PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-30
“Eyang Resi, bolehkan hamba mengetahui siapa gerangan satria muda yang harus hamba bantu kelak?”
Kakek itu tersenyum. “Itu masih merupakan rahasia. Kelak kalian akan
mengerti sendiri karena sesungguhnya satria muda itu adalah paman gurumu
sendiri. Ketahuilah bahwa saat ini, guruku yang bagi, dunia sudah
dianggap meninggal dunia, telah berkenan mengambil satria itu sebagai
murid Dialah yang akan bertugas memberantas segala kesesatan dan kalian
akan menjadi pembantu-pembantunya. Cukup sekian saja keteranganku,
murid-muridku, dan sekarang, meramkanlah matamu dan jangan dibuka
sebelum kusuruh.”
Dalam keadaan masih berlutut, Pusporini dan Joko Pramono meramkan kedua mata mereka.
Tiba-tiba mereka merasa betapa lengan mereka dipegang, kemudian tubuh
mereka serasa melayang, padahal mereka masih dalam keadaan duduk
bersila! Mimpikah mereka? Benar-benar seperti orang dalam mimpi. Namun,
mereka patuh kepada perintah guru mereka dan sama sekali tidak berani
membuka mata sebelum guru mereka menyuruh. Mereka tidak melihat sesuatu,
hanya bunyi angin semilir memenuhi kedua telinga.
“Pusporini...! Anakku...! Heh, manusia-manusia biadab, lepaskan puteriku! Hayo, lawanlah Roro Luhito...!”
“Bibi, ingat, Bibi...!”
Tejolaksono terpaksa melompat dan menangkap lengan tangan Roro Luhito
yang seperti orang kesurupan setan, hendak berlari mengejar puterinya
yang telah dilarikan entah ke mana.
Roro Luhito tadinya meronta-ronta, akan tetapi setelah berkali-kali
Tejolaksono dan Ayu Candra membujuknya, ia menjadi tenang. Wajahnya
pucat sekali, matanya menyinarkan kemarahan, dan suaranya terdengar
dingin ketika ia berkata,
“Anakku Tejolaksono, engkau tahu bahwa aku tidak akan dapat hidup kalau
membiarkan Pusporini begitu saja terjatuh ke tangan lawan. Tidak, biar
sampai mati aku harus mencarinya sampai dapat. Engkau tentu maklum apa
yang akan terjadi pada diri puteriku kalau tidak lekas ditolong.
Biarkanlah aku pergi mengejar mereka.”
“Berbahaya sekali, Bibi. Biarlah saya yang mengejarnya.”
“Kakangmas...!” Ayu Candra berseru dengan suara gemetar.
“Benar isterimu, Tejolaksono anakku. Kadipaten tidak boleh kau
tinggalkan, hai itu berbahaya sekali. Biarlah aku yang mencari adikmu
sampai dapat atau... aku takkan kembali sebelum dapat menolongnya.
Selamat tinggal!”
“Nanti dulu, Bibi. Tak mungkin Kanjeng Bibi pergi seorang diri saja.”
Adipati Tejolaksono lalu memanggil dua losin orang pengawal untuk
membantu bibinya yang memaksa diri hendak nekat mencari Pusporini. Ia
maklum akan genting dan sulitnya keadaan. Ia harus mengakui bahwa memang
amatlah berbahaya nasib Pusporini terjatuh ke tangan orang-orang biadab
itu, dan memang amat membutuhkan pertolongan dengan segera. Dan ia tahu
bahwa mungkin penangkapan atas diri Pusporini itu disengaja untuk
memancingnya keluar.
Kalau ia keluar dari kadipaten, tentu kadipaten akan menjadi lemah dan
akan diserbu musuh. Memang satu-satunya jalan untuk menolong Pusporini
hanyalah bibinya, Roro Luhito.
Akan tetapi iapun ragu-ragu. Musuh terlampau banyak dan di antara mereka
terdapat banyak orang sakti. Biar pun bibinya bukan wanita sembarangan,
namun ia sangsi apakah bibinya akan berhasil menolong Pusporini?
Jangan-jangan malah membahayakan dirinya sendiri.
Betapa pun juga, tidak mungkin ia dapat mencegah kehendak bibinya itu.
Maka terpaksa ia lalu menyuruh dua losin orang pengawal yang cukup
tangguh untuk mengawal bibinya. Rombongan ini lalu berangkat melakukan
pengejaran.
Adipati Tejolaksono bersama isterinya lalu mencurahkan perhatiannya
kepada penjagaan di Selopenangkep yang sudah terkepung musuh dari
segenap jurusan. Kegelisahan hati mereka tentang keselamatan Pusporini
dan bibi mereka terpaksa mereka kesampingkan lebih dulu.
