PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-46
“Anggap saja dalam babak pertama ini engkau menang. Akan tetapi masih da
babak ke dua sebagai babak yang akan menentukan. Suruh walimu naik ke
panggung!”
Wajah Pangeran Panji Sigit menjadi pucat. Dari suara ayundanya ini ia
dapat menarik kesimpulan bahwa Endang Patibroto tidak cocok menerimanya
sebagai talon jodoh Setyaningsih. Biar pun ia maklum bahwa Ki Datujiwa
amat sakti, namun ia masiti meragu apakah kakek itu akan dapat
menandingi Endang Patibroto yang demikian tinggi ilmunya. Ia menoleh ke
arah Setyaningsih, bertukar pandang dengan sayu, kemudian bangkit
berdiri dan berjalan menghampiri Ki Datujiwa, menjatuhkan diri berlutut
sambil berkata,
“Duh, Eyang..., nasib saya berada di tangan Eyang.”
Ki Datujiwa tertawa dan mengangkat bangun pemuda itu.
“Tenanglah, Angger. Memang mencapai segala cita-cita yang baik selalu tidak mudah, namun kita tidak boleh putus asa.”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghampiri panggung dan melompat naik dengan gerakan sederhana.
Semua penonton tercengang. Pemuda yang tampan dan gagah perkasa tadi
mengapa membawa wali seorang kakek petani yang begini sederhana dan sama
sekali tidak kelihatan sakti? Seorang kakek pendek kecil yang rambutnya
tak terpelihara, pakaiannya sederhana dan sikapnya tidak agung. Mana
mungkin dapat menandingi Endang Patibroto?
“Ibu, jangan lupa, harap mengalah. Dia itu guruku,” bisik Retna Wilis
yang tidak tahu bahwa bisikan itu menambah rasa penasaran di hati Endang
Patibroto. “Dia sudah menolongku, dia baik sekaIi...”
“Kau anak kecil tahu apa tentang baik dan jahatl” bentak Endang
Patibroto yang sekali berkelebat sudah meloncat naik ke atas panggung,
berhadapan dengan Ki Datujiwa.
Sejenak keduanya saling pandang, seperti dua ekor ayam hendak mengadu
kekuatan lebih dahulu memperhatikan calon lawan dengan pandang mata
menilai.
“Jadi andika inikah yang menjadi wali Panji Sigit?”
“Benar, Sang Dewi. Aku kasihan melihatnya dan bersedia membantu
tercapainya cita-cita murni seorang pemuda, demi bersatunya dua hati
yang saling mencinta.”
“Hemmm, andika telah menolong puteriku, sebetulnya sudah selayaknya
kalau aku mengalah. Akan tetapi andika telah lancang mengangkat puteriku
sebagai murid, ini merupakan penghinaan yang hanya dapat ditebus dengan
nyawa. Mengingat akan pertolongan andika terhadap Retna Wilis, akupun
melupakan penghinaan itu. Tidak ada budi apa-apa lagi dan karena itu
kita harus bertanding sesua peraturan.”
Semua orang yang hadir terheran-heran karena kedua orang di panggung itu
hanya berdiri berhadapan tanpa mengeluarkan suara, hanya melihat betapa
bibir kedua orang itu agak bergerak-gerak. Memang ketika mengeluarkan
kata-kata ini, Endang Patibroto yang tidak ingin orang lain
mendengarnya, telah mengerahkan aji kesaktiannya, bicara dari dalam
perut hanya dengan menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara keras
sehingga hanya terdengar oleh orang yang diajak bicara.
Ki Datujiwa tersenyum, maklum bahwa perbuatan itu mempunyai dua maksud.
Pertama agar tidak terdengar orang lain. Kedua untuk mendemonstrasikan
kesaktian, karena memang hanya mereka yang sudah memiliki hawa sakti
amat kuat saja yang dapat bicara dalam perut. Maka iapun menjawab dengan
cara yang sama.
“Angger, Sang Dewi Endang Patibroto. Tidak ada yang menolong, tidak ada
pula yang lancang. Semua terjadi karena memang semestinya demikian.
Andika mengajak aku yang tua bertanding, boleh saja. Akan tetapi karena
dasarnya pengangkatan murid, kalau dibolehkan dewata dan aku menang, aku
akan mengajar ilmu kepada puterimu selama sepuluh tahun. Bagaimana?”
