PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-31


Di mana-mana mereka mendapat sambutan, dan terjadilah perang tanding. Namun pasukan-pasukan Panjalu memang terlatih dan kuat, apalagi jumlahnya besar dan di mana-mana mendapat dukungan rakyat. Terutama sekali induk barisan yang dipimpin sendiri oleh Tejolaksono.
Menggempur sana menerjang sini, dan di mana saja pasukan-pasukan liar musuh tentu dibikin kocar-kacir, kalau tidak dibasmi sama sekali.
Barisan Panjalu terus bergerak ke arah barat. Banyak sudah pasukan lawan yang dapat dihancurkan tapi belum pernah idam-idaman hati Tejolaksono terpenuhi, yaitu menangkap atau membunuh tokoh-tokoh yang menggerakkan pasukan-pasukan asing itu.
Ingin sekali ia dapat berhadapan dengan anak buah Biku Janapati dan Wasi Bagaspati.
Ingin sekali ia dapat menangkap Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohang koro, Sariwuni dan kawan-kawan mereka itu. Namun, tak pernah ia berkesempatan bertanding yuda dengan mereka itu yang agaknya bergerak di baiik tabir hitam dan selalu melarikan diri kalau melihat pasukan mmereka terpukul mundur.
Akhirnya, setelah menghalau penghalang-penghalang yang berupa pasukan-pasukan liar musuh, barisan yang dipimpin Tejolaksono berhasil menduduki kembali Selopenangkep.
Hati sang adipati remuk redam ketika ia menyaksikan keadaan Selopenangkep. Rakyatnya mengalami penderitaan hebat. Banyak wanita diperkosa, laki-laki dibunuh dan mereka semua diharuskan menjadi penyembah-penyembah Durga dan Bathara Kala.
Keadaan istana kadipaten sendiri rusak dan hancur. Barang-barang berharga sudah lenyap, bahkan sebagian besar bangunannya ambruk dan terbakar. Tejolaksono makin sakit hatinya. Ia terus mengadakan pembersihan di sekitar daerah Selopenangkep, setiap hari memimpin pasukan keluar untuk melakukan pengejaran dan pembersihan.
Sebenarnya tidak ringan tugas yang dipikul oleh Tejolaksono dan prajurit-prajurit Panjalu, sebab fihak lawan kadang-kadang mengadakan perlawanan hebat sehingga menimbulkan banyak korban pula di fihak Panjalu.
Ketika pasukan Panjalu mengadakan penyerbuan di Gunung Mentasari yang menjadi markas besar Ni Dewi Nilamanik, pasukan Panjalu menghadapi perlawanan yang luar biasa beratnya dan hampir saja pasukan Panjalu mengalami bencana besar.
Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Tejolaksono, berjumlah tiga ratus orang, karena menurut para penyelidik, puncak Mentasari itu hanya dihuni oleh wanita-wanita penyembah Durga yang jumlahnya tidak banyak.
Dan memang keterangan para penyelidik ini tidak salah. Puncak Mentasari dijadikan tempat pusat atau markas besar untuk sementara waktu oleh Ni Dewi Nilamanik dan di sini ia mempunyai anak buah sebanyak sembilah puluh sembilan orang, kesemuanya wanita-wanita yang cantik-cantik dan genit-genit.
Tejolaksono yang selalu bersikap hati-hati dan waspada tidak mau memandang rendah fihak lawan. Selain ini, juga ia ingin sekali dapat menangkap hidup atau mati pimpinan pasukan penyembah Bathari Durga itu, yakni Ni Dewi Nilamanik.
Maka ia lalu membagi pasukannya menjadi lima, dan mendaki Bukit Mentasari dari lima jurusan. Dari empat jurusan masing-masing terdiri dari lima puluh orang prajurit sedangkan seratus orang prajurit lagi ia pimpin sendiri, mendaki dari jalan biasa, langsung ke puncak.
Inilah kesalahan Tejolaksono. Ia terlalu hati-hati dan mengambil jalan mengurung, akan tetapi hal ini malah menjadi berbahaya karena berarti bahwa sebagian dari pada prajurit-prajuritny terpisah dari padanya.
