga amat kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-
aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal keampuhannya itu dapat
dimailnkan sedemikian indahnya sehingga merupakan tari-tarian luar
biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah kegembiraan Adipati
Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini
menambah rasa sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito,
Tejolaksono, dan Ayu Candra.
Bahkan bukan hanya tiga orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada
Pusporini, juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan akhirnya
rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten, di antara para
ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu selalu bersikap
baik dan ramah kepada siapa pun juga, selalu rendah hati dan tidak
sombong seperti biasanya puteri-puteri bangsawan yang memandang rendah
rakyat kecil. Tidak, Pusporini tidak seperti itu.
Puteri ini bahkan seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di
sawah ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok tanam,
ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi dengan paman-paman dan
bibi-bibi tani.
Juga ia amat terkenal dan disayang di antara para pengawal dan prajurit
karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagum kan, juga Pusporini
ikut pula berlatih perang-perangan, berlatih menunggang kuda sehingga
semua prajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini menjadi
kagum dan sayang.
Jangan disangka bahwa Puspirini hanya suka akan olah keprajuritan, sama
sekali bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di antara para
abdi dalem, di antara para seniman dan seniwati kadipaten karena anak
ini semenjak kecil ikut pula belajar seni tari di mana bakatnya amat
menonjol dan belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring
sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya mendung yang
menyelimuti Kadipaten Selopenangkep dapat terusir. Atau setidaknya, pada
lahirnya Pusporini dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam
kadipaten sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan agaknya
keadaanpun menjadi aman dan tenteram. Hari berganti minggu, minggu
berganti bulan dan bulan-bulan ditelan tahun.
Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan di bumi ini yang dapat
menahannya, merayap amat perlahan jika diperhatikan, membalap cepat
melebih kilat apa bila tidak diingat.
Betapa pun juga, segala yang tampak dan tidak tampak di dunia ini, besar
maupun kecil, keras maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu,
kesemuanya ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia akhir
kemenangan.
Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak ada yang kekal.
Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang mendapatkan atau mempunyai
akan kehilangan. Karena sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik
manusia.
Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali tidak berhak memiliki.
Harta benda dan kedudukan, semua itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu
kita akan dipaksa berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak.
Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita, atau kita yang
akan pergi meninggalkan mereka.
Bahkan keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua keluarga,
sesungguhnya bukanlah milik kita! Manusia hanya mendapat titipan yang
dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak
lebih dari pada itu.
Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa yang menjadi Pemilik Sejati
mengambilnya kembali dari tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia
ini yang akan menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan bisa
musnah sewaktu-waktu. Anggota keluarga tersayang bisa mati
sewaktu-waktu. Atau dengan lain cara, jika Yang Maha Kuasa menghendaki,
kita sendiri bisa mati sewaktu-waktu meninggalkan dan berpisah dari
kesemuanya itu!
Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang hanya
“dititipkan” kepada kita. Karena itu, makin besar cinta kasih kita
kepada semua itu, makin sengsaralah apablia dipisah dari kita. Seperti
dua buah benda, makin kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah,
makin parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan atas segala
benda, yang terkecil maupun terendah sekali pun, bahkan,, tidak
mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut
jantung, aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita. Tidak
kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang
berkuasa atas segala benda, yang tampak maupun tidak!
Manusia tidak punya kuasa, hanya mempunyai hak menikmati anugerah dan
kewajiban memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan
kepadanya. Kalau tidak melaksanakan kewajiban, tidak benar
pemeliharaannya, akan rusaklah kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri
sendiri.
Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah dikehendaki oleh
Yang Maha Adil, dan betapa pun peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar
dan adil! Bukanlah hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat
tanggapan yang berlawanan.
Ada yang menganggapnya adil ada pula yang tidak, karena manusia amat
dipengaruhi oleh nafsu ego masing-masing yang selalu mementingkan diri
pribadi. Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan dianggap
adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak menyenangkan dirinya
pribadi akan dianggap tidak adil!
Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar dan adil,
sesuai dengan sifat Yang Maha Adil! Manusia yang tidak dapat melihat
keadilan dalam setiap peristiwa, hanya disebabkan karena tidak
mengertinya. Tentu saja orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau
dia tidak mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab akibat.
Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono berturut-turut kalau
dipandang dan dinilai mata manusia biasa tampaknya juga tidak adil
karena satria perkasa ini seakan-akan selalu ditimpa kemalangan. Empat
tahun telah lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari itu,
tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat
tahun telah lalu semenjak Bagus Seta tidak berada di Kadipaten
Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti mendung-mendung
hitam yang ditiup datang oleh angin angkasa yang keras sehingga tanpa
disangka-sangka tahu-tahu telah memenuhi udara di atas kepala.
Tadinya Adipati Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan
pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi karena tidak
terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap dusun-dusun, maka tidak ada
laporan apa-apa yang sampai ke telinganya.
