PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-36
Sungguh mengherankan sekali kalau diingat betapa dahulu Endang Patibroto
adalah seorang wanita yang pantang tangis, wanita yang sakti
mandraguna, yang keras hati melebihi baja, kini menjadi wanita cengeng
yang menangis sepanjang jalan! Memang, betapa pun juga, dia tetap wanita
dan sekali tersentuh dan terbangkit cinta kasihnya, ia akan menjadi
seorang yang perasa sekali.
Lebih aneh lagi kalau dilihat betapa Setyaningsih, gadis cilik yang baru
berusia sebelas tahun itu, bersikap tenang dan seperti seorang dewasa
saja, selalu menghibur Endang Patibroto. Seringkali, apa bila Endang
Patibroto teringat akan pengalamannya berkasih mesra dengan Tejolaksono,
ia tidak dapat menahan diri dan menangis sesenggukan, menjatuhkan diri
di pinggir jalan tak dapat melanjutkan langkah kakinya.
Dan pada saat seperti itu, Setyaningsih yang segera rnemeluknya,
merangkul dan menciuminya, dan berbisik-bisik menghibur, membesarkan
hati, seperti seorang ibu menghibur anaknya yang rewel.
Kalaupun ada kalanya Setyaningsih sebagai seorang anak perempuan tak
dapat menahan karena terharu melihat ayundanya menangis seperti itu
sehingga air matanya sendiri runtuh, dia cepatcepat mengusap air matanya
dan menekan hatinya, berkeras menyembunyikan tangisnya agar ayundanya
tidak men jadi makin berduka.
“Sudahlah, ayunda Endang Patibroto, perlu apa ayunda menangisi terus hal
yang telah lewat? Bukankah lebih balk kalau kita melihat ke depan, ke
masa depan yang lebih gemilang? Kalau ayunda tidak dapat melupakan masa
lalu, baikIah, marl kita lanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap
tentang masa lalu. Aku ingin sekali mendengarkan semua kisah ayunda yang
pasti akan menarik sekali.”
Kalau sudah dihibur oleh adik kandungnya, Endang Patibroto menekan hati
dan perasaannya yang hancur, kagum menyaksikan sikap adiknya yang masih
kecil namun tenang dan berpemandangan luas seperti orang tua, ini. lapun
agak terhibur dan berceritalah ia kepada adiknya sambil melanjutkan
perjalanan.
Karena sikap Setyaningsih seperti seorang tua, lupalah Endang Patibroto
bahwa adiknya ini baru berusia sebelas tahun. la bercerita seperti
kepada orang dewasa saja, dan ia menceritakan semua pengalamannya tanpa
tedeng aling-aling lagi, diceritakan semua kepada Setyaningsih. Tentang
pengalamannya dahulu, tentang pertentangannya dengan Joko Wandiro dan
Ayu Candra, kemudian betapa hampir ia membunuh diri karena terpencil
dibenci semua orang dan dihibur oleh Pangeran Panjirawit yang menjadi
suaminya selama sepuluh tahun.
Kemudian diceritakan semua pengalaman akhir-akhir ini, tentang kematian
suaminya dan tentang pertemuannya dengan Adipati Tejolaksono di
Blambangan, pengalaman mereka di dalam sumur yang membuat mereka menjadi
suami isteri dan seterusnya.
Setyaningsih mendengarkan semua penuturan ayundanya dengan hati penuh
keharuan. Akan tetapi, anak ini memang mempunyai pernbawaan sikap
tenang,pendiam, lugs pandangan, hati-hati dan angkuh, tinggi hati namun
berdasarkan jiwa satria. la dapat memaklumi keadaan ayundanya, dapat
merasakan kedukaan yang menimpa diri ayundanya, namun juga di dalam hati
is merasa heran terhadap diri ayundanya ini. Mengapa ayundanya ini
sikap dan wataknya berubah-ubah seperti keadaan Laut Selatan? ia
menganggap watak ayundanya ini kurang tenang, sehingga mudah terguncang,
mudah dipengaruhi keadaan yang menimpa diri.
Namun, ia merasa amat prihatin dan kasihan kepada ayundanya sehingga mempertebal rasa kasihnya terhadap saudara kandungnya ini.
Setelah melakukan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan
sampai berhari-hari, pada suatu pagi hari yang cerah kedua orang wanita
kakak beradik ini tiba di Gunung Wilis.
Mereka mendaki lereng Wilis yang sunyi itu dan keduanya merasa heran
mengapa gunung ini begitu sunyi, berbeda dengan gununggunung lain yang
selalu dijadikan tempat tinggal orang-orang yang bertani di lereng
gunung, akan tetapi gunung Wilis ini sunyi tidak ada dusunnya.
Betapa pun juga, hal ini malah menyenangkan hati mereka berdua karena
terutama sekali Endang Patibroto selalu menghendaki kesunyian dan
menghindari pertemuan dengan orang-orang lain. Apa lagi pemandangan di
Gunung Wilis amat indahnya, hawanya sejuk dan tanahnya amat sumur,
terbukti dengan padatnya tetumbuhan
“Kita mengaso di sini dulu, Ningsih.”
Setyaningsih mengangguk. Ketika Endang Patibroto duduk bersila di bawah
pohon jeruk yang teduh, mulai mengheningkan cipta untuk bersamadhi
seperti yang selalu dilakukan wanita sakti ini tiap kali beristirahat
untuk memulihkan tenaga, Setyaningsih pergi mencari air yang banyak
terdapat di sekitar lereng, yaitu air yang memancar keluar dari
calah-celah batu.
Airnya jernih dan dingin sekali, yang ditampungnya dengan dua buah batok kelapa yang sengaja mereka buat di tengah perjalanan.
Setelah meletakkan sebatok air jernlh di depan ayundanya dan dia sendiri
minum sedikit air untuk membasahi kerongkongannya yang kering,
Setyaningsih juga meniru ayundanya, duduk bersila melepaskan lelah.
Sikap duduk mereka itu adalah yang disebut Padmasana atau sikap duduk
bentuk bunga teratai. Duduk bersila dengan kedua kaki tertumpang di paha
masing-masing, kedua tangan telentang dan terletak di antara kedua
tumit, di bawah pusar, tulang punggung dari kepala sampai ke pinggul
tegak lures.
Duduk dengan sikap seperti ini lalu mengatur pernapasan sesuai dengan
ajaran Pranayama, sebentar raja dapat menyehatkan tubuh dan memulihkan
tenaga kembali.
Kedua orang kakak beradik ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi
ketika mereka mulai rnendaki dari kaki gunung, gerak-gerik mereka
selalu diikuti oleh puluhan pasang mata yang mengintai dari atas.
Dan kini, setelah mereka duduk melepas lelah, hanya Endang Patibroto
yang tahu bahwa ada orang-orang yang berindap-indap menyelinap di antara
pohon-pohon mendekati tempat mereka mengaso, akan tetapi Endang
Patibroto masih duduk diam melanjutkan samadhinya tanpa memperhatikan
gerakan orangorang itu. Setyaningsih tidak tahu dan masih tekun dalam
samadhi, makin lama makin halus keluar masuknya napas dari lubang
hidungnya dan makin tenang bayangan pada wajahnya yang cantik.
Endang Patibroto biar pun dengan ketajaman pandangan dan pendengarannya
dapat mengetahui kedatangan puluhan orang itu, namun ia tidak dapat
menduga siapa mereka. la tidak tahu bahwa Gunung Wilis dihuni oleh
segerombolan perampok yang sudah bertahun-tahun merajai pegunungan ini
dan menyebut mereka Gerombolan Wilis.
Gerombolan ini besar juga jumlahnya, kurang lebih seratus orang dan
mereka membentuk sebuah perkarnpungan perampok di dekat puncak, di mana
para perampok ini hidup dengan keluarga mereka. Pekerjaan mereka selain
bertani dan memburu binatang hutan, juga merampok! Siapa saja yang lewat
di wilayah Wilis, tentu menjadi korban perampok, bahkan kadangkadang
mereka tidak segan-segan untuk menyerbu kampung yang berdekatan sehingga
lama-lama tidak ada lagi orang berani tinggal di sekitar daerah Wilis.
Inilah sebabnya mengapa pegunungan ini begitu sunyi, tidak ada dusunnya.
Gerombolan Wilis ini dipifhpin oleh tiga orang bersaudara yang semenjak
merajai Wilis lalu menyebut diri mereka sebagai Limanwilis, Lembuwilis,
dan Nogowilis! Tiga orang kakak-beradik ini usianya sudah empat puluhan
lebih, dan mereka terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki
kedigdayaan dan kekebalan sehingga beberapa tahun kemudian, nama
Gerombolan Wilis amat terkenal dan ditakuti orang.