Inilah bahayanya menghadapi perlawanan kasar yang menggunakan kekerasan, tentu saja para prajurit itu telah terlatih dan tergembleng dan kiranya akan dapat menanggulangi musuh.
Akan tetapi menghadapi sambutan halus yang didasari kesaktian ilmu hitam, tentu saja hanya Tejolaksono yang akan dapat menghadapinya.
Demikianlah, setelah memecah pasukannya menjadi lima bagian, Tejolaksono sendiri lalu memimpin sisa pasukan mendaki Gunung Mentasari yang tidak berapa tinggi itu. Ia sudah memperhitungkan bahwa penghuni gunung itu tentu tidak akan dapat meloloskan diri karena pasukanpasukannya mengepung dan memasuki dari lima jurusan.
Maka untuk mencapai puncak, ia sengaja membawa pasukannya lambat-lambat saja menuju sarang musuh. setelah hampir tiba di puncak, Tejolaksono menyuruh pasukannya bersembunyi dan menanti tanda rahasia pasukan-pasukan lain yang mengepung puncak. Tanda rahasia itu adalah bunyi emprit gantil yang diulang sampai tiga kali.
Puncak di mana berdiri bangunan-bangunan para penyembah Bathari Durga tampak sunyi-sunyi saja,sungguh pun asap yang mengepul menjadi tanda bahwa penghuninya masih ada dan mungkin asap itu adalah asap dari dapur mereka.
Telah lama Tejoiaksono menanti, namun belum juga ada tanda-tanda dari empat pasukannya yang lain. Padahal menurutkan perhitungannya, pasti mereka telah tiba di puncak, atau sedikitnya satu di antara empat tentu sudah sampai.
Ia menjadi tidak sabar dan juga gelisah. Tidak munculnya empat pasukan kecil itu boleh jadi berarti bahwa mereka mendapatkan bencana yang tak terduga-duga.
Oleh karena itu, Tejolaksono lalu memberi tanda dan dia sendiri lebih dulu menyerbu naik ke atas Puncak, menuju bangunan-bangunan yang sudah kelihatan dari tempat mereka bersembunyi tadi.
Pasukannya yang seratus orang banyaknya itu pun bersorak dan menyerbu ke puncak.Sudah gatal-gatal tangan mereka dan kesal hari mereka karena sejak tadi bersembunyi dan berdiam diri saja.
Tiba-tiba dari dalam bangunan itu bermunculan banyak sekali wanita cantik dan... sorak-sorai para prajurit Panjalu itu seketika terhenti. Sebagian besar di antara mereka terhenyak di tempatnya seperti berubah menjadi arca dengan mata terbelalak memandang ke depan dan mulut ternganga, tidak tahu apa yang harus dilakukan!
Bermacam-macam perasaan tampak pada wajah para prajurit yang tadinya bersernangat penuh untuk bertanding ini. Ada yang tersipu-sipu malu, ada yang terbelalak dan terpesona penuh gairah, ada yang mengeluarkan kutuk, dan ada pula yang menjadi pucat pasi mukanya.
Betapa mereka tidak akan tercengang ketika mendapat kenyataan bahwa musuh yang mereka serbu ini ketika muncul merupakan sekumpulan wanita muda cantik dan berpakaian tipis setengah telanjang, yang berlari-lari menyambut mereka dengan rambut panjang terurai lepas, pakaian sutera tipis berkibar setengah terbuka, mata bergerak genit dan mulut tersenyum-senyum memikat penuh daya rangsang.
Akan tetapi tiga prajurit terdepan yang bergerak maju dengan pandang mata penuh gairah terpikat dan hendak merangkul wanita-awanita itu, tiba-tiba roboh terguling oleh kilatan keris-keris yang berada di tangan wanita-wanita itu dan yang disembunyikan di balik pakaian yang berkibar-kibar
Menyaksikan keadaan ini, Tejolaksono maklum bahwa fihak lawan mempergunakan pikatan berupa anggotaanggotanya yang muda dan cantik, diperkuat oleh pengaruh ilmu hitam yang melemahkan semangat para prajuritnya.