Kalau terjadi perampokan-perampokan seperti yang dilakukan pasukan
gerombolan Lembah Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu,
tentu siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke kadipaten.
Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati Tejolaksono merasa gelisah
tanpa sebab. Seringkali jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti,
sang adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas
pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra, juga merasa tidak
enak hati, maka iapun duduk di dekat suaminya, siap melayani kebutuhan
suaminya yang sedang bersamadhi itu.
Di dalam keheningan samadhinya, telinga sang adipati menangkap suara
berisik, seolah-olah ia mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau
seolah-olah mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah Sungai
Progo membanjir? Bulu tengkuknya meremang dan ia sadar dari samadhinya,
menoleh kepada isterinya sambil menarik napas panjang.
“Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang kurasakan?”
Ayu Candra mengangguk. “Semenjak sore tadi hatiku merasa tidak enak...”
“Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widhi, Nimas.
Sekarang kau perintahkan pengawal untuk memanggil kepala pengawal
menghadap, sekarang juga.”
Biar pun agak heran mendengar suaminya menyuruh kepala pengawal
menghadap di malam hari, hampir tengah malam, namun Ayu Candra tidak
membantah, tidak pula bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan
memanggil pengawal yang menjaga di depan kadipaten Seorang di antara
para pengawal itu cepat melakukan perintah ini, pergi memanggil kepala
pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan gelisah. Kala pada
waktu seperti itu sang adipati memanggilnya menghadap, sudah pasti
terjadi hal yang amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang
adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan berangkat malam itu juga
keluar dari kadipaten, membagi pasukan dan melrkukan penyelidikan ke
barat da utara.
“Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua, selidiki keluar
kadipaten bagian barat dan utara. Separuh pasukan tinggalkan menjaga
kadipaten, perkuat penjagaan dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri
pimpinlah pasukan yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan
selidikilah desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di
utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu, jangan sekali-kali
turun tangan menggempur mereka sebelum mengetahui apa kehendak mereka.
Kemudian kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu.”
Maka ributlah para prajurit Kadipaten Selopenangkep karena pada tengah
malam itu mereka semua diperintah untuk bangun dan bersiap-siap.
Kepala pasukan Raden Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para
bawahnnya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah
pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar dari kota kadipaten dan seperti
rombongan semut pindah tempat mereka terpecah menjadi dua bagian,
sebagian ke barat dan sebagian lagi ke utara.
Pasukan-pasukan yang tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan
kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui Raden
Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai pemberangkatan pasukan keluar
kadipaten, dilangsungkan dengan rapi. dan tidak sampai diketahul para
penduduk sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi menghadap Roro
Luhito di bagian belakang kadipaten kemudian sang adipati menceritakan
tentang perasaannya yang tidak enak.
“Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena
itu malam ini juga saya sendiri akan pergi melakukan penyelidikan. Harap
Kanjeng Bibi dan Ayu Candra bersikap waspada memlmpin pasukan yang
melakukan penjagaan di kadipaten.”
“Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya dilakukan
penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda saksikan ketika terjadi
pertemuan di puncak Merapi, desas-desus tentang pasukan-pasukan asing
itu harus dicurigai. Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan
isterimu Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak lagi,
tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat penjagaan kadipaten;”
demikian kata Roro Luhito yang biar pun usianya sudah lima puluh tahun
lebih, hampir lima puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan
ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar berhati-hati menjaga
kadipaten, dan mengatakan bahwa penyelidikannya tidak akan lebih dari
pada sepekan lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan
pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden Mundingyudo dan teman-temannya.
Karena Ia ingin agar penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa,
maka Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian petani
biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat perjalanannya
sekarang karena ia mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya
berkelebat cepat sekali bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu
singkat ia telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat.
Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan dan gerak-gerik
pasukan asing yang kabarnya bergerak di daerah barat dan utara, adalah
dia sendiri ingin menyelidiki keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin
melihat apakah terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan,
terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan agama, karena
sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat akan dipaksa dalam hal ini oleh
kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah
Tejolaksono dapat masuk keluar dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya.
Dan apa yang disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada
lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam dusun-dusun
itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan tata tenteram kerta raharja.
Akan tetapi sesungguhnya telah terjadi perubahan yang hebat. Di dalam
beberapa buah dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi
dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan mereka.
Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar pujaan menjadi pemeluk Agama
Buddha, dan di lain dusun memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia
tidak melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan kedua agama
itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya ia melihat gejala-gejala
aneh dalam penukaran pujaan ini, yaitu lenyapnya para pendeta pemuja
Sang Hyang Wishnu dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang
Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu, rakyat tertarik
berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban yang didemonstrasikan oleh
pendeta-pendeta pembawa agama baru itu.
Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber karena ia mengenal baik
kepala dusun di situ. Bahkan dia sendiri yang mengangkat Ki Sentana
menjadi kepala dusun Sumber.
Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang pemeluk atau pemuja Sang
Hyang Wishnu yang patuh, seorang bekas prajurit Panjalu yang setia. Ia
mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu tentang segala
rahasia yang kini mencengkeram dusun-dusun di sebelah barat
Selopenangkep. Ia memasuki dusun Sumber di waktu senja dan langsung
mendatangi rumah kepala dusun.
Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan tidak ada meja
kursinya, juga pekarangan depannya kotor sekali, tidak terpelihara.
Tejolaksono memasuki halaman yang penuh dengan daun kering, terus maju
memasuki ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka separuh
sambil berseru, •
“Kulonuwun...!”
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam mendengar suara
langkah kaki dari dalam rumah itu. Langkah kaki wanita, pikirnya, karena
langkah itu halus perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada
sesuatu yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya. Mengapa
begini sunyi dan gelap? Mengapa rumah kepala dusun begini kotor tidak
terawat?
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian muncullah wanita. yang langkah kakinya terdengar oleh Tejolaksono.
Wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya.
Wanita yang cantik dengan sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling
serta tarikan mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan
lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil. Begitu muncul dari pintu
dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia memandang penuh selidik dan
pandang mata itu menjadi manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan
malu-malu. Biar pun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang
matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat memperkenalkan diri tanpa
menyebut namanya,
“Maafkan kalau saya mengganggu. Saya mohon berjumpa dengan Paman Sentana lurah dusun ini.”
“Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana sedang tidak berada di rumah.”
Suara wanita itu halus dan merdu seperti suara seorang waranggana, dan
di waktu bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang putih
rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-katanya. Bibir yang
penuh basah dan bergerak seperti itu, gigitan bibir, dagu yang
kadang-kadang menggeser ke kanan kiri, kerling yang tajam menyambar,
semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono
terheran-heran dan menduga-duga siapa gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa
Ki Sentana yang sudah tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang
puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah wanita ini seorang
di antara menantunya?
“Kalau bibi... adakah...?” tanyanya agak gugup, karena memang merasa
canggung sekali dan tidak terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut
seorang wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas memperlihatkan
sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi dan menggeleng kepala.
“Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana.”
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir yang berjebi
sehingga tampak penuh dan merah itu serta mata yang makin menantang.
“Kalau begitu, biarlah lain kali saya datang lagi...”
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu berkata, “Aehh, nanti
dulu harap jangan tergesa-gesa pergi. Saya bukanlah orang lain,
melainkan keponakan Paman Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika
menanti di sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan pulang.
Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya kalau mendengar bahwa ada
tamu datang tidak saya persilakan menunggu. Silakan masuk, Raden...
kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti sebentar,
tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan pulang.”
Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak keponakan Ki
Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana mempunyai seorang anak keponakan
yang secantik dan segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena
ia ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak mau
menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan? Tanpa berkata sesuatu ia
lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah
kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan.
Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar,
lalu berkata manis,
“Silakan Raden beristirahat sambil menanti.”
Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat kejanggalan itu.
Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya “raden”! Tentu saja hal ini janggal
dan aneh sekali! Biar pun ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu
ia menyamar sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak
mengenal siapa dia. Mengapa menyebut raden? Hatinya tidak enak, akan
tetapi wanita. itu sudah melangkah keluar dari pintu kamarnya. Jelas
tampak sepasang buah pinggul wanita itu bergoyang turun naik karena
langkahnya yang sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok.
Ah, kalau tidak sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak
amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak suka berada di
sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita itu, seperti anehnya
keadaan di rumah Ki Sentana ini yang sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar itu, pembaringan
terbuat dari kayu jati. la termenung dan mengharapkan kedatangan Ki
Sentana dengan cepat. Akan tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu
bahwa yang mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la
tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah pintu.
Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar, kini kedua tangannya
membawa sebuah penampan (baki) berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi
air. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-sinar,
Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur hidangan itu di atas meja
dalam kamar, dan berkata, suaranya halus,
“Raden, silakan dahar seadanya.” Sambil berkata demikian, Sariwuni
dengan gerakan luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci
sebelum makan) kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyum matanya
menunduk seperti malu-malu dan mengundurkan diri.
“Nanti dulu...!” Tejolaksono berkata dan Sariwuni berhenti melangkah
lalu membalikkan tubuhnya yang ramping, memandang dengan alis terangkat.
Sikap dan wajahnya manis sekali.
“Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?”
“Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi? Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang.”
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua pundaknya dan kembali
giginya tampak berkilau terkena sinar api pelita ketika ia membuka
bibir. “Saya tidak tahu ke mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata
bahwa tidak akan lama pergi dan malam ini pasti pulang.”