“Nimas, keadaan kita amat berbahaya. Engkau tidak boleh berpisah dari sampingku dan harus selalu waspada.”
Ayu Candra hanya mengangguk lesu. Terlalu banyak peristiwa sedih yang
susul-menyusul melemahkan semangat wanita ini. Mula-mula puteranya
secara terpaksa dipisahkan dari sampingnya, ditambah tewasnya bibinya,
Kartikosari. Kemudian disusul dengan munculnya Endang Patibroto yang
membawa pergi Setyaningsih entah ke mana. Kini ditambah terculik-nya
Pusporini oleh musuh dan perginya Roro Luhito yang secara nekat
melakukan pengejaran, padahal musuh amat besar jumlahnya dan memiliki
banyak orang sakti.
Sekarang, Kadipaten Selopenangkep dikepung musuh dan ia tahu bahwa hal
yang paling menggelisahkan hati suaminya adalah karena melihat betapa
banyaknya penduduk Selopenangkep yang kini datang bersama musuh,
menjadi sekutu dan anak buah musuh!
Malam itu Adipati Tejolaksono mengumpulkan dan mencacahkan jumlah
seluruh pasukannya. Tidak lebih hanya tiga ratus orang prajurit,
termasuk para pengawal, para abdi dalem dan rakyat penduduk kadipaten
yang setia.
Banyak di antara penduduk yang siang-siang sudah diam-diam melarikan diri keluar kadipaten.
Tigaratus orang, harus menghadapi kepungan musuh yang entah berapa
banyaknya! Dan pembantunya, Mundingyudo, baru saja berangkat ke kota
raja Panjalu. Ia sangsi apakah bantuan dari Panjalu dapat diharapkan
datang sebelum terlambat.
Adipati Telolaksono membagi tugas, mengumpulkan para kepala pasukan yang
ia bagi menjadi lima. Ia segera mengatur siasat. Penjagaan dilakukan
sekeliling kadipaten, merupakan lima kelompok yang selalu bergerak,
berpindah-pindah saling bertukar tempat.
Kalau sewaktu-waktu pasukan lawan melakukan penyerbuan, pasukan
kadipaten harus membentuk barisan Kalajengking Sakti. Barisan dengan
gaya inilah yang paling tepat untuk melakukan penjagaan kadipaten dan
menghadapi musuh yang besar jumlahnya.
Barisan bergaya Kalajengking Sakti ini dibagi menjadi lima. Dua barisan
kepala di depan merupakan sepasang sapit kalajengking yang menghadapi
musuh terbesar dari depan, dari kanan kiri datangnya, menyerang ke arah
lambung pasukan besar lawan yang datang menyerbu.
Dua barisan lain yang lebih kecil menjaga lambung di kanan kiri
merupakan deretan kaki kalajengking, dua pasukan ini mencegah penyerbuan
gelap dari jurusan kanan kiri dan mereka ini terdiri daripada barisan
panah.
Ke lima adalah barisan terbesar yang berada di belakang, merupakan
sengat kalajengking. Barusan inilah sebetulnya yang menjadi barisan
inti, barisan penyerang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Tejolaksono
dan isterinya.
Barisan ini tugasnya melakukan penyerangan tiba-tiba kepada pasukan
penyerbu, dan cepat mundur lagi jika barisan sepasang sapit sudah kuat
kembali, untuk menyusun tenaga dan secara tiba-tiba menyerang lagi.
Karena gerakannya cepat tak terduga dan di dalam pasukan ini terletak
inti penyerangan yang amat kuat, maka dapat diharapkan fihak penyerbu
akan dapat dihancurkan.
Semua telah siap di kadipaten. Penjagaan dilakukan secara bergilir dan
tepat, agar semua anggota pasukan mendapat giliran mengaso dan tidur.
Bagian dapur umum juga sudah sibuk, mempersiapkan ransum bagi para
pasukan yang bertugas berat. Juga bagian perlengkapan senjata selalu
sibuk, mempersiapkan senjata-senjata cadangan, mengasah dan menambah
jumlah anak panah darurat. Pendeknya, Kadipaten Selopenangkep telah siap
sedia dengan semangat tempur yang tinggi.
Akan tetapi, malam itu fihak musuh tidak ada yang melakukan serangan,
bahkan tidak melakukan gerakan sama sekali. Dari atas menara kadipaten
yang juga dipergunakan sebagai pusat penjagaan, Adipati Tejolaksono
melakukan penyelidikan. Hanya tampak obor dan barisan musuh yang padat,
tidak bergerak namun mengambil posisi mengurung kadipaten. Hatinya
gelisah kalau teringat akan Pusporini dan Roro Luhito. Tidak ada
kabarnya sama sekali bibinya dan adik misannya itu. Juga tidak ada
seorang pun di antara pasukan pengawal bibinya datang melapor.
Menjelang pagi, ketika ayam jago mulai berkeruyuk, burung-burung mulai
berkicau menyambut datangnya fajar, tampaklah pasukan musuh bergerak
makin mendekati kadipaten.
Pasukan-pasukan kadipaten siap sedia dan kini di pintu gerbang bagian
barat terdapat pasukan yang bersorak-sorak. Agaknya pasukan di pintu
gerbang barat inilah merupakan pasukan inti lawan, karena di situ tampak
Cekel Wisangkoro, Sariwuni, bahkan kelihatan pula Ni Dewi Nilamanik dan
Ki Kolohangkoro yang mengepalai barisan masing-masing.
Pasukan Ni Dewi Nilamanik sendiri dari pada wanita-wanita cantik dan
muda, yang berbaris rapi dengan pakaian indah, dibagi menjadi tiga
kelompok, kelompok pertama adalah pasukan wanita bersenjata gendewa dan
anak panah, kelompok ke dua adalah pasukan wanita bertombak, dan ke tiga
pasukan wanita berpedang.
Juga barisan yang dipimpin Ki Kolohangkoro amat menyeramkan, terdiri
dari pada laki-laki tinggi besar seperti raksasa, ada pasukan tombak,
ada pasukan penggada dan semuanya tampak kuat-kuat menyeramkan. Yang
mengerikan adalah pasukan raksasa gundul yang seperti boneka hidup.
Mereka ini dipimpin oleh Cekel Wisangkoro.
Raksasa-raksasa gundul yang seperti boneka atau mayat hidup ini tidak
bersenjata, akan tetapi mereka ini kelihatan lebih mengerikan. Dan
bercampur dengan bermacam pasukan ini tampaklah para petani, rakyat
wilayah Selopenangkep yang kena terbujuk atau terpikat sehingga mereka
ini ikut menyerbu kadipaten mereka sendiri! Mereka ini terdiri daripada
orang-orang yang memang pada dasarnya tidak memiliki kesetiaan, yang
bodoh, yang kena terbujuk karena pengaruh wanita-wanita penyembah Durga
yang genit-genit, yang kena pikat oleh harta benda, atau yang terbujuk
melalui pelajaran kebatinan dan Agama Shiwa.
Akan tetapi, para prajurit Selopenangkep tidak memperhatikan keadaan
pasukan musuh, bahkan tidak gentar melihat mereka. Yang membuat mereka
terbelalak adalah ketika fihak musuh mengeluarkan dua buah gala bambu
yang panjang dan di ujung gala bambu ini tampak dua buah kepala. Yang
sebuah adalah kepala Mundingyudo, pemimpin pasukan Selopenangkep! Adapun
yang ke dua adalah kepala Roro Luhito!.
“Aduh, kanjeng bibi...!” Ayu Candra yang memeriksa bersama suaminya dari
atas menara, tiba-tiba mengeluh dan terhuyung roboh, akhirnya pingsan
di dalam pelukan suaminya.
Adipati Tejolaksono sambil memeluk isterinya yang pingsan, memandang ke
bawah, keluar pintu gerbang dan ke arah kepala bibinya dan pembantunya.
Matanya menyinarkan api kemarahan, dadanya serasa hendak meledak,
giginya berkerot, tangan kanannya mengepal tinju. Jelas bahwa bibinya
terbunuh, gagal merampas kembali Pusporini yang entah berada di mana.
Terbunuhnya bibinya itu berarti terbunuhnya dua losin pengawal yang
membantunya. Dan Mundingyudo juga terbunuh, hal ini berarti bahwa
usahanya minta bantuan ke Panjalu gagal pula.
Tidak ada jalan lain, ia harus melawan mati-matian!.
Cepat ia menyadarkan isterinya, lalu menghiburnya,
“Nimas, Kanjeng Bibi tewas sebagai seorang pahlawan. Namanya akan dipuja
sepanjang masa sebagai seorang prajurit yang membela Selopenangkep
sampai mengorbankan nyawa. Tidak perlu kiranya disedihkan lagi, lebih
penting kita siap-siap menggempur musuh untuk membalaskan kematian
Kanjeng Bibi Roro Luhito dan yayi dewi Pusporini!”
Bangkit semangat Ayu Candra mendengar ucapan suaminya ini. Dengan muka beringas ia melompat bangun, meraba gagang kerisnya.
“Mari kita hajar mereka, Kakangmas!”
Pagi hari itu dimulailah perang cam-puh yang hebat. Melihat betapa
kadipaten dijaga kuat, barisan musuh yang kini dipimpin langsung oleh Ni
Dewi Nilamanik menantang dan mengatur barisan di luar kadipaten.
Barisan yang merupakan penggabungan macam-macam pasukan itu, terdiri
dari lima ratus orang lebih, hampir dua kali jumlah seluruh prajurit
Selopenangkep.
Perang tanding ini terjadi amat seru, berlangsung dari pagi sampai petang.
Namun ternyata, siasat barisan Selopenangkep dengan gelar Kalajengking
Sakti ini betul-betul ampuh. Apa lagi karena bagian intinya, yaitu
bagian sengat kalajengking, penyerang utama barisan itu, dipimpin
sendiri oleh sang adipati bersama isterinya. Barisan Selopenangkep
mengamuk dan banjir darah terjadi di medan yuda.
Sang Adipati Tejolaksono dan bersama Ayu Candra mengamuk seperti
banteng-banteng terluka, dan hanya setelah para pimpinan pasukan musuh
yang terdiri dari Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Cekel Wisangkoro,
Sariwuni dan dibantu oleh dua orang Gagak, maju menyambut, barulah
Adipati Tejolaksono dan isterinya terdesak hebat.
Namun gerak barisan Kalajengking Sakti tidak membiarkan barisan “sengat” ini terdesak.
Pasukan-pasukan yang merupakan sapit membantu dari kanan kiri dan pasukan inti itu mundur lagi untuk menyusun tenaga baru.
Setelah hari menjadi petang, perang tanding dihentikan, barisan musuh
mundur dan pasukan kadipaten juga kembali memasuki kadipaten.
Kedua fihak, bagaikan dua ekor harimau bertanding dan kini
menjilat-jilati luka-luka di tubuh masing-masing, kini menghitung-hitung
sisa pasukan.
Hebat memang akibat perang sehari itu. Di fihak Selopenangkep kehilangan
lima puluh orang lebih prajurit yang tewas dan terluka berat, belum
terhitung yang luka-luka ringan. Tiga orang kepala pasukan tewas pula.
Akan tetapi di fihak musuh, kerugian yang diderita ternyata lebih besar
lagi.
Lebih dari seratus orang prajurit tewas, tidak terhitung yang terluka,
dan Ki Kolohangkoro terpaksa harus beristirahat sedikitnya tiga hari
karena dalam perang tanding tadi, ketika ia ikut mengeroyok Adipati
Tejolaksono dan beradu lengan yang dipenuhi getaran hawa sakti, ia kalah
kuat dan hawa sakti yang dilancarkan lewat pukulannya membalik dan
melukai isi dadanya sendiri sehingga ia harus beristirahat untuk
memulihkan tenaga.
Sungguh pun melihat jumlah korban, dalam pertandingan itu boleh
dikatakan fihak Selopenangkep mendapat kemenangan, namun kenyataannya
tidak demikian. Jumlah pasukan Selopenangkep lebih kecil, dan dengan
jatuhnya korban-korban itu, kini keadaan mereka menjadi makin payah dan
lemah. Apa lagi, kadipaten sudah dikurung sehingga mereka tidak dapat
mengirim permintaan bantuan ke Panjalu. Kalau mereka terus dikurung,
tanpa diperangipun mereka akhirnya akan kalah sendiri karena kehabisan
ransum.
Agaknya siasat ini pula dijalankan oleh Cekel Wisangkoro yang menjadi
penasehat dalam barisan itu, seorang yang banyak mengerti akan siasat
perang karena Cekel Wisangkoro ini dahulunya bekas senopati Kerajaan
Cola. Cekel Wisangkoro tidak hanya melakukan pengurungan yang amat ketat
dengan menambah jumlah pasukan, bahkan setiap malam ia menyuruh barisan
panah untuk menghujankan anak panah ke arah kadipaten, anak panah yang
disertai api sehingga setiap malam, Kadipaten Selopenangkep sibuk
memadamkan kebakaran dan hanya dapat membalas dengan anak panah ke arah
yang mengawur karena fihak musuh selalu berpindah tempat di tengah malam
gelap itu!
Siasat yang dipergunakan musuh itu benar-benar melemahkan keadaan para prajurit Selopenangkep.
Setelah pengurungan dilakukan selama sepekan, keadaan mereka benar-benar
dalam bahaya karena beras telah habis tinggal sehari lagi!
Menyelundupkan dari luar tidak mungkin karena penjagaan amat ketat dan
untuk menyerbu mati-matian keluar, berarti mengosongkan kadipaten.
Malam itu, sebelum musuh melakukan penyerangan dengan anak panah berapi
seperti biasa, Tejolaksono memanggil semua pembantunya, para perwira dan
kepala pasukan.
Ketika ditanya pendapat mereka,seorang panglima tua mewakili kawan-kawannya berkata dengan suara penuh kegagahan,
“Gusti adipati, hamba sekalian bersedia mempertahankan Selopenangkep sampai titik darah terakhir!”
Para perwira menyambut pernyataan ini dengan suara bulat, tak seorang
pun di antara mereka yang gentar menghadapi kematian dalam
mempertahankan Selopenangkep. Adipati Tejolaksono terharu sekali, akan
tetapi suaranya sungguh-sungguh dan tegas ketika ia berkata,
“Tidak benar pendapat kalian ini, para Paman dan Kakang senopati. Kita
harus mencari siasat untuk mengosongkan kadipaten dan menyelamatkan
diri.”
“Meninggalkan kadipaten, membiarkan kadipaten jatuh ke tangan musuh?
Maaf, Gusti adipati! Akan tetapi sungguh-sungguh hamba tidak dapat
menerima pendapat ini. Musuh baru boleh menduduki kadipaten, akan tetapi
hanya melalui mayat hamba!” bantah panglima tua yang sudah puluhan
tahun menjadi hulubalang di Kadipaten Selopenangkep.
Pernyataan yang gagah ini kembali disetujui semua kawannya.
Adipati Tejolaksono yang duduk di dekat isterinya, mengangguk-angguk dan berkata kembali ,
“Aku dapat menghargai kesetiaan kalian, dan jangan mengira bahwa aku
sendiri kurang mencinta Kadipaten Selopenangkep. Aku terlahir di tempat
ini, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mempertahankan Selopenangkep.
Akan tetapi, hendaknya andika sekalian mengerti bahwa gerakan musuh ini
bukanlah sekedar untuk memusuhi Selopenangkep. Sama sekali bukan,
Selopenangkep hanya merupakan awalan yang kecil saja. Gerakan mereka
merupakan ancaman untuk seluruh Nuswantara, dan tujuan mereka adalah
menundukkan Panjalu dan Jenggala. Kalau sekali ini kita kalah, bukan
berarti kita kalah perang. Sama sekali tidak, Paman dan Kakang senopati.
Kekalahan kita sekarang ini dapat kita tebus kelak dalam pertempuran di
lain kesempatan, bukan kalah perang melainkan hanya kalah dalam suatu
pertempuran karena kalah banyak jumlah prajurit kita. Kita harus mencari
siasat dan jalan untuk keluar dari sini dalam keadaan selamat.”
“Maaf, Gusti adipati. Sungguh pun benar apa yang Paduka katakan, akan
tetapi hamba tetap berpendapat bahwa amatlah tidak layak bagi seorang
prajurit untuk tinggalkan gelanggang perang, melarikan diri seperti
orang-orang penakut dan pengecut! Hamba tidak takut mati di tangan
musuh, Gusti. Hamba tidak akan membiarkan musuh menduduki Selopenangkep
sebelum hamba mati!”
Demikian kata panglima tua yang amat setia. Kawan-kawannya mengangguk membenarkan.
Marahlah Adipati Tejolaksono. Dengan pandang mata tajam ia menatap wajah
para pembantunya, seorang demi seorang. Demikian tajam berpengaruh
pandang mata Adipati Tejolaksono sehingga mereka itu menundukkan muka
tidak berani menentang pandang
“Andika sekalian terlalu mabuk kegagahan sehingga lupa akan tugas
terutama dan terpenting seorang prajurit. Apakah tugas pertama seorang
prajurit? Patuh dan taat akan perintah atasan! Dan sekarang, andika
sekalian sudah hendak melanggar tugas pertama ini! Apakah andika semua
sudah tidak mengakui lagi aku sebagai atas kalian?”
Suara yang marah dan berwibawa ini tidak ada yang membantah. Semua
perwira hanya menundukkan muka dan biarpun mereka masih merasa
penasaran, namun teguran ini membuat mereka merasa malu sekali.