Maka ia lalu mengerahkan hawa sakti di dadanya dan mengeluarkan pekik Dirodo Meto yang mempu nyai pengaruh dan wibawa besar dan hebat sehingga sejenak buyarlah kekuatan ilmu hitam guna-guna yang dibawa oleh wanita-wanita setengah telanjang itu dan terkejutlah semua prajurit Panjalu seperti mendengar halilintar di dekat telinga. Karena terkejut, mereka sadar dan sejenak mereka terbebas dari pada cengkeraman hawa ilmu hitam yang mempesonakan hati mereka tadi.
“Semua prajurit perkasa maju! Mereka adalah iblis-iblis betina yang harus dihancurkan!” teriakan Tejolaksono menggema di seluruh puncak bukit itu dan kini semangat para prajurit terbangun kembali.
Tubuh-tubuh setengah telanjang dan wajah cantik tersenyum-senyum tidak lagi tampak cantik menarik dan lemah gemulai, melainkan tampak seperti wajah Bathari Durga di kala marah,mengerikan dan menjijikkan.
Seketika mereka serentak maju dan menggerakkan senjata dan terjadilah perang tanding karena kini para penyembah Durga, anak buah Ni Dewi Nilamanik itu maklum bahwa pengaruh ilmu guna-gunanyang disebar guru mereka sudah kehilangan kekuatannya dan mereka tidak lagi dapat mengandalkan ilmu itu, melainkan harus mengandalkan senjata dan ketangkasan.
Namun, dalam hal ketangkasan bertanding mempergunakan tenaga dan senjata, para anak buah Ni Dewi Nilamanik ini tidak dapat mengimbangi kegagahan para prajurit Panjalu sehingga mulailah terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya wanita-wanita itu.
Adapun Tejolaksono sendiri setelah dengan hati lega menyaksikan kepulihan semangat para prajuritnya, lalu meloncat ke depan dan langsung ia menyerbu Ni Dewi Nilamanik yang baru muncul keluar dari pintu. Ia tidak mengenal wanita ini, namun melihat pakaiannya yang indah, kecantikannya yang mengagumkan dan mengerikan karena mata batinnya yang waspada dapat melihat betapa kecantikan itu tidak wajar dan di balik kecantikan yang menonjol oleh daya ilmu hitam ini bersembunyi kekejaman yang amat luar biasa, dapatlah ia menduga dengan cepat siapa adanya wanita ini. Apa lagi melihat betapa wanita itu memegang sebuah pengebut lalat yang terbuat dari pada benang semacam serat berwarna, merah dan berbentuk seperti buntut kuda.
Tanpa banyak cakap lagi ia lalu menerjang maju, menggunakan sepasang goloknya yang sengaja dibuat oleh adipati ini dan menjadi senjatanya yang ampuh selama ia melakukan tunas pembersihan menghalau musuh dari daerah Panjalu.
Akan tetapi, Ni Dewi Nilamanik pada saat itu menjadi terkejut dan marah ketika memperhatikan anak buahnya.
Tadi ia telah mempergunakan ilmu hitamnya,meniupkan aji guna-guna kepada para muridnya sehingga setiap orang pria yang bertemu tentu akan luluh semangatnya dan tergila-gila. Bagaimana sekarang muridmuridnya itu dihajar sampai banyak yang roboh tewas oleh para prajurit Panjalu? Kini melihat berkelebatnya tubuh Tejolaksono yang didahului dengan gulungan dua sinar golok berkilauan, Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya sudah melesat ke samping.
Dalam mengelak ini, Ni Dewi Nilamanik membarengi dengan gerakan pengebutnya. Sinar merah menyambar dari samping ke arah Tejolaksono, mengeluarkan bunyi “Tarrrr...!” keras sekali.
Tejolaksono yang sudah menduga akan kesaktian wanita ini, tidak berani memandang rendah dan cepat pergelangan tangannya bergerak memutar, membuat golok kanannya membentuk lingkaran menangkis sinar merah itu.
Akan tetapi sinar tak kunjung datang dan ketika ia memandang, ternyata wanita itu sudah melesat jauh ke depan dan tangan kiri wanita itu dengan gerakan kuat sekali, melemparlemparkan sesuatu ke atas.
Seketika tempat itu menjadi gelap oleh debu putih yang disebar oleh Ni Dewi Nilamanik itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kaget hati Tejolaksono ketika melihat para prajuritnya yang terdepan menjadi terhuyung-huyung dan terengah-engah sehingga mereka ini dengan mudah dapat dirobohkan oleh anak buah Ni Dewi Nilamanik yang tertawa terkekeh-kekeh karena girang hati menyaksikan anak buahnya membunuhi prajurit-prajurit Panjalu.
“Bedebah, iblis betina!”
Adipati Tejolaksono berseru marah sekali dan tubuhnya mencelat ke atas, menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik. Sebuah teriakan keras menggema keluar dari mulutnya dan dua gulungan sinar goloknya menyilaukan mata, menyambar dengan gerakan menyilang seperti dua ekor ular naga menukik turun dari angkasa.
“Heeeiiiiittt...!”
Ni Dewi Nilamanik terkejut sekali sehingga tanpa disadarinya ia mengeluarkan jerit ini dan tubuhnya dilempar ke belakang, terjengkang dan rebah terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan diri dari pada dua gulungan sinar maut yang keluar dari sepasang golok di tangan Tejolaksono. Kemudian dari bawah, sinar merah kebutannya meluncur ke arah perut Tejolaksono dengan kecepatan kilat sehingga pendekar sakti ini terpaksa menghentikan serangannya dan menangkis dengan golok disilang, dengan maksud menggunting putus ujung kebutan.
Akan tetapi ternyata jurus-jurus yang dimainkan wanita itu penuh tipu muslihat karena kali ini kembali luncuran senjatanya hanya merupakan gerak tipu belaka dan sudah melejit ke bawah.
Dengan tubuh masih di atas tanah, mendekam, wanita itu kini menyambarkan kebutannya hendak menyerimpung kedua kaki Tejolaksono yang kagum bukan main. Dari keadaan terdesak, ternyata dalam satu dua jurus saja wanita itu sudah membalikkan keadaan, menjadi balas mendesak. Terpaksa Tejolaksono meloncat ke atas dan terjadilah perang tanding yang amat seru dan hebat antara Ni Dewi Nilamanik dan Tejolaksono.
Sementara itu karena kini didesak Tejolaksono, Ni Dewi Nilamanik tidak dapat lagi mengacaukan para prajurit dan kembali para prajurit Panjalu menerjang para wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik sehingga terdengar pekik susulmenyusul yang keluar dari mulut para wanita yang roboh oleh senjata para prajurit.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, tiba-tiba Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan teriakan menyayat hati, tangan kanan digerakkan dan... tiba-tiba semua bulu kebutan yang berwarna merah itu terlepas dari gagangnya dan bagaikan ratusan ekor ular merah yang kecil menyambar ke depan, sebagian ke arah Tejolaksono dan sebagian lagi ke arah prajurit-prajurit yang berdekatan.
Tejolaksono memutar sepasang goloknya dengan jurus pertahanan dari ilmu Golok Lebah Putih sehingga sepasang goloknya mengeluarkan suara mendengung seperti sekumpulan lebah keluar dari sarang.
Runtuhlah semua bulu kebutan yang tadi menyambar bagaikan anak-anak panah itu, akan tetapi terdengar jerit-jerit mengerikan disusul robohnya tujuh orang prajurit yang tubuhnya tertembus oleh bulu-bulu kebutan yang beracun!.
Tejolaksono yang terkejut memandang anak buahnya,menjadi marah, cepat membalikkan tubuh dan siap menerjang lawan. Akan tetapi ternyata Ni Dewi Nilamanik telah lenyap. Wanita itu mempergunakan kesempatan tadi untuk menyelinap di antara anak buahnya yang mulai terdesak. Tejolaksono mengejar, mengamuk dan merobohkan banyak musuh, namun tidak kelihatan pula bayangan Ni Dewi Nilamanik.
Kacau-balaulah kini pertahanan anak buah Ni Dewi Nilamanik setelah ditinggalkan pemimpinnya.
Amukan para prajurit Panjalu makin menghebat dan akhirnya mereka lari cerai-berai, dikejar oleh prajurit-prajurit Panjalu. Di antara sembilan puluh sembilan orang prajurit wanita anak buah Ni Dewi Nilamanik, hanya ada sebelas orang saja yang lolos dan entah lari ke mana, mungkin melalui jalan rahasia bersama pemimpin mereka.
Yang lain telah tewas sehingga mayat mereka berserakan memenuhi tempat itu, malang melintang bersama mayat-mayat para prajurit Panjalu yang banyak jumlahnya pula.
Kemudian ternyata oleh Tejolaksono bahwa empat rombongan pasukannya yang mendaki dari lain jurusan untuk mengepung markas musuh itu, ternyata telah berantakan karena disambut oleh pasukan musuh yang mempergunakan ilmu hitam.
Mereka itu terpikat dan mabuk di bawah pengaruh guna-guna yang amat kuat sehingga di antara dua ratus orang dalam empat rombongan itu, hampir semua tewas, hanya ada dua puluh orang lebih saja yang berhasil menyelamatkan diri.
Dengan demikian,ditambah dengan jumlah korban dari pasukannya yangmenyerbu tadi, jumlah korban semua dari prajurit Panjalu ada dua ratus orang. Mereka berhasil membasmi pasukan penyembah Bathari Durga dan menewaskan hampir semua anggotanya, namun dengan pengorbanan yang jauh lebih besar!.
Pembersihan dilakukan terus-menerus oleh Tejolaksono.
Kadang-kadang pasukannya terancam bahaya besar. Ketika pasukannya bertemu dengan barisan musuh di Kulon Progo (sebelah barat Sungai Progo), juga terjadi perang yang amat hebat.
Pasukan musuh itu jumlahnya seimbang dengan pasukannya, namun pasukan musuh diperkuat oleh tiga puluh orang raksasa gundul, anak buah Cekel Wisangkoro.
Pasukan raksasa gundul ini-lah yang amat hebat, membuat para prajuritnya kewalahan, karena mereka ini rata-rata memiliki kekebalan dan tenaga yang dahsyat! Gerakan mereka seperti robot, dan memang keadaan pasukan ini seperti bukan manusia-manusia lagi. Semangat mereka dikendalikan oleh Cekel Wisangkoro dengan pengaruh ilmu hitam.
Tejolaksono maklum bahwa kalau ia tidak cepat turun tangan, tentu para prajuritnya akan celaka. Maka ia lalu mainkan sepasang goloknya dan tubuhnya sampai lenyap terbungkus dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara mbrengengeng seperti ratusan ekor lebah mengamuk.
Gulungan sinar putih ini seperti tangan maut sendiri,mengamuk di antara orang-orang gundul tinggi besar yang dengan nekat dan tidak mengenal takut mengeroyoknya.
Lima orang gundul mengeroyok Tejolaksono. Begitu pendekar sakti ini merobohkan mereka dengan kepala remuk dan tubuh terpelanting ke dalam Sungai Progo, lima orang lagi maju menggantikan dan demikianlah, terus menerus Tejolaksono mengamuk, sementara itu pasukannya kocar-kacir karena tidak sanggup menghadapi fihak lawan yang dibantu reksasa-raksasa gundul yang amat tangguh itu.
Setelah dengan tubuh lelah sekali Tejolaksono akhirnya berhasil menewaskan tiga puluh orang raksasa gundul itu, barulah prajurit prajuritnya yang sudah banyak kehilangan kawan itu bangkit semangatnya dan terjadi perang yang amat dahsyat yang berakhir dengan kemenangan fihak Panjalu.
Akan tetapi juga dalam perang tanding di pantai Progo ini, Tejolaksono kehilangan banyak prajurit dan dengan kecewa ia tidak dapat menangkap atau menewaskan Cekel Wisangkoro yang berhasil menye lamatkan diri bersama sisa pasukannya…..
********************
Berbulan-bulan lamanya Tejolaksono memimpin pasukan Panjalu menghalau musuh yang ternyata telah menanam kuku di sekitar Selopenangkep, di sebelah barat dan utara.
Berkat ketekunannya dan kegagahan para prajurit Panjalu, musuh dapat dihalau dan banyak pula yang dapat dihancurkan dan dibasmi.
Setelah setahun ia memerangi musuh, pada suatu hari ia mendapat keterangan dari penyelidiknya bahwa di sekitar Gunung Merak terlihat gerakan musuh yang terdiri dari para penyembah Bathara Kala, dipimpin oleh Ki Kolohangkoro.
Tejolaksono mengertak gigi karena di antara para musuhnya, Ki Kolohangkoro ini termasuk tokoh besar yang dicari-carinya. Ia mendengar bahwa Ki Kolohangkoro ini adalah adik tunggal guru dengan Wiku Kalawisesa yang telah membunuh banyak ponggawa Panjalu dan Jenggala dan yang kemudian terbunuh di tangan Endang Patibroto.
Ia lalu mengumpulkan sejumlah besar pasukan, kemudian memimpin sendiri pasukan Panjalu itu, berangkat ke Gunung Merak untuk membasmi musuh yang ia kira merupakan kekuatan terakhir dari para pengacau.
Tiga hari kemudian, menjelang senja, sampailah pasukan Panjalu ini di kaki Gunung Merak. Gunung Merak adalah sebuah gunung yang kecil di antara Pegunungan Kidul, dan karena di situ terdapat banyak burung meraknya maka dinamakan Gunung Merak.
Tejolaksono memerintahkan pasukannya untuk beristirahat di kaki gunung, menyusun tenaga untuk penyerbuan yang akan dilakukan esok hari.
Malam itu amat gelap dan pasukannya belum mengenal daerah ini, maka amatlah berbahaya untuk menyerbu malam-malam ke atas, apa lagi kalau diingat bahwa pasukan lawan yang sekarang dihadapi adalah pasukan penyembah Bathara Kala yang ia duga tentu lebih kuat dari pada yang sudah-sudah.
Dugaan Tejolaksono ini memang benar, akan tetapi ia hanya dapat menduga setengahnya saja. Kalau saja Tejolaksono tahu akan keadaan seluruhnya di puncak Gunung Merak itu, tentu ia akan membawa mundur pasukannya dan baru akan berani menyerbu kalau disertai orang-orang sakti dan pasukan yang amat kuat.
Dia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada malam hari itu,puncak Gunung Merak dijadikan tempat bertemuan dan perundingan oleh tokoh-tokoh besar yang menjadi utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola! Lengkap hadir semua tokoh besar musuh Panjalu, di antaranya Ni Dewi Nilamanik, Cekel Wisangkoro, Kolohangkoro, Sariwuni dan yang lain.
Bahkan dua orang tokoh puncaknya yang menjadi puncak pimpinan dan wakil kedua kerajaan, hadir pula.
Siapakah kedua orang itu? Bukan lain adalah dua orang kakek sakti mandraguna, yaitu Sang Biku Janapati yang mewakili Kerajaan Sriwijaya dan Sang Wasi Bagaspati yang mewakili Kerajaan Cola!.
“Sadhu-sadhu-sadhu! Sayang sekali bahwa andika masih belum sadar sepenuhnya bahwa kekerasan itu tiada guna, hancur oleh kelemasan, Wasi Bagaspati! Penggunaan kesaktian akan sia-sia belaka di sini adalah gudangnya orang-yang sakti mandraguna, keturunan orang-orang Mataram yang tak mungkin dapat ditundukkan dengan aji kedigdayaan.”
Demikian antara lain Biku Janapati memperingatkan temannya, Sang Wiku Bagaspati. Dua orang pendeta sakti ini memikul tugas yang sama, hanya bedanya kalau Biku Janapati mewakili Kerajaan Sriwijaya, adalah Wasi Bagaspati mewakili Kerajaan Cola.
Terdapat perbedaan besar dalam sepak terjang mereka menunaikan tugas. Biku Janapati yang bergerak dari utara, menyebar Agama Buddha dengan cara halus dan sama sekali tidak mempergunakan kekerasan, sesuai pula dengan sifat agama itu sendiri yang mendasarkan kasih sayang dan menghapus kebencian dalam tindakannya.
Sebaliknya,Wasi Bagaspati yang bergerak dari barat, selain dibantu oleh anak buahnya sendiri para penyembah dan pemuja Sang Hyang Shiwa, juga dibantu oleh para penyembah Bathara Kala dan Bathari Durga, seringkali menggunakan kekerasan, bahkan kini secara berterang anak buahnya mengadakan perang terhadap pasukan Panjalu.
Muka Wasi Bagaspati yang sudah merah itu kini menjadi makin merah, kepalanya digerakkan ketika ia tertawa dan rambutnya yang panjang putih itu berkibar-kibar, tampak makin putih seperti benang-benang perak ketika menyentuh pundak bajunya yang berwarna merah darah.
“Heh-heh-heh, Sang Biku Janapati! Kekalahan-kekalahan kecil yang diderita oleh anak buahku menghadapi pasukan Panjalu, bukan apa-apa! Semua adalah gara-gara si adipati cilik Tejolaksono, bocah yang masih ingusan itu! Lihat sajalah, dia dan pasukannya sudah tiba,.. besok aku sendiri akan menghancurkannya, kemudian aku sendiri akan memimpin pasukan menyerbu Panjalu!”
“Wahai... saudaraku Wasi Bagaspati!“ kata Biku Janapati, sepasang matanya terbelalak memandang penuh kekagetan. “Sebelum berangkat dari Sriwijaya, kita sudah bersepakat tidak akan menggunakan kekerasan, setidaknya,andika tidak akan turun tangan sendiri. Apakah andika akan melanggar janji kita itu?”
Sejenak sepasang mata Wasi Bagaspati memandang tajam dan dua orang sakti itu saling bertentang pandang.
Mereka itu dahulu pernah menjadi lawan, yaitu ketika Kerajaan Cola berperang melawan Kerajaan Sriwijaya. Kini setelah kedua kerajaan itu bersabahat, mereka pun menjadi sahabat, namun watak dan sifat kedua orang ini memang jauh berbeda.
Biku Janapati suka akan kehalusan dan keramahan, sebaliknya Wasi Bagaspati suka akan kekerasan, suka berkelahi, dan berdarah panas. Namun akhirnya Wasi Bagaspati menghela napas pan jang dan lebIh dahulu menundukkan mukanya.
Ia maklum bahwa tiada untungnya untuk berselisih faham dengan sahabatnya ini dalam keadaan menghadapi lawan kuat seperti pasukan-pasukan Panjalu.
“Baiklah, Biku Janapati. Andika tidak perlu khawatir. Aku tidak akan turun tangan sendiri. Pula, betapa rendahnya kalau aku berlawan dengan seorang bocah macam Tejolaksono. Tidak, aku dan andika tidak akan turun tangan, hanya akan menjadi penonton. Biarlah para pembantuku yang akan menghadapi Tejolaksono.”
“Sadhu-sadhu-sadhu... begitu barulah lega hatiku! Dan perlu sekali lagi kuperingat kan, saudaraku Wasi Bagaspati bahwa tadi andika telah berjanji bahwa selanjutnya kita akan bekerja sama mempergunakan cara halus demi berhasilnya tugas kita. Dan jangan lupa janji kita dengan Ki Tunggaljiwa, orang-orang tua macam kita tidak perlu turun tangan, biarlah kita serahkan kepada yang muda-muda.”
“Ha-ha-ha-ha! Jangan khawatir, sang biku! Murid-muridku sudah banyak, dan manakah murid yang kau ajukan?”
Pendeta Itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang gundul. “Buah yang saya imbu (sekap) masih belum dalu (matang).”
“Ha-ha-ha-ha! Kuharap saja tidak mengecewakan kelak.”
“Mudah-mudahan begitu, sang wasi.”
Demikianlah antara lain percakapan antara dua orang pendeta sakti mandraguna itu di sebuah pondok di puncak Gunung Merak. Kemudian Sang Wasi Bagaspati memanggil dan mengumpulkan anak buahnya dan berungdinglah kakek ini dengan Cekel Wisangkoro muridnya, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, Sariwuni dan beberapa orang pimpinan pasukan yang menjadi anak buahnya. Setelah mengatur siasat untuk menghadapi pasukan Panjalu, Sang Wasi Bagaspati lalu memasuki kamar untuk beristirahat, ditemani oleh si cantik genit Sariwuni.
Pada keesokan harinya, kokok ayam jantan merupakan pertanda bagi pasukan Panjalu, seperti yang telah direncanakan Tejolaksono, dan mulailah pasukan ini mendaki dituntun sinar matahari yang mulai semburat merah. Karena mereka melakukan penyerbuan dari sisi timur bukit, maka sepagi itu tempat yang mereka lalui sudah kebagian sinar matahari.
Ketika pasukan-pasukan Panjalu itu sudah tiba di sebuah lereng yang rata dan luas, barulah mereka mendapat sambutan musuh yang turun berbondong-bondong dari puncak. Mereka ini adalah pasukan penyembah Bathara Kala, rata-rata orangnya tinggi besar dan senjata mereka adalah golok-golok besar dan penggada. Mereka itu menyerbu turun, menyambut pasukan Panjalu sambil bersorak-sorak, melompat-lompat dan bergulingan, dengan gerak-gerak kasar seperti barisan raksasa.
“Serbuuu!” Tejolaksono meneriakkan aba-aba ini untuk menambah semangat pasukannya yang begitu kedua fihak bertemu, terjadilah perang tanding yang dahsyat sekali. Fihak barisan Kala ini adalah anak buah Ki Kolohangkoro, rata-rata memiliki tenaga besar dan ilmu tata kelahi yang ganas dan kuat. Akan tetapi pasukan yang dipimpin Tejolaksono pada saat itu pun merupakan pasukan pilihan dari Panjalu, maka pertandingan itu merupakan pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Tejolaksono sendiri menyerbu paling depan dan seperti biasa, sepak terjang orang sakti ini hebat bukan main. Sepasang goloknya menderu-deru, mengeluarkan bunyi berdesing dan “mbrengengeng” seperti suara sekumpulan lebah mengamuk.
Celakalah fihak musuh yang berdekatan, karena sepasang goloknya itu tak dapat dihindari lagi, dielak terlalu cepat, ditangkis terlalu kuat sehingga senjata penangkis patah disusul robohnya lawan!
Akan tetapi tiba-tiba Tejolaksono mengeluarkan seruan marah. Ia melihat banyak anak buahnya roboh secara tidak wajar.
Ada uap hitam melayang-layang dan bergerak-gerak, keluar dari fihak musuh dan uap hitam yang seperti hidup ini setiap kali menyentuh prajuritnya, prajurit itu tentu roboh pingsan dan tentu saja dengan mudah menjadi korban senjata lawan.
Tejolaksono lalu meloncat dan sambil meneriakkan pekik Dirodo Meto ia lalu menyerbu ke arah uap hitam. Golok kanannya ia pegang dengan tangan kiri, sedangkan kini tangan kanannya ia hantamkan ke arah asap hitam itu dengan aji pukulan. Bojro Dahono.
Berkali-kali ia memukul dan asap hitam itu terpukul buyar sampai akhirnya lenyap. Menyaksikan pemimpin mereka yang berhasil melenyapkan asap hitam yang mengerikan, para prajurit Panjalu bersorak dan timbul kembali semangat mereka. Perang menjadi makin dahsyat dan sengit.
“Tar-tar-tar...!”
Tejolaksono yang pada saat itu berhasil menancapkan sepasang goloknya memasuki perut gendut dua orang musuh, terkejut dan cepat ia merendahkan diri terus menyelinap melalui bawah tubuh dua orang musuh yang roboh.
Ketika la meloncat bangun, ia melihat betapa hantaman kebutan merah itu yang tadinya menyambar kepalanya, kini mengenai kepala dua orang lawan yang telah ia tusuk.
Dua buah kepala itu pecah berantakan dan dua batang tubuh roboh tanpa kepala lagi. la bergidik dan memandang kepada Ni Dewi Nilamanik dengan marah.
“Iblis betina! Kiranya engkau berada di sini pula. Bersiaplah engkau untuk memasuki neraka jahanam!” bentak Tejolaksono.
Ni Dewi Nilamanik yang tadinya terkejut dan kecewa menyaksikan betapa serangannya yang dahsyat tadi dapat dihindarkan lawan, bahkan mengenai kepala dua orang prajurit anak buah sendiri, kini tersenyum lebar menindas kemarahannya.
Wanita yang berusia empat puluh tahun ini masih amat cantik, apa-lagi kini ia tersenyum, kecantikannya dapat memabukkan hati pria. Sepasang matanya menyambar penuh kemesraan, seolah-olah ia hendak memikat hati Tejolaksono.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar