PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-27


“Dua ekor lutung korengen yang menjemukan! Kalian masih banyak cakap lagi! Sungguh tak tahu diri. Lebih baik kalian cepat-cepat minggat dari depanku sebelum kupatahkan batang leher kalian! Aku Pusporini sama sekali tidak gentar menghadapi gertak sambelmu!”
Gagak Dwipa melebarkan matanya dan menoleh kepada saudaranya.
“Wah..wah, bocah ini memang tidak boleh diberi hati. Hayo, kita beri hajaran biar dia kapok, adi Kroda!”
Dua orang Gagak itu kini menyerbu maju, masih seperti tadi hendak mencengkeram dan menangkap, akan tetapi kalau tadi melakukan hal ini secara sembrono, kini mereka berhati-hati.
Pusporini seorang dara remaja yang cerdik sekali. Biar pun belum banyak pengalamannya dalam pertandingan, namun ia dapat menduga bahwa dua orang ini tentu bertenaga besar sekali dan kalau ia harus mengadu tenaga, la akan menderlta rugi. Oleh karena Itu, la segera mengerahkan ilmunya meringankan tubuh dan biar pun Aji Bayu Sakti yang ia pelajari belum sempurna benar, namun sudahlah cukup untuk membuat tubuhnya berkelebatan cepat sekali sehingga dengan mudah ia dapat mengelak dari tubrukan-tubrukan kedua orang itu.
Gagak Dwipa melengak heran ketika ia menubruk tempat kosong dan tahu-tahu lawannya sudah hilang. Akan tetapi Gagak Kroda cepat menyusul gerakan saudaranya dan menyambar pinggang Pusporini dari belakang.
Kembali gadis itu menyelinap dan hanya hawa pukulan Gagak Kroda saja yang mampu menyentuh pinggangnya. Sambil mengelak,Pusporini sudah menotolkan ujung kakinya ke tanah,sehingga tubuhnya melayang naik, dan cepat ia turun di belakang Gagak Dwipa, tangan kirinya menampar ke arah punggung.
Gagak Dwipa juga bukan seorang lemah. Dia adalah orang pertama dari Lima Gagak Serayu, ilmu kepandaiannya tinggi dan tentu saja ia maklum akan datangnya tamparan dari belakang ini. Kalau tadi dia dan adiknya sampai menjadi korban tamparan tangan Pusporini adalah karena mereka berdua memandang rendah dan mengira bahwa tamparan tangan dara yang halus itu akan menimpa tubuh mereka yang kebal seperti pijatan mesra.
Kini ia cepat miringkan tubuhnya, menekuk siku tangannya dan menangkis tamparan itu. Pusporini tidak menarik kembali tangannya melainkan mengerahkan tenaga dan sengaja mengadu lengannya untuk mengukur tenaga lawan.
“Dukk I”
Lengan yang kecil berkulit halus itu beradu dengan lengan yang besar kasar berbulu, dan akibatnya tubuh Pusporini terpental ke belakang! Akan tetapi hal ini hanya berarti bahwa dara itu kalah dalam hal tenaga kasar,sebaliknya, ia menang dalam tenaga dalam, buktinya raksasa itu kini meringis dan menggosok-gosok lengannya yang beradu dengan lengan dara itu, yang kini terasa panas seperti bertemu besi merah bernyala dan seperti ditusuk-tusuk jarum!.
“Rebahlah!” bentak Gagak Kroda yang marah sekali dan penasaran. Ia menubruk dari belakang, tangannya menghantam ke arah pundak dara itu. Pusporini hanya memutar tumit menggeser kaki.
Lengan yang panjang besar lewat di samping pundaknya, dara ini cepat menusuk dengan jari tangan ke lambung lawan.
“Ngekkk...!”
Gagak Kroda sudah mengeraskan lambung bahkan disusul gerakan tangan menangkis, namun karena lambungnya sudah “dimasuki” jari tangan yang menotok dengan tenaga mujijat itu, seketika tubuhnya berputaran dan ia memegangi lambungnya sambil meringis-ringis.
Perutnya mendadak terasa mulas sekali, seperti diremas-remas dari dalam, seperti orang terlalu banyak makan lombok sehingga kalau saja ia tidak memiliki hawa sakti untuk menahannya, tentu pada saat itu juga ia sudah kecirit-cirit terberak-berak di dalam celana saking nyerinya!
Kemarahan dua orang Gagak itu membuat mereka menjadi gelap mata, tidak ingat lagi bahwa dara ini harus ditangkap hidup-hidup dan dibawa kembali kepada Wasi Bagaspati. Mata mereka menjadi merah, menyinarkan nafsu membunuh, tidak ingat apa-apa lagi.
Dengan teriakan seperti lolong srigala, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda mencabut senjata mereka, yaitu sebuah golok yang melengkung dan tajam sekali sampai berkilau tertimpa matahari pagi.
“Perempuan setan, kuminum darahmu!” bentak Gagak Dwipa.
“Kuganyang dagingmu!” terlak pula Gagak Kroda.
Mereka berdua sudah menerjang maju, membacok dengan golok. Senjata mereka itu menyambar dengan cepat dan kuat sehingga mengeluarkan suara berdesing.
Pusporini maklum akan bahaya serangan mereka itu, maka iapun cepat mengerahkan Aji Bayu Sakti dan mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menyelamatkan diri,berkelebat ke sana ke mari menghindar kan sambaran dua batang golok.
Pertandingan ini kini berjalan cepat sekali karena dua buah golok yang diputar-putar itu berubah menjadi gulungan dua sinar yang menggulung-gulung tubuh dua orang Gagak itu dan menyambar-nyambar ke arah Pusporini.
Namun gadis ini pun hebat, tubuhnya berkelebatan dan yang tampak hanya bayangannya saja yang menyelinap di antara sambaran sinar golok. Untung bagi Pusporini bahwa kedua orang lawannya mempergunakan senjata golok karena justeru dia adalah seorang ahli permainan senjata golok seperti yang diajarkan rakandanya, yaitu Ilmu Golok Lebah Putih.
Biar pun kini ia bertangan kosong, namun ia yang sudah mengenal sifat senjata golok dengan amat baiknya, kini tidaklah begitu terancam dan biar pun tampaknya terdesak, namun selalu dapat menghindar dan menanti kesempatan baik untuk merobohkan dua orang lawannya yang kuat.
Sementara itu, pertempuran antara Sariwuni yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi dari pada Gagak Dwipa atau Gagak Kroda, melawan Joko Pramono pemuda remaja yang jenaka dan aneh itu, makin lama menjadi makin seru dan hebat sekali.
Tadinya Sariwuni yang tergila-gila kepada pemuda ganteng ini tidak mengirim serangan maut, karena ia merasa sayang kalau membunuhnya, hanya ingin menaklukkan dan menguasainya. Akan tetapi makin lama wanita ini menjadi makin penasaran karena semua terjangannya dapat dielakkan atau ditangkis pemuda itu dan setiap lengan mereka bertemu, Sariwuni merasa betapa lengannya tergetar.
Ketika dengan rasa penasaran Sariwuni untuk ke sekian kalinya meloncat tinggi dan dari atas tubuhnya menyambar turun, menubruk dan hendak memeluk pemuda itu agar dapat ia ringkus dan dibuat tidak berdaya, Joko Pramono tertawa mengejek, akan tetapi membiarkan diri terjengkang ke belakang dan terjatuh. Ia seolah-olah sudah tidak berdaya lagi dan Sariwuni girang bukan main.
Melihat pemuda itu terjengkang dan kedua lengannya terbuka seolah-olah menanti dia menubruk untuk dipeluk, Sariwuni tertawa dan berkata,
“Aduh, bocah bagus, akhirnya kau menyerah...”
la menubruk dengan kedua lengan terpentang.
“Aiilhhhh... dessss...!”'
Tubuh Sariwuni terlempar ke belakang sampai empat meter jauhnya dan ia terbanting ke atas tanah lalu bangkit berdiri sambil meringis kesakitan. Kiranya ketika ia menubruk tadi, Joko Pramono yang kelihatan tidak berdaya itu mengirim sebuah tendangan yang tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka sama sekali sehingga tepat mengenai perut lawan!
Wajah yang cantik dan tadinya tersenyum-senyum genit itu seketika berubah. Kini pandang matanya penuh kemarahan, sepasang mata yang indah bentuknya itu kini menjadi melotot merah, hidungnya kembang-kempis dan mulutnya cemberut, wajahnya diliputi kemarahan.
Sariwuni menjadi marah bukan main. Perlahan-lahan tangannya bergerak-gerak, jari tangannya bergerak seperti kuku harimau dan terdengar suara berkerotokan ketika kedua tangannya itu perlahan-lahan berubah warnanya, mula-mula kemerahan, lalu merah tua kehitaman, akhirnya berubah menjadi hitam sama sekali, dari pergelangan tangan sampai ke ujung kuku jari tangannya!
Kini sinar maut membayang di wajahnya, memancar keluar dari matanya ketika ia melangkah maju menghampiri Joko Pramono, mulutnya menyeringai dan membuat wajahnya yang cantik menjadi mengerikan.
“Keparat, tak tahu disayang... kau memang patut mampus!”
Mulutnya mengeluarkan ucapan ini lirih dan lambat, namun secara tiba-tiba ia sudah menerjang maju,kedua tangannya seperti cakar harimau, gerakannya cepat dan kuku serta tangan itu menjadi bayangan hitam yang mengeluarkan bau busuk memuakkan, amis dan keras seperti bau bangkai!.
Joko Pramono cepat menghindarkan diri dengan loncatan tinggi ke kiri. Pemuda ini tidak mau senyum-senyum lagi, tidak berani main-main lagi karena ia maklum betapa hebat dan jahatnya kedua tangan wanita itu.

Biar pun ia tidak tahu jelas aji sesat apakah yang digunakan wanita itu, namun ia dapat menduga bahwa tentu kuku-kuku tangan wanita itu mengandung racun yang ampuhnya menggila. Oleh karena dugaan ini, maka ia tidak berani sembarangan menangkis beradu lengan, malah berdekatan pun ia tidak berani melainkan mengelak dan mengandalkan kecepatan dan kelincahannya urituk menghindar ke sana ke
marl.

Tanpa disengaja atau diatur terlebih dahulu, keadaan pemuda ini sama benar dengan keadaan Pusporini. Juga dara remaja ini berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari pada pengeroyokan dua buah golok lawan yang menyambar-nyambar laksana sepasang tangan maut.
Dan karena pertandingan yang tadinya menjadi dua rombongan ini sifatnya sama, yaitu dua orang muda itu berloncatan ke sana-sini dan lawan-lawannya melakukan pengejaran dan desakan, maka lambat-laun pertandingan itu saling berdekatan, bahkan kini bayangan Pusporini dan Joko Pramono kadang-kadang bertukar tempat dan bersilang!.
Tanpa disengaja oleh dua orang remaja itu, hal ini amat menguntungkan. Di dalam kemarahan para lawan, baik edua orang Gagak yang mencurahkan perhatian sepenuhnya kepada Pusporini, maupun Sariwuni yang mencurahkan perhatian kepada Joko Pramono tanpa mempedulikan hal-hal lain, dua orang remaja ini mendapat kesempatan untuk balas memukul bukan kepada lawan sendiri, melainkan kepada lawan lain yang tidak menyerang mereka!.
Demikianlah, ketika Pusporini meloncat jauh ke belakang, mengelak dari pada sambaran dua batang golok para pengeroyoknya, secara kebetulan sekali ia tiba di dekat Sariwuni yang mendesak Joko Pramono. Pemuda ini pun meloncat jauh dan Sariwuni membalikkan tubuh untuk mengejar. Saat ini pundaknya menyentuh pundak Pusporini dan dara remaja itu dengan kemarahan meluap-luap karena belum juga dapat membalas dua orang lawannya, lalu memutar lengan mengirlm hantaman sambil mengerahkan Aji Bojro Dahono! Aji pukulan yang ampuhnya menggiriskan ini baru ia latih setengah bagian, belum matang, namun akibatnya hebat sekali.
Sariwuni yang sama sekali tidak pernah menyangka akan mendapat hantaman dari Pusporini karena seluruh perhatiannya ditujukan kepada Joko Pramono, menjerit lirih dan tubuhnya terputar-putar, kedua tangannya memegangi kepala yang tadi kena hantaman.
Seluruh kepalanya terasa panas seperti dibakar, membuat air matanya bercucuran tak dapat ia cegah lagi dan akhirnya Sariwuni jatuh terduduk di atas tanah sambil meramkan mata. Wanita ini maklum bahwa ia menderita luka pukulan sakti, maka ia cepat mengerahkan hawa sakti di tubuhnya untuk memulihkan keadaan dirinya.
Pusporini yang tanpa sengaja sudah merobohkan Sariwuni, kini menengok dan alangkah mendongkol hatinya ketika ia melihat betapa pemuda kurang ajar itu kini menggantikan dia menandingi kedua orang Gagak.
Ia mendengus dan menerjang maju, saking marahnya maka terjangannya pun hebat bukan main. Gagak Dwipa dan Gagak Kroda kini sedang mengeroyok Joko Pramono,melihat robohnya Sariwuni hati mereka menjadi girls, juga marah terhadap Pusporini.
Tadi mereka terpaksa melayani pemuda ini karena si pemuda menerjang mereka kalang-kabut seperti orang gila, akan tetapi sekarang melihat Pusporini, mereka cepat memalingkan perhatian mereka dan segera mendesak dara itu dengan kelebatan golok mereka yang makin cepat dan makin kuat saja.
Pusporini terpaksa kembali mengandalkan kelincahan tubuhnya,berkelebat mengelak.
“Eh, Bajul, tidurlah!” tiba-tiba Joko Pramono berteriak.
“Takkk! Aduhhh...”
Gagak Kroda tiba-tiba membuang goloknya dan berjingkrak-jingkrak memegangi kaki kanannya dengan kedua tangan, berloncatan di atas kaki kirinya, berputar-putar dan mengaduh-aduh, meringis dan menangis karena rasa nyeri yang datang dari kakinya itu menembus ke tulang sumsum. Orang yang pernah mengalami betapa nyerinya gares kaki (tulang kering) digajul, tentu akan memaklumi penderitaan Gagak Kroda ini.
Kiranya Joko Pramono yang tadi turun tangan membantu Pusporini, dari belakang ia menyapu kaki dan menggajul gares raksasa itu.
Pusporini makin marah, bukan terhadap lawan melainkan terhadap pemuda kurang ajar itu yang telah berlancang tangan merobohkan musuhnya. Ia mengerahkan tenaga, menyalurkan Aji Pethit Nogo menampar lengan Gagak Dwipa yang datang menyerang dengan golok.
Sambil melejit ke samping, ia menyambut serangan itu dengan tamparan yang menangkis, kemudian terus disusul dengan tusukan jari tangan ke dada lawan dengan Aji Pethit Nogo.
“Trangg... huuukkk!”
Gagak Dwipa yang tadinya terkejut menyaksikan, adiknya berjingkrakan, menjadi terpecah perhatiannya. Ketika lengannya berciuman dengan jari-jari tangan yang penuh berisi hawa sakti Aji Pethit Nogo, lengan itu sendiri menjadi lumpuh sehingga goloknya terlepas, kemudian totokan jari tangan pada dadanya membuat napasnya seketika terhenti.
Gagak Dwipa menekuk tubuhnya ke depan, terbatuk-batuk dan terengah-engah. Kemudian iapun lari tunggang-langgang karena melihat betapa Sariwuni dan Gagak Kroda juga sudah lari mendaki bukit.
Gagak Kroda masih mengaduh-aduh dan terpincang-pincang, Sariwuni lari sambil memegangi kepala seolah-olah wanita itu khawatir kalau-kalau kepalanya copot, sedangkan Gagak Dwipa lari dengan membungkuk-bungkuk dan terengah-engah.
Joko Pramono berdiri menolak pinggang dan tertawa bergelak memandang ke arah tiga orang yang sedang berlomba melarikan diri itu. Akan tetapi tiba-tiba ia melempar tubuhnya ke kiri, menjatuhkan diri dan bergulingan, mengelak dari serangan Pusporini yang, memukulnya bertubi-tubi dan gencar.
“Eh-eh... wah... Apa-apaan ini?”
Joko Pramono sudah melompat berdiri dan kini berdiri menghadapi Pusporini yang memandangnya dengan sepasang mata marah.
“Tidak ada hujan tidak ada angin, kau menyerang seperti kilat menyambar-nyambar! Apa... kau... begini...?”
Joko Pramono meraba dahi dengan telunjuk dimiringkan. Terbelalak mata Pusporini saking marahnya. Cuping hidungnya kembang-kempis, mendengus-dengus, dadanya turun naik bergelombang.