Adipati Tejolaksono menghela napas panjang, lalu berkata,
“Paman dan Kakang senopati semua. Jangan sekali-kali mengira bahwa aku
Tejolaksono takut menghadapi maut dalam perang melawan musuh. Sama
sekali tidak, seujung rambutpun tidak! Dan jangan mengira aku mengajak
andika semua menyelamatkan diri karena takut kepada musuh, sama sekali
tidak! Aku mengambil keputusan ini setelah kuwawas dengan matang,
setelah kupertimbangkan semasak-masak-nya. Hanyalah orang bodoh yang
berlaku nekad dan membunuh diri tanpa ada manfaatnya. Kita terkepung,
jumlah musuh jauh terlalu banyak sehingga kalau kita berkeras melawan,
kita akan membuang nyawa secara sia-sia belaka. Kita tidak boleh buta
akan kenyataan, dan dapat mengetrapkan keberanian kita pada saat yang
tepat. Kalau kita berkeras mempertahankan Selopenangkep, akhirnya kita
akan tewas semua dan apakah andika kira bahwa kalau kita tewas
Selopenangkep tidak akan diduduki musuh? Sia-sia belaka kita nekat tanpa
perhitungan. Sebaliknya, kalau kita dapat menyelamatkan diri
membebaskan diri dari pada kepungan, benar bahwa Selopenangkep akan
diduduki musuh. Akan tetapi kita masih hidup dan tentu saja kita tidak
akan tinggal diam. Kita akan menyatukan diri dengan pasukan Panjalu dan
kembali ke sini. Nah, saat itulah kita boleh mempertaruhkan nyawa dalam
perang yang seimbang. Selain itu, jangan andika sekalian mengira akan
mudah saja membebaskan diri dari pada kepungan musuh ini. Sama sekali
tidak! Kita harus menerobos dan membuka jalan darah, bertanding
mati-matian, mungkin sekali banyak diantara kita akan tewas, akan tetapi
setidaknya, sebagian dari pada kita akan selamat dan kelak akan
membalaskan kematian kawan-kawan yang gugur. Kalau kita nekat
mempertahankan di sini, kita semua mati. Siapa kelak yang akan
membalaskan kematian kita?”
Ucapan sang adipati yang panjang lebar ini menyadarkan para senopati.
Mereka mengangguk-angguk dan menyatakan setuju. Maka diaturlah siasat.
Malam itu, kalau para musuh menyerang dengan anak panah, pasukan
diharuskan membiarkan saja dan tidak terlalu membuang tenaga memadamkan
api, bahkan lebih baik menyimpan tenaga dan beristirahat sambil
berlindung.
Kemudian, jauh lewat tengah malam, ketika diperkirakan lawan yang lelah
itu mengaso, mereka akan menyerbu keluar melalui pintu gerbang sebelah
utara.
Seperti pada malam-malam yang lalu, malam itu fihak musuh juga
menghujankan panah api. Para prajurit Selopenangkep, sesuai dengan
perintah sang adipati, hanya memadamkan api yang sekiranya berbahaya
saja. Mereka lebih sibuk bersiap untuk menyerbu keluar pagi nanti dan
beristirahat mengumpulkan tenaga.
Keluarga para prajurit yang sudah dikumpulkan di kadipaten, berikut
anak-anak mereka, telah pula bersiap-siap melarikan diri bersama-sama
karena mereka maklum bahwa wanita yang tertinggal di situ pasti kelak
akan menjadi korban kebiadaban para musuh.
Dari pada tinggal dan terancam bahaya mengerikan, mereka ini lebih suka
ikut melarikan diri dengan taruhan nyawa di samping suami dan ayah
mereka.
Lewat tengah malam, serangan dari luar berhenti dan keadaan menjadi
sunyi di luar kadipaten. Di sana-sini, di dalam kadipaten, masih ada api
menyala. Adipati Tejolaksono melakukan persiapan bersama isterinya.
Suami isteri ini sama sekali tidak mempedulikan isi gedun kadipaten.
Hanya keris pusaka yang mereka bawa, di samping benda-benda per hiasan
yang kecil-kecil saja. Sedikitpun mereka tidak merasa berduka
meninggalkan barang-barang mereka, hanya berduka karena kini mereka
terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal mereka berdua saja, sedangkan
putera mereka masih belum mereka ketahui keadaannya, juga Pusporini
yang diculik musuh.
Mereka berduka menyaksikan kematian Roro Luhito yang begitu mengerikan,
tanpa mendapat kesempatan untuk mengurus dan menyempurnakan jenazah
orang tua itu.
Tejolaksono menanti sampai jauh lewat tengah malam. Setelah mendekati
fajar dan diperkirakan fihak musuh sedang enak mengaso dan tidur,
Tejolaksono memberi isyarat kepada para pembantunya. Bergeraklah sisa
pasukan Selopenangkep yang berjumlah hanya kurang lebih dua ratus orang
itu bersama keluarga mereka yang mereka lindungi dan dikumpulkan di
tengah-tengah mereka.
Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, keduanya mengenakan
pakaian ringkas berwarna hitam, keris pusaka terselip di pinggang,
berjalan berdampingan paling depan, merupakan pelopor. Sikap mereka yang
gagah perkasa dan sedikitpun tidak membayangkan takut dan menambah
semangat para prajurit dan di dalam hati setiap orang prajurit bersumpah
untuk sehidup-semati dengan junjungan mereka ini.
“Kita menyerbu keluar dengan mati-matian! Ketahuilah kalian semua bahwa
kalau kita tetap berlindung di kadipaten, akhirnya kita semua akan mati
kelaparan atau mati terbakar. Dari pada mati konyol seperti itu, adalah
lebih baik kalau kita menyerbu keluar dan berusaha melarikan diri ke
Panjalu untuk mencari bala bantuan. Ingat, yang tewas dalam penyerbuan
ini adalah prajurit-prajurit gagah perkasa dan setia karena kematiannya
adalah demi menyelamatkan sebagian kawan-kawan dan mereka yang berhasil
selamat melarikan diri sampai ke Panjalu adalah prajurit-prajurit
perkasa pula yang kelak akan membalaskan kematian kawan-kawan yang tewas
dalam usaha ini. Karena itu, marilah kita bertempur mati-matian, demi
untuk keselamatan kita sendiri, teman-teman dan keluarga kita, juga demi
nama dan kehormatan kita sebagai prajurit-prajurit Selopenangkep yang
lebih baik mati daripada menakluk kepada musuh!”
Demikian pesan terakhir Adipati Selopenangkep itu ketika hendak melakukan penyerbuan keluar.
Fajar yang sunyi dan dingin sekali itu, secara tiba-tiba dipecahkan
suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika para penyerbu dari dalam ini
ketahuan. Terjadilah perang yang amat hebat, perang kacau-balau karena
biar pun fihak pengurung kadipaten jumlahnya jauh lebih banyak, akan
tetapi mereka tadi tengah tidur nyenyak dan sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa sisa prajurit-prajurit Selopenangkep yang sudah dikurung
berhari-hari itu masih ada kemampuan untuk menyerbu dan menerobos
keluar.
Sepak terjang Tejolaksono dan Ayu Candra amat menggiriskan hati para
prajurit musuh. Bagaikan sepasang garuda sakti saja, suami isteri yang
menjadi pelopor terdepan ini mengamuk dan barang siapa berani menghadang
di depan mereka, tentu akan terjungkal roboh tak bernyawa lagi!
Jauh berbeda perasaan suami isteri ini ketika mereka mengamuk dan
membabati musuh seperti dua orang penggembala berlumba membabat rumput
saja. Semangat Tejolaksono meluap-luap karena sang adipati ini ingin
sekali melihat sebanyak mungkin prajuritnya dapat berhasil lolos dari
kepungan.
Adapun Ayu Candra mengamuk berdasarkan dorongan rasa hati yang sakit,
marah dan dendam karena musuh inilah yang menyebabkan pelbagai
malapetaka menimpa keluarganya, bahkan yang memaksanya meninggalkan
kadipaten tanpa menanti kembalinya puteranya, Bagus Seta, dan Pusporini
yang hilang entah ke mana perginya.
Tetapi betapa pun jauh bedanya gelora yang bergejolak di hati
masing-masing, akibatnya amat celaka bagi lawan yang berani menghadang
di depan suami isteri perkasa ini.
Betapa pun gagahnya para prajurit Selopenangkep yang mengamuk sambil
bersorak menggegap-gempita, namun jumlah lawan terlalu banyak.
Di bawah pimpinan Tejolaksono dan Ayu Candra, akhirnya sebelum matahari
terbit dan sebelum fihak musuh dapat menghimpun kekuatan dan pulih dari
pada kekacauan karena penyerbuan, tiba-tiba itu, sebagian kecil prajurit
Selopenangkep dan keluarganya berhasil lolos dari kepungan dan
melarikan diri ke arah Panjalu.
Dari dua ratus orang prajurit yang dapat lolos hanya lima puluh lebih
orang saja, dan keluarga para prajurit hilang tiga perempatnya! Kematian
di fihak mereka banyak, akan tetapi mereka akan berbesar hati kalau
dapat menghitung jumlah korban di fihak musuh yang telah mereka roboh
dan tewaskan, karena jumlah ini sedikitnya ada tiga kali lebih besar
daripada jumlah korban mereka!
Tidak ada seorang pun di antara mereka yang tidak membunuh musuh
sedikitnya dua orang, dan mereka yang gugur tentu telah merobohkan lebih
banyak musuh pula!.
Perjalanan melarikan diri ke Panjalu ini amatlah sengsara. Karena
khawatir akan pengejaran musuh yang berjumlah besar, mereka melakukan
perjalanan siang malam sehingga dalam perjalanan yang dipaksa ini
kembali jatuh beberapa orang korban, yaitu di antara mereka yang terluka
dalam penyerbuan keluar itu.
Namun akhirnya, dalam keadaan lelah lahir batin, Adipati Tejolaksono”
bersama isteri berhasil juga membawa rombongan pelarian ini sampai ke
Kota Raja Panjalu di mana sang adipati dengan suara pilu melaporkan
segala peristiwa yang terjadi kepada sang prabu di Panjalu.
Bukan main marahnya sang prabu di Panjalu ketika mendengar pelaporan
Adipati Tejolaksono. Sang prabu masih duduk terhenyak di atas
singgasana, akan tetapi jari-jari tangan yang memegang lengan kursi itu
menegang dan mengepal-ngepal-kan tinju.
Wajah yang tampan dan biasanya tenang dan agung itu kini menjadi merah,
seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi, giginya berkerot dan dadanya
bergelombang, sepasang mata yang masih tajam berpengaruh itu memandang
penuh kemarahan kepada musuh.
“Babo-babo... si keparat! Tidak ada habisnya nafsu kemurkaan diumbar
oleh Sriwijaya! Begitu buta matanya sehingga tidak melihat bahwa
sesungguhnya agama diciptakan untuk mendatangkan perdamaian di atas
bumi! Akan tetapi dia malah berani memperalat agama untuk mengumbar
nafsu, mempergunakan pendeta-pendeta palsu dan agama-agama sesat untuk
mempengaruhi rakyat Panjalu dan untuk menyebar kematian dan kerusakan!
Hei, para senopati dan perwiraku! Jangan kehilangan akal. Kerahkan semua
barisan, perhebat gemblengan dan latihan mulai saat ini juga. Aku
mengangkat Tejolaksono menjadi senopati perang untuk memimpin barisan
Panjalu dengan tugas membasmi sampai habis benalu-benalu yang datang
dari Sriwijaya dan Cola!”
Perang...! Perang...! Perang…!
Tidak ada seorang pun manusia kalau ditanya menjawab bahwa dia suka akan
perang. Tidak! Semua orang tidak suka, bahkan membenci perang, karena
siapakah orangnya yang akan dapat menikmati kesenangan dari perang?
Kematian merajalela, harta benda mawut, hidup tak terjamin keamanannya.
Semua orang membenci perang. Akan tetapi kenyataannya, semenjak dunia
berkembang sampai sekarang, dunia penuh dengan perang. Berhenti di sini,
muncul di sana. Tenang di sana, meletus di sini! Terus-menerus begitu, |
abad demi abad, sehingga manusia menjadi terbiasa karenanya,
seolah-olah perang merupakan hiasan dunia, merupakan keharusan dalam
penghidupan manusia. Perang untuk memperebutkan kemenangan!
Ciri khas mahluk yang disebut manusia! Dan agaknya, selama ciri ini,
yaitu ingin menang sendiri, tidak terhapus dari pada watak umum manusia,
sampai dunia kiamat sekali pun perang takkan pernah dapat terhapus dari
pada lembaran sejarah.
Perang! Bunuh-membunuh! Perjuangan antara hidup dan mati.
Mengerikan! Mengerikan? Sesungguhnya tidak, karena bukankah pada
hakekatnya hidup ini perjuangan antara hidup dan mati? Bukankah hanya
ada dua di dunia ini, yaitu hidup atau mati? Yang mati untuk memberi
kesempatan bagi yang hidup untuk menggantikan yang mati, apa bedanya?
Menang atau kalah, apa nilainya? Panggung sandiwara itu tetap terbuka.
Layar itu berulang kali dikerek turun naik.
Berganti-ganti pelakunya, bertukar sri panggungnya, namun dimulai dan
ditutup dengan naik dan turunnya layar. Yang lama turun yang baru naik.
Layar dikerek naik lagi untuk kemudian ditutup kembali.
Begitu dan begitu seterusnya. Yang tinggal hanya kenangan! Ini pun juga
akan terhapus. Dunia sebagai panggung! sandiwara lapuk dengan
manusia-manusianya sebagai pelaku-pelaku yang selalu; haus akan hal
baru. Dipertontonkanlah bermacam gaya dan permainan, semuanyal palsu.
Drama dan lawak, terutama sekali awak dengan dagelan-dagelan bermacam
gaya.....!
Komentar
Posting Komentar