Tejolaksono mengangguk-angguk dan ketika wanita itu hendak membalikkan
tubuh lagi ia berkata, “Eh, Sariwuni, mengapa engkau menyebut aku raden?
Aku hanya seorang petani kenalan Paman Sentana...”
Sariwuni tertwa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya. Kembali
gerakan ini amat manis dan kenes, gerakan wanita yang tahu akan
kebiasaan puteri-puteri bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang
perawan dusun yang polos dan jujur.
“Hi-hik... seorang petani tidak bicara sehalus bicaramu, Raden. Juga
kaki tangannya tidak sehalus kaki tanganmu, kulltnya tidak seputih dan
sebersih kulitmu. Selain itu, wajah seorang petani... eh, tidak
setampan...“ Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu membalikkan
tubuh dan setengah berlari keluar kamar meninggalkan suara ketawa
ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudIan karena memang
perutnya sudah lapar dan mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci
tangan dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang cukup
sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan, membersihkan kakinya lalu naik
ke pembaringan, duduk bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh malam, belum juga tuan rumah yang
dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono menjadi hilang sabar. Akan
tetapi ketika ia hendak turun dari pembaringan untuk menyelidiki hal
ini, tiba-tiba pintu kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena
kali ini ia tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu
terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas pembaringan, memandang
dengan mata terbelalak. Wanita itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau
tadi hanya bersikap manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan.
Menantangl Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya
bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas dan pakaian
yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai tapih pinjung yang membungkus
tubuh sampai ke dada kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di
antara lekuk-lekuk dadanya.
Begitu ia masuk, bau yang harum menyerbu kamar. Bau mawar yang segar,
seakan-akan Wanita itu baru mandi keramas air mawar? Kulit pundak dan
lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus dan tipis
sehingga membayangkan urat-urat yang halus berwarna kemerahan. Dengan
lenggang lemah gemuiai, disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang
makin memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki kamar dan
mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga mawar makin memabukkan. Bau bunga
mawar ini memang amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini,
terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
“Raden,... tentu engkau merasa kesal menanti kembalinya paman dan
bibi..., agaknya mereka besok pagi kernbali... biarlah saya menemani
Raden malam ini di sini...“ Suaranya tersendat-sendat, dada itu
bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-lama tentu akan
terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan yang dihadapinya itu
tentu saja amat menarik dan menggairahkan karena diapun seorang pria
yang sehat dan normal.
Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang ksatria sejati. Keteguhan
batinnya tidak mudah tergoncang oleh pikatan dan bujuk rayu karena
didasari keyakinan bahwa hal ini adalah tidak benar! Dia memiliki harga
diri yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila yang akan
menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita ini adalah keponakan Ki
Sentana dan ia sebagai seorang tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan
kehormatan keluarga tuan rumah? Pula, ia dapat melihat bahwa watak yang
rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita muda seperti Sariwuni
untuk bersikap tidak tahu malu seperti ini.
“Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu? Mundurlah!” Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apa lagi mundur. la berjebi
sehingga bibir bawahnya melebar, memperlihatkan bagian bibir yang
sebelah dalam dan amat merah.
“Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra yang kusodorkan
kepadamu? Jangan khawatir, paman dan bibi tidak ada, dan di rumah ini
hanya ada kita berdua!”
Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua lengannya bergerak
merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba terlepas dan ia hendak mencium
muka sang adipati,
“Perempuan tak tahu malu! Pergilah!”
Tejolaksono menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni. Tubuh
wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang. Akan tetapi alangkah
kaget hati Tejolaksono ketika melihat wanita itu membuat gerakan jungkir
balik ke belakang sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri
dengan mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan lagi
ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada dadanya.
Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti pandang marah dan
mulutnya cemberut. Lenyaplah wajah bidadari terganti wajah iblis betina
yang siap nenerkam korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul,
wanita itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh, membentuk
lingkaran dan terdengar suara berkerotokan seolah-olah kedua lengannya
menjadi patah-patahl Dan perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung
kuku sampai ke pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang
matanya menjadi buas ketika ia memekik,
“Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!”
Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua tangannya' yang
berkuku hitam itu mencengkeram ke arah muka dan perut. Serangannya ini
ganas dan cepat bukan main!
Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan. Dia tadi terlampau
kaget dan heran menyaksikan perubahan ini, apa lagi mendengar namanya
disebut. Akan tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang sembarangan.
Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang tangan yang berkuku hitam
itu dahsyat sekali. lapun tahu bahwa aji pukulan ini mengandung racun
yang amat jahat. Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau wengur
seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa sepuluh buah kuku hitam
itu tidak boleh menggurat kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo
menyampok dari samping.
“Plakkk...!”
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur terhuyung-huyung. Akan
tetapi ia tidak roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa dia memang kuat
dan berilmu tinggi.....
Komentar
Posting Komentar