PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-28
“Kau... mau bawa aku ke mana...?”
Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya,bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.
“Hemm..., ke mana lagi kalau tidak ke dasar neraka? Kau tadi sendiri
bilang aku dari dasar neraka.Wanita galak macam engkau ini patutnya
dijadikan umpan setan neraka!”
Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah kemarahan hati
Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian kakinya menendang-nendang,
namun hal ini malah membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya
lebih erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan mebuatnya sukar
bernapas.
Terpaksa ia diam lagi tidak meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat sekali.
“Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak...“ mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.
“Sekarang juga akupun sudah awas!” jawab pemuda itu menggoda terus.
Karena tubuhnya “disampirkan” di pundak pemuda itu sehingga kepalanya
tergantung ke bawah, lama-kelamaan Pusporini menjadi lelah dan pening.
Sedikit demi sedikit ia melorot turun dan agaknya pemuda itu pun maklum
akan keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan pelukan
lengannya sehingga kini bukan kaki yang dirangkulnya, melainkan paha dan
pinggul sehingga kepala Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher.
Karena keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati
Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu, melihat betapa
otot-otot yang kuat tampak merentang di bawah kulit yang bersih halus,
betapa anak rambut yang hitam gemuk tumbuh melingkar di, tengkuk yang
kuat itu.
Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama hidupnya tak pernah ia
perhatikan ini, tengkuk seorang laki-laki, sekarang tampak begini indah!
Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya
kepada laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.
“Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?” ia bertanya, perlahan
karena toh mulutnya sudah dekat telinga. Biar pun lirih suaranya, namun
Joko Pramono masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam suara
itu.
“Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga Selopenangkep itulah
pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal
mendiang Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang yang
paling baik di dunia ini.”
“Hemm, kaumaksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo aliran putih?”
Pusporini yang sudah pernah mendengar cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan menduga-duga.
“Betul dia. Ah, engkau mengenal pula namanya. Apa yang kau tahu tentang mendiang pamanku?”
“Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah kandung ayunda Ayu
Candra, isteri rakanda Adipati Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik
misan ayunda Ayu Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?”
Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap kasar ia menurunkan
tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis ini tergelimpang lalu bangkit duduk
dengan sukar karena kedua tangan terbelenggu ke belakang.
Ia masih marah sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia
dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua orang sahabat lama
saja. Ia kini cemberut dan membuang muka, tidak mau memandang muka orang
yang duduk di depannya menghapus peluh dari dada dan leher.
Mereka berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah pohon
besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara yang membuang muka itu,
lalu sambil mengebut-ngebut lehernya dengan kain, ia bercerita tentang
dirinya.
Di dalam cerita “Badai Laut Selatan” diceritakan betapa ibu Joko Wandiro
atau Adipati Tejolaksono yang bernama Listyakumolo, setelah berpisah
dengan suaminya, Raden Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang
warok gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah mempunyai
seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra.
Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu adalah dua
orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada hubungan darah.
Adapun ibu kandung Ayu Candra yang lebih dulu telah meninggal dunia
bernama Ni Rasmi. Ni Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni
Wirani.
Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki Adibroto membawa Ayu Candra
pergi merantau dalam kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani
dengan kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang petani dan
mempunyai putera yang diberi nama Joko Pramono.
Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan suaminya ketika Joko
Pramono baru berusia sepuluh tahun, yaitu ketika suami isteri dan anak
mereka ini menyeberang sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan
mereka hanyut.
Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang baru berusia sepuluh tahun
tertolong oleh seorang sakti, yaitu Resi Adiluhung pendeta perantauyang
kemudian mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke pertapaan di
puncak Gunung Sindoro.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan, Ki Adibroto
tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang Patibroto karena permusuhan
yang balas-membalas dengan Pujo, ayah Endang Patibroto, suami
Kartikosari dan Roro Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.
“Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang paman.
Adibroto,” demikian antara lain dengan muka keruh Joko Pramono bercerita
di depan Pusporini yang mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia
sudah tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir itu,
mendengar dari penuturan ibunya.