Ketika mendapat pelaporan para penjaga di kaki gunung bahwa ada dua
orang wanita mendaki gunung, tiga orang kepala gerombolan ini
terheran-heran dan memberi perintah agar mendiamkan saja dua orang
wanita itu mendaki karena mereka bertiga hendak menyaksikan sendiri
siapa gerangan dua orang wanita yang amat berani itu.
Sedangkan puluhan orang pria masih akan berpikir-pikir dahulu sebelum
mendaki Wilis, bagaimana kini ada dua orang wanita tanpa pengawal berani
naik? Keluarlah tiga orang kepala rampok ini dari pondok mereka dan
diam-diam mereka ikut mengintai.
Alangkah kagum hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang mendaki
gunung mereka itu seorang wanita yang luar biasa cantiknya, seperti Sang
Bathari Komaratih sendiri, berusia paling banyak tiga puluh tahun,
bersama seorang gadis cilik belasan tahun yang juga cantik jelita sukar
dicari keduanya.
Mereka bertiga melongo. Sebagai orang-orang kasar, belum pernah mereka
menyaksikan kecantikan wanita yang bagi mereka tampak agung itu. Akan
tetapi ketika mereka melihat betapa dua orang wanita itu beristirahat
dan duduk bersamadhi, mereka makin bengong terlongong.
Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu kesaktian, tentu saja
mereka mengenal sikap duduk dua orang wanita itu dan dapat menduga bahwa
dua orang wanita itu tentu bukan wanita-wanita sembarangan atau
wanita-wanita lemah.
Karena inilah maka Limanwilis yang tertua di antara tiga kepala rampok,
memberi isyarat agar anak buahnya jangan turun tangan secara kasar.
Kemudian ia memberi isyarat lagi. Bergeraklah anak buahnya melakukan
pengurungan sehingga tempat di mana dua orang wanita itu duduk
bersamadhi telah dikelilingi barisan perampok yang jumlahnya hampir
seratus orang, terdiri dari laki-laki yang bertubuh kuat-kuat dan sudah
biasa berkelahi.
Sekali lagi Limanwilis memberi isyarat dan majulah para perampok Itu,
memperkecil lingkaran dan keluar dari tempat, persembunyiannya, juga
mereka kini bebas mengeluarkan suara.
Endang Patibroto tentu saja dapat mengetahui semua gerakan ini biar pun kedua matanya masih dipejamkan.
Dengan ketajaman pendengarannya saja, ia sudah dapat mengikuti seluruh gerakan mereka.
Setyaningsih mendengar gerakan dan suara mereka, maka gadis cilik ini
membuka kedua matanya. Betapa pun tenang wataknya, gadis cilik ini
terkejut juga ketika memandang ke sekeliling dan melihat puluhan
laki-laki tinggi besar kasar, rata-rata brewok, berpakaian serba hijau
semua, di pinggang mereka tergantung bermacam-macam senjata tajam,
dipimpin oleh tiga orang laki-laki tinggi besar, telah mengurung tempat
itu.
Anak perempuan ini melirik ayundanya dan melihat ayundanya masih duduk
bersamadhi dengan tenang sekali,kedua mata dipejamkan. Ia menjadi tenang
kembali menyaksikan sikap ayundanya, dan tahu bahwa ayundanya
menghendaki dia melayani orang-orang yang datang mengganggu mereka ini.
Tenang-tenang saja Setyaningsih bangkit berdiri, mengebut-ngebut kainnya
dari tanah debu, kemudian baru ia mengangkat muka menghadapi tiga orang
laki-laki tinggi besar yang ia dapat diduga tentulah pimpinan mereka
karena tiga orang laki-laki ini biar hijau, tapi pakaian mereka lebih
mewah dan sikap mereka juga membayangkan kepemimpinan.
Pula, mereka bertiga itulah yang berdiri, paling dekat, sedangkan
puluhan orang yang lain hanya berjajar dalam barisan mengurung sambil
menyeringai dan bersikap menunggu perintah.
Setyaningsih melangkah maju tiga tindak sampai ia berdiri berhadapan
dengan tiga orang pimpinan Gerombolan Wilis itu. Setelah memandang penuh
selldik dengan sepasang matanya yang tajam bersinar, berkatalah
Setyaningsih, suara-nya lantang, sikapnya angkuh, jangankan kelihatan
gentar, bahkan seperti orang memandang rendah,
“Siapakah andika bertiga ini? Dan apa sebabnya andika memimpin anak buah
andika mengurung tempat ini dan mengganggu aku dan ayundaku yang sedang
beristirahat?”
Sejenak tiga orang kepala rampok itu melongo. Sungguh tak pernah mereka
sangka akan mendengar teguran yang keluar demikian tenangnya dari mulut
bocah ini. Kemudian mereka bertiga saling pandang dan tak dapat menahan
ketawa mereka.
“Huah-ha-ha-ha! Toblis-toblisl Luar biasa sekali bocah ini! Begini muda,
masih kanak-kanak sudah membayangkan kecantikan seperti bidadari
kahyangan, dan keberaniannya seperti seekor singa betina! Anak baik,
bocah denok ayu, calon puteri pilihan yang patut menjadi garwaku
(isteriku), siapakah namamu cah ayu (anak cantik)?” kata Limanwilis
sambil tersenyum-senyum ramah dan wajah yang penuh brewok itu
berseri-seri, kemudian ia menuding ke arah Endang Patribroto dan
melanjutkan pertanyaannya,
“Dan siapakah wanita cantik jelita seperti Sang Hyang Komaratih itu?
Siapa namanya, mau pergi ke mana, dan apa keperluannya datang ke Gunung
Wilis?”
Setyaningsih mengerutkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyinarkan
kemarahan, kepalanya dikedikkan, tubuhnya ditegakkan, tangan kiri
bertolak pinggang dan telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka
Limanwilis.
“Eh, paman tual Mengapa engkau begini tidak tahu tata susila? Kalianlah
yang lebih dahulu mengganggu kami yang tidak mempunyai sangkut-paut
dengan kalian, maka sudah semestinya kalau kalian mengaku siapa kalian
ini dan mengapa mengganggu kami berdua. Jawab-lah pertanyaanku, kalau
kalian tidak mau menjawab, lebih baik lekas pergi dan jangan ganggu kami
sebelum terlambat!”
“Heh-heh-heh, bocah yang berhati singa! Sebelum terlambat katamu? Apa
maksudmu?” tanya Lembuwilis yang juga kagum menyaksikan ketabahan
Setyaningsih, sambil mendekat.
“Karena kalau ayundaku sampai marah dan bangkit, kalian takkan dapat mencari tempat untuk menyembunyikan nyawa kalianl”
“Babo-babo, bocah sombong sekali!”
Nogowilis membentak. Di antara tiga orang bersaudara ini, Nogowilis yang termuda dan yang paling berangasan (pemarah).
“Kau mundur dan suruhlah ayundamu maju. Aku enggan melawan anak-anak!”
“Hush, adi Nogo, sabarlah. Anak ini menarik sekali, dan aku yakin dia
ini bukan bocah sembarangan,” kata LimanWilis menyabarkan adiknya lalu
menghadapi Setyaningsih lagi, sikapnya masih ramah dan sabar.
“Eh, perawan cilik yang berani mati, biarlah engkau mengenal kami. Aku
adalah Limanwilis, dia adikku Lembuwilis dan yang itu adik bungsu
Nogowilis. Kami bertiga kakakberadik yang menjadi pimpinan dari
Gerombolan Wilis yang sudah kondang-kaonang-onang (terkenal sekali),
disegani kawan ditakuti lawan! Gunung Wilis dan wilayahnya adalah tempat
kekuasaan kami, siapa pun tidak boleh lewat sebelum mendapat ijin dari
kami! Pagi hari ini kalian berdua lewat daerah kami, tentu saja
merupakan pelanggaran. Akan tetapi, karena engkau begini tabah dan
ayundamu begitu cantik jelita, biarlah kami ampunkan kalian asalkan
kalian suka tinggal bersama kami, menjadi keluarga kami. Ha-ha-ha!”
“Hem m, wawasanmu lancang sekali, Limanwilis! Engkau kira kami ini orang
macam apa untuk kau jadikan anggota keluargamu? Sudahlah, lebih baik
menyingkir dari sini dan biarkan kami melanjutkan perjalanan.”
“Waduh-waduh, sombongnya!”
Nogowilis membentak lagi.
“Kakang Liman, kok sabar-sabarnya itu, lho! Biar kupondong dan ciumi
mulutnya biar dia kapok dan tidak membuka mulut lebar lagi!”
“Huah-ha-ha-ha! Sabar... sabar... Adi Nogo. Masa kita harus bertengkar
dan bertanding melawan perawan cilik? Alangkah memalukan! Ehh, perawan
cilik, lekas kau panggil saja ayundamu biar dia yang bicara dengan
kami.”
Setyaningsih menoleh ke arah Endang Patibroto yang masih samadhi, lalu ia menggoyang kepala keras-keras.
“Tidak, ayunda sedang samadhi, tidak boleh diganggu!”
“Biar aku yang membangunkannya!” kata Lembuwilis yang sudah melangkah maju.
“Tahan...!”
Sekali meloncat, tubuh Setyaningsih berkelebat dan sudah berada di depan Lembuwilis, menghadang dengan keris di tangan kanan!
“Siapa pun tidak boleh mengganggu ayunda, kecuali melalui mayatku!”
Lembuwilis mundur sampai tiga langkah dengan mata terbelalak. Demikian
heran dan kagum hatinya sampai ia melongo, tak dapat bicara. Limanwilis
juga kagum sekali, lalu menarik tangan Lembuwilis mundur.
“Biarlah kita coba dia, adi Lembu. Heh, Dayun, kau majulah dan coba kaulayani perawan cilik ini bertanding!”
Seorang laki-laki tinggi besar akan tetapi masih muda, rambutnya panjang
riap-riapan meloncat maju dari dalam barisan perampok. Dia ini anak
buah perampok, akan tetapi merupakan seorang yang kuat dan menjadi
pembantu utama tiga orang pimpinan itu. Dayun melangkah maju, tersenyum
menyeringai lebar.
“Waahhh, kakangmas Limanwilis, betapa memalukan melawan seorang bocah,
apa lagi kalau dia perempuan dan begini halus...! Heh-heh!”
“Huah, tak usah banyak cerewet. Kau ujilah dia, ingin aku melihat apakah
dia setangkas mulutnya. Akan tetapi cukup kalau kau merobohkan dia,
jangan sampai melukai dia. Sayang kalau terluka, begitu denok!”
“Baiklah!”
Dayun melangkah maju menghadapi Setyaningsih yang memandangnya dengan marah.
“Marilah bocah ayu, mari kita main-main sebentar. Kau tusukkanlah
kerismu yang sebesar daun padi itu ke dadaku ini. Nah, kubuka dadaku,
tusuklah, sayang. Heh-heh-heh!”
Dayun memasang lagak, membusungkan dadanya yang berbulu dan membusung kuat sekali.
Setyaningsih tidak menjawab, melainkan menyarungkan kerisnya kembali.
“Eh-eh... kau... kau menyimpan kembali kerismu? Hahaha, jadi engkau
takut dan mengaku kalah, manis? Bagus, lebih baik begitu dan...
auuugghh!”
Tubuh Dayun yang tadinya bicara sambil tertawa itu terpelanting
dibarengi teriakannya ketika Setyaningsih setelah menyimpan kerisnya
tadi lalu menampar dadanya dengan pukulan tangan yang disertai Aji
Pethit Nogo! Biar pun baru berusia sebelas tahun, namun Setyaningsih
telah menerima gemblengan ibunya semenjak kecil, dan kalau diingat
ibunya adalah wanita sakti Kartikosari, maka tidaklah mengherankan kalau
tamparan-nya tadi membuat Dayun terpelanting dengan dada serasa remuk!
“Manusia sombong! Baru ditampar saja sudah roboh, apa lagi kalau ditusuk
keris! Bangkitlah!” kata Setyaningsih yang berdiri tegak dengan sikap
gagah.
Semua mata melongo, terutama sekali mata ketiga orang kepala rampok itu.
Mereka tahu bahwa biar pun dalam hal kesaktian Dayun belum seberapa,
namun Dayun termasuk seorang yang kuat sehingga kalau hanya pukulan
seorang laki-laki dewasa saja mengenai dadanya, tentu akan dapat
ditahannya.
Akan tetapi bagaimana sekarang tamparan tangan anak kecil perempuan itu
dapat merobohkannya? Dayun meringis dan menggosok-gosok dadanya,
napasnya menjadi sesak seperti orang kumat penyakit menginya, kemudian
ia bangkit berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Kakang Limanwilis,perkenankan aku menghajar bocah setan ini!” dengusnya.
Limanwilis yang kini yakin benar bahwa anak perempuan ini memiliki
kesaktian tinggi, mengangguk dengan pandang mata tak pernah pindah dari
Setyaningsih.
Setelah mendapat perkenan dari Limanwilis, Dayun menggereng seperti
seekor harimau marah, kemudian ia mengembangkan kedua lengannya yang
besar panjang dan berbulu, dengan jari-jari tangan yang sebesar pisang
raja itu ia menubruk, maksudnya hendak mencengkeram dan memeluk tubuh
anak perempuan itu.
“Iiihhhhh..”
Dayun terhuyung karena ia telah menubruk angin kosong, sedangkan
Setyaningsih tadi telah melesat sambil berseru nyaring, menggunakan Aji
Bayu Tantra seperti ajaran mendiang ibundanya. Aji Bayu Tantra adalah
aji keringanan tubuh yang membuat gerakannya menjadi gesit sekali, cepat
dan seperti terbang saja ketika ia mengelak dan meloncat menghindarkan
cengkeraman lawan. Akan tetapi,karena tadi merasa ngeri juga menyaksikan
sikap lawan yang hendak memeluknya, Setyaningsih meloncat terlalu jauh
sehingga kini kembali ia berdiri tegak menghadapi Dayun yang sudah
membalikkan tubuh, mengembangkan kedua lengan, melangkah perlahan-lahan
seperti seekor monyet besar menari.
“Heeengggg... ke mana kau hendak lari?” kembali Dayun menubruk, lebih cepat dari pada tadi.
Setyaningsih yang cerdik kini masih tetap mengerahkan Aji Bayu Tantra,
akan tetapi bukan untuk meloncat jauh menghindarkan diri, melainkan ia
menggunakan keringanan tubuhnya untuk menyelinap melalui bawah lengan
kiri lawan yang menyambar sehingga kembali Dayun menubruk angin.
Sebelum Dayun sempat membalikkan tubuh, Setyaningsih telah mendahuluinya, meloncat ke atas sambil mengayun tangan dan...
“Plakk!”
Tengkuk Dayun sudah dipukulnya dengan jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo!
“Aduhhh... tobaaaattt...!I”
Dayun terjungkal dan bergulingan, mengeluarkan suara seperti orang
menangis sambil meraba-raba tengkuknya yang serasa patah-patah.
Kembali semua anak buah gerombolan memandang dengan mata terbelalak.
Mereka terlalu heran dan kagum sehingga melongo, dan ada yang
mengeluarkan seruan-seruan kaget.
Akan tetapi Dayun mempunyai tubuh yang kuat, di samping itu, memang
tenaga Setyaningsih yang baru berusia sebelas tahun itu belum cukup kuat
untuk merobohkan seorang laki-laki tinggi besar seperti Dayun.
Maka sebentar saja Dayun sudah bangkit berdiri lagi dan sekali tangan
kanannya bergerak, ia telah mencabut goloknya, sebuah golok yang besar,
tebal dan amat kuat, lagi mengkilap saking tajamnya.
Dia mang-amangkan golok ini dengan sikap menakutkan sekali sambil
melangkah maju menghampiri lawannya, mukanya beringas dan penuh
kemarahan. Kali ini ia tidak minta perkenan lagi dari pemimpinnya, dan
sebaliknya tiga orang pimpinan Gerombolan Wilis itu pun tidak
mencegahnya.
Melihat lawannya datang lagi membawa golok, Setyaningsih tidak menjadi
gentar. Bahkan ia marah sekali dan tangan kanannya sudah mencabut
kerisnya, tangan kiri yang sudah diisi Aji Pethit Nogo siap
dikembangkan.
Matanya yang jeli dan bagus itu menatap lawan dan mengikuti
gerak-geriknya tanpa berkedip. Pada saat itu, telinga Setyaningsih
mendengar suara bisikan yang jelas sekali, dan ia mengenal suara
ayundanya, Endang Patibroto, yang berkata lirih, “Ningsih, jangan bunuh
dia...”
Setyaningsih tidak heran menyaksikan kesaktian luar blasa ayundanya ini.
Biar pun tidak sekuat ayundanya, mendiang ibunya juga dapat mengirim
suara dari jauh seperti itu, yang dapat dilakukan hanya dengan dasar
tenaga sakti yang sudah amat kuat.
Pada saat itu, Dayun menggereng keras, goloknya terayun, tampak sinar golok berkilau, disusul suara angin menyambar.
Setyaningsih hanya menggeser kaki dan menundukkan kepala, namun gerakan
ini sudah cukup membuat sambaran golok ke arah lehernya tidak mengenai
sasaran. Dayun penasaran sekali, juga makin kaget.
