PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-26
Sang Wasi Bagaspati dan Ni Dewi Nilamanik masih duduk tenang, sungguh
pun kini mereka duduk berdekatan dan tangan Wasi Bagaspati
membelai-belai rambut, kadang-kadang mencium muka Ni Dewi Nilamanik.
Mereka berdua yang sakti mandraguna, yang dengan pengaruh ilmu hitam
mereka telah menimbulkan suasana seperti ini, tentu saja dapat menguasai
diri dan keadaan. Ketika Pandang mata Wasi Bagaspati beralih ke arah
Pusporini yang berdiri bingung di atas panggung, is segera bangkit
perlahan, menudingkan telunjuknya ke arah Pusporini dan berkata
perlahan,
“Ni Dewi, aku ingin mengaso dan antarkan dia itu kepadaku.”
Ni Dewi Nilamanik juga bangkit berdiri dan tersenyum lebar. “Baiklah,
Rakanda Wasi. Saya sendiri yang akan menjemput dan mengantarnya
kepadamu.”
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba sekali jatuhlah air hujan
dari angkasa! Kedua orang itu kaget dan menengadah. Langit yang tadinya
bersih kini tertutup mendung menghitam. Sinar bulan tertutup mendung dan
datang pula angin bertiup sehingga banyak obor secara tibatiba menjadi
padam. Suasana menjadi gelap, angin bertiup, dan air hujan turun makin
deras. Akan tetapi, pasanganpasangan yang sudah dimabuk nafsu itu masih
berdekapan dan bergulingan di atas tanah berumput, sama sekali tidak
peduli akan turunnya air hujan. Suara ketawa dan cekikikan masih
terdengar, bahkan agaknya makin gembira dengan turunnya air hujan!
“Ah, hujan...!” seru Ni Dewi Nilamanik dengan kaget dan heran. “Biar saya menyuruh Sariwuni menjemputnya!”
Karena Sariwuni yang dipanggil dua kali tidak mendengar, asyik mengumbar
nafsu binatang bersama Gagak Dwipa, sekali bergerak Ni Dewi Nilamanik
sudah mendekati lalu menarik bangun wanita itu.
“Sariwuni! Kau bawa dara remaja itu ke dalam!”
Setelah berkata demikian, Ni Dewi Nilamanik lalu menghampiri Wasi
Bagaspati, menggandeng tangannya dan berkata. “Marilah, Rakanda Wasi,
kita berteduh di dalam dan menantinya.”
Dua orang pimpinan kaum sesat itu sudah berjalan cepat-cepat
meninggalkan lapangan menuju ke bangunan pondok-pondok yang berada di
puncak.
Adapun Sariwuni sambil bersungut-sungut terpaksa meninggalkan Gagak
Dwipa lagi, lari ke arah panggung di mana tadi Pusporini berdiri
bingung!.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia tidak melihat dara remaja itu
di sana! Cepat ia meloncat ke tempat yang tinggi itu dan memandang,
lalu terkekeh genit dan keji ketika melihat bayangan Pusporini
berlarl-lari pergi dari tempat itu! Beberapa obor yang masih bisa
bertahan terhadap serangan angin dan hujan, menerangi tempat itu
sehingga ia dapat melihat ke mana Iarinya Pusporini.
Keadaan Pusporini tadi masih setengah sadar setengah mabuk jamu yang
membiusnya. Pemandangan yang mengerikan Itu mengguncang perasaannya dan
membaritunya untuk cepat sadar ketika air hujan tnenlmpa kepalanya,
Pusporini merasa seakan-akan ia disiram air embun suci dari surgaloka.
Seketika ia menjadi sadar dan dara remaja ini cepat menutup mulut
menahan jerit yang akan keluar dari mulutnya.
Pemandangan yang terbentang di depannya terlalu hebat. Ia meramkan kedua
matanya, kemudian meloncat turun dari panggung dan Ian' ketakutan dan
penuh kengerian. Ia harus lari dari tempat itu. Harus cepat pergi
menjauhi mereka ini!
Kini teringatlah ia. Tadinya ia berada di taman sari Kadipaten
Selopenangkep.Lapat-lapat ia teringat betapa ia berada di dalam
kekuasaan wanita-wanita genit yang menyeramkan. Kemudian teringat bahwa
ia dibawa ke dalam sebuah pondok di puncak bukit itu, melihat wajah
seorang wanita cantik yang pandang matanya mengerikan, lalu ia tidak
ingat apa-apa lagi.
Bagaimana ia tahu-tahu bisa berada di panggung itu? Dan pemandangan yang
ia lihat di atas rumput, lhhh, mengerikan sekali! Perutnya menjadi muak
dan mual,membuat ia hampir muntah. Akan tetapi karena ia maklum bahwa
tempat itu penuh dengan orang-orang jahat yang amat sakti, ia tidak mau
berhenti, terus berlari sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti.
Namun tubuhnya terasa lemas dan lelah. Kepalanya masih pening
berdenyut-denyut. Pandang matanya berkunang dan malam amat gelap. Hujan
turun makin deras sehingga jalan liar yang dilaluinya menjadi licin
sekali.
“Heeeeiii..., Pusporini! Berhenti kau! Hendak lari ke mana?”
Mendengar suara dari sebelah belakang ini, Pusporini terkejut sekali. Ia
menoleh dan di antara sinar obor yang bergoyang-goyang hampir mati ia
melihat bayangan seorang wanita yang mengejarnya dengan gerakan tangkas
dan larinya cepat bukan main.
Pusporini bukanlah seorang penakut, akan tetapi apa yang disaksikan di
sana tadi benar-benar telah melenyapkan semua keberaniannya. Terlalu
ngeri dan terlalu menakutkan baginya sehingga kini seluruh hati dan
pikirannya dicekam rasa takut yang hebat. Maka ia mengeluh pendek dan
terus berlari makin cepat lagi.
Beberapa kali ia jatuh tersandung, akan tetapi ia bangkit lagi. Bahkan
ia jatuh tersungkur dan terguling-guling, namun setelah mendapat
kesempatan meloncat bangun, ia terus berlari lagi tidak mempedulikan
betapa kakinya babak-belur dan kainnya robek di sana-sini. Sanggul
rambutnya terlepas sehingga rambutnya yang hitam panjang terurai.
Untung bagi Pusporini bahwa sinar bulan lenyap tertutup mendung dan
malam gelap pekat sehingga agak sukarlah bagi Sariwuni untuk
mengejarnya. Biar pun Pusporini tidak dapat melakukan perjalanan cepat
menuruni bukit di dalam gelap itu, namun sama pula halnya dengan
Sariwuni yang juga harus berhati-hati sekali karena selain jalan amat
licin, juga amat gelap dan banyak jurang di situ.
Akhirnya Sariwuni berteriak keras memanggil nama Gagak Dwipa dan Gagak
Kroda untuk membantu nya mengejar Pusporini. Kedua orang Gagak ini tentu
saja cepat bangkit berdiri dan berlari ke arah datangnya suara
Sariwuni. Mereka ingin menyenangkan hati wanita cantik yang membuat
mereka tergila-gila ini.
Seperti kita ketahui, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda adalah kedua orang di antara Lima Gagak Serayu.
Semenjak gerombolan mereka gagal menyerang Selopenangkep bahkan
dihancurkan oleh pasukan yang dipimpin Adipati Tejolaksono sendiri,
mereka menyembunyikan diri di dalam hutan-hutan dengan hati penuh
dendam.
Kemudian tibalah saat bagi mereka untuk membalas dendam ketika melihat
pasukan-pasukan asing yang dipimpin oleh orang-orang Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Cola. Mereka lalu membawa pasukan yang masih ada untuk
menggabungkan diri dan bahkan menghambakan diri kepada pasukan asing
yang dipimpin banyak orang pandai itu.
Setelah Gagak Dwipa dan Gagak Kroda. mendekat, Sariwuni dan kedua orang
laki-laki tinggi besar ini melanjutkan pengejaran mereka terhadap
Pusporini.
Dara remaja itu terus berlari ke depan, menuruni bukit, meraba-raba dan
merangkak-rangkak dalam gelap, sebentarpun tidak berani berhenti. Apa
lagi ia mendengar suara tiga orang pengejarnya di belakang! Tiga orang
itu biar pun tidak tampak olehnya, namun selalu berada di belakang,
suara mereka kadang-kadang jauh, akan tetapi kadang-kaclang amat dekat.
Malam telah berganti pagi, cuaca gelap menjadi remang-remang ketika
akhirnya Pusporini tiba di kaki gunung. karena kini cuaca tidak segelap
tadi sehingga jalan di depan tampak remang-remang, Pusporini menjadi
girang hatinya.
“Heee, itu dia...!” Tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang, suara seorang laki-laki yang parau..
“Pusporini, hendak lari ke mana engkau?”
“Kejar...!”
Mendengar suara-suara ini, Pusporini tanpa menoleh lagi lalu mengerahkan
seluruh kepandaiannya, lari secepatnya ke depan memasuki sebuah hutan
di kaki gunung itu.
Karena khawatir, ia lupa akan kelelahannya, lupa bahwa tubuhnya sudah
lelah sekali, kedua kakinya lemas dan pandang matanya berkunang. Ia
berlari terus, secepatnya masuk hutan. Teriakan-teriakan itu masih
terdengar di belakang, akan tetapi makin perlahan yang berarti bahwa
jarak di antara mereka makin jauh.
Sambil berlari cepat, Pusporini memutar otaknya yang tadi digelapkan
oleh rasa ngeri dan takut. Ah, mengapa ia lari-lari seperti orang
dikejar setan? Pengejarnya hanya tiga orang! Takut apa? Kalau mereka
dapat menyusulku, akan kulawan saja. Belum tentu aku kalah, demikian
dara remaja yang tadihya ketakutan karena pengalaman hebat di puncak
Gunung Mentasari itu kini mulai mendapatkan kembali ketabahannya.
Pada hakekatnya, Pusporini adalah seorang dara yang pemberani. Dia
keturunan orang sakti. Ayahnya yang tak pernah dilihatnya karena telah
meninggal dunia di waktu ia masih dalam kandungan ibunya, Pujo, adalah
seorang ksatria perkasa. Juga ibunya, Roro Luhito bukanlah wanita
sembarangan, melainkan murid Sang Resi Telomoyo pertama yang memuja
Hanoman.
Selain menuruni watak ksatria ayah bundanya, juga sejak kecil Pusporini
telah digembleng oleh kakak misannya, Adipati Tejolaksono yang menjadi
gurunya. Tidak, Pusporini bukanlah seorang dara penakut.
Dia seorang dara perkasa yang' biar pun belum matang ilmunya, namun
telah mempelajari pelbagai aji kesaktian yang hebat-hebat. Kalau semalam
ia melarikan diri penuh kengerian dan ketakutan adalah karena ia
mengalami goncangan batin yang hebat menyaksikan peristiwa mengerikan di
puncak Gunung Mentasari. Kini, berbareng dengan munculnya sinar
matahari. pagi, batinnya mulai tenang kembali dan keberaniannya mulai
timbul.
Tiba-tiba dara ini menahan jeritnya dan tubuhnya roboh terguling ke atas...sepasang paha manusia.
Ketika ia memandang, hampir ia menjerit kaget dan marah karena mendapat
kenyataan bahwa ia jatuh terduduk di atas pangkuan seorang laki-laki
muda yang tampan! Ketika lari tadi, cuaca masih remang-remang dan
kakinya tersandung sehingga tubuhnya terguling. Ternyata yang menyandung
kakinya bukanlah akar pohon melainkan dua buah kaki pemuda itu yang
dilonjorkan, sedangkan tubuh pemuda itu bersandar pada pohon cemara.
Pemuda itu tadinya tertidur melenggut dan kini berseru kaget sambil
membuka matanya. Sejenak ia tertegun, memandang muka yang amat cantik,
yang amat dekat dan kini sepasang mata indah itu terbelalak.
Kemudian pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya dan mencubit telinganya sendiri sambil berkata,
“Segala puji bagi Sang Hyang Widhi...! Masih mimpikah aku...? Mimpi
bulan jatuh di pangkuanku, akan tetapi... ah, Andika tentulah seorang
bidadari dari bulan...!”
Saking kagetnya, Pusporini sampai kesima dan sampai lama ia terduduk di
atas pangkuan pemuda itu. Mereka saling pandang dengan muka berdekatan,
wajah pemuda itu penuh kekaguman dan heran, wajah Pusporini penuh
kekagetan dan kemarahan. Setelah dapat menguasal rasa kagetnya,
kemarahan memuncak di dalam hati Pusporini.
Ia merasa malu dan marah bukan main. Sungguh seorang pemuda yang kurang ajar, berani mati memangkunya!
“Plak-plak...!”
Dua kali tamparan tangannya yang dilakukan keras sekali membuat pemuda
itu mencelat dan bergulingan beberapa kali. Tamparan bukan sembarang
tamparan, melainkan pukulan telapak tangan dengan Aji Pethit Nogo yang
tepat mengenai pipi dan leher.
Akan tetapi, sungguh pun pemuda itu terlempar dan bergulingan,namun ia
segera bangkit duduk kembali, mengelus-elus pipinya yang menjadi merah
dan matanya memandang terbelalak, mulutnya mengomel,
“Aduh-aduh..., ada bidadari kok begini keji dan tangannya seperti besi panas...!”
Melihat betapa pemuda kurangajar itu tidak mati,bahkan lukapun tidak
oleh pukulannya, Pusporini menjadi makin penasaran dan marah. Ia sudah
berdirl dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu sambil
membentak,
“Heh, engkau manusia keparat, tak tahu susila, kurangajar!”
Pemuda yang masih duduk itu terbelalak, menoleh ke belakangnya akan
tetapi karena tidak melihat lain orang, baru ia mau mengerti bahwa
dirinyalah yang dimaki.
Karena telunjuk dara itu menuding tepat ke arah hidungnya, iapun lalu menunjuk hidungnya sendiri dan berkata,
“Siapa kurangajar? Aku? Kurangajar...? Mengapa...?”
“Siapa lagi kalau bukan engkau? Ihh, manusia tak tahu malu, mengapa engkau berani mati memangku aku?”
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal, lalu meloncat bangun
dan bertolak pinggang. Baru sekarang Pusporini melihat bahwa pemuda itu
masih remaja, sepantar dengannya, tubuhnya, tegap jangkung dan wajahnya
tampan, matanya bersinar seperti mata harimau.
Pemuda itu tersenyum mengejek dan makin panaslah hati Pusporini.
“Eh-eh, nanti dulu... Enak benar kau bicara, gadis! Aku memangkumu?
Hemm, aku sedang tidur dan tahu-tahu kau menjatuhi pangkuanku sampai
kedua pahaku seperti akan remuk, dan kau bilang aku kurangajar
memangkumu? Ini namanya maling teriak maling!”
Kemarahan Pusporini makin menjadi. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya berkilat dan ia mengepal kedua tinjunya.
“Siapa maling? Engkau maling! Engkau kecu (perampok), engkau copet!
Engkau menjegal kakiku ketika aku sampai aku terjatuh! Hemm, bedebah,
apa kau masih mau menyangkal? Berani berbuat tidak berani mengaku, apa
ini laki-laki namanya?”
Pemuda itu menggosok-gosok hidungnya, makin terheran dan makin marah.
“Aku menjegalmu? Walah walah, engkau ini perawan galak seperti sarak
gadungan! Aku sedang tidur dan kakiku terlonjor, kau yang jalan tidak
melihat-lihat, nabrak saja masih hendak menyalahkan aku?”
Baru kali ini Pusporini bertemu dengan seorang laki-laki yang
dianggapnya cerewet dan selalu membantahnya. Kemarahannya membuat ia
hampir menangis. Ia membanting kaki kanan dan membentak,
“Laki-laki bosan hidup! Kenapa menaruh kaki sembarangan saja?”
Pemuda itu pun marah dan membalas gerakan Pusporini dengan membanting
kaki kanannya juga, selain untuk meniru mengejek juga karena tidak mau
kalah, lalu berkata,
“Dan engkau ini perempuan yang agaknya semalam kesurupan setan dan
sekarang masih marah-marah tidak karuan. Pagi-pagi buta sudah menabrak
seperti maling kesiangan, sudah begitu masih memaki-maki orang tidak
karuan. Benar-benar perempuan tidak genap kau ini!”
“Jahanam busuk! Berani kau, ya...?”
“Mengapa tidak berani?”
Dua orang muda remaja itu sudah saling berhadapan, memasang kuda-kuda dan slap untuk saling serang.
Keduanya sudah marah sekali, mereka sebelum bertanding tangan sudah
bertanding pandang mata, sekan-akan hendak saling bakar dengan pandang
mata masing-masing. Biar pun sedang marah, kini Pusporini teringat bahwa
pemuda ini tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo dan hal ini membuktikan
bahwa pemuda kurang-ajar ini memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh
dipandang ringan.
Di lain fihak,setelah mencicipi aji Pethit Nogo tadi, si pemudapun
maklum bahwa gadis betapa pun galak dan kasarnya, adalah seorang dara
yang sakti. Maka keduanya bersikap hati-hati dan sedapat mungkin menahan
nafsu amarah. Inilah pula sebabnya mengapa mereka tidak segera turun
tangan menyerang, bahkan saling menanti lawan turun tangan lebih dulu.
“Pusporinl, hendak lari ke mana engkau?”
Suara inl mengejutkan Pusporini yang cepat membalikkan tubuh. Kiranya
tiga orang pengejarnya sudah berada di situ, di hadapannya! Akan tetapi
Sariwuni yang sudah melompat ke depan Pusporini, tiba-tiba melihat
pemuda itu dan la berdiri seperti orang kesima. Tanpa mengalihkan
pandang mata dari pemuda itu, Sariwuni berkata kepada dua orang
temannya,
“Kakang Gagak berdua, harap bantu aku menangkap dara itu!”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang tadinya merasa kecewa dan menyesal
bahwa mereka terganggu kesenangan mereka di puncak Mentasari tadi, dan
pengaruh anggur darah masih membuat darah mereka bergolak panas, kini
menjadi girang mendapat tugas menangkap dara remaja yang jelita itu.
Dengan mata berkilat-kilat dan mulut menyeringai, kedua tangan
dikembangkan mereka kini mengurung dan mendekati Pusporini, sikap mereka
seperti dua orang anak nakal hendak menangkap seekor anak itik!
Pusporini tidak takut, hanya agak jijik menghadapi wajah dua orang yang
beringas menyeramkan itu, sepasang mata mereka merah terbelalak, mulut
menyeringai penuh nafsu. Ia mundur-mundur dan memasang sikap, siap untuk
bertanding mati-matian.
Adapun Sariwuni kini melangkah maju mendekati pemuda itu dengan pandang
mata penuh gairah dan ujung lidahnya yang merah dan kecil menjilat-jilat
bibir.
Sikapnya seperti seekor ular kelaparan melihat seekor katak hijau yang
montok gemuk, seolah-olah hendak ditelannya pemuda itu bulat-bulat! Pada
saat itu, seperti juga kedua orang temannya, wanita yang pada dasarnya
memang berwatak cabul ini masih berada di bawah pengaruh anggur darah.
Kini melihat seorang pemuda remaja yang demikian tampan dan ganteng,
jauh bedanya dengan semua pria yang dilihatnya malam tadi di puncak
Gunung Mentasari, tentu saja ia menjadi tertarik sekali.
“Duhai, bocah bagus. Andika siapakah? Dan ada hubungan apakah dengan gadis ini?”
Pemuda ini tidak menjawab, melainkan menoleh ke arah Pusporini yang
menghadapi ancaman dua orang laki-laki tinggi besar yang liar itu. Gagak
Dwipa mengembangkan kedua lengannya yang besar dan berbulu, menyeringai
lebar dan berkata,
“Marilah, manis, kau menyerah saja,kupondong kembali ke puncak... ha-ha-ha!”
“Eh, bocah ayu, engkaupun boleh memilih aku.Kuemban... kupundak...
ataukah kau ingin gendong-pekeh? Ha-ha-ha, Gagak Kroda siap, cah denok!”
Pusporini tidak takut, akan tetapi menyaksikan sikap mereka dan
mendengar kata-kata mereka, ia mengkirik,kedua kakinya menggigil saking
jijik dan ngeri.
Pada saat itu, Gagak Dwipa menubruk hendak memeluk pinggang yang ramping
itu dan pada saat berikutnya, Gagak Kroda juga menyambar lengannya.
Namun dengan gerakan amat manis dan indah, tubuh yang kecil ramping itu
sudah menyelinap dan kedua orang raksasa itu menubruk angin belaka.
Jangankan tubuh dara jelita, ujung kainnyapun tak dapat mereka sentuh!
Pemuda itu tertawa dengan dada lapang. Ia tidak khawatir lagi. Melihat
gerakan Pusporini, tahulah ia bahwa tidak akan mudah bagi dua orang
raksasa itu untuk dapat menangkap dara remaja yang amat lincah itu. Ia
tertawa sambil menghadapi Sariwuni lagi.
“Andika ingin tahu namaku? Aku Joko Pramono, bocah gunung kabur kanginan
(tertiup angin) yang tidak menentu tempat tinggalku. Hubunganku dengan
dia itu? Ah, bukan apa-apa. Bukan sanak bukan kadang akan tetapi kalau
mati ikut kehilangan. Engkau dan dua orang raksasa itu mau apakah?
Mengapa mengganggu orang?”
Sariwuni tertawa sehingga tampak deretan giginya yang rata dan putih menghias rongga mulut yang merah.
“Hihihik, bocah bagus, engkau lucu juga. Tidak perlu engkau mencampuri
urusan kami. Lebih baik kau mendekat sini,kita omong-omong yang enak.
Engkau mau bukan? Engkau tentu suka bercakap-cakap dengan Sariwuni, ya?
Aduh, bocah bagus, bocah ganteng, sinilah mendekat!”
Sariwuni yang sudah tergila-gila akan ketampanan wajah pemuda itu
melangkah maju, tangannya meraih, jari-jarinya hendak mencubit dagu.
Pemuda itu melangkah mundur sehingga cubitan Sariwuni tidak mengenai
sasaran. Kini pemuda itu memandang penuh perhatian, melihat betapa
wanita cantik di depannya itu pakaiannya tidak karuan, hampir telanjang
sehingga tampak sebagian besar dada dan pahanya.
Pemuda itu mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala lalu berkata,
“Aduh-aduh, sialan benar hari ini aku! Mimpi kejatuhan bulan kiranya
dalam kenyataan bertemu dengan bidadari galak lalu disambung bertemu
dengan iblis-iblis laknat yang menyeramkan. Engkau ini siapakah dan mau
apa...?”
Sariwuni yang sudah mabuk itu melangkah maju lagi, membusungkan dada dan
langkahnya lenggang-lenggok penuh daya tarik, matanya melirik tajam
seakan-akan membetot-betot sukma, semyumnya makin panas,
“Cah bagus, jangan menjual mahal, ya? Aku Sariwuni dan aku... ah, aku
amat cinta kepadamu. Kau tampan seperti Harjuna! Aihh... jangan mundur
menjauhkan diri, ke sinilah kau...!”
Kembali Sariwuni meraih dan kali ini dengan kedua tangannya, hendak
memeluk dan merangkul. Akan tetapi dengan gerakan yang tenang namun
cepat pemuda itu sudah melangkah mundur dan mengelak.
“Wah-wah, celaka tiga belas, aku bertemu dengan siluman seperti ini!
Engkau ini manusia apa kok begini nekat? Pergilah dan ajak pergi pula
dua orang kawanmu yang menjemukan itu. Lekas, kalau tidak, jangan
salahkan kalau aku Joko Pramono terpaksa harus turun tangan dan memaksa
kalian bertiga menggelinding pergi dari sini!”
Kini pemuda itu berdiri tegak dan bertolak pinggang, sikapnya menantang.
Sariwuni memandang makin kagum. Pemuda ini tidak hanya tampan akan tetapi juga gagah berani.
Tentu saja ia merasa geli menyaksikan betapa pemuda remaja ini dengan
sikap amat gagah menantang nya! Alangkah lucunya dan ia sama sekali
tidak memandang mata kepada seorang pemuda seperti ini. Kembali ia
melangkah maju dan tertawa.
“Joko Pramono, bocah bagus. Marilah kau turuti hasratku, aaahhh, kau bocah menggemaskan sekali!”
Sariwuni menubruk maju hendak memeluk, akan tetapi kembali ia menubruk
tempat kosong. Heranlah hati wanita ini. Tubrukannya cepat sekali dan ia
sudah memperhitungkan bahwa pemuda itu tak mungkin dapat mengelak, akan
tetapi nyatanya tubrukannya itu luput!
“Aehhh, jangan mengelak, cah bagus...!”
Kembali ia menerjang maju, kini lengan kiri hendak memeluk pinggang dan tangan kanan meraih hendak merenggut leher.
“Perempuan tak tahu malu!”
Joko Pramono tidak lagi mengelak, melainkan miringkan tubuh membebaskan
diri dari pada renggutan dan menangkis lengan kiri Sarlwuni yang hendak
memeluk pinggang.
“Dukk...!”
Sariwuni memekik lirih dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.
Ia kaget bukan main ketika benturan lengan pemuda pada lengannya itu
mendatangkan hawa panas yang menusuk tulang lengannya. Tak pernah
disangkanya bahwa pemuda ini dapat menangkis seperti itu dan mengertilah
ia kini bahwa pemuda ini, sungguh pun masih remaja, namun telah
memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
Berubahlah pandangannya, makin kagum hatinya,dan timbul kemauan hatinya
hendak menaklukkan dan menguasai pria muda yang hebat ini.
“Bagus! Engkau mempunyai sedikit kepandaian, ya? Baik, mari kita
main-main sebentar untuk membangkitkan kegembiraan dan memanaskan darah,
hihik!”
Sariwuni lalu menyerbu ke depan, kini dengan langkah-langkah dan gerak-gerak silat yang cepat bagaikan badai menyerbu.
Sambil membuat gerakan memutar seperti angin lesus,Sariwuni menerjang
maju, tangan kiranya mencengkeram ke arah pusar bawah, tangan kanannya
dengan dua jari menusuk ke arah mata. Inilah serangan yang amat keji,
ganas dan hebat sekali!
“Hemmm..., keji seperti orangnya!”
Joko Pramono menghadapi serangan yang dahsyat ini dengan sikap tenang
sekali. Pemuda ini jenaka dan sikapnya gembira, juga berwatak nakal suka
menggoda akan tetapi berbeda dengan watak dan sikapnya, gerakannya
dalam menghadapi lawan bertempur amatlah tenangnya.
Tubuhnya membuat gerakan ke samping, menggeser kaki mengganti kuda-kuda,
kedua lengannya bergerak ke atas dan ke bawah menyambut kedua serangan
lawan. Tusukan ke arah mata ia biarkan saja, akan tetapi jari-jari
tangannya sudah menghadang di depan mata, mengancam pergelangan tangan
lawan yang hendak menusuk,sedangkan cengkeraman lawan ke arah pusarnya
itu ia tangkis dengan kipatan lengannya data atas ke bawah.
“Aihhh, kau boleh juga!”
Sariwuni terpaksa menarik kembali kedua serangannya, kalau dilanjutkan
ia akan menderita rugi. Akan tetapi ia menarik kembali untuk mengirim
serangan ke dua yang dahsyat sekali, kakinya menendang dari samping
menuju lambung, disusul tubuhnya yang mendoyong ke depan mengirim
pukulan dengan kepalan tangan kanan menuju ke ulu hati.
Joko Pramono ternyata bukanlah seorang pemuda sembarangan. Serangan yang
dilakukan Sariwuni dengan amat cepatnya ini tentu akan merobohkan
seorang jagoan, atau setidaknya akan membuat lawan terdesak dan bingung.
Akan tetapi, pemuda itu dengan tenang saja menanti datangnya sambaran
kaki, kemudian secara tiba-tiba menggerakkan tangan kiri dari bawah ke
atas dan tangan kanannya dari atas ke bawah menangkis pukulan.
Sariwuni terkejut karena kakinya kini tertangkap pergelangannya. Ia
memekik dan kaki kirinya menyusul dengan tendangan berantai, akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya terlontar ke belakang tanpa dapat ia cegah lagi,
karena Joko Pramono telah menyentak kaki kanannya itu ke atas lalu
mendorong.
Hanya dengan gerak loncat jungkir-balik di udara sampai tiga kali saja
yang mencegah tubuh Sariwuni terbanting. Hampir saja ia menderita malu
dan kini wajahnya yang tadi berseri menjadi merah, matanya
berkilat-kilat, tanda bahwa kekaguman dan cinta kasihnya tertutup oleh
hawa amarah yang mendidih.
“Bocah keparat! Kau tidak mengenal cinta kasih orang,kau tidak ingin senang dan sudah bosan hidup? Baik, kau mampuslah!”
Setelah berkata demikian, Sariwuni menerjang maju lagi dengan kecepatan
kilat sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat bukan main ilmu
kepandaian wanita ini. Sebelum menjadi anak buah Wasi Bagaspati,
Sariwuni sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Apa lagi setelah ia
menjadi murid Wasi Bagaspati, murid tersayang dan juga kadang-kadang
menjadi kekasih sang wasi, ia menerima pelbagai aji kesaktian yang
dahsyat, di antaranya adalah Aji Wisakenaka yang tidak mudah dipelajari
sembarang orang.
Terhadap pemuda itu, ia maslh menaruh rasa sayang dan hanya ingin
merobohkan tanpa membunuhnya karena ia masih menaruh harapan untuk
menaklukkan dan menguasai pemuda yang menimbulkan selera nya dan
membuatnya mengilar itu.
Maka biar pun ia kini menerjang dengan dahsyat, ia masih belum
mengeluarkan ajinya yang hebat itu, juga masih belum menyentuh gagang
pedangnya yang terselip di pinggang.
Akan tetapi sekali ini ia benar-benar kecelik.Serangannya yang dahsyat
itu disambut dengan sikap tenang saja oleh Joko Pramono, bahkan kini
pemuda itu yang tahu akan kesaktian lawan, membalas dengan
pukulan-pukulan yang juga cepat dan antepnya tidak kalah oleh lawan!
Terjadilah pertempuran yang amat seru di antara mereka sehingga debu
mengebul di pagi hari itu dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan cepat sekali.
Pusporini sekarang telah menemukan kembali kepribadiannya, menemukan
kembali ketangkasan dan ketabahannya, setelah mengalami guncangan batin
yang hebat di puncak Gunung Mentasari.
Menghadapi pengeroyokan dua orang Gagak, makin lama makin timbul kembali
kegembiraannya bertanding, bangkit kembali semangatnya. Mula-mula,
kedua orang Gagak itu seakan berlomba untuk menangkapnya, untuk memeluk
mendekapnya dan memondongnya kembali ke puncak agar mereka selain dapat
mendekap tubuh yang muda menggairahkan itu, juga akan mendapat pujian
dari Sang Wasi Bagaspati.
Akan tetapi ternyata gadis itu lebih licin dari pada belut, lebih
tangkas dari pada monyet dan tubuh yang langsing itu dapat berkelebatan
laksana seekor burung srikatan! Berkali-kali mereka menubruk, namun
selalu menangkap angin dan ketika Pusporini sudah bangkit benar-benar
semangatnya, dara remaja ini bahkan mengelak sambil menampar!
“Plak! Plenggg...”
Tubuh dua orang raksasa itu terpelanting. Gagak Dwipa jatuh terduduk,
megap-megap seperti ikan terlempar di darat karena dadanya terkena
dorongan telapak tangan yang halus, yang kecil, akan tetapi mengandung
tenaga mujijat itu. Serasa terhenti jalan napasnya dan ia terengah-engah
sambil meman dang dengan mata melotot, penuh keheranan, kekagetan, dan
juga kemarahan.
Adapun Gagak Kroda yang kena ditempiling pelipisnya, terpelanting dan
bergulingan di atas tanah, lalu bangkit duduk dengan mata juling. Bumi
dan pohon-pohon di sekelilingnya serasa berputaran, tanah yang
didudukinya bergelombang. Setelah ia menggoyang-goyang kepalanya dengan
keras, barulah agak reda kepeningan kepalanya.
Pusporini berdiri tegak menanti, bibirnya yang manis tersenyum mengejek.
Dia kurang pengalaman sehingga ia tidak tahu bahwa dua orang yang
terkena pukulan Aji Pethit Nogo hanya terpelanting dan tidak tewas atau
terluka itu sesungguhnya merupakan hal yang aneh, menjadi bukti bahwa
kedua orang lawannya itu memiliki kekebalan yang luar biasa. Maka ia
cukup girang melihat betapa tamparan tangan nya membuat kedua lawan itu
roboh.
“Demi iblis...! Tangan kecil halus itu..., kuat benar pukulannya!”
Gagak Dwipa berseru sambil melompat bangun.
“Huh-huh, kita telah bersikap ceroboh tadi, Kakang Dwipa. Kita lupa
bahwa gadis ini adalah adik Tejolaksono, tentu saja bukan sembarangan
bocah.”
Diapun sudah melompat bangun dengan gerakan yang sigap. Gagak Dwipa
melangkah maju menghampiri Pusporini, sikapnya penuh ancaman, wajahnya
bengis ketika ia berkata,
“Hamm, bocah, jangan kau tertawa-tawa dulu dan mengira akan dapat
mengalahkan kami! Kau bocah kemarin sore masih bau pupuk dringo, lebih
baik kau menyerah baik-baik agar kami bawa kembali ke puncak menghadap
sang wasi karena kalau kau tetap berkeras menolak dan terpaksa kami
mempergu nakan paksaan, tidak urung kau akan mengalami sakit-sakit dan
kalau hal ini terjadi, sungguh sayang kalau kulitmu yang halus sampai
lecet-lecet, dagingmu yang muda ranum akan terluka.”
Komentar
Posting Komentar