PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-37


Adapun Limanwilis yang melihat kenekatan kedua orang adiknya, segera bersiap dengan goloknya untuk mencari kesempatan baik merobohkan lawan tangguh ini.
Endang Patibroto merasa kesal hatinya.
Kalau ia menghendaki, dengan hantaman-hantaman maut tentu sejak tadi ia telah mampu merobohkan ketiga orang lawannya.
Akan tetapi ia tidak menghendaki kematian mereka. Orang-orang kasar Ini harus ditundukkan karena mereka akan dapat menjadi pembantu-pembantu yang baik. Inilah sebabnya mengapa Endang Patibroto tidak segera merobohkan mereka dan sekarang, melihat betapa dua orang kepala rampok dengan nekat menerjangnya dari kanan kiri, Ia mendapat kesempatan baik. la sengaja berlaku lambat, seolah-olah membiarkan dua batang golok dari kanan kiri itu menggunting tubuhnya.
Akan tetapi pada detik terakhIr, tiba-tiba tubuhnya menyelinap secepat kilat ke belakang, sehingga tak dapat dicegah lagi dua batang golok dari kanan kiri saling bertemu di udara.
“Cringgggg...!”
Keras sekali pertemuan kedua batang golok itu sehingga muncratlah bunga api dan dua batang golok itu terlepas dari pegangan tangan kedua orang kepala rampok.
Kakak beradik ini memiliki tenaga yang seimbang dan karena tadi mereka mengeluarkan seluruh tenaga, maka begitu kedua batang golok bertemu, mereka merasa betapa lengan kanan mereka lumpuh dan tidak kuat memegang golok masingmasing.
Pada saat mereka menjadi kaget dan menyesal mengapa golok mereka beradu dengan golok saudara sendiri, tiba-tiba Nogowilis dan Lembuwilis berteriak keras, merasa kepala mereka disambar petir yang membuat kepala terasa panas dan pening, mata berkunang dan bumi yang diinjak serasa berputaran.
Mereka terhuyung, mempertahankan diri, namun tidak kuat dan akhirnya kedua orang kepala rampok yang kuat ini roboh terguling, memegangi kepala yang kena tampar Aji Pethit Nogo tadi sambil mengerang kesakitan.
Limanwilis cepat menyerbu, membacokkan goloknya ke arah kepala Endang Patibroto. Wanita sakti ini tidak bergerak dari tempatnya, berdiri tegak dan begitu golok meluncur datang, ia hanya miringkan tubuh dan dari arah samping, tangan kirinya dengan jari-jari penuh Aji Pethit Nogo menyambar ke arah golok
“Krakkk!”
Golok di tangan Limanwilis itu tinggal sepotong, patah terkena tangkisan Aji Pethit Nogo.
Limanwilis terbelalak kaget, heran dan kagum. Ia membuang sisa goloknya, menoleh ke arah kedua orang adiknya yang sudah bangun dan duduk melongo menyaksikan kekalahan kakak mereka, kemudlan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Endang Patibroto sambil berkata,
“Kepandaian andika memang hebat, kami mengaku kalah. Wanita perkasa, kalau boleh kami mengetahui, siapakah gerangan andika?”
“Namaku Endang Patibroto dan ini adikku Setyaningsih.”
Mendengar disebutnya nama ini, tiga orang kepala rampok, dan juga anak buah mereka, mengeluarkan seruan kaget dan memandang dengan mata terbelalak.
“Endang Patibroto... senopati puteri dan juga puteri mantu Jenggala yang sakti mandraguna dan telah menggegerkan jagat (dunia) itu...
Endang Patibroto tersenyum masam, lalu mengangguk.
“Bekas senopati dan bekas puteri mantu Jenggala, sekarang tidak lagi. Sekarang aku menjadi pemilik Gunung Wilis dan kalian menjadi anak buahku. Ataukah... kalian tidak mau dan lebih baik minggat pergi dari sini?”
Limanwilis dan kedua orang adiknya sudah menjatuhkan diri berlutut dan menyembah Endang Patibroto.