Goloknya yang membabat angin kosong itu la putar membalik dan kini sudah
menyambar lagi, bukan merupakan bacokan melainkan menyerang dengan
tusukan ke arah dada Setyaningsih dengan kecepatan seperti anak panah
menyambar dan kekuatan serudukan tanduk seekor banteng! Semua orang
menatan napas, karena biar pun gadis cilik itu adalah lawan dari teman
mereka Dayun, namun mereka semua tentu saja tidak menganggapnya sebagai
musuh.
“Wuuuuutttt... cusss... plakkk...! Aduuhhhh...!”
Cepat sekali terjadinya gebrakan itu.
Ketika golok menyambar ke arah dada, Setyaningsih tidak merubah
kedudukan kakinya, melainkan cepat ia berjongkok sehingga golok lawan
meluncur lewat di atas kepalanya.
Pada saat itu, kerisnya cepat menusuk pangkal lengan kanan Dayun,
sedangkan tangan kirinya yang sudah siap itu menampar lutut. Tak dapat
dicegah lagi, golok terlepas dari tangan Dayun dan tubuh yang tinggi
besar itu terguling roboh, tak dapat bangun berdiri lagi karena selain
pangkal lengan kanannya terluka tusukan keris, juga sambungan lutut
kanannya terlepas! Ia hanya dapat mengerang kesakitan, tangan kanan
memegang lutut, tangan kiri meraba luka di pangkal lengan.
Rasa heran dan kagum dari para anak buah Gerombolan Wilis berubah
menjadi kemarahan ketika mereka menyaksikan robohnya Dayun dalam keadaan
terluka.
Segera mereka maju mengepung Setyaningsih tanpa menanti komando lagi,
masing-masing mencabut senjata, hendak mengeroyok anak perempuan yang
luar biasa itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan nyaring,
“Tikus-tikus tak tahu diri!”
Maka tampaklah bayangan berkelebat, amat cepat sehingga sukar diikuti
pandangan mata, apa lagi oleh mereka yang mengurung terdekat karena
tiba-tiba saja mata mereka menjadi gelap, tampak seribu bintang di kala
kepala mereka seperti meledak dan nanar seketika.
Dalam waktu sekejap mata dua puluh orang lebih, yaitu mereka yang
mengurung paling dekat dengan Setyaningsih, telah roboh, senjata mereka
beterbangan ke sana-sini dan mereka mengaduh-aduh, memegangi kepala dan
dada.
Ketika tiga pimpinan Gerombolan Wilis memandang terbelalak, kiranya
wanita cantik jelita yang tadi duduk bersamadhi, kini telah berdiri di
dekat bocah itu, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan senyum
manis mengejek, mata bersinar-sinar dan suaranya nyaring penuh wibawa
ketika berkata,
“Hayoh, siapa lagi yang berani boleh maju! Kalian ini tikus-tikus tak
tahu diri! Kalau adikku menghendaki, dia ini sudah menggeletak mampus
dengan perut robek, dan kalau aku menghendaki, likuran (dua puluh lebih)
orang ini sudah menggeletak mampus dengan kepala remuk dan dada pecah!”
“Babo-babo! Wanita yang sepak terjangnya seperti halilintar
menyambar-nyambar, sumbarmu seakan-akan dapat menjebol puncak Gunung
Wins! Apakah yang andika kehendaki maka andika mengacau di wilayah
kami?” tanya Limanwilis dengan suara menggeledek, sedangkan anak buahnya
dengan hati gentar hanya dari lingkaran yang makin menjauh, giris hati
mereka menyaksikan tandang Endang Patibroto yang luar biasa tadi.
Endang Patibroto menoleh dan menghadapi Limanwilis.
“Bukan kami kakak beradik yang mengacau, melainkan kalian yang tidak
tahu diri. Dengar balk-baik,-kalian Gerombolan Wilis, aku dan adikku
suka sekali dengan keadaan di sini dan hendak menetap, tinggal di puncak
Gunung Wilis. Kalian harus bersedia melayani kami sebagai pimpinan
kalian kalau hendak tinggal di daerah Wilis, kalau tidak, lebih baik
kalian sekarang juga mlnggat semua dari sini, karena sekali lagi berani
mengganggu kami, sudah pasti kalian akan kubunuh dan kulempar-lemparkan
ke dalam jurang menjadi makanan srigala dan burung gagak!”
“Waduh-waduh... Bukan main sumbarmu, wanita perkasa! Ketahuilah, kami
bertiga kakak beradik Wilis. Kalau kau dapat mengalahkan kami bertiga,
barulah akan kami bertimbangkan ucapan-mu tadi!” kata pula Limanwilis
menantang.