“Paman Adibroto yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena Ratan
perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati di tangan anak
perempuan dari Pujo yang bernama Endang Patibroto, mati penasaran! Kalau
pamanku itu tidak berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu
tidak akan terbunuh sia-sia.”
Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
“Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu. Bahkan
ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipatl Selopenangkep. Bukankah
ayunda Ayu Canda itu puteri kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak
menaruh dendam apa-apa? Kenapa engkau ini yang hanya keponakan Ki
Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-marah seperti orang sinting?”
“Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang Selopenangkep. Hal ini
membuktikan kelemahan hatinya. Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai
seorang keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak! Akulah
yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang akan kelak mencari Endang
Patibroto dan menghadapi semua keluarga Selopenangkep yang sombong,
termasuk engkau!”
“Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat air), sebentar
lagi tentu pecah berantakan! Orang macam engkau ini mana mungkin melawan
kakakku Endang Patibroto? Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus
tahun lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri kakakku
Endang Patibroto!”
Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah matanya terbelalak marah.
“Dia kakakmu? Jadi engkau inl puteri Pujo pula? Anak Kartikosari atau anak Roro Luhlto?”
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu Pusporini sudah
menerjang dan menyerang dengan nekad saking marahnya mendengar betapa
pemuda ini menyebut nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang
ajarnya.
“Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Rara Luhito adalah ibu
kandungku. Kau mau apa? Mau bunuh aku? Bunuhlah, kaukira aku takut mati?
Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya membuka mulut besar
terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan kepalamu tentu akan
lumat!”
Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan is hendak memukul
hancur tubuh dara yang menjadi tawanannya. Akan tetapi pandang matanya
bersinar aneh ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot dan
sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono tertawa lebar.
“Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu buktinya kau kalah
olehku. Dan jangan kira begitu enak saja kau mati. Tidak! Aku akan
menyeretmu ke dasar neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan
pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan kubalas sakit hati
pamanku Adibroto. Kalau Endang Patibroto mau datang dan berhasil
kubunuh, barulah kau akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan
engkau, sungguh pun engkaupun seorang anggota keluarga Selopenangkep
yang sombong, berkepala batu dan galak!”
“Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala! Lepaskan aku!”
Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret tubuh Pusporini ke
dekat pohon, menggunakan ujung ikat kepala yang membelenggu kedua tangan
dara itu, diikatkan pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia
lalu meloncat pergi dari tempat itu.
Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Ikatan itu kuat
sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah, karena lelah dan lapar dan
marah. Ia ditinggalkan di dalam hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau
datang seekor harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan.
Atau ular. Ular? Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri.
Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah dan tidak
takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia menjerit minta tolong,
siapa tahu terdengar orang di dekat tempat itu. Akan tetapi ia teringat
akan pemuda tadi yang mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan
ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa takutnya. Ia
diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi.
Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikimya gemas.
Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan Joko Pramono telah
berada di depan Pusporini, tangan kiri membawa sesisir pisang ambon yang
sudah matang dan tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar.
Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekali tidak mengejek,
juga tidak. marah, malah senyumnya wajar dan ramah. Ketika bicara, sinar
matanya berseri gembira.
“Tidak ada dusun dekat. Untung sekali aku bisa mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk mengusir lapar. Kau makanlah!”
“Tidak sudi!”
Agaknya Joko Pramono baru teringat bahwa mereka bukanlah dua orang
sahabat yang sedang pesiar! Dan wajahnya yang tampan itu kini berubah
seperti tadi lagi, keruh, marah, dan mengejek.
“Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar mati kelaparan, ya?
Kok enak benar. Apa kaukira aku tidak bisa mendublak (menjejalkan
makanan ke mulut) secara paksa? Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki
pisang ini, sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!”
Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas kulitnya perlahan-lahan
sehingga tampak daging pisang yang putih kuning, baunya harum sedap
menimbulkan selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi karena
merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan
ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini
memandang dengan mata lebar, lalu berkata,
“Lepaskan dulu tanganku, dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?”
“Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah kepalaku dengan
jari-jari tanganmu yang ampuh itu? Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan
membikin aku jengkel dan memaksamu.”
Pemuda itu mendapatkan ujung pisang kupasan ke mulut Pusporini. Dara ini
marah sekali, merasa dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia
akan dijejal dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini agaknya
sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan muka merah dan mata
berapi-api, ia membuka mulutnya, menerima pisang itu memasuki mulut lalu
menggigit sepotong.
“Nah, begitu baru anak baik!” kata Joko Pramono, wajahnya berseri lagi
memandang Pusporini yang mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah,
kemudian pemuda itu jugs menggigit sepotong pisang dari bekas gigitan
Pusporini itu.
Dara ini makin merah kedua pipinya melihat betapa musuh yang dibencinya
ini makan pisang bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan sisa
pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.
“Tidak sudi! Bekas gigitanmu!” bentak Pusporini.
Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis, lalu berkata dengan nada kesal,
“Wah, dasar sombong! Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau
bekas gigitanku kenapa sih? Gigiku tidak beracun seperti gigi ular.”
“Lebih baik makan bekas gigitan ular dari pada bekas gigitanmu.
Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi, biar kau mau jejal,
terserah!”
Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang yang menyabarkan
dirinya, lalu mengupas pisang lain dan menyuapkan pisang itu ke mulut
Pusporini. Kini mereka makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai
kenyang.
Biar pun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa, akan tetapi
setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon yang besar-besar dan
setengah butir semangka jingga yang manis dan banyak airnya, Pusporini
merasa tubuhnya segar kembali dan pulih kekuatannya.
Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah oleh air semangka,
Joko Pramono menggunakan ujung bajunya dan menghapus dengan gerakan
cepat dan kasar.
Pusporini berusaha mengelak dengan menggelenggelengkan kepala ke kanan kin sambil berseru marah. “Lepaskan! Tak sudi aku!”
Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih air semangka dari sekeliling mulut dan dagu.
“Huh, kau jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu, ya? Aku
hanya tak ingin nanti pundakku kotor dan basah jika aku memondongmu.
Hayo, kita berangkat!”
Ia melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong tubuh Pusporini
lagi di atas pundaknya seperti tadi, kemudian berlari cepat meninggalkan
hutan itu, terus ke arah utara.
Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan rasa gelisah, hanya
dapat memandang ke arah belakang pundak Joko Pramono dengan mata
terbelalak. Ia harus dapat membebas kan diri dan membalas semua
penghinaan yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini
tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini kurang ajar.
Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tangannya terbelenggu. Akan
tetapi mulutnya tidak! Kalau tangannya terbelenggu dan kedua kakinya
dipeluk kuat sehingga tak dapat meronta, ia dapat menggunakan giginya!
Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini lalu menundukkan mukanya
dan menggigit daging pundak pemuda itu sekuatnya.
“Aduhh-duh-duh-duh... aduhhhh!”
Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan
kanannya untuk menampar pinggul di depannya itu beberapa kali.
“Plak-plak-plak-plak...!”
Pusporini terbelalak kaget, malu dan kesakitan. Pinggulnya menjadi panas
dan ngilu, akan tetapi ia sudah nekat dan tidak mau melepaskan
gigitannya, bahkan memperkuatnya.
“Lepaskan... aduhhh-duh-duh... lepaskan... kau kucing, monyet...!”
Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya dan terpaksa ia
lalu melemparkan tubuh tawanannya. Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya
terlepas dan kini kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia
mengeluarkan suara “hekkk!” dan sekarang tak dapat ditahannya lagi
Pusporini menangis!
Menghadapi serangan dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali
tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja yang menangis
itu, yang mempergunakan “senjata terampuh” seorang wanita, pemuda itu
melongo! Ia meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas gigitan
Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang kini basah air mata
itu dengan perasaan kasihan.
“Kenapa kau menangis?” Ia mengomel untuk menutupi perasaan iba hatinya.
“Aku takkan mengganggumu hanya menawanmu supaya keluargamu mencari dan
menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku kepada Endang Patibroto
dan keluarga Selopenangkep yang sombong.”
Pusporini terisak-isak kemudian berkata di antara tangisnya, “Kau
manusia kejam, laki-laki kurang ajar. Kenapa tidak kaubunuh saja aku?”
“Habis engkau menggigit, sih! Apa kaukira tidak sakit digigit pundaknya?
Lihat, bajuku sampai robek dan kalau tidak kuat kulitku tentu robek
pula. Lihat, sampai matang biru!”
Pemuda ini membuka bajunya memperlihatkan kulit pundak yang membiru.
Melihat ini, tiba-tiba ada perasaan geli di dalam hati Pusporini, geli
dan puas. Sedikitnya iatelah dapat membalas, biar pun hanya merupakan
gigitan di pundak sampai kulit pundak itu matang biru.
“Kalau kau tidak menggigit, aku tentu tidak akan menampar dan membantingmu,” kata pula Joko Pramono.
“Kalau kau diam saja menurut kubawa sebagai tawanan dan umpan keluargamu
agar menyusulmu, aku bersumpah tidak akan mengganggu seujung rambutmu.
Aku bukan seorang laki-laki yang suka mengganggu seorang gadis cilik
macam engkau.”
Setelah berkata demikian, Joko Pramono kembali memondong tubuh Pusporini dan berlari cepat sekali.
Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Ucapan pemuda itu yang
menyebutnya seorang gadis cilik,membuat ia mendongkol dan tidak senang.
Dia dianggap seperti anak kecil! Awas kau, demikian bisik hatinya dan
tiba-tiba ia menjadi girang sekali. Ikatan pada kedua pergelangan
tangannya mengendur!
Mungkin karena banyak pergerakan, atau mungkin karena tadi ia diikat
pada batang pohon, kemudian terbanting tadi, ikatan itu mengendur di
luar tahu Joko Pramono yang tak pernah memeriksanya. Mulailah dara ini
menggerak-gerakkan kedua tangan di belakang, berusaha membebaskan
belenggu yang mulai mengendur itu.
Jantungnya berdebar-debar karena tegang dan khawatir. Ia harus dapat
membebaskan kedua tangannya sebelum pemuda ini tahu bahwa ikatan telah
mengendur.
“Heh-heh-heh, hi-hik!”
Pusporini terkejut. Celaka, pikirnya, pemuda ini tentu mentertawakan
usahanya untuk membebaskan ikatan! Berarti pemuda ini sudah tahu akan
keadaan belenggunya yang hampir terlepas. Akan tetapi karena Joko
Pramono berlari terus, ia memberanikan diri bertanya,
“Kenapa kau cekikikan seperti orang gila?”
“Heh-heh, detik jantungmu begitu keras, sampai keri (geli) rasanya di pundakku!” jawab Joko Pramono yang berlari terus.
Seketika wajah Pusporini menjadi merah. Sungguh pun maksudnya lain
sekali, namun pemuda ini mengingatkannya betapa dadanya terhimpit di
atas pundak pemuda itu dalam usahanya meloloskan diri dari ikatan.
Akhirnya terlepaslah belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan
Pus-porini! Dengan hati-hati sekali dara remaja ini menggerak-gerakkan
jari tangannya, membuka dan menutup untuk melancarkan jalan darahnya
yang agak kaku.
Kemudian, dengan gerakan hati-hati sekali ia mengangkat tangan kanan,
meluruskan jari-jarinya,mengerahkan tenaga dan bagaikan ular
mematuk,tangannya bergerak turun menyambar ke arah tengkuk Joko Pramono,
di belakang telinga.
“Kukkkk!” Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo dengan cepat menghantam
bagian kepala itu. Mulut Joko Pramono mengeluh lirih, tubuhnya seketika
menjadi lemas, kedua kakinya tertekuk dan robohlah pemuda itu tanpa
dapat bensambat lagi, roboh terguling miring dalam keadaan pingsan!.
“Uuugghhh...”
Joko Pramono menggerakgerakkan kepalanya ke kanan kiri. Seluruh tubuhnya
juga bergerak-gerak, otot-otot di tubuh itu menegang, akan tetapi ia
tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Ia membuka mata, memandang
ke kanan kiri dan meIihat Pusporini berdiri sambil bertolak pinggang,
teringatlah ia dan mulutnya menyumpah, “Bodoh aku! Mudah saja dicurangi
seorang bocah! Sudah sepatutnya celaka.”
Dengan gerakan sukar ia bangun duduk, kembali menggoyang kepalanya yang
terasa pening oleh pukulan tiba-tiba tadi. Setelah bumi di sekelilingnya
tidak berputaran lagi, ia menentang pandang dara itu, tersenyum
mengejek, senyum yang amat dibenci Pusporini lalu berkata,
“Perempuan gagah macam apa kau ini? Kalau memang kau gagah perkasa, hayo
lepaskan ikatan kaki tanganku dan kita bertanding sampai tujuh hari
tujuh malam!”
Kini Pusporini yang tersenyum, senyum yang membuat wajahnya yang amat
manis itu menjadi makin manis melebihi madu. Akan tetapi senyum yang
luar biasa manisnya ini menusuk hati Joko Pramono karena senyum itu
mengandung ejekan dan penghinaan kepadanya.
“Hi-hik, alangkah enaknya kau minta dibebaskan! Uhh, tak tahu malu
benar,muka tebal! Engkau kini sudah tertawan olehku, ini merupakan bukti
kuat bahwa engkau sudah kalah olehku. Hi-hik, mau apa lagi?”
Sambil tersenyum-senyum mengejek, Pusporini berdiri di depan pemuda itu
sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang panjang hitam dan terlepas
sanggulnya itu sebagian terurai ke depan menutupi matanya. Pusporini
menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya tersingkap ke belakang, sebuah
gerakan wanita yang amat indah menarik.
Joko Pramono menghela napas panjang, hatinya terserang bermacam-macam
perasaan yang teraduk-aduk menjadi satu. Ia marah kepada diri sendiri
yang bodoh sehingga kurang waspada dan lengah, ia gemas kepada dara
remaja ini yang benar-benar memanaskan hatinya, akan tetapi iapun kagum.
Makin lama, makin tertarik hatinya oleh segala polah-tingkah dan
gerak-gerik dara. Biar pun sedang marah, mengejek, ketakutan, atau
menangis, semua gerak-geriknya memikat hati dan amat manis!
Ada sesuatu terpancar keluar dari kepribadian dara ini yang mencengkeram
perasaan hatinya, yang membuatnya merasa suka dan gemas, bukan gemas
untuk memukul atau membunuh, melainkan gemas untuk mencubitnya dan
mendekapnya kuat-kuat, seperti perasaan gemas-gemas sayang seseorang
terhadap seorang bayi yang montok menyenangkan.
Bahkan saat itu pun, di waktu nyawanya terancam bahaya maut di tangan Pusporini, ia tidak dapat membenci dara ini.
“Pusporini, tak usah banyak lagak. Memang aku telah kau curangi, telah
kau akali sehingga aku tertawan. Nah, kau mau apakan aku sekarang?”
“Mau diapakan? Kau sudah menyerah? Minta diapakan kau, manusia kurang ajar?”
Joko Pramono tetap tersenyum. Ia sudah menyadari sepenuhnya bahwa ia
kini berada di tangan Pusporini yang tentu akan membalas dendam.
“Mau kau apakan terserahlah. Mau bunuh juga, silakan. Kau kira akupun takut mati? Huh!”
“Bunuh? Nanti dulu! Kau tidak akan mati begitu enaknya, sebelum engkau
menerima balasan penghinaan-penghinaan yang telah kau lakukan kepadaku
tadi! Kau sekarang menjadi tawananku, hendak kuseret ke depan rakanda
adipati agar beliau dapat memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan
atas dirimu. Hayoh...!”
Pusporini membungkuk, menyambak rambut pemuda itu yang hitam lalu menyeretnya.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang pemuda sakti
mandraguna, kalau baru dijambat dan diseret seperti ini saja tentu Joko
Pramono tidak terlalu menderita. Ia malah tertawa dan berkata mengejek,
“Pusporini, kau bilang hendak membalas semua penghinaanku tadi? Tadi kau
menjadi tawananku, sekarang aku menjadi tawananmu, ini sudah adil. Tadi
aku membawamu pergi dan memondong mu, sekarang... hayo kau lekas
pondong aku dan bawa lari, baru adil namanya!”
Pusporini bersungut-sungut. Ia kini yang menang, akan tetapi tetap saja pemuda itu yang mengejek-ejeknya.
“Tidak sudi!” bentaknya dan menyeret terus, seperti seorang pemburu menyeret seekor bangkai kijang yang menjadi hasil buruannya.
Tubuh Joko Pramono terlentang dan pemuda ini merem melek, kelihatan enak benar diseret seperti itu.
“Wah, angler...! Cepatan lagi, Pusporini, enak benar ini... haha...!”
Dan untuk membuktikan omongannya, tak lama kemudian Joko Pramono yang diseret-seret itu tidur mendengkur.
Pusporini makin marah dan mendongkol. Tangannya sudah lelah menyeret.
Karena yang dijambaknya rambut, benda lemas ini lama-lama menyakiti
jari-jari tangannya. Rambut itu terlalu lemas dan tubuh pemuda itu
terlalu berat. Apa lagi melalui jalan tanjakan, benar-benar membuat
lengannya kesemutan dan lelah sekali.
Kini dia yang kecapaian dan pemuda itu keenakan tidur. Ia
menyumpah-nyumpah, hatinya panas. Sambil mengerahkan tenaga, ia
menjambak lebih keras, lalu lari dan sengaja mengambil jalan
berbatu-batu.
Tangannya makin lelah dan sakit, akan tetapi Joko Pramono tidak mungkin
tidur keenakan lagi karena tubuhnya terbentur-bentur pada batu,
berguncang dan terbanting-banting. Benar saja, pemuda itu mengeluh.
“Wah-wah-wah, kau gilakah? Kalau mau bunuh, bunuhlah, mengapa mesti menyiksa seperti ini?”
“Rasakan!”
Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa Pusporini bukan ingin menyiksanya,
melainkan ingin membalas kemarahannya, ingin memancingnya dengan siksaan
atau apa pun juga agar dia ketakutan atau sakit hati, maka ia lalu diam
saja dan diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membuat tubuhnya kebal
dan tidak terlalu tersiksa oleh bantingan-bantingan di jalan itu.
Benar saja dugaannya, setelah ia diam saja tidak mengeluh, Pusporini
merasa kecewa dan marah-marah. Pemuda ini tetap tidak merasa sakit,
tidak merasa lelah, sedangkan ia telah mandi peluh, tangannya pedas
lengannya kesemutan. Keparat! Kini mereka tiba di dalam hutan, di mana
tadi ketika Joko Pramono menawan Pusporini, mereka berhenti dan makan
pisang.
“Pusporini... mukamu buruk seperti setan kalau begini. Rambutmu
awut-awutan, mukamu kotor karena peluh dan debu, lihat kakimu juga kotor
berlumpur. Ihhhh, puteri kadipaten kok begini...”
Joko Pramono mengejek untuk menambah kemarahan dara itu.
“Brukkk!”
Dengan gerakan kasar Pusporini melepaskan jambakannya sehingga kepala
Joko Pramono terbanting ke atas tanah. Sejenak dara itu memandang marah,
akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum kepadanya.
Tiba-tiba Pusporini membalikkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat
itu. Akan tetapi tidak lama ia pergi. Sebentar lagi ia sudah kembali ke
tempat itu dan kaki tangan dan muka serta lehernya telah bersih sekali,
bekas dibersihkan dengan air sungai bening yang mengalir di dalam hutan
itu. Juga rambutnya, biar pun tidak disisir rapi, namun tidaklah
awut-awutan lagi seperti tadi.
Dalam pandangan Joko Pramono, dia sama sekali tidak tampak lebih cantik
karena memang sejak tadi dara itu sudah cantik jelita dan manis dalam
pandangannya! Melihat betapa dara itu mencuci muka dan kaki tangan, dia
diam Joko Pramono menjadi geli hatinya.
“Nah, begini barulah kau tampak cantik jelita seperti seorang puteri
aseli, Pusporini!” Ia amat senang melihat betapa kedua pipi dara itu
menjadi merah maka ia terus menggodanya. “Dan mana bawaanmu, Pusporini?”
Dara itu tak dapat mempertahankan kemarahannya, tak dapat terus
memuramkan mukanya menghadapi pujian ini.Pertanyaan itu menerjangnya
tiba-tiba sehingga tanpa ia sadari, ia menjawab,
“Bawaan apa? Apa maksudmu?”
“Ha-ha-ha-ha! Masa engkau pelupa benar, Pusporini? Bukankah kau bilang
bahwa kau akan membalas semua penghinaanku? Lupakah kau bahwa di tempat
ini benar aku telah mendulangmu (menyuapimu) dengan pisang dan semangka?
Lihat tuh kulit pisang dan kulit semangka masih d situ. Sekarang tentu
akan kaubalas peng hinaanku tadi.Lekas kaucari buah-buahan yang segar
dan lezat, dan kausuapi aku, perutku sudah lapar sekali!”
“Kau... lancang mulut! Kau kurang ajar!” Pusporini marah lagi dan membentak gemas.
Akan tetapi Joko Pramono malah tertawa memanaskan hati. “Elhooo!
Bukankah aku bicara sebenarnya? Untuk membalas seadilnya, sekarang kau
harus menyuapkan makanan ke mulutku, kemudian kaupondong aku lagi dan...
dan... kauberikan pundakmu untuk kugigit...!”
“Cihh! Laki-laki ceriwis! Kuhancurkan mulutmu!”
Dengan kemarahan meluap, Pusporini melangkah maju, tangannya diangkat untuk menghantam muka pemuda itu.
Joko Pramono tetap tersenyum dan memandang dengan sepasang mata yang
sama sekali tidak kelihatan takut, wajahnya berseri. Entah mengapa
Pusporini sendiri tidak mengerti. Tangan yang sudah diangkatnya itu
mendadak menjadi lemas, tidak kuasa ia menurunkan tangannya menghantam
muka yang tersenyum seperti itu, dengan sepasang mata yang
bersinar-sinar tajam seperti sepasang bintang.
“Kau... memang kurang ajar!” Hanya demikian ia berkata.
“Pukullah, mengapa tidak jadi? Pukullah agar sempurna ketidakadilanmu
terhadap aku. Aku merobohkanmu dengan pertandingan, sebaliknya kau
merobohkan aku dengan akal curang. Aku menawanmu dan rrembawa pergi
dengan memondongmu, sebaliknya engkau menawan dan membawaku pergi dengan
menyeret-nyeretku. Aku memberimu makan buah agar kau tidak kelaparan,
sebaliknya engkau memberi makan aku dengan makimakian! Engkau menggigit
pundakku sampai matang biru dan aku...”
“Cukup! Cerewet amat engkau ini!”
Pusporini kembali menyambar rambut Joko Pramono dan menyeretnya pergi
melanjutkan perjalanan ingin ia lekas-lekas sampai di Selopenangkep
menyerahkan orang yang memusuhi Kadipaten Selopenangkep ini kepada
rakandanya, agar la bebas dari orang yang selalu menimbulkan gemas di
hatinya ini.
Akan tetapi belum jauh ia pergi, tiba-tiba saja berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu, seperti setan saja agaknya, di depan Pusporini
telah berdiri dua orang.....
Komentar
Posting Komentar