Demikian pula semua anak buah perampok sudah menjatuhkan diri berlutut. Limanwilis mewakili semua temannya berkata,
“Harap paduka suka memberi ampun kepada kami semua. Sungguh kami tidak menyangka bahwa paduka adalah Gusti Puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal sejak dahulu. Kalau memang paduka berkenan hendak berdiam di Wilis, tentu saja kami siap untuk mentaati segala perintah paduka dan kami menyerahkan jiwa raga kami ke dalam kekuasaan paduka. Percayalah gusti, kami Gerombolan Wilis bukanlah sembarangan perampok dan tahu akan arti setia.”
Endang Patibroto tersenyum girang, dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus sekali, kakang Limanwilis dan hatiku amat girang mendengar kesanggupan kalian.Ketahuilah kalian semua! Aku bersama adik kandungku ini sekarang tiada keluarga lagi dan seperti kukatakan tadi, aku senang sekali melihat keadaan Gunung Wilis, maka kami berdua mengambil keputusan untuk menetap di tempat ini. Kalau kalian suka menjadi anak buahku, baiklah. Aku akan tinggal di puncak, buatkan pondok untuk kami. Tempat ini akan kunamakan Padepokan Wilis yang wilayahnya meliputi seluruh daerah Gunung Wilis. Kalian semua adalah anak buah Padepokan Wilis, bukan Gerombolan Wilis lagi yang mulai saat ini kububarkan! Kalian bukan perampok-perampok dan aku bukan kepala rampok! Kalian mulai saat ini adalah satria-satria Wilis yang tidak boleh merampok. Daerah Wilis ini amat luas dan amat subur, kita dapat hidup bertani dan berburu binatang hutan. Penduduk pegunungan ini tidak boleh diganggu karena mereka adalah rakyat kita! Kita harus mengangkat Padepokan Wilis sehingga dunia akan tahu bahwa di sini adalah tempat tinggal orang-orang gagah perkasa. Kalian semua selain menjadi anak buah Padepokan Wilis, juga akan menerima gemblengan yang akan kuturunkan melalui ketiga kakang Wilis. Mengerti?”
Semua orang bekas perampok yang jumlahnya hampir seratus orang itu bersorak gembira.. Siapa orangnya tidak akan berbesar hati kalau sekaligus derajat mereka diangkat dari “perampok” menjadi “satria”?
Beramai-ramai para bekas perampok ini lalu membangun padepokan untuk Endang Patibroto dan Setyaningsih, juga membuat pondok-pondok untuk mereka di lereng bawah puncak. Kemudian mereka membuka hutan, mengerjakan sawah, mencangkul dan bercocok tanam.
Mulai saat itu, lahirlah Padepokan Wilis di mana Endang Patibroto hidup dengan tenang dan tenteram bersama adik kandungnya, memimpin seratus orang laki-laki yang amat setia.
Beberapa bulan kemudian, terlahir pula anak yang dikandung Endang Patibroto, seorang anak perempuan yang sehat dan mungil, yang tangisnya mengejutkan para laki-laki gagah anak buah Padepokan Wilis karena amat nyaring, yang rambutnya hitam panjang dan subur, dengan sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam sebagai tanda bahwa anak ini bukan-lah anak biasa.
Para anak buah Padepokan Wilis menyambut kelahiran anak ini dengan penuh kegembiraan, dengan pesta reog dan tari-tarian. Keluarga bekas perampok yang kini otomatis juga tinggal di lereng dan menjadi anggota-anggota Padepokan Wilis, menyelenggarakan pesta itu sehingga cukup meriah, dikunjungi pula oleh penduduk sekitar Wilis yang tidak berapa banyak jumlahnya.
Maka terlahirlah Retno Wilis, demikian nama anak itu. Retno Wilis, anak Gunung Wilis, yang sejak kecil oleh ibunya telah diberi pakaian serba hijau warnanya, sesuai dengan namanya dan tempat tinggalnya karena Wilis berarti Hijau…..
********************
Suminten menghadapi cermin, berhias sambil rengeng-rengeng (bersenandung). Hatinya merasa puas sekali dengan kemajuan-kemajuan yang dicapainya. Ia telah berhasil baik dengan bantuan Pangeran Kukutan yang menjadi pembantu amat setia. Ia maklum bahwa Ki Patih Brotomenggala dengan kawan-kawannya merupakan ancaman dan musuh berbahaya baginya. Namun, dengan bantuan Kukutan, ia telah mulai dapat menanam kecurigaan dan ketidakpercayaan sang prabu terhadap para pembesar ini.