Kepala gerombolan ini tadi sudah menyaksikan sepak terjang Endang
Patibroto dan ia sudah cukup maklum bahwa wanita cantik yang berdiri
tegak di depannya ini adalah seorang yang sakti mandraguna.
Namun tentu saja dia dan adik-adiknya tidak akan mengalah begitu saja.
“Bagus! Majulah kalian bertiga, atau boleh ditambah seluruh
gerombolanmu, aku tidak akan undur selangkah!” jawab Endang Patibroto
sambil berdiri tegak, siap menanti pengeroyokan dengan kedua tangan
kosong.
Setyaningsih sudah melangkah mundur, tidak mau mengganggu ayundanya, berdiri di pinggiran dengan keris siap di tangan.
“Heh, wanita perkasa, jangan bersombong! Betapa pun juga, kami
Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis bukanlah laki-laki pengecut! Kau
kalahkan dulu kami kakak beradik bertiga, baru kita bicara lagi!” bentak
Limanwilis yang marah juga mendengar tantangan Endang Patibroto.
Dia sudah mencabut goloknya, demikian pula kedua adiknya, lalu membentak lagi,
“Keluarkan senjatamu, wanita perkasa!”
Endang Patibroto tersenyum, di dalam hatinya girang melihat bahwa tiga
orang kepala gerombolan ini biar pun orang-orang kasar, namun memiliki
sifat gagah sehingga tidak sia-sialah dia dan Setyaningsih mengampuni
dan tidak membunuh anak buah mereka.
“Untuk menghadapi tiga batang golok-mu, tidak perlu aku bersenjata, Liman-wilis. Kalian majulah!”
Ucapan ini menambah kemarahan tiga orang kepala gerombolan itu. Sambil
mengeluarkan bentakan hebat, Limanwilis sudah menerjang maju, diikuti
oleh kedua orang adiknya dalam detik-detik berikutnya.
Serangan mereka luar biasa cepatnya, dan suara berdesing yang keluar
dari tiga batang golok itu membuktikan bahwa ketiganya memiliki tenaga
yang amat besar.
Setyaningsih yang telah mempelajari ilmu silat dapat mengerti akan
kedigdayaan mereka dan diam-diam ia menjadi khawatir sekali, memandang
dengan mata terbelalak sambil menggigit bibir, siap untuk nekat
menerjang kalau sampai ayundanya terdesak.
Maklumlah, anak ini biar pun sudah mendengar dari mendiang ibunya akan
kesaktian ayundanya, namun belum pernah ia menyaksikannya dengan
mata-sendiri.
Tadi sekelebatan la menyaksikan amukan ayundanya yang dalam sekejap mata
saja merobohkan likuran orang, dan karena gerakan Endang Patibroto
terlampau cepat, ia hanya mendapat bukti bahwa ayundanya telah menguasai
ilmu bergerak cepat, yaitu Aji Bayu Tantra sampai mendekati
kesempurnaan.
Hanya rakandanya Tejolaksono saja yang agaknya mampu menandingi gerak cepat seperti itu tadi...
Memang hebat bukan main sepak terjang Endang Patibroto ketika ia
dikeroyok tiga orang kepala rampok itu. Wanita muda ini sedang
mengandung dan Ia bertangan kosong saja, akan tetapi tiga orang kepala
rampok yang bertenaga besar itu sama sekall tidak berdaya menghadapi
kecepatan gerak Endang Patibroto yang seolah-olah merupakan seekor
burung garuda betina yang marah dan menyambar-nyambar dahsyat!
Limanwilis, orang pertama dari ketiga kepala rampok itu, merasa yakin
benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang memiliki
kesaktian luar biasa, maka ia berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku
lengah atau menyerang secara sembrono.
Tidak demikian dengan Nogowilis dan Lembuwilis. Kedua orang laki-laki
tinggi besar ini menjadi penasaran betul. Mereka bertiga terkenal
sebagai tokoh-tokoh gagah perkasa yang jarang menemui tanding, ditakuti
semua orang. Kini mereka mengeroyok seorang wanita yang halus
gerak-geriknya, bertangan kosong. Masa mereka akan kalah? Rasa penasaran
membuat gerakan mereka menjadi beringas dan liar, seperti singa-singa
yang kelaparan.....
Komentar
Posting Komentar