PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-42
“Eaduh, toblas-toblas! Bukan main bocah ini..., darah daging dan tulangnya..., wah, hebat, tiada keduanya di dunia ini...”
Ni Dewi Nilamanik melirik tajam ke arah Ki Kolohangkoro, khawatir
kalau-kalau Endang Patibroto akan menjadi tak senang hati menyaksikan
dan mendengar ucapan kasar itu. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa Endang
Patibroto, sebagai murid mendiang Sang Dibyo Mamangkoro dan tinggal di
Pulau Iblis bertahun-tahun lamanya bersama gurunya, sudah biasa akan
sikap kekasaran kaum sesat ini.
Bahkan melihat bentuk tubuh Ki Kolohangkoro yang tinggi besar, melihat
sikap kasar dan kata-kata yang kasar pula, timbul rasa senang di hatinya
dan girang bahwa puterinya dipuji-puji, biar pun pujiannya amat kasar.
Orang yang sekali pandang dapat melihat keadaan puterinya, tentunya
seorang yang memiliki kepandaian. Maka tersenyumlah Endang Patlbroto dan
lenyaplah sikapnya yang angkuh, malah dengan ramah ia mendahului
berkata,
“Terima kasih atas pujian andika terhadap puteriku Retna Wilis. Siapakah
gerangan andika berdua dan apakah maksud kunjungan andika yang
tiba-tiba ini?”
Girang hati Ni Dewi Nilamanik melihat sikap wanita sakti itu yang tadi membuat hatinya tergetar.
Cepat ia memberi hormat, membungkuk dan dengan suara ramah dan sikap
hormat ia cepat mendahului Ki Kolohangkoro sebelum si raksasa kasar itu
menjawab,
“Kami berdua mohon maaf sebanyaknya kalau kami dapat mengganggu andika
yang sedang melatih puteri andika. Karena telah lama mendengar nama
besar andika, mengagumi kebesaran Padepokan Wilis, apa lagi mendengar
akan diadakannya sayembara tanding, kami memberanlkan diri lancang
memasuki puncak ini dengan harapan dapat bertemu dan berwawancara dengan
andika yang kami kagumi.
Kami berdua adalah saudara-saudara seperguruan, nama saya Dewi
Nilamanik, sedangkan dia ini adik seperguruanku bernama Kolohangkoro.
Harap maafkan sikapnya yang kasar karena memang demikianlah wataknya.”
Endang Patibroto diam-diam mengingat-ingat. Tidak pernah ia mendengar
dua nama ini sungguh pun ia merasa yakin bahwa mereka berdua ini bukan
orang sembarangan, melainkan orang-orang yang sakti dan yang ia belum
tahu apa kehendaknya.
“Andika berdua terlalu memujiku dan terlalu merendahkan diri. Memang aku
mengadakan sayembara tanding sebagai syarat adik kandungku mencari
jodohnya, akan tetapi sayembara dimulai dua hati lagi. Andika datang
terlampau pagi.”
Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan kilatan giginya yang putih membuka mata
Endang Patibroto yang dapat menangkap sebuah gaya yang tidak
menyenangkan hatinya pada diri wanita ini. Genit dan senyum serta
pandang matanya membayangkan watak cabul, pikirnya dengan waspada.
“Maaf, kedatangan kami sama sekali bukan untuk sayembara tanding itu.
Sama sekali bukan. Adik seperguruanku ini sudah terlalu tua untuk
memikirkan soal itu. Kami datang untuk mengajak andika berunding, untuk
menawarkan persekutuan dalam menghadapi dan menghancurkan musuh kita
bersama.”
Berdebar jantung Endang Patibroto. Hem, apa yang dimaksudkan orang-orang
ini? Musuh bersama? Siapa? Akan tetapi karena maklum bahwa dua orang
ini ingin membicarakan urusan penting, maka ia lalu menggerakkan tangan
kanan mempersilakan mereka duduk di atas tanah sambil berkata,
“Aku sedang menjaga puteriku berlatih. Silakan andika berdua duduk, kita bisa bercakap-cakap di sini.”
Ni Dewi Nilamanik mengerutkan kening dan menengadah, memandang ke arah
tubuh kecil yang menggantung pada cabang pohon. Melihat kesangsian
wanita itu, Endang Patibroto cepat berkata,
“Harap andika tenangkan hati karena puteriku dalam keadaan hening, tidak akan dapat mendengarkan percakapan kita.”
Ki Kolohangkoro yang juga memandang ke atas, kembali berseru,
“Waahh, sekecil itu sudah dapat menutup panca indra dan hening dalam samadhi dengan keadaan seperti itu... bukan main...!”
Mereka duduk di bawah pohon itu, saling berhadapan. Sejenak Endang
Patibroto menyapu wajah kedua orang tamunya penuh selidik, kemudian
berkata,
“Nah, silakan andika berdua keluarkan apa yang menjadi isi hati andika.”
Sikap Endang Patibroto amat berwibawa dan angker sehingga diam-diam Ni Dewi Nilamanik merasa betapa jantungnya berdebar.
“Telah lama kami mendengar nama besar andika,” ia memulai. “Bahkan kami
telah mendengar akan segala peristiwa yang menimpa andika di Kerajaan
Jenggala. Kami telah mendengar pula betapa suami andika yang mulia, Sang
Pangeran Panjirawit, tewas karena kejahatan Jenggala, sehingga kini
andika yang tadinya hidup mulia sebagai mantu raja, sampai berada di
puncak gunung yang sunyi ini sebagai ketua Padepokan Wilis.”
“Hemmm, kalau sudah demikian, mengapa? Harap andika lanjutkan.”
Di dalam suara Endang Patibroto terkandung pengaruh yang dingin dan
menyeramkan, membuat Ni Dewi Nilamanik menelan ludah dan memberanikan
hati untuk melanjutkan,
“Karena kami mengetahui keadaan andika inilah maka kami mempunyai
harapan untuk dapat menarik andika sebagai seorang kawan seperjuangan.
Kerajaan Jenggala amat buruk keadaannya, rajanya tidak bijaksana,
tergila-gila oleh selir barunya yang bernama Suminten dan yang ingin
merebut kekuasaan.”
“Suminten...?” Endang Patibrot bertanya kaget, teringat ia akan bekas pelayannya.
“Benar, mengapakah? Apakah andika mengenalnya?”
Endang Patibroto menggeleng kepala. Tak mungkin, pikirnya, tentu hanya namanya saja yang kebetulan sama.
“Tidak apa-apa, harap teruskan.”
“Karena itu, terus terang saja kami sebagai anak buah Sang Wasi
Bagaspati utusan Kerajaan Cola, melihat kesempatan baik untuk merobohkan
Jenggala dari dalam. Dan untuk ini kami membutuhkan bantuan dan kerja
sama orang-orang sakti, terutama sekali andika. Bukankah hal ini
merupakan kesempatan baik sekali bagi andika untuk membalas dendam
kematian suami andika Pangeran Panjirawit? Percayalah, jasa andika akan
dihargai dan Sang Wasi Bagaspati adalah seorang yang selain sakti
mandraguna, juga amat bijaksana.”
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik menghentikan bujukannya karena melihat
betapa Endang Patibroto menggeleng kepala dengan gerakan yang tegas,
kemudian terdengar suaranya yang dingin,
“Tidak, aku tidak dapat menerima ajakan andika. Aku tidak sudi
mengikatkan diri dengan persoalan luar, di luar dari Padepokan Wilis.
Kedatangan andika berdua sia-sia kalau hanya untuk maksud itu. Soal ini
tidak perlu dilanjutkan lagi, tidak perlu dibicarakan dan kuharap andika
berdua suka meninggalkan tempat ini.”
Ucapan ini sudah jelas, tegas dan singkat yang berarti penolakan penuh
untuk bekerja sama! Baik Ni Dewi Nilamanik maupun Ki Kolohangkoro maklum
bahwa membujuk wanita dingin ini tidak akan ada gunanya lagi. Ki
Kolohangkoro meloncat bangun dan berkata sambil tertawa,
“Ha-ha-ha, Bunda Dewi, sudah kukatakan bahwa percuma saja mengajak
bicara! Eh, Endang Patibroto, soal kerja sama tidak perlu kita bicarakan
lagi, akan tetapi setelah tiba di depanmu, aku Ki Kolohangkoro tidak
akan merasa puas kalau belum mencoba sampai di mana kedigdayaanmu
sehingga engkau berani bersikap begini sombong dan dingin terhadap kami
berdua!”
Endang Patibroto mengerling ke arah Ni Dewi Nilamanik, bibirnya bergerak dan terdengarlah pertanyannya, tenang dan dingin,
“Apakah begini pula pendirianmu?”
Ni Dewi Nilamanik tak dapat menghindari lagi, maka sambil tersenyum mengejek ia mencabut kebutannya dan bangkit berdiri,
“Begitulah, Endang Patibroto. Kami tidak ingin pulang dengan tangan
kosong. Tidak berhasil bekerja sama, setidaknya kami ingin menguji
sampai di mana kepandaianmu:”
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan muncullah tiga orang
tinggi besar diikuti oleh belasan orang. Mereka muncul dari dalam gelap,
seperti iblis-iblis hutan.
“Tidak perlu paduka yang bergerak, Gusti Puteri. Biarkan hamba menghancurkan kepala dua orang kurang ajar ini!”
Endang Patibroto memandang mereka dengan kening berkerut.
“Kakang Limanwilis, Lembuwilis, dan Nogowilis. Mundurlah kalian dan bawa
saudara-saudara kita pergi dari sini. Biarkan aku sendiri menghadapi
dua orang tamuku. Perkuat penjagaan dan aku tidak memerlukan bantuan
kalian di sini. Tak seorang pun boleh turun tangan, bahkan tidak boleh
masuk taman. Mengerti?”
Tiga orang laki-laki tinggi besar itu memberi hormat dan sekali
berkelebat belasan orang itu lenyap di dalam gelap. Melihat ini, Ni Dewi
Nilamanik dan Ki Kolohangkoro diam-diam menjadi lega hatinya. Akan
tetapi mereka tersenyum mengejek lalu berkatalah Ki Kolohangkoro,
“Mengapa mereka disuruh pergi, Endang Patibroto? Biarkan mereka mengeroyok kamI agar enak aku membabat! mereka. Ha-ha-ha!”
“Hemm, kalian menantang aku seorang. Apa kamu kira aku takut,
Kolohangkoro? Biar ada sepuluh orang lawan macam kalian, aku tidak akan
undur selangkah! Majulah kalian kalau sudah bosan hidup.”
“Babo-babo... sumbarmu seperti bisa memecahkan Gunung Mahameru! Endang
Patibroto, biar pun andika telah berhasil menewaskan... eh, banyak orang
sakti, jangan memandang ringan Ki Kolohangkoro!” teriak Ki Kolohangkoro
yang masih sempat menahan diri dan tidak menyebut-nyebut nama Wiku
Kalawisesa dan Bhagawan Kundilomuko yang sudah hampir terluncur keluar
dari mulutnya tadi.
“Terserah bagaimana wawasanmu,” jawab Endang Patibroto dengan suara
dingin dan sikap tenang memandang rendah, “kalau kalian berani dan
menantangku, majulah. Kalau tidak, minggatlah dari sini jangan banyak
tingkah lagi!”
“Phuaaahhh, sombongnya!” bentak Ki Kolohangkoro, agak tertegun karena
belum pernah selama hidupnya ada orang berani memandang rendah kepadanya
seperti sikap dan kata-kata wanita tokoh Padepokan Wilis ini.
Juga Ni Dewi Nilamanik menjadi merah telinganya. Ia mendenguskan napas
dari hidungnya, menggerak-gerakkan pengebut di depan dada lalu berkata,
“Tajam sekali lidahmu, Endang Patibroto! Ingin aku melihat apakah kepandaianmu juga sehebat mulutmu!”
Baru saja habis kata-kata ini keluar dari mulut Ni Dewi Nilamanik, tokoh
pemuja Bathari Durga ini sudah menerjang maju. Cepat bukan main
gerakannya ketika ia meloncat, tahu-tahu sudah berada di depan Endang
Patibroto dan kebutannya menyambar ke arah leher, sebuah pukulan maut
yang mendatangkan angin pukulan panas!
“Wuuuuutttt... plakkkk...!”
“Aihhh...!”
Ni Dewi Nilamanik merintih perlahan dan terhuyung mundur.
Ketika ujung kebutannya tadi menyambar, Endang Patibroto diam saja
dengan tenang. Baru setelah ujung kebutan hampir menyentuh lehernya,
secara tiba-tiba ia mengelak dan tangan kirinya dengan jari terbuka
mengirim pukulan bawah mengarah perut Ni Dewi Nilamanik!
lnilah gerak tipu yang amat, hebat dan amat curang, sesuai dengan ilmu
tata kelahi kaum sesat dan yang sama sekali tidak pernah disangka-sangka
oleh Ni Dewi Nilamanik. Begitu melihat perutnya terancam pukulan maut
yang tak mungkin dapat ia tahan, Ni Dewi Nilamanik cepat menggerakkan
tangannya pula menerima dorongan telapak tangan lawan yang ampuh itu
dengan telapak tangannya sendiri.
Akibatnya, ia terhuyung mundur, wajahnya pucat, isi dadanya seperti
ditusuk-tusuk pisau dingin dan ia merintih. Akan tetapi tentu saja Ni
Dewi Nilamanik yang sudah mempunyai tingkat kepandaian tinggi itu tidak
dapat dirobohkan hanya dengan pertemuan telapak tangan. Karena merasa
kalah dalam satu gebrakan, Ni Dewi Nilamanik menjadi marah bukan main,
tubuhnya sampai menggigil.
Ketika itu Ki Kolohangkoro sudah maju pula menubruk, menggerakkan
senjata nenggala menghunjam ke arah pelipis kiri Endang Patibroto,
disusul dengan kepalan tangan kirinya yang sebesar buah kelapa itu
menghantam dada lawan.
“Hemmm…!” Endang Patibroto hanya mendengus pendek, tubuhnya lantas
berkelebat ke belakang, sengaja memperlambat gerakannya sehingga kedua
serangan itu hampir mengenainya dan membesaran hati Ki Kolohangkoro yang
cepat mengejar ke depan. Inilah yang diharapkan Endang Patibroto.
Tubuhnya tadinya agak terhuyung, akan tetapi begitu melihat gerakan
lawan mengejar maju, tiba-tiba sekali kakinya bergerak dengan kecepatan
yang tak dapat diduga sebelumnya, tahu-tahu kedua kakinya sudah
melakukan tendangan berantai mengarah bawah pusar Ki Kolohangkoro,
bagian paling lemah bagi seorang pria!
“Ougghhhh...!”
Ki Kolohangkoro terkejut setengah mati. Tubuhnya sudah condong ke depan,
maka secepat kilat mengenjotkan kakinya meloncat mundur. la terbebas
dari pada bahaya maut, akan tetapi tidak cukup cepat untuk
,menghindarkan diri sama sekali dari tendangan berantai.
“Trokkkk!”
“Aduhhh... tohobaatt...!”
Ki Kolohangkoro yang meloncat mundur masih kena disambar tulang
keringnya oleh tendangan Endang Patibroto. Biar pun ia bertubuh kebal,
akan tetapi tulang keringnya serasa remuk-remuk, sumsum di dalamnya
rontok, kiut-miut nyerinya sampai menusuk ulu hati. Ia
berjingkrak-jingkrak mengangkat kaki yang tertendang dan mengelus-elus
tulang kering yang tampak membiru. Setelah rasa nyeri agak mengendur, ia
menjadi marah, matanya terbelalak sebesar jengkol, mukanya merah
seperti yuyu dipanggang.
Seperti dikomando saja, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro lalu
menyerbu ke depan, senjata nenggala berseling dengan kebutan merah,
merupakan cakar-cakar maut yang hendak merenggut nyawa Endang Patibroto.
Wanita perkasa ini cukup maklum bahwa ia menghadapi lawan-lawan berat.
Kalau satu lawan satu, dalam waktu pendek ia masih akan sanggup
merobohkan lawan. Akan tetapi setelah mereka maju berdua, ia tidak mau
bersikap sembrono dan menghadapi senjata-senjata dengan tangan kosong
lagi.
“Cattt... catttt...!”
Dua sinar menyambar ke arah Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro yang
menjadi terkejut dan cepat menggunakan senjata menyampok runtuh dua
batang anak panah tangan itu.
Akan tetapi alangkah terkejut hati dua orang ini ketika melihat tubuh
Endang Patibroto sudah menyambar ke depan, sebatang keris luk tujuh
menusuk ke arah dada Ki Kolohangkoro sedangkan tangan kiri wanita sakti
ini menampar ke arah muka Ni Dewi Nilamanik.
Demikian ganas dan dahsyat serangan itu sehingga sukar bagi kedua orang
lawannya untuk mengelak lagi. Ki Kolohangkoro menangkis keris dengan
senjata nenggalanya, adapun Ni Dewi Nilamanik menangkis sambil
menyabetkan kebutan ke arah tangan kiri yang menghantamnya.
“Tranggg...”
Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu. Ujung kebutan yang
menangkis, dapat dicengkeram oleh Endang Patibroto, lalu dihentakkan ke
kiri.
Akibatnya, tubuh Ni Dewi Nilamanik terhuyung dan hampir terbanting ke
kiri, sedangkan tubuh Ki Kolohangkoro terjengkang ke belakang saking
hebatnya tenaga yang tersalur melalui keris. Keadaan dua orang itu dalam
bahaya karena posisi mereka yang terhuyung itu dalam keadaan terbuka.
Kalau saja Endang Patibroto melanjutkan serangan dengan susulan, tentu
mereka akan celaka. Akan tetapi pada saat itu, tampak bayangan
berkelebat cepat disusul bentakan,
“Sungguh tak tahu diri berani mengacau puncak Wilis!”
Bayangan itu bukan lain Raden Warutama yang sudah mendahului Endang
Patibroto, menerjang ke arah dua orang itu dengan gerakannya yang cepat
seperti burung menyambar. Dua kali kakinya menendang dan... tubuh Ki
Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik terkena tendangan sampai roboh
bergulingan. Namun kedua orang ini bergulingan sampai jauh dan terus
melompat, melarikan diri!
Saking heran dan kagetnya, Endang Patibroto berdiri memandang laki-laki
itu, tidak mempedulikan larinya Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro.
Memang ia tidak ingin bermusuhan dengan mereka. la heran dan kaget
melihat betapa laki-laki ini sekali serang saja berhasil menendang roboh
kedua orang yang ia tahu bukan orang-orang lemah itu. Alangkah sigap
dan cepatnya.
Tentu bukan sembarang orang, pikirnya sambil menentang wajah yang gagah
dan tampan itu. Jantungnya berdebar dan otaknya diperas untuk
mengingat-ingat. Ia merasa pernah mengenal, pernah melihat orang ini,
atau orang yang mirip dengan pria ini. Hatinya tidak senang seperti
telah menjadi wataknya, bahwa ia tadi dibantu dalam perkelahian, akan
tetapi setelah kini menjadi seorang pemimpin padepokan, Endang Patibroto
cukup dapat menahan perasaannya dan dengan sikap angker ia bertanya,
“Andika ini siapakah dan siapakah pula yang memperkenankan andika datang
ke puncak dan mencampuri urusanku, tanpa diminta membantuku? Apakah
andika mengira bahwa aku jerih melawan kedua orang itu dan bahwa hanya
andika yang memiliki kedigdayaan sehingga perlu mengalahkan mereka?”
Raden Warutama tersenyum, wajahnya yang tampan membayangkan kesabaran
dan keramahan, kemudian ia membungkuk penuh hormat sambil berkata,
“Mohon maaf sebesarnya atas kelancangan saya berani melanggar wilayah
kekuasaan andika yang saya telah dengar adalah ketua Padepokan Wilis
yang sakti mandraguna, dan bukan sekali-kali pula saya merendahkan
kesaktian andika. Akan tetapi karena saya menaruh rasa curiga terhadap
kedua orang itu yang saya jumpai di lereng, maka diam-diam saya
mengikuti mereka ke sini dan melihat kekurangajaran mereka, saya sampai
lupa diri dan menyerang mereka. Sekali lagi, mohon maaf dan baiklah saya
memperkenalkan diri. Saya adalah Raden Warutama dari Bali-dwipa.”
Endang Patibroto mengerutkan keningnya. Siapa pun adanya pria ini,
merupakan hal yang tidak menyenangkan hatinya kalau ada orang berani
naik ke puncak begitu saja, dengan alasan apa pun juga dan mengganggu
puterinya yang sedang berlatih keras. Ia melirik ke atas dan melihat
bayangan anaknya masih tergantung di pohon. Malam mulai tiba dan keadaan
mulai gelap.
“Apakah kedatangan andika ke Wilis ada hubungannya dengan sayembara tanding yang kami adakan besok lusa?”
“Memang sebenarnyalah, karena mendengar tentang sayembara tanding itu maka saya datang ke Wilis.”
“Kalau andika datang untuk itu, mengapa tidak menanti di kaki Wilis seperti orang-orang lain?”
“Maaf, sudah saya ceritakan sebabnya. Pula, kedatangan saya tidak ingin memasuki sayembara tanding.”
“Habis, untuk apa?”
Raden Warutama tersenyum lebar.
“Terus terang saja saya katakan bahwa saya harus mengawasi dan
melindungi andika sekeluarga. Ketahuilah bahwa saya masih terhitung anak
keponakan darI mendiang Sang Sakti Narotama.”
Diam-diam Endang Patibroto terkejut. Memang dia sudah tahu bahwa baik
Sang Prabu Alrlangga maupun Ki Patih Narotama adalah orang-orang dari
Bali-dwipa. Hal-hal mengenai rajadan patihnya yang sakti Itu banyak ia
dengar dahulu dari suaminya, yaitu mendiang Pangeran Panjirawit yang
terhitung cucu Sang Prabu Airlangga.
Jadi pria ini adalah keponakan Ki Patih Narotama yang sakti? Pantas saja
gerakan-gerakannya tadi hebat. Berkuranglah kemarahannya, akan tetapi
ia masih mendesak,
“Apa hubungannya itu dengan kami?”
Warutama kelihatan tertegun, akan tetapi kemudian ia menjawab tenang,
“Mungkin bagi andika tidak ada hubungannya, akan tetapi bagi saya
amatlah penting artinya.Hendaknya diketahui bahwa kami keturunan Sang
Sakti Narotama adalah orang-orang yang mementingkan arti kata setia
terhadap raja. Sayapun mengikuti jejak Sang Naro tama yang amat setia
terhadap Sang Prabu Airlangga. Andika adalah cucu mantu Sang Prabu
Airlangga.Biar pun sekarang telah menjadi janda, akan tetapi puteri
andika itu...”
la menudingkan telunjuknya ke arah tubuh Retna Wilis yang menggantung,
“adalah keturunan Sang Prabu Airlangga. Tentu saja andika dan puteri
andika harus saya lindungi sekuat tenaga saya. Demikianlah sebabnya,
begitu mendengar bahwa andika membuka sayembara tandang untuk memilihkan
jodoh adik kandung andika, saya langsung mengunjungi Wilis.”
Hati Endang Patibroto tertusuk. Pria ini belum tahu bahwa Retna Wilis
bukan-lah puteri Pangeran Panjirawit, melainkan puteri Tejolaksono! Akan
tetapi ia tidak menyalahkannya, karena memang jarang ada yang
mengetahuinya dan iapun tidak peduli.
Hanya kIni pandangannya terhadap prla ini berubah dan tidak mungkin lagi
Ia bersikap kasar setelah mengetahui latar belakang sikap orang Ini.
“Kalau begitu, ternyata andika bermaksud baik dan biarlah saya
menghaturkan terima kasih kepada iktikad baik andika. Andika saya terima
sebagai seorang tamu dan sahabat, dan marilah, persilakan mengaso di
pondok kami.”
Endang Patibroto mengajak tamunya untuk meninggalkan tempat itu menuju
ke pondok. Warutama girang sekali, akan tetapi dengan ragu-ragu ia
berkata,
“Akan tetapi... puteri andika…“
Endang Patibroto tersenyum. “Biarkan saja. Dia sedang berlatih dan baru
akan selesai besok pagi. Sudah biasa dia berlatih begitu. Marilah, Raden
Warutama, silakan.”
Raden Warutama menggeleng-geleng kepala penuh kagum.
“Hebat sekali puteri andika, sungguh tidak mengecewakan menjadi cucu buyut mendiang Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna.'
Ibu mana di dunia ini yang tIdak akan menjadi senang hatinya mendengar
pujian terhadap anaknya? Endang Patibroto senang sekali dan makin suka
ia kepada pria yang gagah perkasa dan ramah serta halus budi bahasanya
ini.
Di dalam pondok, para pelayan lalu mengeluarkan hidangan dan dijamulah
Raden Warutama oleh Endang Patibroto, kemudian dipersllahkan ke ruangan
dalam di mana mereka berdua lalu bercakap-cakap dengan asyiknya. Dalam
percakapan inilah dengan cerdik sekali Raden Warutama
menyinggung-nyinggung soal Kerajaan Jenggala.
“Sungguh sayang sekali,” demikian katanya sambil lalu, “usaha baik Sang
Prabu Airlangga dirusak oleh penyelewengan puteranya yang menjadi raja
di Jenggala. Saya banyak mendengar tentang kekacauan di Jenggala,
gara-gara penyelewengan sang prabu yang hanya memikirkan kesenangan diri
pribadi saja. Seyogyanya, orang-orang yang memiliki sedikit kepandaian
seperti saya, terutama sekali; seorang sakti mandraguna seperti andika,
turun tangan dan ikut menyelamatkan keadaan Kerajaan Jenggala yang
terancam keruntuhan. Bagaimana pendapat andika?”
Endang Patibroto menghela napas panjang.
“Dunia ini penuh dengan orang-orang yang saling memperebutkan kedudukan.
Memang banyak sekali yang mula-mula didasari iktikad baik,
menyelamatkan negara dan rakyat. Akan tetapi sekali mereka sudah
mencapai kedudukan tinggi, negara dan rakyat dilupakan, bahkan lebih
buruk lagi, negara dan rakyat dipergunakan sebagai modal untuk mencarl
kesenangan pribadi! Karena itulah, Raden, aku tidak sudi mencampuri
urusan kerajaan. Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro tadipun
membujukku untuk membantu mereka memusuhi Jenggala, akan tetapi sudah
bulat tekad dan pendirlanku, aku tidak akan sudi mencampuri urusan
Jenggala dan tidak perdull siapa pula yang menang atau kalah, siapa pula
yang menjadi raja.”
Daiam suara wanita sakti ini terdengar jelas oleh Raden Warutama
kekerasan yang tak mungkin dapat dibelokkan lagi. Sia-sia belaka menarik
Endang Patibroto untuk bersekutu menghadapi Jenggala. Takkan berhasil
semua bujukan, maka iapun tidak mau membujuk terus, khawatir kalau-kalau
Endang Patibroto menjadi curiga kepadanya, kemudian tamu ini
dipersilakan mengaso dalam sebuah kamar yang bersih dan indah. Endang
Patibroto sendiripun lalu beristirahat di kamarnya. Peristiwa-peristiwa
yang dialami tadi membuat ia agak lengah, sejenak melupakannya kepada
Retna Wilis yang berlatih seorang diri tanpa penjaga…..
********************
Peristiwa yang terjadi itu membuat Endang Patibroto teringat akan semua
pengalaman hidupnya yang lalu. Apa lagi peristiwa mendatang, yaitu
sayembara tanding yang akan terjadi dua hari lagi, membuatnya terkenang
akan ibunya, kepada Tejolaksono, dan membuatnya merasa kesunyian dan
merana.
Benarkah ia sudah begitu hampa perasaan hatinya sehingga ia tidak sudi
mencampuri urusan kerajaan maupun urusan orang lain? Ataukah hal ini
hanya timbul karena kekosongan hatinya, karena kesunyian hidupnya dan
karena kekecewaannya setelah ia gagal mencapai rumah tangga bahagia
bersama Tejolaksono yang dikasihinya? Pertanyaan-pertanyaan ini ada
dalam hatinya, namun ia sendiri tidak dapat menjawab.
Hatinya yang sudah mengeras seperti baja itu mendadak menjadi cair dan
tak dapat dikuasainya lagi wanita sakti yang dingin dan keras hati ini
menitikkan air mata sehingga membuatnya menjadi lemas dan akhirnya
Endang Patibroto tertidur di atas pembaringannya, lupa kepada puterinya.
Memang tepatlah kata-kata para cerdik pandai bahwa manusia harus dapat
mengatasi pengaruh perasaan. Perasaan apa pun, terutama sekali marah,
senang, dan susah, dapat menguasai manusia dengan pengaruhnya dengan
membuat manusia menjadi lengah dan bahkan buta. Dari perasaan yang
meluap tak terkendalikan lagi, muncullah perbuatan-perbuatan yang tidak
wajar dan yang akan merugikan diri sendiri.
Perasaan yang tak terkendalikan akan membuat pertimbangan akal budi
menjadi miring, keteguhan hati menjadi goyah dan kesadaran menjadi
lalai. Demikian pula dengan keadaan Endang Patibroto. Ia terpengaruh
rasa sedih dan merana sehingga ia menjadi lalai, berkurang
kewaspadaannya, tidak sadar bahwa bahaya besar mengancam keluarganya.
TIga bayangan hitam yang amat gesit berkelebat dl antara kegelapan
bayang-bayang pohon di dekat pondok. Waktu itu sudah jauh lewat tengah
malam, bahkan hampir pagi. Hawa udara amatlah dinginnya dan keadaan amat
sunyi, kesunyian yang tidak wajar karena semua penjaga di sekitar
pondok itu pun ikut pula ter-tidur di tempat penjagaan.
Ini hanya menjadi tanda bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi, bahwa
malam itu penuh dengan hawa mujijat aji penylrepan yang dipasang oleh Ni
Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama.
Kini tiga orang sakti itu telah berkelebat di sekitar pondok. Semua
terjadi sesuai dengan rencana dan siasat Raden Warutama. Setelah ia tadi
berhasil menjadi tamu Endang Patibroto, dia menyebar sirep dan berhasil
menyelinap keluar dari pondok, diam-diam menemui Dewi Nilamanik dan
Kolohangkoro, kemudian setelah berunding sebentar, mereka bertiga
kembali ke pondok.....
Komentar
Posting Komentar