Beberapa hari yang lalu, rencananya bersama Kukutan telah berhasil baik sekali. Dua orang di antara pembantu ki patih yang merupakan orang-orang kuat dan berbahaya, yaitu Adipati Wirabayu mantu Ki Patih Brotomenggala dan Empu Adisastra, telah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan!.
Suminten menatap bayangan wajahnya yang manis di dalam cermin. Digosok-gosoknya pipinya yang terhias tahi lalat hitam kecil di sebelah kiri, di atas mulut, sampai kedua pipiyang halus itu menjadi kemerahan seperti jambu matang. Digerak-gerakkan bibirnya sehingga dapat membentuk mulut yang menggairahkan, bibir yang menantang dan yang ia tahu akan menundukkan hati sang prabu.
Diaturnya sinom (anak rambut) di dahi dan depan telinga. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul lepas-lepas di belakang tengkuk, seperti lingkaran ular yang malas, dan dihias bunga melati setelah ia gosok dengan sari kembang melati sehingga berbau harum wangi.
Bunga air mawar yang tadi ia pakai untuk mandi dan mencuci tubuh, membuat tubuhnya berbau sedap dan segar seperti setangkai mawar yang semerbak harum. Suminten tersenyum, mengagumi wajahnya sendiri di dalam cermin, lalu melirik ke arah tubuhnya dengan pandang mata bangga.
Memang tubuhnya patut dibanggakan, tubuhnya yang muda, belum dua puluh tahun, padat dan amat dikagumi sang prabu. Ia tersenyum lagi penuh kebanggaan dan kepuasan, lalu menarik kain penutup buah dada agak ke bawah agar lebih banyak lagi bagian buah dada yang sebelah atas tampak.
Kali ini ia harus benar-benar mempergunakan seluruh keindahan wajah dan tubuhnya untuk mengalahkan sang prabu, untuk mencapai tujuannya.
Ia harus dapat membuat sang prabu mabuk, lebih mabuk dari pada yang sudah-sudah agar segala yang dimintanya akan dikabulkan.
Suminten bangkit berdiri. Kini tampak betapa tubuhnya benar-benar amat menggairahkan. Tinggi semampai dengan lekuk-lengkung sempurna, padat berisi, semua bagian tampak halus lunak namun mengkal berisi seperti buah mangga muda matang ati.
Sekali lagi ia meneliti keadaan dirinya, memandangan bayangan tubuhnya dari segala jurusan, berputaran di depan cermin, lalu ia tersenyum puas dan bertepuk tangan memberi isyarat kepada pada abdinya bahwa mereka kini boleh memasuki kamarnya.
Tiga orang emban yang muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kelihatan sederhana kalau dibandingkan dengan Suminten yang gemilang, memasuki kamar itu dengan langkah gemulai dengan tersenyum-senyum genit.
Mereka itu tanpa diperintah lalu sibuk mengelilingi junjungan mereka, ada yang membetulkan letak kain, ada yang hendak memperbaiki letak rambut dan mulut mereka memuji-muji dengan sikap menjilat.
“Hish, jangan lancang! Rambut dan riasanku sudah baik semua, jangan diganggu! Kalian ini merusak saja, selera kalian mana cocok dengan seleraku?”
Suminten adalah bekas seorang emban, abdi dalem mendiang Pangeran Panjirawit dan isterinya. Karena inilah agaknya maka setelah kini menduduki tempat tinggi di samping sang prabu, ia masih belum dapat melenyapkan sifatnya yang suka bersanda-gurau dengan para abdinya seperti terhadap kawan-kawan sendiri. Hal ini amat menyenangkan hati para abdinya yang membuat mereka makin cinta dan setia. Memang pandai sekali Suminten mengambil hati para pembantunya.
Para emban yang ditegur itu tersenyum-senyum dan melontarkan kata-kata pujian yang bukan penjilatan semata karena memang pada saat itu Suminten tampak amat cantik manis menarik hati.
Jumlah para emban yang mengabdi kepada Suminten ada tujuh orang dan mereka ini kesemuanya telah bersumpah setia kepada Suminten.

Mereka ini pula yang tempo hati telah membuat kesaksian palsu untuk menjatuhkan Puteri Sekarmadu. Mereka yakin bahwa hidup mati mereka, suka-duka mereka, bahagia sengsara mereka terletak di tangan Suminten, oleh karena itu mereka amat setia dan ingin sehidup semati dengan junjungan ini yang mereka percaya penuh keyakinan pasti akan menanjak kedudukannya dan menjadi seorang yang
paling berkuasa di Jenggala kelak.

Dengan demikian, nasib mereka pun sudah boleh dipastikan akan menjadi makin baik. Siapa tahu kelak mereka itu pun akan diangkat menjadi puteri-puteri yang terhormat seperti halnya Suminten yang dahulupun hanya seorang emban seperti mereka.
“Sudahlah, simpan segala puji-pujian itu untuk lain kali,emban. Lebih baik lekas kalian pergi menemui pengawal pribadi yang menjaga' kamar peraduan sang prabu, katakan bahwa aku hendak menghadap sang prabu sekarang juga.”
Tiga orang emban yang cantik itu tersenyum-senyum.
Mereka selalu merasa girang kalau disuruh menemui para pengawal yang gagah-gagah dan ganteng-ganteng itu, dan kesempatan-kesempatan seperti itu tentu akan mereka pergunakan sebaik-baiknya untuk bersanda-gurau dengan para pengawal. Berlari-larilah mereka seperti anak-anak nakal keluar dari kamar Suminten untuk menyampaikan perintah junjungan mereka.
Memang amat besar kekuasaan Suminten. Belum pernah sebelumnya seorang isteri selir dapat menghadap sang prabu begitu saja tanpa dipanggil, setiap saat yang dikehendakinya! Bahkan sang permaisuri sekali pun tidak pernah atau jarang sekali mempergunakan kekuasaan seperti ini.
Hebatnya, bukan hanya sang prabu sendiri yang selalu menurut dan menerima kunjungan selirnya ini dengan kedua tangan terbuka dan hati gembira, dalam keadaan bagaimana pun, juga para pengawal sang prabu tidak seorang pun berani membantah.
Hal ini adalah berkat kecerdikan Suminten yang merengek-rengek dan membujuk-bujuk sang prabu dengan alasan bahwa sejak peristiwa Sekarmadu, istana harus dijaga oleh pengawal-pengawal yang benar-benar dapat dipercaya dan untuk memilIh para pengawal ini, ditunjuk Pangeran Kukutan “yang setia” oleh Suminten.
Dan seperti yang sudah-sudah, karena mabuk dalam pelukan dan belaian Suminten, sang prabu meluluskan atau menyetujuinya. Kini para pengawal pribadi sang prabu adalah orang-orang pilihan Pangeran Kukutan dan sebagai anak buah pangeran itu, tentu saja dengan sendirinya mereka itu tunduk dan taat kepada Suminten
Demikianlah, malam hari itu, biar pun bukan waktunya sang prabu memanggilnya, Suminten memasuki kamar peraduan sang prabu dengan langkah perlahan. Para pengawal yang menjaga di luar, menelan ludah ketika melihat sang puteri ini lewat.
Para pelayan yang tadi melayani sang prabu, telah diperintahkan ke-luar dari kamar oleh raja yang tua ini. Setiap kali selirnya yang tercinta ini datang, mendadak saja sang prabu yang tua itu seolah-olah kembali menjadi muda, dikuasai nafsu berahi.
Tadi sebelum mendengar akan permintaan Suminten untuk menghadap, sang prabu benar-benar menikmati masa tuanya, seperti orang-orang tua yang lain dia suka duduk bermalasan di kursi yang lunak, dilayani para emban, dipijiti lengan dan kakinya, sambil makan hidangan yang serba lezat dan empuk tidak melelahkan mulut yang sudah ompong, mendengarkan. emban bersenandung dengan suaranya yang merdu, kadang-kadang minum minuman yang hangat dicampuri jahe membuat tubuh terasa hangat dan enak, meram melek seperti seekor lembu menjerum (mendekap dalam lumpur).
Akan tetapi begitu mendengar bahwa Suminten akan datang, tiba-tiba saja si lembu berubah menjadi singa! Sinar mata yang tadinya tenang tenteram merem melek, kini terbuka lebar, bersinar-sinar dan wajah yang tua Itu berseri penuh nafsu.
Dengan tak sabar sang prabu lalu menggunakan kata-kata dan isyarat, mengusir semua emban dan membersihkan semua bekas hidangan. Ia sendiri lalu duduk di kamar kosong, duduk di atas kursi empuk, memandang dengan penuh kegembiraan ke arah pintu, semua urat syaraf di tubuh menegang seperti biasanya kalau ia akan didekati Suminten!
Pandang mata sang prabu makin bersinar dan kini mata itu terbelalak penuh kagum ketika selirnya tercinta memasuki kamar dari pintu yang terbuka dari luar.
Daun pintu tertutup kembali dan Suminten menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dengan gerakan lemah gemulai sehingga mempertontonkan keindahan tubuhnya dengan jelas oleh gerakan-gerakan terlatih.
“Bangunlah... bangunlah... dan berjalanlah... perlahan-lahan ke sini, juitaku. Aku ingin melihat engkau melenggang...”
Sang prabu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti hendak mengangkat Suminten bangun.
Suminten menengadah sehingga wajahnya tampak sepenuhnya oleh sang prabu. Mulut yang semringah merah segar itu agak terbuka,mengaah senyum, mata mengerling penuh hasrat, hidung kecil mungil itu agak bergerak cupingnya kemudian Suminten menyembah dan bangkit berdiri.
Tidak sembarangan saja ia bangun ini, melainkan diaturnya, seperti bangkitnya seorang penari, memakai irama, memakai aturan sehingga setiap gerak, setiap perubahan tubuh tampak menarik menggairahkan.
Kemudian wanita cantik manis yang amat cerdik ini melangkah maju, dengan langkah-langkah kecil, setiap melangkah kaki menyilang ke depan, tumit diangkat, maka tampaklah penglihatan yang mempesonakan. Tubuh dari pinggang ke atas tegak dan kelihatan agung, akan tetapi dari pinggang ke bawah, seluruhnya merupakan pergerakan yang seratus prosen menonjolkan sifat kewanitaan yang halus lunak, lemas dan memikat.
Karena tumit diangkat melangkah, maka buah pinggul meninggi, dan karena kaki menyilang ke depan setiap langkah, pinggul itu melenggang-lenggok seperti pinggul harimau, inggang yang ramping itu mematah ke anan kiri seolah-olah tidak bertulang, seperti tubuh ular, ayunan lengan, tapak semua mengandung keindahan seni menggairahkan, ditambah suara ujung kain perlahan-lahan setiap melangkah, seperti daun-daun bambu bersanda-gurau membislkkan janji-janji yang muluk membakar nafsu berahi.
Sebetulnya sang prabu yang sudah tua itu merasa tubuhnya lelah dan matanya mengantuk. Akan tetapi melihat Suminten, lenyap rasa kantuknya seperti mencuci muka dengan air wayu, timbul seleranya seperti orang mengandung melihat rujak jeruk yang masam manis dan pedas! Diam-diam sang prabu merasa amat heran mengapa setelah menyelir wanita ini sampai bertahun-tahun, setiap kali melihat Suminten selalu timbul hasratnya, tak pernah merasa bosan, bahkan makin lama makin terpikat dan melekat, seperti orang ketagihan candu.
“Duhai Suminten, wong ayu denok montok, kedatanganmu seperti munculnya matahari di musim hujan, seperti jatuhnya hujan di musim kering! Ke sinilah, manis, mendekatlah agar terobat rasa rindu hatiku!”
Suminten mencibirkan bibir bawahnya yang penuh merah dengan sikap manja dan centil, mengerling dan kemudian tersenyum.
“Duh, sinuhun pujaan hamba! Baru dua malam yang lalu hamba menemani paduka, akan tetapi entah mengapa, dua malam berpisahan dengan paduka hamba tidak dapat tidur barang sekejap mata, tersiksa hati rindu rendam.” Suminten lalu menjatuhkan diri di dekat kaki sang prabu, menyembah.
Raja tua itu mendekap kepala itu, menariknya ke atas pangkuannya, lalu menggunakan kedua telapak tangan memegang pipi yang kemerahan, menengadahkan muka yang manis itu, terpesona oleh keindahan yang dilihatnya, kemudian sang prabu menunduk, membungkuk dan mencium kening yang menjelirit indah, penuh kemesraan dan kasih sayang.
“Wahai, manisku yang tercinta, kalau sudah mendengar ucapanmu, meraba kulitmu, menciummu, aku lupa bahwa aku sudah tua dan agaknya aku tidak akan mau mati sampai seribu tahun lagi!”.
Suminten memeluk pinggang junjungannya dan membenamkan mukanya di atas pangkuan. la muak, seperti pada malam pertama ia diperisteri raja tua ini. Muak ia kalau dicium dan merasa betapa jenggot dan kumis panjang, kasar dan beruban itu mengusap-usap kulit mukanya yang halus lunak.
Di dalam pangkuan, ia berjebi, dan kali ini bukan berjebi manja, melainkan berjebi sungguh-sungguh karena hatinya mengkal dan mencemoohkan. Hatinya berbisik gemas,
“Huh, tua bangka, siapa sih yang ingin melihat engkau tidak segera mampus? Akan tetapi jangan kau mampus dulu karena hanya melalui kebodohanmu saja-lah cita-citaku akan tercapai. Kalau sudah tercapai, tidak ingin mampus pun akan kuusahakan supaya kau segera mampus, kau tua bangka menjemukan!”
Akan tetapi, ia segera dapat menindas perasaan hatinya ini dan dengan muka penuh keharuan dan penuh cinta kaslh ia menengadah, memandang wajah sang prabu, dua titik air mata yang jernlh tergantung pada bulu mata yang lentik panjang.
“Aduhai, gusti junjungan hamba! Mengapa paduka bicara tentang mati? Hambalah orang pertama yang siang malam berdoa dan memohon kepada para dewata semoga paduka dianugerahi panjang usia dan takkan berpisah dari sisi hamba selama hamba masih hIdup.”
“Wah..., adindaku, jantung hatiku yang tiada keduanya di dunia ini! Betapa besar rasa syukur dan terima kasihku kepada para dewata yang menganugerahi aku di hati tuaku dengan seorang den ayu seperti engkau!”
Sang prabu yang masih kuat itu menarik tubuh Suminten, didudukkannya wanita itu di atas pangkuannya dan mulailah mereka bercumbu dan berkasih mesra. Pandang mata sang prabu berpesta menjelajahi tubuh yang denok montok itu, yang memang sengaja ditonjol-tonjolkan bagian-bagian yang menarik oleh Suminten dl kala ia berdandan tadi.
Suminten yang semuda itu sudah amat ahli dalam merayu, membuat sri baginda mabuk dengan belaian-belaian sepuluh jari tangannya yang halus dan hidup merayap-rayap, membelai dan mengusap penuh kasih, dengan pelukan-pelukan ketat, dengan ciuman-ciuman manja dan panas bernafsu sampai raja tua itu terengah-engah dibakar nafsunya sendiri kemudian memondong tubuh selirnya dibawa ke peraduan yang dibuat dari pada emas bertilam sutera dan berbau harum.
Suminten pandai menyimpan rahasianya, juga pandai menekan perasaan. Ia melayani sang prabu seperti seorang selir yang benar-benar mencinta. Ia menanti saat dan kesempatan baik, dan sampai jauh malam setelah sang prabu merem melek menikmati pijatan jari-jari tangan halus itu pada kedua kaki tuanya yang lelah, Suminten masih belum menyampaikan hasrat yang terkandung di hatinya, sesuai dengan rencana yang dibuatnya sejak siang tadi ia melakukan perundingan rahasia dengan Pangeran Kukutan.
Rencananya dilakukan semenjak tadi ia berdandan mempersolek diri, merupakan sebagIan siasatnya untuk menjatuhkan hati sang prabu.
Melihat betapa tekunnya wanita cantik manis itu memijati betis dan pahanya, sang prabu menghela napas penuh kepuasan, lalu berbisik, “Suminten, betapa aku mencintamu... ‘
Saat yang amat baik telah tiba dan Suminten menahan isak, kemudian kedua tangannya berhenti memijati kaki dan digunakan untuk menutupi mukanya. Ia terisak dan air mata mengalir dari celah-celah jari tangannya.
Sang prabu terkejut dan cepat bangun, merangkul leher kekasihnya.
“Eh, eh, ada apakah, Suminten? Mengapa engkau meruntuhkan waspa (air mata), kekasihku?”
Suminten makin sesenggukan, menyembunyikan mukanya di dada sang prabu.
“Hati hamba amat terharu... dan justeru karena kekalnya cinta kasih antara kita... menimbulkan hal-hal yang tidak enak... karena mereka menjadi iri hati...”
“Eh, siapakah? Siapa iri hati kepadamu?”
“Paduka tentu maklum. Sudah terbuktl desas-desus yang dikeluarkan oleh mulut kurang ajar Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra...”
“Hemm, tenangkan hatimu. Bukankah mereka telah kutangkap dan dijebloskarr dalam penjara?”
“Benar, gusti hamba yang tercinta. Akan tetapi apa gunanya? Mereka itu malah makin mendendam... hamba orang yang hina-dina dan celaka... dibenci oleh banyak orang karena iri hati...”
“Eh, siapa pula berani? Aku sendiri akan melindungimu,kekasih manis. Siapa-pun dia yang membencimu akan berhadapan dengan aku sendiril” seru sang prabu dengan nada menantang dan marah.
“Ah, gusti sesembahan hamba yang hamba cinta dengan seluruh jiwa raga hamba..., tidak sedetikpun hamba meragukan kasih sayang paduka... akan tetapi, mereka itu orang-orang terpenting, termasuk Ki Patih Brotomenggala yang menjadi orang pertama dengan antekanteknya, para tumenggung dan adipati... dan bahkan beberapa orang pangeran juga membenci hamba... di bawah lindungan gusti ayu ratu sendiri...”
“Hemmm, hanya dugaanmu saja, Suminten. Mereka tidak membencimu!”
“Hamba seorang wanita. Perasaan hamba dapat mengetahui, biar pun mereka tidak secara berterang menyatakan benci karena takut kepada paduka. Akan tetapi cara mereka memandang hamba, dan desas-desus di luaran, para abdi sudah mengetahui semua... ah, betapa akan lega hati hamba kalau hamba dapat membalas mereka semua!”
Sang prabu benar-benar terkejut. Dipegangnya pundak kekasihnya dan dipaksanya wanita itu memandangnya.
“Suminten! -.Apa yang kaukatakan ini? Mereka... mereka adalah keluargaku, isteriku dan putera-puteraku, dan ponggawa-ponggawa tinggi yang setia...!’
Suminten menangis makin mengguguk, kemudian ia melepaskan rangkulan sang prabu, melorot turun sambil menangis lalu berlutut di depan pembaringan sambil menyembah-nyembah.
“Ampunkan hamba, gusti. Sungguh hamba tidak tahu diri! Mereka adalah orang-orang berjasa dan setia dan pandai, sedangkan hamba? Ah, hamba hanya orang sudera, rendahan hina, bodoh dan canggung. Hamba tidak punya apa-apa, hanya punya cinta kasih, hamba merelakan badan dan nyawa ini... paduka bunuh saja hamba sekarang juga, agar paduka tidak menjadi pusing karena urusan mereka membenci hamba...“ Suminten terisak-isak.
“Hushhh... hushhhh... kau kekasihku, omongan apa ini? Ke sinilah dan hentikan tangismu...”
Sang prabu menarik tubuh kekasihnya, merangkul dan memangkunya. Diusapnya air mata yang membasahi pipi yang montok, diciumnya mulut yang terisak, lalu sang prabu tersenyum, bertanya,
“Suminten, habis apa yang kau ingin kulakukan? Menangkapi mereka semua? Kakang patih, permaisuri, para adipati dan tumenggung, bahkan para pangeran?”
Suminten menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata dengan nada sedih,
“Hamba bukan seorang yang tidak tahu diri, gusti. Tidak, hamba tidak menghendaki sejauh itu.Hanya tentu saja hamba merasa sengsara hidup ini kalau dijadikan bahan percakapan mereka yang membenci, padahal di dalam hati hamba, tiada rasa benci kecuali keinginan hendak melayani paduka sepenuh cinta kasih, membahagiakan paduka dengan setia...”
Sang prabu mengecup bibir yang mengeluarkan ucapan semanis itu.
“Habis, apa kehendakmu sekarang, Suminten?”
“Dua orang bedebah itu, gusti Si Wirabayu dan Adisatra..., mereka membuat desas-desus bahwa hamba telah menjatuhkan guna-guna atas diri paduka, bahwa hamba meracuni hidup paduka, melemah kan Kerajaan Jenggala. Untung ada putera paduka yang amat setia dan berbakti,anak Pangeran Kuku tan yang dapat membongkar kejahatan mereka. Kalau tidak, dan sampai rakyat mempercaya desas-desus itu, bukankah mencelakakan hamba dan merendahkan nama paduka?”
“Mereka sudah ditangkap, manis...”
“Tidak, mereka harus dihukum mati, gusti. Mereka telah menghina paduka dan kalau mereka tidak dihukum mati di alun-alun, yang lain-lain tidak akan menjadi takut! Kewibawaan paduka akan terancam dan untuk memulihkan kewibawaan paduka, jalan satu-satunya hanya menghukum mati mereka yang telah menghina paduka.”
Berubah wajah sang prabu.
“Tapi... tapi... Wirabayu adalah anak mantu kakang Patih Brotomenggala... dan... dan kakang Empu Adisastra banyak jasanya dalam kesenian...”
Kembali Suminten menangis.
“Sudahlah, hendaknya paduka bunuh saja hambamu ini, gusti... sudah hamba katakan tadi, hamba tiada jasa, hamba tiada guna..., silakan paduka tusuk saja dada ini dengan pusaka paduka...’
Suminten menarik penutup dadanya, menantang. Akan tetapi perbuatan ini bahkan membuat sang prabu terpesona. Tiada bosannya sang prabu mengagumi tubuh yang muda dan indah itu. Ia memeluk mesra.
“Baiklah, kekasihku... baiklah memang kau benar, mereka harus dijadikan contoh untuk mengembalikan kewibawaanku, agar tidak ada orang berani Iagi menghinamu...!”
“Menghina paduka, bukan hamba...“ kata Suminten manja sambil memeluk dan kembali dengan pandainya wanita ini mencumbu sehingga sang prabu menjadi makin mabuk. Jin setan dan iblis brekasakan yang meliar di malam hari itu berpesta pora, bersorak gembira melihat hasil kemenangan nafsu kejahatan ini…..
********************
Alun-alun penuh rakyat, berjejal-jejal hendak menyaksikan hukuman mati atas diri Adipati Wirabayu dan Empu Adisastra. Para pengawal menjaga di sekeliling alun-alun, mencegah rakyat mendekati tempat pelaksanaan hukuman:
Tidak jauh dari tempat pelaksanaan hukuman ini terdapat sebuah panggung dan di situ duduk sang prabu bersama Suminten. Keruh wajah sang prabu karena sesungguhnya pelaksanaan hukuman inl tidak berkenan di hatinya, terpaksa diperintahkan untuk tidak mengecewakan hati Suminten! Wajah tua itu tampak makin berkerut-merut, makin tua, pandang matanya sayu. Berbeda dengan raja tua ini, Suminten tampak gilang-gemilang dalam cahaya mudanya, cantik jelita dan sikapnya tenang, agung dan angkuh dalam kemenangannya.
Biar pun alun-alun itu penuh dengan manusia berjajaran,namun suasananya sunyi. Semua orang merasa prihatin dan gelisah. Memang ada banyak pula yang tersenyum-senyum puas, mereka ini adalah orang-orang yang memang memiliki rasa permusuhan terhadap dua orang yang akan dijatuhi hukuman mati, dan terutama mereka yang telah menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan.
Keluarga dua orang hukuman yang diharuskan hadir, termasuk Ki Patih Brotomenggala, berkumpul di sudut dan di antara mereka, terutama kaum puterinya, menangis terisak-isak. Suasana makin mengharukan ketika dua orang hukuman itu digiring memasuki alun-alun.
Mereka tidak muda lagi, lima puluhan tahun usianya. Terutama Empu Adisastra sudah kelihatan tua dengan jenggotnya yang panjang. Mereka sudah mendengar keputusan raja dan menerima keputusan ini dengan tenang.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar