PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-46


“Anggap saja dalam babak pertama ini engkau menang. Akan tetapi masih da babak ke dua sebagai babak yang akan menentukan. Suruh walimu naik ke panggung!”
Wajah Pangeran Panji Sigit menjadi pucat. Dari suara ayundanya ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Endang Patibroto tidak cocok menerimanya sebagai talon jodoh Setyaningsih. Biar pun ia maklum bahwa Ki Datujiwa amat sakti, namun ia masiti meragu apakah kakek itu akan dapat menandingi Endang Patibroto yang demikian tinggi ilmunya. Ia menoleh ke arah Setyaningsih, bertukar pandang dengan sayu, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Ki Datujiwa, menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Duh, Eyang..., nasib saya berada di tangan Eyang.”
Ki Datujiwa tertawa dan mengangkat bangun pemuda itu.
“Tenanglah, Angger. Memang mencapai segala cita-cita yang baik selalu tidak mudah, namun kita tidak boleh putus asa.”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghampiri panggung dan melompat naik dengan gerakan sederhana.
Semua penonton tercengang. Pemuda yang tampan dan gagah perkasa tadi mengapa membawa wali seorang kakek petani yang begini sederhana dan sama sekali tidak kelihatan sakti? Seorang kakek pendek kecil yang rambutnya tak terpelihara, pakaiannya sederhana dan sikapnya tidak agung. Mana mungkin dapat menandingi Endang Patibroto?
“Ibu, jangan lupa, harap mengalah. Dia itu guruku,” bisik Retna Wilis yang tidak tahu bahwa bisikan itu menambah rasa penasaran di hati Endang Patibroto. “Dia sudah menolongku, dia baik sekaIi...”
“Kau anak kecil tahu apa tentang baik dan jahatl” bentak Endang Patibroto yang sekali berkelebat sudah meloncat naik ke atas panggung, berhadapan dengan Ki Datujiwa.
Sejenak keduanya saling pandang, seperti dua ekor ayam hendak mengadu kekuatan lebih dahulu memperhatikan calon lawan dengan pandang mata menilai.
“Jadi andika inikah yang menjadi wali Panji Sigit?”
“Benar, Sang Dewi. Aku kasihan melihatnya dan bersedia membantu tercapainya cita-cita murni seorang pemuda, demi bersatunya dua hati yang saling mencinta.”
“Hemmm, andika telah menolong puteriku, sebetulnya sudah selayaknya kalau aku mengalah. Akan tetapi andika telah lancang mengangkat puteriku sebagai murid, ini merupakan penghinaan yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Mengingat akan pertolongan andika terhadap Retna Wilis, akupun melupakan penghinaan itu. Tidak ada budi apa-apa lagi dan karena itu kita harus bertanding sesua peraturan.”
Semua orang yang hadir terheran-heran karena kedua orang di panggung itu hanya berdiri berhadapan tanpa mengeluarkan suara, hanya melihat betapa bibir kedua orang itu agak bergerak-gerak. Memang ketika mengeluarkan kata-kata ini, Endang Patibroto yang tidak ingin orang lain mendengarnya, telah mengerahkan aji kesaktiannya, bicara dari dalam perut hanya dengan menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara keras sehingga hanya terdengar oleh orang yang diajak bicara.
Ki Datujiwa tersenyum, maklum bahwa perbuatan itu mempunyai dua maksud. Pertama agar tidak terdengar orang lain. Kedua untuk mendemonstrasikan kesaktian, karena memang hanya mereka yang sudah memiliki hawa sakti amat kuat saja yang dapat bicara dalam perut. Maka iapun menjawab dengan cara yang sama.
“Angger, Sang Dewi Endang Patibroto. Tidak ada yang menolong, tidak ada pula yang lancang. Semua terjadi karena memang semestinya demikian. Andika mengajak aku yang tua bertanding, boleh saja. Akan tetapi karena dasarnya pengangkatan murid, kalau dibolehkan dewata dan aku menang, aku akan mengajar ilmu kepada puterimu selama sepuluh tahun. Bagaimana?”
Endang Patibroto mengerutkan kening dan berpikir. Betapa mungkin ia berpisah darI puterinya? Akan tetapi permintaan itu pun sudah patut. Kalau kakek ini dapat memenangkannya, tentu berharga menjadi guru Retna Wilts. Agar puterinya jangan terbawa pergi, ia harus bisa menangl Akan tetapi kalau ia menang, berarti akan membuat hidup adiknya merana!
“Baiklah, Ki Datujiwa. Akan tetapi mengajarnya harus di sini, andika harus tinggal di puncak Wilis.”
Kembali kakek itu tersenyum sabar dan memandang ke sekeliling, ke arah tamasya alam yang amat indah.
“Memang aku berjodoh dengan Wilis. Boleh, aku menerima syarat itu.”
Kini Endang Patibroto berkata dengan mulutnya, suaranya nyaring, “Bersiaplah andika!” Dan tubuhnya bergerak maju dengan serangan kilat. Ia mengerahkan Aji Bayu Tantra dan menggunakan pukulan Pethit Nogo yang amat dahsyat.
Namun yang dipukulnya hanya angin kosong karena tahu-tahu kakek itu telah lenyap dari depannya dan telah berada di sebelah kiri sambil berkata,
“Biarlah andika yang menahan serangan-seranganku!”
Sambil berkata demikian, Ki Datujiwa sudah melancarkan pukulan dengan tangan kanan dikepal. Sambil memukul, kakek itu meloncat ke depan dan sementara tubuhnya berada di atas ia memukul. Endang Patibroto menggunakan lengannya menangkis sambil mengipatkan jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
“Dess...!”
Tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang sungguh pun ia mampu menangkis pukulan itu. Ia terkejut dan kagum.
Pukulan dengan tubuh melambung tidaklah sekuat kalau kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi tenaga pukulan kakek itu bukan main kuatnya, mengandung hawa sakti yang tak terlawan olehnya. Sebelum ia sempat membalas, kakek itu sudah meloncat dan memukul lagi.
Endang Patibroto bertubi-tubi menangkis datangnya pukulan yang seperti hujan dan berkali-kali ia tertolak ke belakang sehingga akhirnya ia mundur-mundur dan berputeran. Belum juga ia mampu membalas karena kakek itu setiap kali ditangkis sudah melambung lagi dan memukul seolah-olah tubuh kakek itu melambung karena tangkisan dan otomatis menyerang kembali. Makin lama pukulan itu makin kuat sehingga Endang Patibroto cepat-cepat menahan napas, mengerahkan tenaga tangkisan yang didahului hawa panas.
Hawa pukulan kedua fihak kini bertemu di udara dan sebelum kulit lengan mereka bersentuhan, tubuh Endang Patibroto sudah terpental. Wanita sakti itu makin kaget.
Para penonton yang mengharapkan pertandingan seru, menjadi kecewa dan terheran-heran. Kalau tadinya mereka berdua itu saling tangkis, kini mereka berdiri dalam jarak hampir dua meter dan memukul dari jauh, ditangkis dari jauh pula, sama sekali lengan mereka tidak pernah bersentuhan lagi. Namun setiap kali, tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang. Kiranya dua orang sakti ini telah mempergunakan pukulan jarak jauh dan hanya mengandalkan hawa sakti masing-masing.
Baik ketika menangkis, maupun ketika ia memukul dan ditangkis, Endang Patibroto selalu terdorong tubuh atasnya, terbawa oleh lengannya. Ia maklum bahwa' ia kalah kuat, maka dalam penasarannya ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang dahsyat.
Beberapa orang penontong seketika merasa lumpuh kedua kakinya karena jantung mereka tergetar hebat.
“Sadhu-sadhu-sadhu...”
Ki Datujiwa berkata lembut namun tidak terpengaruh, hanya memandang tubuh lawan yang kini berkelebat seperti seekor burung kepinis, sambil melancarkan pukulan-pukulan sakti yang luar biasa dahsyatnya.
Mula-mula Endang Patibroto menerjang tubuh kakek yang berdiri tegak itu sambil memukul dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya. Namun pukulan dan tubuhnya terhenti di tengah jalan, terhalang dan dihalau oleh tangkisan yang keluar dari dorongan tangan Ki Datujiwa. la menerjang lagi, berselang-seling mempergunakan aji pukulan Pethit Nogo, Wisangnala, dan Gelap Musti. Namun kesemuanya tidak berhasil, selalu kandas di tengah jalan, buyar oleh hawa pukulan yang menangkis.
Di samping rasa penasaran, juga Endang Patibroto hendak menguji benar-benar kakek ini. Seorang yang menjadi guru puterinya harus mempunyai kesaktian yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu memperhebat serangannya. Betapa heran dan kagum hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa makin hebat diserang, kakek Itu makin tenang, berdiri tegak, hanya menyambut setiap serangan dengan dorongan tangan kanan atau kiri berganti-ganti.
Namun, dorongan-dorongan itu saja sudah cukup membuat semua serangan Endang Patibroto gagal! Bahkan lebih laripada itu. Makin keras pukulannya, nakin keras pula ia terpental! Aji Argoselo untuk memperberat tubuhnya sama sekali tidak ada hasilnya, bahkan kalau pukulannya keras sekali, ia terpental dan terhuyung sampai ke tepi papan panggung.
Benarkah Ki Datujiwa memiliki tenaga sakti seampuh itu? Ia merasa penasaran lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dengan kedua tangannya melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti! Hebat bukan main pukulannya ini. Baru hawanya saja sudah cukup merobohkan seorang lawan sakti.
Akan tetapi lebih hebat lagi kesudahannya karena kakek itu pun mendorongkan kedua tangan dan... tak dapat ditahannya lagi tubuh Endang Patibroto mencelat ke belakang sampai melewati tepi panggung! Semua orang berteriak karena betapa pun saktinya seseorang, kalau sudah terlempar melewati tepi papan panggung, tentu akan jatuh ke bawah dan berarti kalah.
Akan tetapi Endang Patibroto, ketua Padepokan Wilis, bukanlah seorang sakti yang biasa. Dia semenjak kecil telah di gembleng berbagai ilmu, bahkan menjadi murid terkasih Sang Dibyo Mamangkoro kemudian selama lima tahun lebih di puncak Wilis telah mematangkan Ilmu-ilmunya dengan tekun sehingga kini merupakan seorang tokoh yang sukar dicari bandingnya.
Biar pun tubuhnya sudah terlempar melewati tepi papan panggung, namun di udara tubuhnya itu dapat berjungkir balik dan melayang kembali ke arah panggung. Itulah Aji Bayu Tantra yang sudah mencapai tingkat tertingt sehingga dalam melompat dia dapat ber-jungkir balik dan mengubah arah, membalik ke arah berlawanan mengandalkan tenaga luncuran tadi!
“Bagus sekali... I” seru Ki Datujiwa di antara tepuk sorak penonton yang merasa kagum bukan main. Gerakan Endang Patibroto itu seolah-olah gerakan seekor burung garuda yang terbang membalik.
Akan tetapi Ki Datujiwa maklum bahwa kalau wanita sakti yang ganas ini tidak segera ditundukkan, pertandingan akan berlarut-larut. Sekali ini Endang Patibroto bertemu tanding yang jauh lebih tinggi ilmunya. Ki Datujiwa adalah adik angkat dan adik seperguruan Ki Tunggaljiwa dan dibandingkan dengan Endang Patibroto, ia masih menang jauh.
Bahkan kakek ini masih lebih sakti dari pada mendiang Dlbya Mamangkoro! Dengan berdiri tegak, kakek Itu kembali mendorong dan... tubuh Endang Patibroto yang sudah meluncur kembali ke arah panggung itu kini terdorong lagi keluar panggung.
Endang Patibroto mengeluarkan pekik dan tubuhnya kembali membalik di udara, namun sekali lagi di-dorong keluar oleh lawannya! Bagaikan seekor burung garuda yang berusaha melawan terjangan angin membadai, Endang Patibroto berkali-kali terdorong keluar dan akhirnya wanita sakti ini terpaksa mengakui keunggulan lawan.
Ia membiarkan dirinya terdorong lalu menukik ke bawah, langsung ia menyerang papan panggung dengan kedua tangannya.
Pukulan Gelap Musti mengenai papan panggung dan terdengarlah suara hiruk-pikuk karena papan di mana Ki Datujiwa berdiri menjadi ambrol, papan-papannya terlempar tinggal balok-baloknya sajal Endang Patibroto sendiri terpaksa turun ke atas tanah dan peluhnya membasahi muka dan leher, mukanya pucat dan napasnya agak terengah.
Ketika ia memandang, ternyata serangan terakhir ini pun gagal karena kakek itu tidak terlempar turun seperti yang dikehendakinya, melainkan masih berdiri dl tempat tadi, hanya kini bukan berdiri di atas papan melainkan berdiri di atas sebuah di antara balok-balok penunjang papan. Separoh dari panggung itu telah ambrol papannya!
Endang Patibroto menghela napas panjang, lalu iapun melompat ke atas sebuah balok di samping Ki Datujiwa sambil berkata,
“Kepandaian Eyang terlampau hebat, saya mengaku takluk.”
Kemudian ia memandang ke arah para tamu dan berkata,
“Hendaknya semua saudara yang hadir maklum bahwa pemenang sayembara adalah Pangeran Panji Sigit yang berhak menjadi jodoh adikku Setyaningsih. Dengan ini sayembara ditutup dan dibubarkan!”
Orang-orang menjadi terkejut dan kagum.
“Ah, dia Pangeran Panji Sigit?”
“Pangeran Jenggala!”
“Pantas gagah dan tampan, walinyapun hebat!”
Endang Patibroto telah melompat turun, diikuti oleh Ki Datujiwa yang tersenyum-senyum, di samping oleh Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit yang berseri-seri wajahnya. Setyaningsih merangkul ayundanya dan menangis saking terharu dan bahagia.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa mengejek dan ketika mereka semua menengok, kiranya si gundul Purwoko telah berdiri di atas panggung yang tinggal separoh. Kakek gundul ini telah siuman dan pulih kesehatannya. Kini ia berdiri di atas panggung sambil tertawa lalu berkata dengan suaranya yang melengking tinggi,
“Wah, Padepokan Wilis bermain curang! Endang Patibroto sungguh memalukan sebagai ketua Padepokan Wilis. Kiranya yang menang adalah seorang Pangeran Jenggala. Tentu saja menang karena memang dimenangkan! Siapa tidak mengetahui adanya sayembara menggelikan ini? Kalau memang suka mendapat ipar seorang pangeran, mengapa mengadakan sayembara palsu ini? Pantas saja, pangeran itu tadi dilayani oleh Setyaningsih sambil main-main belaka, dan kakek petani itu pun seperti badut karena Endang Patibroto sengaja mengalah! Kalau memang bertanding betul-betul, tak mungkin kalah.Saudara-saudara sekalian kalau tidak percaya, boleh suruh pangeran itu atau walinya maju melawan aku! Aku sudah kalah terhadap Endang Patibroto, akan tetapi kakek petani itu akan kubikin jungkir balik!”
Ucapan Si Hantu Kelabang ini bukan ucapan seorang tolol. Memang tadi ia melihat pertandingan antara Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, maka iapun tahu bahwa pertandingan itu tidak sungguh-sungguh.
Adapun tentang Ki Datujiwa, ia hanya melihatnya sebagai seorang petani tua sederhana, tidak mengenal namanya karena sejak tadi tidak disebut, dan tingkat kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga memang tadi tidak kelihatan menggunakan kesaktian.
Sebaliknya, Endang Patibrotolah yang kelihatan memperlihatkan ketangkasan luar biasa. Kakek itu hanya berdiri dan mendorong-dorongkan kedua tangannya. Siapa mau percaya? Hanya satu kali kakek itu memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ketika papan panggung tergempur la meloncat ke atas kemudian turun lagi hinggap di atas balok.
Namun, kepandaian ini bagi Si Hantu Kelabang Purwoko tidaklah mengherankan. Inilah sebabnya mengapa ia menjadi iri hati dan menuduh yang bukan-bukan.
“Eh, tua bangka seperti cecak kering! Kau melantur tidak karuan, ya?”
Tiba-tiba Retna Wilis sudah melompat ke atas panggung dan berdiri berhadapan dengan Purwoko di atas panggung yang tinggal separoh, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuk kirinya.
“Kau berani menantang paman pangeran? Berani menantang eyang guruku? Huh, tidak memandang tengkuk sendiri! Tak usah mereka turun tangan, kaulawanlah aku saja! Belum tentu kau menang, tahu?”
Semua orang yang tadinya sudah mau bubaran, kini tertarik kembali dan menonton sambil tertawa-tawa. Modar! Ketanggor kau sekarang, ketemu batunya!
Demikian bisik mereka yang merasa tidak senang menyaksikan lagak Si Hantu Kelabang.

Endang Patibroto sudah bergerak hendak menegur dan menyuruh puterinya turun, akan tetapi Ki Datujiwa berbisik,

“Biarlah, memang Purwoko perlu dihajar agar mundur dan tidak berani sewenang-wenang.”
Tanpa menanti jawaban, Ki Datujiwa lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas, berdiri di sudut sambil berkata,
“Retna Wilis, beranikah engkau mewakili gurumu dan ibumu memberi hajaran kepada setan gundul yang tidak sopan ini?”
Melihat gurunya sudah berada di situ, nyali Retna Wilis makin bertambah. Dengan menjebikan mulutnya ke arah Purwoko, ia menjawab,
“Mengapa tidak berani, Eyang Guru? Biar ditambah lima lagi macam dia, aku tidak takut!”
Si Hantu Kelabang yang tadinya hendak mengejek dan mengumpat caci orang, kini benar-benar kalah desak dan bertemu batunya menghadapi Retna Wilis. Mau turun tangan, masa dia seorang tokoh besar harus melayanI seorang anak kecil yang baru enam tahun umurnya? Tidak dilayani, dia dimaki-maka di depan orang banyak! Kini melihat kakek petani yang ia pandang rendah itu sudah maju, cepat ia berkata,
“Eh, kebetulan sekali kau muncul, petani busuk! Hayo mengakulah bahwa engkau dan Endang Patibroto memang hanya bermain dagelan, pertandingan tadi tidak sungguh-sungguh. Kalau memang kau ada kepandaian, coba kaukalahkan aku!”
Dengan suara tenang Ki Datujiwa menjawab,
“Muridku sudah bicara. Aku wakilkan kepada muridku ini, Retna Wilis., Kalau kau mampu mengalahkan Retna Wilis, anggap saja aku sudah kalah oleh-mu. Biarlah semua yang hadir menjadi saksi.”
“Heh...?”
Si Hantu Kelabang khawatir kalau-kalau ia dipermainkan dan ditipu dengan ucapan itu. Bocah masih begini kecil? Sedangkan ibu bocah ini pun yang berilmu tinggi, tadi menghadapi dia tidak dapat mengalahkannya dengan mudah.
“Sesungguhnyakah omonganmu itu, petani tua bangka?”
“Heeiii, engkau si hantu coro busuk bau! Mengapa kau memaki-maki orang? Omongan kami semua adalah sungguh-sungguh, tidak seperti omonganmu yang merupakan angin bau busuk belaka! Hayo lawan aku!” Retna Wilis kembali memaki.
Purwoko melototkan matanya karena dimaki hantu coro sehingga banyak orang menertawakannya Ingin ia sekali gebrak menelan bocah itu bulat-bulat.
“Kalau memang betul, biarlah semua orang menjadi saksi. Hayo perlihatkan kepandaianmu, bocah edan!”
“Seranglah dia, muridku.”
Suara Ki Datujiwa ini menambah semangat Retna Wilis yang memang sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada gurunya. Bukankah ketika menghadapi tiga orang jahat Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama kemarin dulu itu pun dia telah mendapat kemenangan hanya karena kepercayaannya kepada gurunya?
“Baik, Eyang,” jawabnya dan tubuh yang kecil itu lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke perut Purwoko. Si Hantu Kelabang itu hanya menyeringai dan tidak mengelak maupun menangkis. Perlu apa menangkis pukulan bocah cilik ini? Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu mendadak berubah masam ketika kepalan kecil itu tepat mengenai perutnya, “Bukkk!”
Memang tidak amat sakit, akan tetapi yang membuat ia kaget sekali adalah karena pada saat la hendak mengerahkan tenaga dalam ke perut, tenaganya itu molos dan tidak dapat dikerahkan!
Retna Wilis yang berhasil menghantam perut itu menjadi girang. Ia melompat ke atas dengan gerakan ringan karena memang terlatih baik oleh ibunya semenjak kecil sehingga ia dapat mencapai muka Si Hantu Kelabang, lalu menghantamkan kepalan kanannya ke arah hidung si gundul.
“Punggg...!”
Kembali Purwoko meringis. Kulit perutnya masih tebal sehingga biar pun ia tidak dapat mengerahkan kekebalan ke arah perut, pukulan bocah itu tidak terasa nyeri. Akan tetapi hidungnya yang dipukul terasa nyeri juga, apa lagi yang terkena adalah tulang muda hidung di ujung.
Seperti akan patah rasanyal Tadi kaki tangannya sama sekali tidak dapat digerakkan ketika bocah itu memukul, dan baru sekarang dapat ia gerakkan ketika ia menggosok-gosok hidungnya dengan mata merah dan mulut pringisan.
“Wah, badanmu baul Tanganku jadi kotorl” kata Retna Wilis sambil mengipat-ngipatkan tangan, lalu bocah ini menyambar sepotong kayu pecahan papan dan kembali ia menerjang, kini menggunakan kayu itu, dipukulkan sekenanya bertubi-tubi.
“Plak-plek-prok...!”
Kasihan sekali Si Hantu Kelabang. Ia mulai bergidik ketakutan. Ngeri dia karena setiap kali bocah ini menyerang, tubuhnya tak dapat digerakkan dan hawa sakti di tubuh tak dapat ia kerahkan sehingga ia harus mandah saja dijadikan bulan-bulan gebukan.
Biar pun tidak terlalu sakit, akan tetapi amat memalukan karena para penonton kini bersorak-sorak melihat dia berjingkrakan tidak karuan dihujani gebukan bocah setan itu.
MulaiIah otaknya yang kental mengerti bahwa semua ini adalah perbuatan si kakek petani dan ia bergidik ngeri. Orang dengan kesaktian seperti itu tadi ia olok-olok dan ia tantang! Mengerti pula dia bahwa kekalahan Endang Patibroto adalah kekalahan wajar.
“Masih tidak mengaku kalah? Plenggg! Dessss...!”
Retna Wilis meloncat tinggi dan muka Purwoko menjadi korban hantaman dan kini si gundul ini benar-benar merasa tobat. Muka dan kepalanya mulai mengeluarkan darah karena kulitnya ada yang pecah dihantam potongan papan yang runcing.
“Sudah... sudah... tobatt... aku kalah... '“ katanya dan baru setelah Purwoko menyatakan tobat, Retna. Wilis menghentikan serangannya dan mundur, berdiri gagah di dekat Ki Datujiwa.
Purwoko berdiri terbungkuk di depan kakek sakti itu.
“Siapa... siapakah gerangan andika...”
Ki Datujiwa berkata perlahan,
“Purwoko, kau pandang baik-baik. Lupakah engkau kepadaku? Setelah aku memberi ampun kepadamu di hutan Muria, ternyata engkau kini berani lagi menambah kekacauan dunia...!”
“Oohhhh... celaka awakku... sial dangkalan... Ki Datujiwa kira-nya... Walah tobat...!”
Si Hantu Kelabang lalu melompat turun dan lari pergi tanpa pamit. Kiranya belasan tahun yang lalu, Purwoko ini pernah roboh di tangan Ki Datujiwa ketika melakukan kejahatan dan diampuni kakek sakti ini.
Dalam kesombongannya, tadi ia pangling maka berani ia memandang rendah yang mengakibatkan ia mendapat malu di depan orang banyak.
Larinya Si Hantu Kelabang diikuti oleh perginya para pengikut sayembara dan para penonton karena sesungguhnya sebagian besar di antara mereka tidak jadi memasuki sayembara dan hanya menjadi penonton.
Mereka diantar oleh rombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin oleh Limanwilis dan dua orang adiknya. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya mereka :mempercakapkan peristiwa hebat dalam sayembara tanding itu.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih lalu dinikahkan beberapa hati kemudian di puncak Wilis. Upacara pernikahan yang sederhana kalau diingat bahwa yang menikah adalah seorang Pangeran Jenggala, akan tetapi cukup meriah selain dihadiri oleh seluruh anggota Padepokan Wilis, juga dihadiri pula oleh para penduduk di sekitar Wilis.
Pula, apakah yang lebih membahagiakan hati sepasang mempelai kecuali pertalian cinta kasih di antara mereka? Malam itu, setelah mereka hanya berada berdua saja di dalam kamar mempelai, merupakan malam terindah dari pada hidup mereka. Malam pencurahan kasih sayang yang semesra-mesranya, penuh kemurnian, di mana dua hati terlekat menjadi satu, diikat sumpah saling setia sampai mati, senasib sependeritaan suka sama dinikmati, duka sama diderita.
Di malam pengantin ketika sepasang pengantin sedang bermesra-mesraan memadu kasih, dan Retna Wilis sudah tidur nyenyak saking kelelahan setelah sehari berpesta, dan Ki Datujiwa duduk bersamadhi dengan heningnya di dalam kamar yang disediakan untuknya, Endang Patibroto seorang diri menangis di kamarnya. Ia membenamkan muka di bantal untuk menahan isak tangisnya, dan hanya bantal itu yang menjadi basah kuyup.
Endang Patibroto tidak hanya teringat dan merasa rindu kepada Tejolaksono, juga ia teringat kepada Raden Sindupati. Teringat akan aib dan penghinaan yang ia derita dari Sindupati baru-baru ini, membuat hatinya hancur dan kini di samping derita merana dan rindu kepada Tejolaksono yang dicintanya, juga dendam dan sakit hati terhadap Sindupati merupakan duri yang menusuk di hatinya. Ingin ia mencari Sindupati sampai dapat, untuk melaksanakan sumpahnya merobek dada mencabut jantung musuh besarnya.
Akan tetapi setelah Setyaningsih menikah, tentu adik kandungnya itu akan pergi bersama suaminya. Bagaimana la tega untuk meninggalkan Retna Wilis, hanya ditemani Ki Datujiwa? Ia harus bersabar sampai beberapa tahun lagi, sampai Retna Wilis sudah agak dewasa sehingga ia tega untuk meninggalkannya.
“Aduh Kakangmas Tejolaksono...” berulang-ulang ia mengeluh.
“Si keparat engkau Sindupati... kau tunggu saja pembalasanku...!”
Ia memaki dan menjadi beringas. Akan tetapi segera ia menangis kembali, teringat akan nasib ibunya yang malang, teringat akan nasib sendiri, kemudian, melihat kepada Retna Wilis, ia menangis sambil memeluk anaknya itu sampai ia tertidur di samping Retna Wilis.
Pada hari-hari berikutnya, kesedihan hati Endang Patibroto yang disembunyi-sembunyikan agak terhibur melihat betapa adik kandungnya, Setyaningsih, hidup amat mesra dengan Pangeran Panji Sigit.
Mereka berdua itu bagaikan sepasang merpati, tak pernah berpisah, begitu rukun dan amat damai, setiap pandang mata, senyum, kata-kata dan gerak tubuh sepenuhnya diselimuti cinta kasih yang mendalam. Sampai satu bulan lamanya pengantin baru itu tinggal di puncak Wilis. Kemudian mereka menghadap Endang Patibroto, menyatakan bahwa mereka hendak pergi ke Jenggala.
Endang Patibroto yang sedang duduk bercengkerama dengan Ki Datujiwa, dihadiri pula oleh Retna Wilis, berdebar jantungnya dan ia berkata,
“Bukankah lebih baik kalian tinggal di sini saja? Aku mendengar bahwa keadaan Jenggala sedang kacau. Pula, menurut penuturanmu sendiri, Adi Pangeran, di sana ramandamu berada dalam cengkeraman selir jahat dan ponggawa-ponggawa tidak jujur. Mengingat pengalaman-mu yang tidak baik dengan selir ramandamu itu, apakah pulangmu ke sana tidak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak?”
“Sesungguhnyalah apa yang dikatakan Ayunda itu, dan memang tepat dan benar sekali,” jawab Pangeran Panji Sigit. “Akan tetapi, setelah saya pikir secara mendalam, bahkan keadaan seburuk itulah yang mengharuskan saya berada di dekat kanjeng rama. Kanjeng rama tentu akan berbahagia sekali kalau melihat bahwa saya telah berjodoh dengan Setyaningsih, adik kandung Ayunda sendiri. Dan saya bersama Adinda Setyaningsih akari berusaha menyadarkan kanjeng rama, dan kalau perlu membela beliau apa bila terancam bahaya.”
Endang Patibroto menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang.
“Sejak dahulu, keadaan Jenggala sungguh tak dapat dikatakan baik. Alangkah jauh bedanya dengan Panjalu. Adi Pangeran, sang prabu di Panjalu juga masih uwamu sendiri. Apakah tidak lebih baik Adi bersuwita di sana?”
Pangeran Panji Sigit menggeleng kepala.
“Kalau hal-hal itu saya lakukan, berarti seolah-olah saya melarikan diri dari pada kesulitan, Ayunda.”
Kembali Endang Patibroto menghela napas panjang.
“Aku hanya khawatir..., ah, Eyang Datujiwa, bagaimana baiknya? Mohon petunjuk Eyang.”
Endang Patibroto kini telah mengenal siapa adanya Ki Datujiwa dan makin segan serta hormatlah ia terhadap kakek sakti mandraguna ini. Bahkan ia merasa berbahagia sekali puterinya mendapatkan seorang guru seperti kakek ini yang berarti bahwa kelak puterinya akan menjadi orang yang lebih sakti dari pada dia sendiri.
Ki Datujiwa yang selalu diam saja kalau tidak diajak bicara itu lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan mendatangkan rasa tenteram di hati,
“Menurut pendapat saya, wawasan Angger Pangeran tadi memang banyak kebenarannya. Angger adalah seorang Pangeran Jenggala, berdarah satria utama, keturunan Sang Sakti Prabu Airlangga. Sudah menjadi kewajiban seorang satria untuk melakukan tridharma bakti, tiga kebaktian utama. Pertama, berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, ke dua berbakti kepada rama ibu, dan ke tiga berbakti kepada negara dan bangsa. Kalau keadaan negara sedang makmur ikut menikmati, akan tetapi kalau negara sedang kacau lalu menjauhkan diri mencari kesenangan dan keselamatan pribadi, itu bukanlah watak seorang satria utama, Angger. Memang, dalam keadaan Kerajaan Jenggala seperti sekarang ini, bukan tidak ada bahayanya kalau Angger berdua pergi ke Jenggala. Akan tetapi, bahaya itu terdapat di mana-mana dan bahaya yang terbesar terdapat dalam pribadi sendiri. Adapun selamat, sakit sampai pun mati sepenuhnya mutlak menjadi wewenang Sang Hyang Widhi. Karena itu Angger, dengan dasar dan iktikad baik, seorang satria tidak akan gentar menghadapi apa pun juga karena biar hidup maupun mati, ia menjadi pengemban kebenaran dan keadilan. Seribu lebih baik tewas sebagai seorang satria dari pada hidup sebagai seorang durjana.”
Endang Patibroto makin tunduk dan yakin bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan, maka ia pun terpaksa merelakan kepergian adik kandungnya, Setyaningsih bersama suaminya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar