PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-25
Dia seorang wanita berasal dart pesisir Banten yang sudah amat terkenal
di daerah Banten akan tetapi baru sekarang ini terbawa oleh gerakan
Kerajaan Cola bertualang ke timur.
Ni Dewi Nilamanik yang mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga
sendiri. Ketika bercakap-cakap dengan para tamu, kadang-kadang bibirnya
yang merah itu terbuka dan tampaklah deretan gigi putih berkilau.
Yang mendapat kehormatan duduk di atas kursi-kursi kehormatan mengitari
sebuah meja besar bersama Ni Dewi Nilamanik hanya beberapa orang saja.
Pertama-tama, yang mendapat kursi pertama di sebelah kanannya, adalah
seorang kakek tinggi kurus bermuka merah yang tertawa-tawa dan suaranya
keras nyaring.
Dia ini bukan lain adalah Sang Wasi Bagaspati sendiri! Hanya terhadap
Wasi Bagaspati inilah Ni Dewi Nilamanik bersikap menghormat, agak
berlebihan, bahkan tadi ketika Wasi Bagaspati dan rombongannya tiba, Ni
Dewi Nilamanik menyambutnya dengan sembah dan mencium ujung kakinya!
Tidaklah mengherankan karena Wasi Bagaspati ketua Agama Shiwa ini adalah
junjungannya, kekasihnya, juga sebagian dari pada ilmu-ilmunya yang
hebat ia pelajari dari kakek inilah!
Seperti ketika ia mengunjungi puncak Merapi dahulu, sekarangpun kakek
ini memakai jubah pendeta yang berwarna merah darah sehingga rambutnya
yang panjang putih itu tampak seperti perak! Hanya bedanya, kalau dahulu
pakaiannya itu sederhana, kini terbuat dari pada sutera halus
berkilauan dan kedua kakinya juga memakai alas kaki jepitan. Rambut yang
putih itu kini ia gelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera
merah pula.
Anak buah Wasi Bagaspati amatlah banyaknya, merupakan sebagian dari pada
pasukan Kerajaan Cola yang bergerak memasuki wilayah Panjalu. Akan
tetapi yang pada saat itu mengiringkannya untuk menghadiri upacara
pemujaan Sang Bathari Durga pada malam Respati itu hanya beberapa orang
muridnya terkasih, yaitu pertama-tama adalah Sariwuni yang selain
menjadi murid Wasi Bagaspati,juga tentu saja menjadi kekasihnya pula.
Di samping ini, juga Sariwuni adalah seorang penyembah Durga, maka tentu
saja ia hadir dalam pesta itu untuk membantu Ni Dewi Nilamanik.
Sariwuni yang sudah kita kenal, yang cantik molek ini pun kini
berpakaian indah, dan sikapnya terhadap Wasi Bagaspati jelas amat
menjilat!
Cekel Wisangkoro juga hadir sebagai abdi (cekel) sang wasi, juga sebagai
murid yang sudah tinggi tingkat ilmunya. Rambut Cekel Wisangkoro yang
panjang penuh uban dibiarkan terurai sampai ke pinggang. Jubahnya
berwarna kuning dengan hiasan merah di pinggimya.
Tubuhnya juga tinggi kurus seperti gurunya, akan tetapi melihat,
hidungnya yang seperti paruh burung betet, is lebih kentara keturunan
Hindu dari pada gurunya.
Karena keyakinan ilmu hawa sakti yang sama dengan gurunya, wajah sang
cekel ini pun halus kemerahan. Tongkat hitam berbentuk ular tak pernah
terlepas dari tangan kanannya. Cekel Wisangkoro yang kini hadir di
antara “orang-orang tinggi”, tampak sungkan-sungkan dan tidak banyak
bicara.
Masih ada dua losin pengikut Sang Wasi Bagaspati, laki-laki yang
rata-rata bertubuh kuat dan berkepala gundul, yang wajahnya seperti
arca. Mereka ini sesungguhnya anak buah Cekel Wisangkoro, orang-orang
yang semangat dan pikirannya telah dikuasai oleh Cekel Wisangkoro dengan
cengkeraman ilmu hitam.
Akan tetapi dua puluh empat orang mayat hidup ini hanya duduk di atas
tikar-tikar pandan yang dihamparkan di atas tanah, mereka duduk berjajar
seperti arca.
Di sebelah Cekel Wisangkoro duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih
lima puluh tahun dan keadaan jasmani laki-laki ini sungguh amat
menyeramkan. Dia paling tinggi besar di antara semua yang hadir, seorang
raksasa yang tubuhnya membayangkan tenaga kasar yang dahsyat. Duduknya
tegak, sikapnya agung dan matanya melotot galak, tidak banyak cakap akan
tetapi kalau sekali-kali bicara menjawab pertanyaan Ni Dewi Nilamanik,
suaranya nyaring parau seperti suara geluduk dan sepasang antinganting
atau gelang emas di kedua telinganya bergoyang-goyang.
Inilah Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Bathara Kala. Dia
bersama anak buahnya yang tidak kurang dari seratus orang merupakan bala
bantuan yang amat kuat bagi pergerakan yang dipimpin oleh Wasi
Bagaspati. Kolohangkoro ini adalah adik seperguruan Wiku Kalawisesa,
akan tetapi ia sakti mandraguna melebihi kakak seperguruannya yang dulu
tewas di tangan Endang Patibroto itu.
Bahkan ia menganggap dirinya sebagai penjelmaan Sang Bathara Kala
sendiri, maka di dunia ini hanya dua orang yang ia hormati, yaitu
pertama adalah Wasi Bagaspati yang dianggap titisan Sang Hyang Shiwa
sendiri, dan kedua Ni Dewi Nilamanik yang dianggap titisan Bathari
Durga.
Bukankah Bathara Kala adalah putera sepasang tokoh dewa yang hebat itu?
Di antara seratus orang anak buahnya, hanya tiga puluh orang yang ia
ajak ikut menghadiri pesta perayaan untuk memuja Bathari Durga ini. Anak
buahnya ini rata-rata juga tinggi besar dan kasar. Mereka duduk
berkelompok di dekat para penabuh gamelan, bersanda-gurau,
bercakap-cakap dan menggoda wanita-wanita penabuh gamelan dengan sikap
terbuka tanpa... malu-malu lagi.
Di bagian tamu kehormatan masih terdapat beberapa orang tamu laki-laki
yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kaum sesat di sebelah barat yang
sudah terbujuk oleh Wasi Bagaspati dan menjadi sekutunya untuk
menghadapi Panjalu dan Jenggala.
Mereka ini adalah kepala-kepala rampok dan kepala-kepala bajak, yang
merajai hutan-hutan, gunung, dan sungai-sungai. Mereka datang menghadapi
pesta bersama beberapa orang pembantu mereka yang pilihan. Di antara
para tokoh ini tampak Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, yaitu dua orang di
antara Lima Gagak Serayu yang masih hidup. Tiga orang Gagak lainnya
telah tewas di tangan Adipati Tejolaksono. Anak buah mereka ini pun
masih banyak, akan tetapi yang mereka bawa pada malam hari itu hanya
belasan orang saja. Dengan adanya para tamu yang jumlahnya amat banyak
ini, maka ramailah lapangan di puncak Gunung Mentasari pada malam
Respati itu.
Suara gamelan mengungkung, alunan getaran paduan suara gamelan melayang
sampai jauh ke lereng-lereng Gunung Mentasari. Suara ini mengiringi
nyanyian waranggana yang merdu merayu dan menghidangkan bermacam-macam
tembang.
“Ha-ha-ha-ha, suasana dalam pesta yang sudah-sudah tidaklah segembira
malam hari ini. Entah mengapa, hatiku senang sekali!” Demikian kata Wasi
Bagaspati sambil memandang ke arah wajah Ni Dewi Nilamanik...”
“Kebahagiaan hati Rakanda Wasi ini menandakan bahwa malam ini diberkahi
oleh Sang Hyang Bathara Shiwa, dan saya merasa yakin bahwa Rakanda akan
menjadi makin berbahagia kalau melihat apa yang akan saya perlihatkan
sebentar di dalam upacara pemujaan!” kata Ni Dewi Nilamanik sambil
tersenyum gembira.
Sepasang alis putih tebal Sang Wasi Bagaspati terangkat dan matanya
bersinar, wajahnya berseri. “Heh, Ni Dewi... sudah berhasilkah engkau
menangkap isteri Adipati Tejolaksono?”
Ni Dewi Nilamanik memperlebar senyumnya, matanya mengerling genit dan
kepalanya digeleng-gelengkan. “Ayu Candra memang ayu, akan tetapi dia
isteri orang lain, saya rasa kurang patut dihidangkan kepada Sang Hyang
Bathara Shiwa...”
“Eh, Ni Dewi, jangan kau beranggapan begitu. Siapa pun dia yang telah
menarik minat hati, tidak peduli dia itu tua atau muda, perawan atau
janda, dia patut sudah. Pula, mendapatkan dia berarti memukul hancur
sang adipati yang pengung (bodoh) dan keras kepala itu!”
“Semua yang paduka katakan memang tepat, Rakanda Wasi. Akan tetapi
sayang sekali, bukan Ayu Candra yang tertawan oleh anak buahku,
melainkan seorang yang menurut perasaan saya, lebih baik lagi. Dia masih
perawan, usianya baru lima belas tahun, bertulang kuat berdarah bersih,
cantik manis dan mudabelia, juga dia adalah adik misan, bahkan murid
terkasih Adipati Tejolaksono.”
“Waah-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu!”
Sang Wasi Bagaspati tertawa-tawa gembira dan mengelus dagunya, matanya
bersinar-sinar. Ki Kolohangkoro yang duduk dekat Ni Dewi
Nilamanik,menoleh kepada wanita itu dan berkata perlahan,
“Bunda Dewi..., apakah dalam kesempatan baik ini Bunda Dewi lupa kepada saya?”
Memang mengherankan bagi orang lain kalau mendengar betapa kakek berusia
lima puluh tahunan yang bertubuh raksasa ini memanggil “bunda” kepada
Ni Dewi Nilamanik yang barn berusia empat puluh tahunan! Hal ini adalah
karena Ki Kolohangkoro yang menganggap diri sebagai titisan Bathara Kala
menganggap Ni Dewi Nilamanik titisan Bathari Durga, karena itu seperti
ibunya! Dan terhadap Sang Wasi Bagaspatipun is menyebut “ramanda wasi”!
Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada raksasa ini dan tersenyum lebar
sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilau. “Jangan khawatir,
Kolohangkoro. Aku tidak lupa akan pesananmu dan ingat bahwa saatnya
tepat untuk memberi persembahan kepada Sang Hyang Bathara Kala!”“
“Terima kasih..., terima kasih, Ibunda Dewi...!” kata Ki Kolohangkoro dengan girang Sekali.
Dengan mengangkat lengannya ke atas, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat
dan berubahlah kini suara gamelan yang ditabuh oleh wanita-wanita muda
itu.
Waranggana berhenti menyanyi dan suara gamelan kini iramanya cepat dan
nyaring, makin lama makin tinggi, seperti suara orang merintih
mengerang, seperti napas terengah-engah, seperti suara ketawa
ditahan-tahan. Bukan main hebatnya suara gamelan kini, dibarengi dengan
pembakaran dupa yang amat harum.
Asap dupa yang kebiruan bergerak perlahan, makin lama makin tebal dan
dari balik asap ini sekarang bermunculan serombongan wanita penari yang
berlari-lagi sambil menari-nari, kemudian setelah tiga puluh sembilan
orang penari ini tiba di depan arca-arca dan tamu-tamu terhormat, mereka
membentuk baris seperti bunga teratai lalu menyembah ke arah arca
Bathari Durga.
Mereka menyembah sambil merebahkan tubuh atau menelungkup ke atas tanah,
kedua kaki ditekuk di bawah paha. Sampai lama mereka rebah seperti ini,
tidak bergerak seolah-olah mati.
Gamelan yang tadinya ramai dan penuh semangat, kini menurun iramanya sehingga terdengar perlahan dan tenang.
Suasana menjadi hening dan sunyi, angker menyeramkan. Upacara pemujaan dan penghaturan sesaji telah dimulai.
Tiga puluh sembilan penari masih menelungkup dan tidak bergerak. Ni Dewi
Nilamanik lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah dan menaburkan
isinya pada pedupaan.
Seperti tadi, asap mengebul tebal dan tinggi, akan tetapi kalau tadi
berwarna kebiruan, kini berwarna kemerahan, amat indah tersinar cahaya
bulan dan cahaya obor yang dipasang di sekitar lapangan itu. Pembakaran
dupa yang berasap merah dan menghamburkan ganda harum yang aneh ini
merupakan isyarat bagi serombongan penari lain yang telah siap.
Dari balik tabir asap kemerahan ini muncul tiga belas orang penari.
Berbeda dengan tiga puluh sembilan orang rombongan pertama tadi yang
berpakaian sutera beraneka warna, tiga belas penari ini semua berpakaian
putih, sutera tipis sekali sehingga sinar obor menembus pakaian tipis
itu membuat bentuk tubuh mereka tampak nyata. Juga tiga belas orang
penari ini masih muda remaja dan semua cantik jelita.
Tarian mereka juga berbeda, gerakan mereka halus dan lemah gemulai.
Tangan kiri mereka menyangga sebuah bokor emas di atas pundak, lengan
kanan menari-nari dan kaki mereka seperti melayang saja ketika bergerak
di atas rumput lapangan, seolah-olah mereka terbang.
Ketika mereka tiba di depan tiga buah arca Bathari Durga, mereka
bersimpuh, kemudian berjalan jongkok menghampiri arca. Dengan gerakan
berirama sesuai dengan irama gamelan, setibanya di kaki arca, mereka
kembali menyembah dan meletakkan bokor emas masing-masing di depan tubuh
mereka. Pada saat itu, tiga puluh sembilan orang yang tadi menelungkup,
kini menggerakkan tubuh tegak sambil menembang.
Paduan suara tembang mereka mengalun dalam sebuah lagu pujaan yang aneh
dan menimbulkan serem karena suara mereka seperti orang merintih,
kadang-kadang seperti menangis dan tiba-tiba berubah menjadi suara orang
bergembira tertawa!
Tiga belas orang wanita berpakaiari putih kini menyebarkan bunga rampai
dari dalam bokor kencana ke arah tiga buah arca sehingga tubuh arca-arca
itu penuh kembang. Bau yang amat wangi memenuhi seluruh lapangan, bau
kembang rampai bercampur harum dedes dan dupa.
Setelah semua kembang dalam bokor habis, tiga belas orang wanita
berpakaian putih itu yang masih duduk bersimpuh, menggerak-gerakkan
tubuh atas mereka, bergoyang-goyang seperti ombak ke kanan kiri, ke
depan belakang dengan berbareng dan dari mulut mereka terdengar suara
mereka membaca mantera yang mengagung-agungkan nama Sang Bathari Durga.
Ni Dewi Nilamanik kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri arca
Bathari Durga yang berada di tengah, lalu berlutut dan membaca mantera
pula, seirama dengan tiga belas orang muridnya.
Pada saat itu, suasana di lapangan itu benar-benar amat menyeramkan.
Asap kemerahan yang mengebul dari depan arca, membuat tiga buah arca itu
seolah-olah bergerak-gerak dan bernapas
Dua buah arca Bathari Durga yang mengerikan di kanan kiri itu
seolah-olah melotot dan menyeringai, dan hawa busuk keluar dari tubuh
dua buah arca itu. Adapun arca yang di tengah, yang cantik dan molek,
seperti ikut pula menari dan bibirnya tersenyumsenyum.
Suara nyanyian bersama itu makin membubung tinggi, kadang-kadang menjadi
rendah sekali dan dari dalam nyanyian ini seperti terdengar suara-suara
aneh, pekik-pekik dahsyat, gerengan-gerengan, pendeknya seolaholah
semua setan iblis brekasakan bangkit dari neraka jahanam, memenuhi
pangilan yang tersalur lewat kekuasaan Sang Bathari Durga yang menjadi
ratu sekalian jin setan dan iblis!
Setelah pembacaan mantera habis, ketiga belas orang dara berpakaian
putih itu bangkit, menari dan dengan langkah-langkah teratur pergi
meninggalkan lapangan itu, kemudian tak lama datang lagi membawa sesajen
yang disunggi di atas kepala. Bermacam-macam sesajen itu, dari
buah-buahan, sayur-sayuran sampai daging segala macam hewan sembelihan,
yang matang dan yang mentah.
Tidak ketinggalan kembang dan arak! Semua sesajen ini dijajarkan, di
depan ketiga buah arca. Setelah upacara ini yang dikepalai oleh Ni Dewi
Nilamanik yang mengatur persembahan sesajen itu, maka upacara selesai
dan ,kini tinggal perayaan pestanya. Ni Devi Nilamanik lalu berkata
kepada Sang Wasi Bagaspati sambil mendekatinya,
“Rakanda wasi, bersiaplah menerima persembahan hamba.”
Kemudian wanita cantik itu memberi isyarat dengan tangan.
Tiga betas orang wanita berpakaian putih menyembah lalu bangkit lagi
menari sambil meninggalkan lapangan. Gamelan ditabuh gencar dan kini
tiga puluh sembilan penari mengikuti irama yang gencar dan cepat. Mereka
itu bergerak cepat, berputaran melenggang-lenggok, memainkan kedua
lengan yang lemas, menggerak-gerakkan pinggang yang ramping dan leher
yang indah bentuknya, melirik-lirik dan tersenyum-senyum memikat.
Akan tetapi, bertepatan dengan perubahan bunyi gamelan, mereka berhenti
menari, lalu terpecah menjadi dua barisan dan membuat lingkaran lalu
duduk bersimpuh dan kembali tubuh atas mereka menelungkup mencium tanah
dengan kedua lengan dilonjorkan di depan, menelungkup pula di atas
tanah.
Gamelan kini berirama tenang dan amat indah, tidak lagi aneh atau liar
seperti tadi, namun teratur dan halus. Inilah gamelan yang biasa
dimainkan untuk mengiringi tari-tarian bidadari yang seringkali
ditarikan di gedung-gedung para bangsawan.
Semua mata memandang ke arah tabir asap dan tampaklah tiga belas orang
wanita yang berpakaian putih tadi muncul lagi, berjalan sambil menari
perlahan-lahan dengan gerakan lemah gemulai. Namun mereka itu tampak
kasar ketika semua mata memandang seorang dara yang mereka iringkan.
Seorang dara remaja yang cantik manis, dan gerakan lengan kakinya ketika
menari amatlah lemas dan indah! Diiringkan tiga belas orang wanita
cantik berpakaian sutera putih itu, dara remaja ini tampak seperti
setangkai kuncup bunga yang sedang mekar dengan segarnya di antara tiga
belas tangkai bunga yang sudah terlalu banyak kehilangan madu karena
setiap hari dihisap kumbang.
Dara remaja ini bukan lain adalah Pusporini! Baru pagi tadi rombongan
anak buah Ni Dewi Nilamanik yang menawannya tiba di puncak Mentasari.
Pusporini disambut dengan bangga dan girang oleh Ni Dewi Nilamanik yang
segera membuatnya pingsan dengan ilmunya, kemudian memberi minum secara
paksa ramuan obat yang membuat dara itu tidak sadar akan keadaan dirinya
lagi!.
Inilah sebabnya mengapa pada malam hari itu, ketika Pusporini disambut
oleh tiga belas orang wanita berpakaian putih dan diperintahkan menari,
seperti sebuah boneka berjiwa Pusporini lalu keluar dari tempat tahanan,
dan begitu mendengar suara gamelan dan melihat tiga belas orang itu
menari, iapun lalu melangkah maju dan menari! Tentu saja tarian
Pusporini amat indah karena dara remaja ini memang seorang ahli tari di
Selopenangkep!
Ia menari dengan kedua mata setengah terpejam, bibirnya otomatis
tersenyum manis karena guru tarinya selalu memesan bahwa dalam
membawakan tarian, wajah hams berseri dan bibir tersenyum manis, senyum
sopan untuk mempercantik wajah.
Semenjak ia masih kecil, Pusporini sudah belajar menari dan setiap kali
di Kadipaten Selopenangkep diadakan tari-tarian, tentu dia menjadi
bintang panggungnya. Kini, dalam keadaan tidak sadar akibat pengaruh
jamu yang dicekokkan kepadanya ketika ia pingsan, Pusporini menari
dengan perasaan bahwa dia harus menari seperti yang ia lakukan di
Selopenangkep. Menari seindah-indahnya.
“Bagaimana, Rakanda Wasi? Apakah cukup memuaskan hati Rakanda?” bisik Ni
Dewi Nilamanik sambil mendekati Wasi Bagaspati yang duduk terhenyak dan
kesima memandang ke arah Pusporini. Teguran ini membuat ia sadar dan ia
cepat memegang tangan Ni Dewi Nilamanik, ditariknya wanita itu mendekat
dan dengan mata masih memandang ke arah Pusporini, ia mengambung pipi
kanan wanita cantik itu di depan semua orang yang memandang hal ini
tanpa heran sedikitpun.
“Wah, Yayi Dewi, benar hebat...! Tiada ubahnya dengan Dewi Sang Hyang
Saraswati sendiri...! Dan dara ini adik misan Tejolaksono? Bagus!
Hukuman baik bagi adipati yang keras kepala itu. Biarkan dia menghibur
dengan tari-tarian sampai pestamu selesai Yayi. Sesudah itu, bawa dia ke
kamarku, akan tetapi aku menghendaki dia seaseli-aselinya, tanpa
pengaruh jamu-jamu...”
Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan maklum akan kehendak Sang Wasi
Bagaspati. Ia mengangguk lalu duduk kembali ke atas kursinya sambil
memberi isyarat dengan tangan untuk meningkatkan acara perayaan.
Tiga belas orang wanita berpakaian putih itu lalu menari sambil
mengurung Pusporini dan mengiring dara remaja ini naik ke sebuah
panggung yang paling tinggi di samping barisan tiga buah arca. Panggung
ini hanya dua meter luasnya, agak tinggi dan bentuknya bundar.
Tiga buah obor besar menyala di belakang panggung sehingga ketika
Pusporini menari-nari di atas panggung sendirian saja, tampak seperti
seorang bidadari menari. Permainan cahaya dan bayangan yang menyelimuti
tubuh dan wajahnya benar-benar amat indah.
Setelah Pusporini “disingkirkan” di atas panggung menyendiri dan menari
dijadikan tontonan dan dikagumi semua orang, Ni Dewi Nilamanik kembali
memberi isyarat dengan tangan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih
itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang
berlari-lari sambil menari dan masing-masing membawa sebuah bokor pula,
kini bokor perak yang berisi benda cair berwarna merah.
Begitu mereka memasuki lapangan, bau yang harum bercampur amis
berhamburan dan semua orang yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan
tertawa-tawa gembira dan pandang mata mereka penuh kehausan melihat ke
arah bokor-bokor itu.
Semua bokor perak, tiga belas buah jumlahnya, kini ditaruh di depan kaki
tiga buah arca. Ni Dewi Nilamanik lalu bangkit dan menghampiri,
mencelupkan sebatang daun ke dalam bokor-bokor itu dan
memercik-mercikkan cairan merah ke arah tiga arca hingga tubuh arca-arca
itu berwarna merah, bertotol-totol seperti darah.
Kemudian Ni Dewi Nilamanik mengambil dua buah cawan, mengisinya dengan
cairan merah itu dan ia menghampiri Wasi Bagaspati. Dengan sikap hormat
sambil bersimpuh di depan sang wasi, ia menyodorkan sebuah cawan yang
diterima sambil tertawa oleh Wasi Bagaspati. Kemudian kedua orang ini
minum cairan merah itu dari dalam cawan, terus ditenggak sampai habis.
Semua anak buah laki-laki perempuan yang hadir di situ bersorak gembira,
dan mulailah mereka berteriak-teriak minta bagian cairan merah yang
mereka sebut “Anggur Darah”
Di Dewi Nilamanik memberi isyarat dengan tangan.
Di bawah hujan sorak-sorai gemuruh, tiga belas orang wanita berpakaian
putih, kini dibantu oleh tiga puluh sembilan wanita berpakaian aneka
warna mulai membagi-bagikan anggur darah dari tiga belas bokor perak itu
kepada semua orang.
Mula-mula tentu raja para tamu yang duduk di kursi kehormatan yang
menerima secawan yang mereka minum dengan lahap. Kemudian semua orang
mendapat bagian, sampai para penabuh gamelan dan semua anggota, baik
anggota penyembah Durga maupun penyembah Shiwa dan Kala.
Setelah semua orang minum, makin riuhlah suasana, makin gembira
seakan-akan mereka semua itu mabuk oleh secawan anggur darah itu.
Gamelan dibunyikan dengan keras dan iramanya panas merangsang, lima
puluh dua penari itu kini menari-nari secara liar, makin lama makin
cepat gerakan mereka, makin cepat dan makin liar.
Aneh dan hebat bukan main. Sesudah minum anggur darah berwarna merah
itu, wanita-wanita itu tidak hanya seperti mabuk, bahkan seperti
orang-orang yang telah kemasukan roh jahat. Juga suasana menjadi berubah
sama sekali. Seluruh lapangan itu seakan-akan terselimut hawa yang
dingin menyeramkan, namun yang mengandung rangsangan hawa panas yang
membuat darah mendidih, yang membangkitkan gairah nafsu berahi, dan
jelas terasa getaran-getaran aneh yang tidak sewajarnya.
Malam di puncak Gunung Mentasari ini menjadi malam penuh hawa kotor,
dikuasai iblis. Tiga puluh sembilan orang wanita yang berpakaian sutera
tipis beraneka warna itu makin hebat tariannya. Tidak lagi mengikuti
bunyi gamelan yang iramanya makin panas merangsang, melainkan menari
secara liar, menggerak-gerakkan ginggul ke kanan kiri ke depan belakang,
membusungkan dada dan menggerak-gerakkan pundak, pinggang mereka
bergoyang-goyang, tubuh mereka seolah-olah menjadi tubuh ular yang
meliuk-liuk, melekuk, melengkung dan menggeliat-geliat.
Wajah mereka yang rata-rata cantik dan muda itu kini agak pucat,
keringat membasahi dahi dan leher, muka diangkat ditengadahkan
membayangkan gairah nafsu berahi, mata setengah terpejam, cuping hidung
berkembang kempis mendengusdengus, bibir terbuka memperlihatkan kilauan
gigi putih di antara rongga mulut yang merah seperti dasar mereka,
ujung lidah merah meruncing menjilat-jilat bibir seperti lidah ular,
membasahi bibir yang merah basah, dada yang membusung itu turun naik
terengah-engah seperti ombak samudra dilanda badai. Nafsu berahi makin
memuncak dalam suasana yang tidak wajar itu.
Keadaan seperti ini makin lama menjalar sehingga tiga belas orang wanita
remaja berpakaian putih itu pun terkena pengaruhnya dan merekapun mulai
meniru gerak-gerik tiga puluh sembilan orang rekannya yang tingkatnya
lebih rendah itu.
Gamelan ditabuh makin menggila. Tari-tarian itu pun makin menggila. Para
anggota wanita penyembah Bathari Durga itu kini mulai pula
menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama gamelan. Merekapun terpengaruh
setelah tadi minum secawan anggur darah. Juga para tamu, anak buah Wasi
Bagaspati dan Ki Kolohangkoro, mulai berteriak-teriak seperti gila,
menjadi histeris dan dengan pandang mata seperti hendak melahap dan
menelan bulatbulat para penari itu.
Yang tidak terpengaruh oleh anggur darah, biar pun ikut minum, hanya para pimpinan saja.
Sang Wasi Bagaspati, biar pun wajahnya menjadi makin merah, namun tetap
tenang dan memandang kesemuanya itu sambil tersenyum gembira. Ni Dewi
Nilamanik, juga merah sepasang pipinya, membuatnya tampak makin cantik
dan kini pimpinan penyembah Bathari Durga melempar kerling mata penuh
nafsu ke arah Sang Wasi Bagaspati, namun ia tetap duduk tenang.
Di samping kedua orang sakti ini, Ki Kolohangkoro juga tidak
terpengaruh. Matanya terbelalak lebar dan ia minum arak terus-menerus,
kadang-kadang tertawa bergelak seperti orang gila. Yang lainnya,
termasuk Cekel Wisangkoro, Sariwuni, kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak
Kroda, terseret pula oleh gelombang getaran hawa nafsu berahi, bahkan
Sariwuni dan kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah saling
mendekat dan saling pegang dalam belaian-belaian penuh nafsu. Yang
mengherankan adalah dua puluh empat orang tinggi besar gundul, anak buah
Cekel Wisangkoro. Mereka ini tadipun mendapat bagian anggur darah, akan
tetapi mereka kini tetap saja duduk di bawah tanpa bergerak dengan mata
memandang kosong ke depan!
Tak lama kemudian, setelah gamefan kini berbunyi kacau-balau karena para
penabuhnya sudah mabuk semua, beterbanganlah sutera-sutera halus yang
tadi membungkus tubuh lima puluh dua orang penari itu. Sorak-sorai
terdengar dan para wanita penyembah Bathari Durga semua lalu ikut menari
sambil menanggalkan pakaian, melempar-lemparkan pakaian mereka dan
mempermainkan nya seperti selendang, sementara tubuh mereka terus
melanjutkan tari-tarian penuh gairah.
Sorak-sorai dari mulut para pria yang hadir makin gemuruh dan
mereka-pun bangkit tanpa aturan lagi, ikut menari-nari dan mendapatkan
pasangan masing-masing. Bahkan Cekel Wisangkoro sudah pula meloncat dart
tempat duduknya dan terjun ke dalam medan tari-tarian menggila itu.
Suara ketawa bercampur cekikikan dan semua bercumbuan mengotorkan udara.
“Hua-ha-ha-ha, Bunda Dewi! Manakah hidanganku yang Bunda janjikan tadi?”
terdengar suara Ki Kolohangkoro menggema dan mengatasi semua suara
hiruk-pikuk dari mereka yang berpesta-pora dalam nafsu binatang itu.
“Jangan... khawatir,... Kolohangkoro,” jawab Ni Dewi Nilamanik sambil
tersenyum, lalu ia memanggil Sariwuni, “Sariwuni, kau ambillah si bagus
ke sini, berikan kepada Kolohangkoro!”
Sariwuni terpaksa melepaskan diri dari pelukan Gagak Dwipa, lalu
tubuhnya yang kini sudah setengah telanjang itu melesat pergi. Hanya
sebentar ia menghilang karena sepuluh menit kemudian wanita sakti ini
telah datang kembali, memondong seorang anak laki-laki yang bertubuh
montok dan berwajah tampan.
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih enam tahun, matanya lebar
terbelalak memandang ketakutan dan di kedua pipinya yang segar kemerahan
dan montok itu tampak titik-titik air mata.
Ki Kolohangkoro memekik keriangan ketika ia menyambar tubuh anak ini
dari tangan Sariwuni yang terkekeh genit dan meloncat lagi ke dalam
pelukan Gagak Dwipa sambil mendorong pergi seorang wanita penari yang
tadi menggantikan tempatnya.
“Kolohangkoro, kaubawa pergi korbanmu itu dari depan mataku,” kata Sang Wasi Bagaspati sambil menyeringai.
Ki Kolohangkoro yang memeluk anak itu tertawa, membungkuk lalu meloncat
pergi, akan tetapi saking tak dapat menahan nafsunya, ia berlari sambil
menundukkan mukanya ke arah leher anak Itu yang berkulit putih halus.
Rahangnya bergerak, tampak giginya yang meruncing dan terdengarlah jerit
anak itu yang tenggelam ke dalam suara ketawa di tenggorokan Ki
Kolohangkoro yang mulai menghisap darah segar!
Pusporini yang tadinya menari-nari di atas panggung bundar, kini masih
menari-nari seperti kehilangan semangat. Karena gamelan kini tidak
berbunyi lagi dan para penabuhnya sudah pula terjun ke dalam kancah
nafsu jalang yang dipuja-puja, Pusporini kini berdiri termangu-mangu
seperti orang bingung. Sepasang matanya kini terbelalak, penuh kengerian
akan tetapi juga seperti orang dalam mimpi.
Pengaruh jamu yang membiusnya masih belum lenyap semua, akan tetapi
penglihatan yang terbentang di depan matanya terlalu hebat sehingga
mengguncangkan perasaannya, membuatnya terbelalak penuh kengerian,
ketakutan, dan kebingungan.....
Komentar
Posting Komentar