Endang Patibroto mengerutkan kening dan berpikir. Betapa mungkin ia
berpisah darI puterinya? Akan tetapi permintaan itu pun sudah patut.
Kalau kakek ini dapat memenangkannya, tentu berharga menjadi guru Retna
Wilts. Agar puterinya jangan terbawa pergi, ia harus bisa menangl Akan
tetapi kalau ia menang, berarti akan membuat hidup adiknya merana!
“Baiklah, Ki Datujiwa. Akan tetapi mengajarnya harus di sini, andika harus tinggal di puncak Wilis.”
Kembali kakek itu tersenyum sabar dan memandang ke sekeliling, ke arah tamasya alam yang amat indah.
“Memang aku berjodoh dengan Wilis. Boleh, aku menerima syarat itu.”
Kini Endang Patibroto berkata dengan mulutnya, suaranya nyaring,
“Bersiaplah andika!” Dan tubuhnya bergerak maju dengan serangan kilat.
Ia mengerahkan Aji Bayu Tantra dan menggunakan pukulan Pethit Nogo yang
amat dahsyat.
Namun yang dipukulnya hanya angin kosong karena tahu-tahu kakek itu
telah lenyap dari depannya dan telah berada di sebelah kiri sambil
berkata,
“Biarlah andika yang menahan serangan-seranganku!”
Sambil berkata demikian, Ki Datujiwa sudah melancarkan pukulan dengan
tangan kanan dikepal. Sambil memukul, kakek itu meloncat ke depan dan
sementara tubuhnya berada di atas ia memukul. Endang Patibroto
menggunakan lengannya menangkis sambil mengipatkan jari tangan yang
mengandung Aji Pethit Nogo.
“Dess...!”
Tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang sungguh pun ia mampu menangkis pukulan itu. Ia terkejut dan kagum.
Pukulan dengan tubuh melambung tidaklah sekuat kalau kedua kaki memasang
kuda-kuda, akan tetapi tenaga pukulan kakek itu bukan main kuatnya,
mengandung hawa sakti yang tak terlawan olehnya. Sebelum ia sempat
membalas, kakek itu sudah meloncat dan memukul lagi.
Endang Patibroto bertubi-tubi menangkis datangnya pukulan yang seperti
hujan dan berkali-kali ia tertolak ke belakang sehingga akhirnya ia
mundur-mundur dan berputeran. Belum juga ia mampu membalas karena kakek
itu setiap kali ditangkis sudah melambung lagi dan memukul seolah-olah
tubuh kakek itu melambung karena tangkisan dan otomatis menyerang
kembali. Makin lama pukulan itu makin kuat sehingga Endang Patibroto
cepat-cepat menahan napas, mengerahkan tenaga tangkisan yang didahului
hawa panas.
Hawa pukulan kedua fihak kini bertemu di udara dan sebelum kulit lengan
mereka bersentuhan, tubuh Endang Patibroto sudah terpental. Wanita sakti
itu makin kaget.
Para penonton yang mengharapkan pertandingan seru, menjadi kecewa dan
terheran-heran. Kalau tadinya mereka berdua itu saling tangkis, kini
mereka berdiri dalam jarak hampir dua meter dan memukul dari jauh,
ditangkis dari jauh pula, sama sekali lengan mereka tidak pernah
bersentuhan lagi. Namun setiap kali, tubuh Endang Patibroto terdorong ke
belakang. Kiranya dua orang sakti ini telah mempergunakan pukulan jarak
jauh dan hanya mengandalkan hawa sakti masing-masing.
Baik ketika menangkis, maupun ketika ia memukul dan ditangkis, Endang
Patibroto selalu terdorong tubuh atasnya, terbawa oleh lengannya. Ia
maklum bahwa' ia kalah kuat, maka dalam penasarannya ia lalu
mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang dahsyat.
Beberapa orang penontong seketika merasa lumpuh kedua kakinya karena jantung mereka tergetar hebat.
“Sadhu-sadhu-sadhu...”
Ki Datujiwa berkata lembut namun tidak terpengaruh, hanya memandang
tubuh lawan yang kini berkelebat seperti seekor burung kepinis, sambil
melancarkan pukulan-pukulan sakti yang luar biasa dahsyatnya.
Mula-mula Endang Patibroto menerjang tubuh kakek yang berdiri tegak itu
sambil memukul dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya. Namun pukulan dan
tubuhnya terhenti di tengah jalan, terhalang dan dihalau oleh tangkisan
yang keluar dari dorongan tangan Ki Datujiwa. la menerjang lagi,
berselang-seling mempergunakan aji pukulan Pethit Nogo, Wisangnala, dan
Gelap Musti. Namun kesemuanya tidak berhasil, selalu kandas di tengah
jalan, buyar oleh hawa pukulan yang menangkis.
Di samping rasa penasaran, juga Endang Patibroto hendak menguji
benar-benar kakek ini. Seorang yang menjadi guru puterinya harus
mempunyai kesaktian yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya
sendiri. Maka ia lalu memperhebat serangannya. Betapa heran dan kagum
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa makin hebat diserang, kakek Itu
makin tenang, berdiri tegak, hanya menyambut setiap serangan dengan
dorongan tangan kanan atau kiri berganti-ganti.
Namun, dorongan-dorongan itu saja sudah cukup membuat semua serangan
Endang Patibroto gagal! Bahkan lebih laripada itu. Makin keras
pukulannya, nakin keras pula ia terpental! Aji Argoselo untuk
memperberat tubuhnya sama sekali tidak ada hasilnya, bahkan kalau
pukulannya keras sekali, ia terpental dan terhuyung sampai ke tepi papan
panggung.
Benarkah Ki Datujiwa memiliki tenaga sakti seampuh itu? Ia merasa
penasaran lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dengan kedua
tangannya melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti! Hebat bukan main
pukulannya ini. Baru hawanya saja sudah cukup merobohkan seorang lawan
sakti.
Akan tetapi lebih hebat lagi kesudahannya karena kakek itu pun
mendorongkan kedua tangan dan... tak dapat ditahannya lagi tubuh Endang
Patibroto mencelat ke belakang sampai melewati tepi panggung! Semua
orang berteriak karena betapa pun saktinya seseorang, kalau sudah
terlempar melewati tepi papan panggung, tentu akan jatuh ke bawah dan
berarti kalah.
Akan tetapi Endang Patibroto, ketua Padepokan Wilis, bukanlah seorang
sakti yang biasa. Dia semenjak kecil telah di gembleng berbagai ilmu,
bahkan menjadi murid terkasih Sang Dibyo Mamangkoro kemudian selama lima
tahun lebih di puncak Wilis telah mematangkan Ilmu-ilmunya dengan tekun
sehingga kini merupakan seorang tokoh yang sukar dicari bandingnya.
Biar pun tubuhnya sudah terlempar melewati tepi papan panggung, namun di
udara tubuhnya itu dapat berjungkir balik dan melayang kembali ke arah
panggung. Itulah Aji Bayu Tantra yang sudah mencapai tingkat tertingt
sehingga dalam melompat dia dapat ber-jungkir balik dan mengubah arah,
membalik ke arah berlawanan mengandalkan tenaga luncuran tadi!
“Bagus sekali... I” seru Ki Datujiwa di antara tepuk sorak penonton yang
merasa kagum bukan main. Gerakan Endang Patibroto itu seolah-olah
gerakan seekor burung garuda yang terbang membalik.
Akan tetapi Ki Datujiwa maklum bahwa kalau wanita sakti yang ganas ini
tidak segera ditundukkan, pertandingan akan berlarut-larut. Sekali ini
Endang Patibroto bertemu tanding yang jauh lebih tinggi ilmunya. Ki
Datujiwa adalah adik angkat dan adik seperguruan Ki Tunggaljiwa dan
dibandingkan dengan Endang Patibroto, ia masih menang jauh.
Bahkan kakek ini masih lebih sakti dari pada mendiang Dlbya Mamangkoro!
Dengan berdiri tegak, kakek Itu kembali mendorong dan... tubuh Endang
Patibroto yang sudah meluncur kembali ke arah panggung itu kini
terdorong lagi keluar panggung.
Endang Patibroto mengeluarkan pekik dan tubuhnya kembali membalik di
udara, namun sekali lagi di-dorong keluar oleh lawannya! Bagaikan seekor
burung garuda yang berusaha melawan terjangan angin membadai, Endang
Patibroto berkali-kali terdorong keluar dan akhirnya wanita sakti ini
terpaksa mengakui keunggulan lawan.
Ia membiarkan dirinya terdorong lalu menukik ke bawah, langsung ia menyerang papan panggung dengan kedua tangannya.
Pukulan Gelap Musti mengenai papan panggung dan terdengarlah suara
hiruk-pikuk karena papan di mana Ki Datujiwa berdiri menjadi ambrol,
papan-papannya terlempar tinggal balok-baloknya sajal Endang Patibroto
sendiri terpaksa turun ke atas tanah dan peluhnya membasahi muka dan
leher, mukanya pucat dan napasnya agak terengah.
Ketika ia memandang, ternyata serangan terakhir ini pun gagal karena
kakek itu tidak terlempar turun seperti yang dikehendakinya, melainkan
masih berdiri dl tempat tadi, hanya kini bukan berdiri di atas papan
melainkan berdiri di atas sebuah di antara balok-balok penunjang papan.
Separoh dari panggung itu telah ambrol papannya!
Endang Patibroto menghela napas panjang, lalu iapun melompat ke atas sebuah balok di samping Ki Datujiwa sambil berkata,
“Kepandaian Eyang terlampau hebat, saya mengaku takluk.”
Kemudian ia memandang ke arah para tamu dan berkata,
“Hendaknya semua saudara yang hadir maklum bahwa pemenang sayembara
adalah Pangeran Panji Sigit yang berhak menjadi jodoh adikku
Setyaningsih. Dengan ini sayembara ditutup dan dibubarkan!”
Orang-orang menjadi terkejut dan kagum.
“Ah, dia Pangeran Panji Sigit?”
“Pangeran Jenggala!”
“Pantas gagah dan tampan, walinyapun hebat!”
Endang Patibroto telah melompat turun, diikuti oleh Ki Datujiwa yang
tersenyum-senyum, di samping oleh Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit
yang berseri-seri wajahnya. Setyaningsih merangkul ayundanya dan
menangis saking terharu dan bahagia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa mengejek dan ketika mereka
semua menengok, kiranya si gundul Purwoko telah berdiri di atas
panggung yang tinggal separoh. Kakek gundul ini telah siuman dan pulih
kesehatannya. Kini ia berdiri di atas panggung sambil tertawa lalu
berkata dengan suaranya yang melengking tinggi,
“Wah, Padepokan Wilis bermain curang! Endang Patibroto sungguh memalukan
sebagai ketua Padepokan Wilis. Kiranya yang menang adalah seorang
Pangeran Jenggala. Tentu saja menang karena memang dimenangkan! Siapa
tidak mengetahui adanya sayembara menggelikan ini? Kalau memang suka
mendapat ipar seorang pangeran, mengapa mengadakan sayembara palsu ini?
Pantas saja, pangeran itu tadi dilayani oleh Setyaningsih sambil
main-main belaka, dan kakek petani itu pun seperti badut karena Endang
Patibroto sengaja mengalah! Kalau memang bertanding betul-betul, tak
mungkin kalah.Saudara-saudara sekalian kalau tidak percaya, boleh suruh
pangeran itu atau walinya maju melawan aku! Aku sudah kalah terhadap
Endang Patibroto, akan tetapi kakek petani itu akan kubikin jungkir
balik!”
Ucapan Si Hantu Kelabang ini bukan ucapan seorang tolol. Memang tadi ia
melihat pertandingan antara Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, maka
iapun tahu bahwa pertandingan itu tidak sungguh-sungguh.
Adapun tentang Ki Datujiwa, ia hanya melihatnya sebagai seorang petani
tua sederhana, tidak mengenal namanya karena sejak tadi tidak disebut,
dan tingkat kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga memang tadi
tidak kelihatan menggunakan kesaktian.
Sebaliknya, Endang Patibrotolah yang kelihatan memperlihatkan
ketangkasan luar biasa. Kakek itu hanya berdiri dan mendorong-dorongkan
kedua tangannya. Siapa mau percaya? Hanya satu kali kakek itu
memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ketika papan panggung tergempur la
meloncat ke atas kemudian turun lagi hinggap di atas balok.
Namun, kepandaian ini bagi Si Hantu Kelabang Purwoko tidaklah
mengherankan. Inilah sebabnya mengapa ia menjadi iri hati dan menuduh
yang bukan-bukan.
“Eh, tua bangka seperti cecak kering! Kau melantur tidak karuan, ya?”
Tiba-tiba Retna Wilis sudah melompat ke atas panggung dan berdiri
berhadapan dengan Purwoko di atas panggung yang tinggal separoh, lalu
bertolak pinggang dan menudingkan telunjuk kirinya.
“Kau berani menantang paman pangeran? Berani menantang eyang guruku?
Huh, tidak memandang tengkuk sendiri! Tak usah mereka turun tangan,
kaulawanlah aku saja! Belum tentu kau menang, tahu?”
Semua orang yang tadinya sudah mau bubaran, kini tertarik kembali dan
menonton sambil tertawa-tawa. Modar! Ketanggor kau sekarang, ketemu
batunya!
Demikian bisik mereka yang merasa tidak senang menyaksikan lagak Si Hantu Kelabang.
Endang Patibroto sudah bergerak hendak menegur dan menyuruh puterinya turun, akan tetapi Ki Datujiwa berbisik,
“Biarlah, memang Purwoko perlu dihajar agar mundur dan tidak berani sewenang-wenang.”
Tanpa menanti jawaban, Ki Datujiwa lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas, berdiri di sudut sambil berkata,
“Retna Wilis, beranikah engkau mewakili gurumu dan ibumu memberi hajaran kepada setan gundul yang tidak sopan ini?”
Melihat gurunya sudah berada di situ, nyali Retna Wilis makin bertambah.
Dengan menjebikan mulutnya ke arah Purwoko, ia menjawab,
“Mengapa tidak berani, Eyang Guru? Biar ditambah lima lagi macam dia, aku tidak takut!”
Si Hantu Kelabang yang tadinya hendak mengejek dan mengumpat caci orang,
kini benar-benar kalah desak dan bertemu batunya menghadapi Retna
Wilis. Mau turun tangan, masa dia seorang tokoh besar harus melayanI
seorang anak kecil yang baru enam tahun umurnya? Tidak dilayani, dia
dimaki-maka di depan orang banyak! Kini melihat kakek petani yang ia
pandang rendah itu sudah maju, cepat ia berkata,
“Eh, kebetulan sekali kau muncul, petani busuk! Hayo mengakulah bahwa
engkau dan Endang Patibroto memang hanya bermain dagelan, pertandingan
tadi tidak sungguh-sungguh. Kalau memang kau ada kepandaian, coba
kaukalahkan aku!”
Dengan suara tenang Ki Datujiwa menjawab,
“Muridku sudah bicara. Aku wakilkan kepada muridku ini, Retna Wilis.,
Kalau kau mampu mengalahkan Retna Wilis, anggap saja aku sudah kalah
oleh-mu. Biarlah semua yang hadir menjadi saksi.”
“Heh...?”
Si Hantu Kelabang khawatir kalau-kalau ia dipermainkan dan ditipu dengan
ucapan itu. Bocah masih begini kecil? Sedangkan ibu bocah ini pun yang
berilmu tinggi, tadi menghadapi dia tidak dapat mengalahkannya dengan
mudah.
“Sesungguhnyakah omonganmu itu, petani tua bangka?”
“Heeiii, engkau si hantu coro busuk bau! Mengapa kau memaki-maki orang?
Omongan kami semua adalah sungguh-sungguh, tidak seperti omonganmu yang
merupakan angin bau busuk belaka! Hayo lawan aku!” Retna Wilis kembali
memaki.
Purwoko melototkan matanya karena dimaki hantu coro sehingga banyak
orang menertawakannya Ingin ia sekali gebrak menelan bocah itu
bulat-bulat.
“Kalau memang betul, biarlah semua orang menjadi saksi. Hayo perlihatkan kepandaianmu, bocah edan!”
“Seranglah dia, muridku.”
Suara Ki Datujiwa ini menambah semangat Retna Wilis yang memang sudah
menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada gurunya. Bukankah ketika
menghadapi tiga orang jahat Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan
Raden Warutama kemarin dulu itu pun dia telah mendapat kemenangan hanya
karena kepercayaannya kepada gurunya?
“Baik, Eyang,” jawabnya dan tubuh yang kecil itu lalu menerjang maju,
mengirim pukulan ke perut Purwoko. Si Hantu Kelabang itu hanya
menyeringai dan tidak mengelak maupun menangkis. Perlu apa menangkis
pukulan bocah cilik ini? Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu
mendadak berubah masam ketika kepalan kecil itu tepat mengenai perutnya,
“Bukkk!”
Memang tidak amat sakit, akan tetapi yang membuat ia kaget sekali adalah
karena pada saat la hendak mengerahkan tenaga dalam ke perut, tenaganya
itu molos dan tidak dapat dikerahkan!
Retna Wilis yang berhasil menghantam perut itu menjadi girang. Ia
melompat ke atas dengan gerakan ringan karena memang terlatih baik oleh
ibunya semenjak kecil sehingga ia dapat mencapai muka Si Hantu Kelabang,
lalu menghantamkan kepalan kanannya ke arah hidung si gundul.
“Punggg...!”
Kembali Purwoko meringis. Kulit perutnya masih tebal sehingga biar pun
ia tidak dapat mengerahkan kekebalan ke arah perut, pukulan bocah itu
tidak terasa nyeri. Akan tetapi hidungnya yang dipukul terasa nyeri
juga, apa lagi yang terkena adalah tulang muda hidung di ujung.
Seperti akan patah rasanyal Tadi kaki tangannya sama sekali tidak dapat
digerakkan ketika bocah itu memukul, dan baru sekarang dapat ia gerakkan
ketika ia menggosok-gosok hidungnya dengan mata merah dan mulut
pringisan.
“Wah, badanmu baul Tanganku jadi kotorl” kata Retna Wilis sambil
mengipat-ngipatkan tangan, lalu bocah ini menyambar sepotong kayu
pecahan papan dan kembali ia menerjang, kini menggunakan kayu itu,
dipukulkan sekenanya bertubi-tubi.
“Plak-plek-prok...!”
Kasihan sekali Si Hantu Kelabang. Ia mulai bergidik ketakutan. Ngeri dia
karena setiap kali bocah ini menyerang, tubuhnya tak dapat digerakkan
dan hawa sakti di tubuh tak dapat ia kerahkan sehingga ia harus mandah
saja dijadikan bulan-bulan gebukan.
Biar pun tidak terlalu sakit, akan tetapi amat memalukan karena para
penonton kini bersorak-sorak melihat dia berjingkrakan tidak karuan
dihujani gebukan bocah setan itu.
MulaiIah otaknya yang kental mengerti bahwa semua ini adalah perbuatan
si kakek petani dan ia bergidik ngeri. Orang dengan kesaktian seperti
itu tadi ia olok-olok dan ia tantang! Mengerti pula dia bahwa kekalahan
Endang Patibroto adalah kekalahan wajar.
“Masih tidak mengaku kalah? Plenggg! Dessss...!”
Retna Wilis meloncat tinggi dan muka Purwoko menjadi korban hantaman dan
kini si gundul ini benar-benar merasa tobat. Muka dan kepalanya mulai
mengeluarkan darah karena kulitnya ada yang pecah dihantam potongan
papan yang runcing.
“Sudah... sudah... tobatt... aku kalah... '“ katanya dan baru setelah
Purwoko menyatakan tobat, Retna. Wilis menghentikan serangannya dan
mundur, berdiri gagah di dekat Ki Datujiwa.
Purwoko berdiri terbungkuk di depan kakek sakti itu.
“Siapa... siapakah gerangan andika...”
Ki Datujiwa berkata perlahan,
“Purwoko, kau pandang baik-baik. Lupakah engkau kepadaku? Setelah aku
memberi ampun kepadamu di hutan Muria, ternyata engkau kini berani lagi
menambah kekacauan dunia...!”
“Oohhhh... celaka awakku... sial dangkalan... Ki Datujiwa kira-nya... Walah tobat...!”
Si Hantu Kelabang lalu melompat turun dan lari pergi tanpa pamit.
Kiranya belasan tahun yang lalu, Purwoko ini pernah roboh di tangan Ki
Datujiwa ketika melakukan kejahatan dan diampuni kakek sakti ini.
Dalam kesombongannya, tadi ia pangling maka berani ia memandang rendah
yang mengakibatkan ia mendapat malu di depan orang banyak.
Larinya Si Hantu Kelabang diikuti oleh perginya para pengikut sayembara
dan para penonton karena sesungguhnya sebagian besar di antara mereka
tidak jadi memasuki sayembara dan hanya menjadi penonton.
Mereka diantar oleh rombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin
oleh Limanwilis dan dua orang adiknya. Di sepanjang perjalanan tiada
hentinya mereka :mempercakapkan peristiwa hebat dalam sayembara tanding
itu.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih lalu dinikahkan beberapa hati
kemudian di puncak Wilis. Upacara pernikahan yang sederhana kalau
diingat bahwa yang menikah adalah seorang Pangeran Jenggala, akan tetapi
cukup meriah selain dihadiri oleh seluruh anggota Padepokan Wilis, juga
dihadiri pula oleh para penduduk di sekitar Wilis.
Pula, apakah yang lebih membahagiakan hati sepasang mempelai kecuali
pertalian cinta kasih di antara mereka? Malam itu, setelah mereka hanya
berada berdua saja di dalam kamar mempelai, merupakan malam terindah
dari pada hidup mereka. Malam pencurahan kasih sayang yang
semesra-mesranya, penuh kemurnian, di mana dua hati terlekat menjadi
satu, diikat sumpah saling setia sampai mati, senasib sependeritaan suka
sama dinikmati, duka sama diderita.
Di malam pengantin ketika sepasang pengantin sedang bermesra-mesraan
memadu kasih, dan Retna Wilis sudah tidur nyenyak saking kelelahan
setelah sehari berpesta, dan Ki Datujiwa duduk bersamadhi dengan
heningnya di dalam kamar yang disediakan untuknya, Endang Patibroto
seorang diri menangis di kamarnya. Ia membenamkan muka di bantal untuk
menahan isak tangisnya, dan hanya bantal itu yang menjadi basah kuyup.
Endang Patibroto tidak hanya teringat dan merasa rindu kepada
Tejolaksono, juga ia teringat kepada Raden Sindupati. Teringat akan aib
dan penghinaan yang ia derita dari Sindupati baru-baru ini, membuat
hatinya hancur dan kini di samping derita merana dan rindu kepada
Tejolaksono yang dicintanya, juga dendam dan sakit hati terhadap
Sindupati merupakan duri yang menusuk di hatinya. Ingin ia mencari
Sindupati sampai dapat, untuk melaksanakan sumpahnya merobek dada
mencabut jantung musuh besarnya.
Akan tetapi setelah Setyaningsih menikah, tentu adik kandungnya itu akan
pergi bersama suaminya. Bagaimana la tega untuk meninggalkan Retna
Wilis, hanya ditemani Ki Datujiwa? Ia harus bersabar sampai beberapa
tahun lagi, sampai Retna Wilis sudah agak dewasa sehingga ia tega untuk
meninggalkannya.
“Aduh Kakangmas Tejolaksono...” berulang-ulang ia mengeluh.
“Si keparat engkau Sindupati... kau tunggu saja pembalasanku...!”
Ia memaki dan menjadi beringas. Akan tetapi segera ia menangis kembali,
teringat akan nasib ibunya yang malang, teringat akan nasib sendiri,
kemudian, melihat kepada Retna Wilis, ia menangis sambil memeluk anaknya
itu sampai ia tertidur di samping Retna Wilis.
Pada hari-hari berikutnya, kesedihan hati Endang Patibroto yang
disembunyi-sembunyikan agak terhibur melihat betapa adik kandungnya,
Setyaningsih, hidup amat mesra dengan Pangeran Panji Sigit.
Mereka berdua itu bagaikan sepasang merpati, tak pernah berpisah, begitu
rukun dan amat damai, setiap pandang mata, senyum, kata-kata dan gerak
tubuh sepenuhnya diselimuti cinta kasih yang mendalam. Sampai satu bulan
lamanya pengantin baru itu tinggal di puncak Wilis. Kemudian mereka
menghadap Endang Patibroto, menyatakan bahwa mereka hendak pergi ke
Jenggala.
Endang Patibroto yang sedang duduk bercengkerama dengan Ki Datujiwa,
dihadiri pula oleh Retna Wilis, berdebar jantungnya dan ia berkata,
“Bukankah lebih baik kalian tinggal di sini saja? Aku mendengar bahwa
keadaan Jenggala sedang kacau. Pula, menurut penuturanmu sendiri, Adi
Pangeran, di sana ramandamu berada dalam cengkeraman selir jahat dan
ponggawa-ponggawa tidak jujur. Mengingat pengalaman-mu yang tidak baik
dengan selir ramandamu itu, apakah pulangmu ke sana tidak akan
mendatangkan hal-hal yang tidak enak?”
“Sesungguhnyalah apa yang dikatakan Ayunda itu, dan memang tepat dan
benar sekali,” jawab Pangeran Panji Sigit. “Akan tetapi, setelah saya
pikir secara mendalam, bahkan keadaan seburuk itulah yang mengharuskan
saya berada di dekat kanjeng rama. Kanjeng rama tentu akan berbahagia
sekali kalau melihat bahwa saya telah berjodoh dengan Setyaningsih, adik
kandung Ayunda sendiri. Dan saya bersama Adinda Setyaningsih akari
berusaha menyadarkan kanjeng rama, dan kalau perlu membela beliau apa
bila terancam bahaya.”
Endang Patibroto menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang.
“Sejak dahulu, keadaan Jenggala sungguh tak dapat dikatakan baik.
Alangkah jauh bedanya dengan Panjalu. Adi Pangeran, sang prabu di
Panjalu juga masih uwamu sendiri. Apakah tidak lebih baik Adi bersuwita
di sana?”
Pangeran Panji Sigit menggeleng kepala.
“Kalau hal-hal itu saya lakukan, berarti seolah-olah saya melarikan diri dari pada kesulitan, Ayunda.”
Kembali Endang Patibroto menghela napas panjang.
“Aku hanya khawatir..., ah, Eyang Datujiwa, bagaimana baiknya? Mohon petunjuk Eyang.”
Endang Patibroto kini telah mengenal siapa adanya Ki Datujiwa dan makin
segan serta hormatlah ia terhadap kakek sakti mandraguna ini. Bahkan ia
merasa berbahagia sekali puterinya mendapatkan seorang guru seperti
kakek ini yang berarti bahwa kelak puterinya akan menjadi orang yang
lebih sakti dari pada dia sendiri.
Ki Datujiwa yang selalu diam saja kalau tidak diajak bicara itu lalu
berkata dengan suaranya yang tenang dan mendatangkan rasa tenteram di
hati,
“Menurut pendapat saya, wawasan Angger Pangeran tadi memang banyak
kebenarannya. Angger adalah seorang Pangeran Jenggala, berdarah satria
utama, keturunan Sang Sakti Prabu Airlangga. Sudah menjadi kewajiban
seorang satria untuk melakukan tridharma bakti, tiga kebaktian utama.
Pertama, berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, ke dua berbakti kepada
rama ibu, dan ke tiga berbakti kepada negara dan bangsa. Kalau keadaan
negara sedang makmur ikut menikmati, akan tetapi kalau negara sedang
kacau lalu menjauhkan diri mencari kesenangan dan keselamatan pribadi,
itu bukanlah watak seorang satria utama, Angger. Memang, dalam keadaan
Kerajaan Jenggala seperti sekarang ini, bukan tidak ada bahayanya kalau
Angger berdua pergi ke Jenggala. Akan tetapi, bahaya itu terdapat di
mana-mana dan bahaya yang terbesar terdapat dalam pribadi sendiri.
Adapun selamat, sakit sampai pun mati sepenuhnya mutlak menjadi wewenang
Sang Hyang Widhi. Karena itu Angger, dengan dasar dan iktikad baik,
seorang satria tidak akan gentar menghadapi apa pun juga karena biar
hidup maupun mati, ia menjadi pengemban kebenaran dan keadilan. Seribu
lebih baik tewas sebagai seorang satria dari pada hidup sebagai seorang
durjana.”
Endang Patibroto makin tunduk dan yakin bahwa kakek ini bukanlah orang
sembarangan, maka ia pun terpaksa merelakan kepergian adik kandungnya,
Setyaningsih bersama suaminya.....
Komentar
Posting Komentar