PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-22
“Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya? Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!”
Tiba-tiba waita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya berbeda dengan
tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh rayuan, kini seperti suara ketawa
seekor kuntilanak.
“Hi-hi-hi-hi-hik...!”
“Wuni, keluarlah engkau...!”
Tiba-tiba dari luar rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan
parau. Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya
berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam kamar melalui
pintu. Suara ketawanya masih terdengar sebentar, kemudian suasana
menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang waspada. la maklum
bahwa munculnya wanita itu memang sudah diatur terlebih dahulu. Fihak
musuh, entah siapa mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan
kedatangannya dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu.
Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita cantik itu menjebaknya,
menggunakan kecantikannya.
Ia bergidik kalau teringat. Andai kata batinnya tidak teguh dan ia roboh
oleh, rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh wanita itu, tentu ia
benar-benar akan mati dalam kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni
tadi! Andai kata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan dibunuhnya
pula. Dan alangkah mudahnya ia akan terbunuh kalau ia melayaninya
berkasih asmara! Sungguh berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka
ia yakin bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di luar rumah
itu.
Ia heran ke mana perginya Ki Sentana? Apakah yang terjadi dengan kepala
dusun itu dan keluarganya? Ia merasa khawatir sekali karena di
dusun-dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya
kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas! Ada pula yang kepala
dusunnye masih ada, akan tetapi para pendeta dan pemimpin agama yang
lenyap tak meninggalkan bekas. Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula?
Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar dari kamar itu
dengan sikap waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada dalam
keadaan siap siaga menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu
di ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa sampai ke
belakang.
Dan di ruangan belakang, dekat dapur, ia melihat Nyi Sentana meringkuk
di sudut dalam keadaan terbelenggu! Selain terbelenggu, juga muka wanita
tua ini matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya tersumbat kain
sehingga ia tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya sepasang matanya
saja yang sayu penuh kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono
mendekatinya.
Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan tangan lalu membuang
kain penyumbat mulut. Ia membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi
Sentana mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu
mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
“Bibi..., apakah yang terjadi, Bibi? Di mana Paman Sentana...?”
“Aduh, Kanjeng Adipati!”
Wanita itu menubruk kaki Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa
kali ia membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar hanyalah
isak dan sedu sedan. Tejolaksono membimbing wanita tua itu bangkit
berdiri dan menuntunnya duduk di atas balai-balai di dalam dapur.
Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan diberinya minum.
Wanita itu dengan gemetar minum air kendi dan berulang kali menghela
napas panjang.
“Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu.”
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat mengatasi
gelora hatinya yang penuh kedukaan dan kegelisahan. “Aduh, Gusti
Adipati..., malapetaka besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini...!”
“Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?”
“Entah ke mana dia pergi, Gusti... tadipun masih berada di sini... ah,
dia telah menjadi seperti gila semenjak... mereka datang...”
“Mereka? Siapakah? Siapa pula wanita yang bernama Sariwuni itu? Apakah benar dia keponakanmu?”
Wanita itu menggeleng-geleng kepala. “Semenjak... iblis betina itu
datang dan kawan-kawannya... ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah
ini menjadi neraka bagi saya, ahhh...” Kembali ia menangis.
“Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari permulaan.”
Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata, menarik napas
panjang beberapa kali lalu memandang celingukan ke kanan kiri seperti
orang ketakutan. Kemudian ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
“Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati, tak berani membuka
mulut karena diancam. Sekarang, karena paduka sudah datang, baru hamba
berani bercerita„ Malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula
datang perempuan'itu yang diambil selir oleh Ki Sentana dan teman-teman
perempuan itu seringkali datang bertemu. Mereka seperti iblis semua.”
“Akan tetapi... Ki Sentana sudah gila agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti iblis...”
“Sariwuni?”
“Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah mereka, akan tetapi
mereka itu lenyap, entah ke mana tak seorang pun mengetahuinya. Ki
Sentana masih menjadi kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua
kekuasaan berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya melakukan
semua perintahnya. Dan hamba... hamba tidak dibunuh agaknya untuk
mengelabui mata rakyat. Hamba menjadi... satu-satunya pelayan di rumah
ini, yang lain-lain telah dIkeluarkan. Ki Sentana seperti gila rakyat
dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa dan Bathari Durga... yang
menjadi pujaan wanita iblis Itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar
jangan membuka suara, kemudian bahkan dilkat dan disumbat mulut hamba,
karena mereka tahu bahwa paduka akan datang... dan...”
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh Nyi Sentana sampai
terguling dan ia sendiri melompat ke samping, menggerakkan tangannya
memukul sehingga angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan
batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah dan ketika ia
memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah tertembus anak panah dan
wanita tua itu berkelojotan sebentar kemudian tak bergerak lagi.
Tejolaksono maklum bahwa wanita Itu telah tewas dan ia tak dapat
menolongnya lagi. Kemarahan memenuhi dadanya dan pada saat itu terdengar
suara ketawa terkekeh-kekeh
Suara ketawa Sariwunil
“Keparat jahanam!”
Tejolaksono membentak marah sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas.
Demikian hebatnya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji Bayu Sakti
sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya yang mencelat ke atas dan
jebollah atap rumah berikut gentengnya!
Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng dan ia berdiri tegak
memandang ke bawah, ke arah luar rumah Ki Sentana. Ternyata di depan
rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni
dan teman-temannya, maka ia memandang penuh perhatian.
Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun-dusun?
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang
jumlahnya lima puluh lebih Itu ternyata adalah penduduk dusun Sumber!
Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana sendiri dengan sebatang tombak
di tanganl Di kanannya berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap
dan ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di tangan kanan
sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Ada pula beberapa orang laki-laki tinggl besar yang ia tidak tahu siapa, entah pendududuk dusun entah orang lain.
“Tangkap penjahat!”
“Tangkap pembunuh...!”
Penduduk dusun itu berterlak-terlak dan mengacung-acungkan senjata dan
obor ketika mereka melihat munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka
tadinya mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini dari
pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng. Tejolaksono
lalu melompat ke wuwungan paling depan, sehingga ia berada di atas
sekumpulan penduduk dusun di bawah dan mereka semua dapat melihatnya
dengan penerangan obor yang amat banyak itu.
“Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik! Aku bukan penjahat
bukan pula pembunuh. Aku adalah junjungan kalian, aku Adipati
Tejolaksono, adipati di Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala
dusun kalian, Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang
jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat! Insyaflah,
hei rakyat dusun Sumber!”
Suara Tejolaksono amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong suaranya.
Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk terhenti. Nama besar
Adipati Tejolaksono amat mereka kenal dan masih amat besar pengaruhnya.
Mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun
mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-bagi hadiah kepada
rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang katanya harus menangkap dan
mengeroyok seorang penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan
tetapi mengapa penjahat itu adalah sang adipatu di Selopenangkep sendIri
yang terkenal sakti mandraguna dan adil bijaksana?
“Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan kami lagi! Tidak
patut menjadi Adipati Selopenangkep. Lihat saja, sebentar lagi engkau
tentu akan dihentikan menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar!
Siapa yang tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto yang
telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu? Dan engkau malah menjadi
suaminya! Ha-ha-ha, tak perlu kau membohongi rakyatmu. Hai,
kawan-kawan, man kepung dan tangkap si laknat in Isteniku telah
dibunuhnyal”
“Bohong...!”
Tejolaksono hanya mampu mengeluankan ucapan mi karena ia terlalu
terheran-heran. Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang
bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas prajurit
Panjalu kawakan yang setia. Benar-benarkah itu Ki Sentana? Onangnya
memang itu, juga suananya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat jauh
berbeda. Apakah karena pengaruh Saniwuni?
Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang menerobos masuk dan
tak lama kemudian mereka keluar sambil berteriak-teriak, “Benar, dia
pembunuh jahat! Nyi Sentana telah dibunuhnyal Hayo tangkap! Kepung!”
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu, percuma saja
berdebat dengan kata-kata. Paling perlu menawan Ki Sentana untuk
mengorek rahasia para pennjahat itu dan juga menawan atau membunuh
Sariwuni yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini.
Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun bagaikan seekor burung
garuda melayang. Para penduduk dusun Sumber ternganga dan kesima
menyaksikan ini. Baru sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat
melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor burung saja!
Mereka menjadi gentar dan lupa untuk menyerang! Akan tetapi ada beberapa
orang yang menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi
besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana. Dua orang itu bersenjata
pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima orang penduduk lain,
mereka menyambut turunnya tubuh Tejolaksono.
Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima orang penduduk itu
terpental mundur dan tombak mereka terlepas dari pegangan kena gempuran
hawa sakti yang keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi
alangkah heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa dua
orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh dorongannya dan terus
menerjang dengan babatan pedang mereka yang mengeluarkan angin saking
kuat dan cepatnya.
“Hemm...!” Ia mendengus dan tubuhnya cepat menyelinap ke kanan, kemudian
begitu dua batang pedang itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya
doyong pula ke depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak,
tahu-tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini tidak
aneh karena sang adipati yang perkasa telah menggunakan aji pukulan
Kukilo Sakti sehingga gerakan kedua tangannya seperti dua buah kepala
burung yang mematuk amat cepatnya!
“Singgg... siuuuuttt...!”
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya
sehingga pukulan Kukilo Sakti itu hanyalah mengenai dada kedua orang
lawan dengan seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya menyambar
sebatang pedang yang hebat gerakannya dan tusukan sebatang tombak.
Namun ia tahu bahwa pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan
lawan yang sakti.
Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi besar itu hanya terhuyung
mundur empat langkah saja dan terus maju lagi! Ah, kiranya di sini
banyak orang sakti, pikirnya. Tentu dua orang mi merupakan kawan-kawan
Sariwuni!
Betapa pun juga, ia terpaksa membalikkah tubuh menghadapi serangan dari
belakang tadi. Pedang yang menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang
mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni untuk kedua kalinya
terhuyung ke belakang. Tombak di tangan Ki Sentana yang menyambar ia
biarkan lewat di dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara
mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah mengempit tubuh Ki
Sentana yang tua itu sehingga tak dapat berkutik lagi!
Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana, Tejolaksono membalikkan
tubuh, tangan kanannya siap untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan
tetapi ternyata wanita itu telah lenyap. DemIkian pula dua orang
laki-laktinggi besar tadi, dan kini para penduduk sumber mengeroyoknya
seperti rombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
“Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!” bentak Tejolaksono dengan gemas,
akan tetapi tentu saja ia tidak mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka
sekali mengenjot kedua kakinya dengan Ayi Bayu Sakti la meloncat tinggi
melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni
menyerangnya dengan pedang yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu,
tubuh Tejolaksono maslh meloncat, maka cepat-cepat ia menggunakan
tangannya yang kanan menyampok dengan jari-jari tangannya yang tepat
mengenai pergeIangan tangan wanita itu.
Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke mana dan pergelangan
tangannya menjadi lumpuh. Tak kuat ia menahan benturan jari tangan
Tejolaksono yang mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana
halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang terhuyung
ke belakang, juga Ki Sentana memekik.
Kagetlah Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki Sentana
terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis Itu tadi menyerangnya
dengan pedang dan berbareng menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan
kiri! Karena ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apa lagi melihat
betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia tidak mau melayani
lagi.
Musuhnya hanyalah Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan
kini wanita itu pun sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara
penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga melompat terus
berlari menghilang dl dalam kegelapan malam sambil mengempit tubuh Ki
Sentana. Setelah larl jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat
kenyataan bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono,
berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah
menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia melihat betapa
muka Ki Sentana kini telah berubah hitam yang menjalar sampai ke leher
dan kulit muka dan leher itu telah mulal rusak dan membusuk!.
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis betina itu. Inilah
agaknya ilmu hitam yang disebut aji pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun).
Hawa beracun disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali
kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar sampai ke dalam
jalan darah seperti gigitan ular yang paling berbisa!
Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi.
Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan penjahat yang
amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang sudah tua ini dipikat dengan
kecantikan Sariwuni dan ia tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai
jatuh hatinya.
Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian,melihat keadaan yang
tidak wajar, tentu Ki Sentana ini jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam
sehingga keadaannya seperti orang yang kehilangan kesadaran atau
pikiran.
Dua orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas dan kini
dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak menghendaki ia membuka
rahasia, ditewaskan pula.
Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu dilakukan
dengan amat halus dan cerdiknya sehingga rakyat bahkan membela mereka!
Benar-benar amat luar biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan ke daerah Panjalu.
Bukan dengan kekerasan merampoki dusun-dusun seperti yang dilakuka
gerombolan Gagak Serayu, melainkan dengan halus, yaitu
mempengaruhi,menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di setiap
dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang tidak tunduk diculik
dan lenyap, diganti orang-orang yang mau bersekutu, kemudian melalui
tokoh-tokoh yang menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan
dibelokkan kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh agama
baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga, tentulah perbuatan kaki
tangan Kerajaan Cola dan Sriwijaya!
Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan pendeta-pendeta Agama Buddha
dan Shiwa dahulu itu dan cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam
pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati!
Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak
dengan perang, akan tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang.
Dan mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti Sariwuni dan
dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup menahan
pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik.
Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang datangnya dari
barat dan utara, yang datang bagaikan air banjir seperti yang ia lihat
dalam samadhinya malam itu di Kadipaten Selopenangkep.
Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak
kaget. Musuh amat banyak, juga amat pandai dan sakti. Perjalanannya
meninggalkan kadipaten sudah diketahui musuh.
Buktinya Sariwuni dapat tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya.
Bagaimana kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada? Seperti yang
dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu? Tejolaksono cepat menggali lubang
dan mengubur jenazah Ki Sentana.
Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak sunyi, akan tetapi
hatinya lega dan kagum menyaksikan penjagaan yang rapi dan kuat.
Benar-benar bibi Roro Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu
bahwa bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini.
Heran, apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar sehingga
Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam keadaan perang. Ataukah
Mundingyudo sudah kembali dari penyelidikannya?
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep dan kembali la girang
dan kagum sekali ketika ia baru saja meloncati tembok pintu gerbang
dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang
penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak menghadangnya,
dilkutl bentakan keras,
“Berhenti!”
Akan tetapi para prajurit Itu terkejut dan girang mendapat kenyataan
bahwa yang bayangannya berkelebat mencurigakan itu ternyata adalah sang
adipati sendiri.
Mereka lalu memberi hormat.
“Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada.”
Sang adipatl memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke gedung
kadipaten. Kalau para penjaga itu dapat melihat kedatangannya, berartl
bahwa kadipaten tidak akan mudah kebobolan. Memang baris pendam penting
sekali untuk menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti yang
memiliki kepandaian tinggi.
Biar pun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito,Ayu Candra, dan
Pusporini menyambutnya dengan pakaian ringkas dan dalam keadaan siap
siaga, senjata tidak terlepas dari tangan. Jelas nampak terbayang pada
wajah tiga orang wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang
dan lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan pengalamannya dan tiga
orang wanita itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Mereka maklum akan besarnya bahaya yang mengancam.
“Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan Mundingyudo,” kata
Roro Luhito. “Biar pun pasukanpasukan asing Itu tidak melakukan
penyerbuan, akan tetapi mereka amat banyak dan melakukan gerakan
mengurung Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan
sekuat-kuatnya.”
“Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi,” kata Tejolaksono yang
segera menyuruh panggil Mundingyudo menghadap. Kepala pengawal
Selopenangkep ini segera datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
“Hamba melihat banyak sekall pasukan campuran yang datang dari barat dan
utara,” demikian antara lain laporan Mundingyudo. “Biar pun mereka itu
tidak pernah menyerbu sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan.
Bahkan menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula orang-orang
bekas gerombolan Gagak Serayu, para penjahat dari Lembah Serayu, di
antara pasukan. Pimpinan mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda
(pendeta Buddha) dan yang dan barat adalah pendeta-pendeta Agama Shiwa.
Pasukan-pasukan kita tidak menemui tentangan, akan tetapi mereka itu
makin mendekati Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak
mengurung. Hamba mohon keputusan paduka.”
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengkhawatirkan
keadaan Selopenangkep, yang lebih ia khawatirkan adalah keselamatan
Kerajaan Panjalu.
“Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau berangkatlah ke Kerajaan
Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu menghaturkan surat laporanku.
Agar engkau tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa
pasukanpasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak meleset
kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan Sriwijaya dan Kerajaan Cola
yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas
wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biar pun mereka tidak
melakukan gerakan menyerang, namun perlu mereka itu disapu dari wilayah
Panjalu karena mereka telah melanggar perbatasan. Agar jangan sampai
terlambat, sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan barisan
dan melakukan pembersihan. Demikian isi laporanku, Kakang.”
Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya kepada pembantunya,
berangkatlah Mundingyudo malam itu juga menuju Panjalu. Kemudian Adipati
Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti oleh
isterinya…..
********************
“Kejar...!”
“Tangkap mata-mata...!”
“Bunuh...!”
“Aduhh... ahhh... aduhh... trang-trang-trang...!”
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan gedung Kadipaten
Selopenangkep. Para prajurit pengawal sibuk mengurung empat orang sambil
berteriak-teriak dan beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih.
Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini diam saja, hanya
melangkah maju memasuki pekarangan kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya
tenang namun ia congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan dada
yang tipis.
Ia seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, tubuhnya kurus tinggi,
rambutnya penuh uban panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang,
pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan memegang
sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering.
Wajah laki-laki tua Ini merah seakan-akan bagian tubuhnya itu penuh
dengan darah di dalamnya, bahkan kedua matanya juga kemerahan.
Hidungnya panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar dan
karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang ompong dan menguning.
Kalau rambutnya panjang, adalah mukanya yang merah itu sama sekali tidak
berambut, tidak ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis
dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang laki-laki tinggi
besar berusia empat puluhan tahun dan seorang wanita cantik jerusia dua
puluh lima tahun. Lakilaki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa
mempeduli kan pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang
inilah yang melindunginya dan setiap ada prajurit yang maju menyerang
tentu prajurit itu terlempar berikut senjata mereka.
Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan kosong mampu
melempar-lemparkan para prajurit yang berani mendekat dan menyerang.
Empat orang ini pagi tadi dengan enak dan tenangnya memasuki pintu
gerbang yang baru terbuka, tidak peduli akan larangan dan teguran para
penjaga.
Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke kadipaten, terus berjalan
maju dan tiga orang itu membabati semua penghalang, namun agaknya
mereka menjaga agar mereka tidak sampai membunuh para prajurit sehingga
mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya mengalami
babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung kadipaten untuk
melaporkan datangnya empat orang aneh itu. Adipati Tejolaksono segera
keluar diikuti Ayu Candra, Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah
siap siaga dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan
melihat empat orang itu menghadapi kepungan para pengawal dengan tenang,
melihat pula betapa tiga orang itu dengan mudahnya melemparlemparkan
para prajurit yang berani menyerang, Tejolaksono segera berseru,
“Para pengawal, tahan dan mundur semual”
Prajurit-prajurit pengawal berbesar hati melihat munculnya Adipati
Tejolaksono. Mereka maklum bahwa empat orang yang datang ini adalah
orang-orang sakti dan untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati
dan keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka lalu mengundurkan
diri namun masih mengurung dari jarak jauh, siap menanti perintah sang
adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah maju perlahan-lahan
memasuki halaman kadipaten yang amat luas, merupakan sebuah alun-alun
kecil. Diam-diam Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang
itu.
Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah dijumpainya,
bahkan yang pernah menggodanya dengan sikap yang tak tahu malu. Kini
wanita itu berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir
yang manis itu tersenyum-senyum.
Sungguh seorang wanita yang tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua
orang tokoh wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni
Durgogini (baca cerita Badai Laut Selatan).
Melihat Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua tangannya,
tangan dengan kuku beracun yang telah menggurat tewas Ki Sentana. Akan
tetapi kedua tangan itu indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan
kuku-kuku jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita itu pun
dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang pernah ia lihat di
dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua berpakaian pendeta itu baru kali
ini ia lihat dan ia sama sekali tidak mengenalnya.
Betapa pun juga, melihat sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu
tentulah seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak
sebagai pelindungnya.
Maka ia bersikap waspada dan hatihati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat orang tamu aneh itu.
Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
“Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun Sumber.”
Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang tidak disembunyi-sembunyikan,
“Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan
adipati,tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau menjadi jauh
lebih tampan dan gagah. Sungguh...!”
Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini melihat pandang mata
berapi penuh kemarahan dari Ayu Candra yang berdiri di sebelah kiri
suaminya. Ingin Ayu Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini
ia dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang diceritakan suaminya,
akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut
empat orang aneh ini kepada suaminya
Tejolaksono tidak mempedulikan wanita cantik itu,melainkan berkata lagi kepada si pendeta,
“Menurut pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya dan
menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat pakaian andika, tak
akan keliru kiranya kalau saya mengatakan bahwa andika seorang pendeta
yang sudah pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak
terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum pernah saya
mendengar ada tamu yang datang secara paksa dan menggunakan kekerasan,
kecuali sebangsa perampok dan penjahat!”
Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk perasaan dan merupakan teguran keras.....
Komentar
Posting Komentar