“Apa? Kau anggap aku gila? Kau yang miring otakmu, tidak jejeg! Engkau yang gila,gendeng, edan, goblok,,tolol!”
“Heeitit, heeittt, cukup! Kalau kau tidak miring, kenapa engkau marah-marah dan menyerangku seperti seekor kucing terpijak ekornya?”
Mata yang jernih bersinar-sinar itu makin lebar.
“Apa? Kau maki aku kucing? Berani benar kau, keparat jahanam! Engkau monyet munyuk, lutung kethek! Engkau celenggotheng,bajul barat, engkau tikus kadal coro...”
“Walah-walah..., cukup! Katakan saja aku ini segala macam binatang di hutan, kan lebih lengkap dan tidak perlu menghambur-hamburkan kata-kata? Eh, engkau bocah perempuan yang galak seperti kucing beranak,kenapa engkau marah-marah dan membenci aku begini rupa? Kita saling kenalpun tidak, kenapa engkau memusuhiku?”
Pusporini menudingkan telunjuknya ke arah hidung Joko Pramono dan kemball pemuda ini merasa tidak enak kalau tidak meraba-raba hidungnya yang ditunjuk.
“Engkau pemuda keparat. Engkau bocah yang masih hijau berani bertingkah di depanku! Engkau telah melakukan dosa dua kali dan masih pura-pura bertanya lagi! Hemm, aku tidak akan sudah kalau belum memenggal batang lehermu!”
Joko Pramono kini meraba lehernya dan bergidik. Galak benar wanita ini, akan tetapi juga amat lucu.
“Hemm, memang aku masih hijau, akan tetapi setidaknya hijau tua seperti daun, sedangkan kau masih hijau pupus! Kau bilang aku mempunyai dua macam dosa? Wahai, ampunilah kiranya hambamu, Sang Hyang Dewi dari kahyangan! Kalau hamba berdosa sampai dua kali, dosa apakah gerangan?”
Pemuda itu sengaja mengejek karena ia merasa penasaran sekali.
“Dasar laki-laki bajul yang lidahnya bercabang!”
Mendengar ini, otomatis Joko Pramono menjulurkan lidahnya keluar dari mulut dan matanya sampai menjadi juling, kedua manik mata mendekati hidung ketika ia berusaha sedapat mungkin melihat ujung lidahnya, untuk melihat apakah lidahnya benar-benar bercabang seperti lidah ular.
Gerakan ini tidak dibuat-buat dan amatlah lucunya sehingga hampir saja Pusporini tertawa. Gadis ini pun berwatak lincah periang, akan tetapi karena ia ingat bahwa pada saat itu ia sedang marah, maka tentu saja ia tidak sudi tertawa, bahkan segera menyambung katakatanya,
“Manusia tak tahu diri! Pertama, engkau tadi secara kurang ajar dan tidak sopan telah melanggar susila, berani mampus engkau memangku aku setelah menjegal kakiku ketika aku lari. Dosa ini saja sudah cukup menjadi sebab mengapa aku memusuhimu, kemudian kau susul dengan dosa ke dua, yaitu kau berani sekali membantu aku merobohkan seorang di antara pengeroyokku! Ini namanya penghinaan dan kau memandang rendah kepadaku. Apa kaukira aku butuh akan bantuanmu? Apa kaukira engkau ini yang paling gagah, yang paling pandai; yang paling perkasa di dalam dunia maka kauanggap perlu sekali membantuku?”
Joko Pramono menjadi penasaran sekali. Ia membusungkan dadanya yang bidang, dagunya berkerut sehingga lekuk di tengahnya tampak nyata, giginya berkerot dan matanya yang tajam itu bersinar-sinar.
“Eh-eh-eh, nanti dulu. Enak saja engkau menjatuhkan fitnah. Memfitnah lebih keji dari pada membunuh, kau tahu? Pertama-tama kau fitnah aku menjegal kakimu dan memangkumu. Padahal sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, aku sedang tidur dan kakiku kulonjorkan, siapa menjegal orang? Apakah engkau sendiri yang tidak dapat menggunakan mata dengan baik, tidak melihat kakiku, kau tendang dan sandung saja sampai kau terjatuh ke atas kedua pahaku. Bukan aku menjegal dan memangku, malah engkau sendiri yang menyandung dan menjatuhi pangkuanku! Sekarang hal ke dua yang kaukatakan dosaku itu. Kau bilang aku membantumu? Sama sekali tidak! Malah engkau sendirilah yang mula-mula membantuku dan memukul iblis betina tadi sampai ia roboh. Karena dua orang laki-laki raksasa tadi adalah kawan-kawan si iblis betina, tentu saja aku lalu menyerang mereka dan berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Aku sama sekali tidak membantumu, justeru engkaulah yang pertama kali membantuku dengan merobohkan iblis betina itu!”
“Wah, memang kau pintar bicara seperti Patih Sangkuni,atau Pendeta Durna! Kalau aku tersandung kakimu dan terjatuh, itu tidak kusengaja, keparat! Dan kalau aku menyerang si perempuan rendah Sariwuni atau membunuhnya sekali pun, sama sekali bukan membantumu. Kau ini apaku maka aku membantu-bantu? Huh! Bukan membantumu, memang dia musuh besar keluarga kami, musuh besar rakanda Adipati Tejolaksono!”
Dalam ucapan ini, selain menyangkal dan membantah, juga dara remaja ini setengah sengaja menyebut nama rakandanya yang ia tahu amat terkenal untuk menaikkan “gengsinya” di mata pemuda itu.
Hati dara ini girang bukan main karena ternyata dugaannya tepat. Pemuda itu kelihatan terkejut sekali dan wajahnya berubah, tidak tersenum-senyum seperti tadi, bahkan lalu berkata,
“Apa? Engkau keluarga Sang Adipati Tejolaksono di Selopenangkep?”
Pusporini mengangkat dadanya yang membusung, matanya bercahaya, wajahnya berseri penuh kebanggaan ketika ia berkata,
“Aku Raden Ajeng Pusporini, adik misan gustimu Adipati Tejolaksono!”
Ia percaya bahwa pemuda ini sekarang tentu akan lenyap watak dan sikapnya yang sombong, tentu akan cepat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepadanya, menggigil ketakutan karena telah berani bersikap kurang ajar terhadap sang puteri bangsawan sehingga ia akan dapat dengan sepuas hati menegur dan menghukumnya.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu tertawa mengejek, lalu berkata,
“Ah, pantas saja engkau begini galak dan sombong! Kiranya engkau adalah anggota keluarga kadipaten yang terkenal sombong itu! Hemm...!”
Pusporini kaget dan marah sekali. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini sama sekali tidak menaruh hormat bahkan mengejek dan menyatakan bahwa keluarga Kadipaten Selopenangkep sombong. Ia membanting kaki dan menudingkarf telunjuknya, mukanya merah dibakar kemarahan.
“Heh, si keparat bocah gunung nangnung yang sangat kurang ajar! Berani kau menghina Kadipaten Selopenangkep? Sebelum aku turun tangan membunuhmu, mengakulah siapa gerangan engkau ini agar kelak aku dapat menerangkan kepada rakanda adipati. Kalau sudah terlanjur aku turun tangan, tentu mayatmu tidak akan dapat memberi keterangan lagi!”
Pemuda itu tertawa lagi, tertawa mengejek. Wajahnya yang tampan itu membuat Pusporini makin marah karena ketampanan dan senyum itu mengejeknya!
“Sombongnya bukan main! Eh, perawan bangsawan, kau dengarlah. Aku bernama Joko Pramono. Rumahku adalah jagat ini, asalku dari atas angin. Hidupku di alam bebas, beratap langit berlantai tanah bertilam rumput, berdinding batu dan pohon, siang hari berdian surya, malam hari berdian bulan dan bintang...”
“Stop... Aku hanya ingin mengetahui namamu.Tidak peduli kau datang dari dasar neraka, hari ini adalah saat ajalmu...!”
“Wah, sumbarmu seperti kicau burung nuri! Boleh coba-coba kalau kau mampu membunuhku, kalau tidak mampu, aku akan menawanmu, bocah sombong...!”
“Setan mampuslah!”
Pusporini berseru keras dan tubuhnya sudah menerjang maju, mengirim pukulan dengan Aji Pethit Nogo mengarah pelipis kiri lawan.
Joko Pramono bukanlah seorang pemuda yang sembrono. Biar pun wataknya periang dan jenaka, bahkan agak ugal-ugalan, akan tetapi ia cukup mengerti bahwa dara remaja yang galaknya kepati-pati (amat luar biasa) ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan dan bahwa pukulan yang dilancarkan ini adalah aji yang amat ampuh.
Maka ia tidak berani menerimanya, apa lagi pelipis merupakan bagian kepala yang ringkih (lemah). Tanpa merubah kedudukan tubuh karena ingin menguji keampuhan tangan lawan, Joko Pramono mengangkat tangan kiri ke atas, sengaja menerima dan menangkis telapak tangan dara itu dengan telapak tangannya yang dikipatkan.
“Plakkk...!”
Dua tangan bertemu dan akibatnya Joko Pramono terpelanting ke belakang dan hampir saja ia roboh kalau ia tidak cepat melompat ke atas dan berjungkir-balik.
Matanya terbelalak memandang dara itu, penuh kekaguman dan kekagetan. la sudah menyangka bahwa Pusporini seorang dara sakti, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa pukulannya ampuhnya bukan buatan!
“Ihh, takutkah engkau? Laki-laki macam apa, baru sekali gebrakan saja mukanya sudah berubah hijau!”
Pusporini mengejek dan menerjang maju lagi.
“Aehh, sombongnya. Siapa takut padamu!”
Joko Pramono panas juga perutnya oleh ejekan ini, ketika Pusporini menghantamnya lagi dengan Aji Pethit Nogo, ia cepat miringkan tubuh mengelak dan secara tiba-tiba tubuhnya merendah, hampir berjongkok dan dari bawah ia mendorong dengan kedua tangannya ke arah tubuh lawan.
Pusporini terkejut ketika merasa betapa dari kedua tangan pemuda itu menyambar keluar hawa pukulan yang amat kuat dan panas. Cepat ia mengerahkan tenaga dan menangkis dengan tangan kanannya.
“Wesss...!”
Sebelum tangannya yang menangkis itu bertemu dengan kedua tangan lawan, tubuhnya sudah terdorong ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi, kakinya terhuyung-huyung ke belakang dan hampir ia roboh.
Untungnya tangan kirinya dapat menyambar ranting sebatang pohon sehingga ia dapat meloncat dan mengatur keseimbangan tubuhnya. Kini ia memandang dengan penuh kemarahan. Kedua pipinya merah dan matanya menyinarkan cahaya berapi.
“Heh-heh-heh, kau kenapa? Jerih sekarang, ya? Belum lecet belum benjol sudah jerih. Wanita gagah macam apa ini?” Joko Pramono balas mengejek.
“Ooohhh, kau... kau... rasakan pembalasanku, bocah dusun!”
Dengan kemarahan yang meluap-luap kini Pusporini menerjang maju, mengerahkan kegesitan dengan Aji Bayu Sakti sambil menggerakgerakkan kedua lengan mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Saking jengkel dan marahnya menghadapi pemuda yang pandal mengejek dan tidak kalah sombongnya ini, ia menyerang seperti seekor banteng terluka, menyeruduk saja tanpa perhitungan lagi, penuh nafsu dan keinginannya hanya satu, yakni merobohkan pemuda sombong kurang ajar ini!
Justeru kemarahan meluap-luap inilah kesalahan Pusporini. Sesungguhnya dara remaja ini telah memiliki ilmu kesaktian yang hebat dan jarang ada tandingnya, dan sungguh pun pemuda itu pun ternyata sakti mandraguna, namun tingkat kepandaiannya tidaklah jauh lebih unggul dari pada Pusporini.
Tingkat mereka seimbang dan biar pun Pusporini agaknya kalah sedikit dalam hal tenaga, namun dara ini menang sedikit dalam kecepatan sehingga kalau mereka bertanding dalam keadaan sama tenangnya, tentu tidak akan ada yang dapat dikalahkan dalam waktu singkat.
Akan tetapi, Pusporini seperti terbakar saking gemas dan marahnya, sebaliknya pemuda itu tenang-tenang saja bahkan kadang-kadang tertawa mengejek dan tersenyumsenyum.
Di sinilah letak kekalahan Pusporini yang makin lama menjadi makin marah karena terdorong oleh hati yang penasaran. Sampai sejam lebih ia menerjang dan mengeluarkan pelbagai aji pukulan yang ampuh-ampuh, namun selalu dapat dihindarkan pemuda itu dengan mengelak atau menangkis. Belum pernah satu kali juga ia berhasil mengenai tubuh pemuda itu maka ia menjadi makin ganas dan nekat.
“Sudahlah, sampai habis seluruh kepandaianmu, sampai putus napasmu, tidak mungkin kau dapat mengalahkan aku, heh-heh!” Joko Pramono mengejek.
“Ssssetan I”
Pusporini mendesis marah dan menghantam dengan aji pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggi riskan itu. Biar pun belum sepenuhnya ia menguasai aji pukulan ini, namun kalau mengenai kepala lawan, kepala itu akan hancur berikut isi kepalanya, kalau mengenai dada tentu akan ambrol dengan tulang iga patah-patah.
“Heeeiiiittt!”
Dengan gerakan indah dan lagak mengejek memanaskan hati Joko Pramono merendahkan tubuhnya sehingga dua pukulan tangan dara itu lewat di atas kepalanya. Dari bawah, dengan cepat sekali kini Joko Pramono mengirim pukulan dorongan seperti tadi, pukulan dorongan yang berhawa panas dan kuat sekali, ke arah lambung Pusporini.
Dara itu cepat mencelat ke atas sambil menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit dan tubuhnya terguling. Kiranya pemuda itu tadi memukul hanya sebagai gertakan atau pancingan saja karena begitu dara itu mengelak, kakinya menjegal dan tepat mengenai kedua kaki Pusporini, mengait betis sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Pusporini terguling.
Sebelum dara itu sempat memperbaiki posisinya, Joko Pramono sudah menubruk, menangkap kedua lengan Pusporini, memutar dan menelikungnya ke belakang.
“Kau curang...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!”
Pusporini meronta-ronta dan berteriak-teriak marah. Ia marah sekali sampai hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya terengah-engah.
“Enak saja dilepaskan. Susah-susah aku merobohkanmu...”
“Kau curang...! Kau menjegal! Mana ada aturannya bertanding pakai jegal-jegalan?”
Pusporini memprotes. Akan tetapi pemuda itu tidak mempedulikannya, bahkan kini dara itu merasa betapa kedua pergelangan tangannya dibelenggu dengan ikat kepala pemuda itu!.
“Keparat! Bedebah! Setan kurang ajar kau! Lepaskan aku kalau tidak...!”
“Kalau tidak... mau apa...? Enak saja Joko Pramono bertanya, suaranya penuh ejekan.
“Kubunuh kau... Kucekik kau... Ku...!”
“Cobalah kalau mampu!”
Pusporini marah sampai hampir menangis. Ia membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat digerakkan, akan tetapi kakinya masih bebas dan tiba-tiba ia mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya. Kedua kaki itu bagaikan kitiran angin saja bergerak menendang bergantian mengarah lutut, pusar sampai ke dada.
“Heh-heh, kau benar-benar seperti seekor kuda betina! Hanya kuda yang menendang-nendang kalau marah!”
Makin jengkel Pusporini dan tendangannya yang terakhir terlalu keras sampai tubuhnya terbawa dan karena kedua tangannya dibelenggu ke belakang, maka ia kehilangan keseimbangan dan...”bukkk!” pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai terasa pegal dan linu.
Sebelum ia sempat bangun, Joko Pramono sudah menyambar tubuhnya dan memondongnya. Lengan kiri pemuda itu merangkul kedua kaki, perut Pusporini menumpang di pundak dan dara itu meronta-ronta makin keras.
“Setan kurang ajar kau! Berani kausentuh aku! Berani kau memanggulku! Hayo lepaskan... lepaskan... I”
Dengan kedua tangan yang terbelenggu, Pusporini memukul-mukul pundak dan punggung Joko Pramono, akan tetapi pemuda itu hanya terkekeh dan lari cepat membawa pergi tubuh dara itu menuju ke utara.
Punggung dan pundak itu kuat sekali, dan tak mungkin Pusporini dapat menggunakan ajinya dalam keadaan terbelenggu seperti itu. Karena tahu bahwa sia-sia saja ia meronta-ronta, akhirnya dara itu diam dan hatinya mulai diliputi kekhawatiran dan ketakutan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar