PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-50
Patih yang tua itu mengangkat kepala memandang junjungannya dengan
sepasang mata yang penuh kejujuran dan kesetiaan, kemudian menyembah dan
berkata, suaranya lantang,
“Sesungguhnya, Gusti junjungan hamba, tidak ada seujung rambut pun
usahakeji penghianatan di dalam hati dan pikiran hamba, baik di masa
lampau, sekarang maupun di masa datang. Bahkan hamba masih belum tahu
mengapa hamba sekeluarga ditangkap. Mohon kebijaksanaan dan keadilan
paduka, Gusti.”
“Brotomenggala, lidahmu bercabang seperti lidah ular! Semua penghianat
selalu bersuara merdu! Bukti sudah nyata, saksi pun banyak, masih hendak
menyangkal?” Suminten berseru marah. “Aku sendiri menjadi saksi, aku
yang hampir terbunuh bersama pangeran. pati dan terutama sekali gusti
sinuwun. Tentu penghianatanmu akan berhasil membunuh kami bertiga kalau
saja tidak datang pertolongan dari satria ini!”
Terbelalak mata Ki Patih Brotomenggala dan keluarganya. “Apa... apa yang telah terjadi...?” tanya patih tua itu tergagap.
“Brotomenggala, kalau kamu bersandiwara, sungguh kamu merupakan pemain
yang amat pandai,” kata sang prabu yang kemudian berkata kepada Pangeran
Kukutan, “Puteraku, ceritakanlah semuanya agar didengar oleh para
ponggawa dan oleh si penghianat ini sendiri.”
Pangeran Kukutan yang memang sudah bersiap-siap untuk bertindak sebagai
jaksa penuntut, sengaja belum berganti pakaian sehingga kini ia maju
dengan pakaiannya berburu yang masih koyak-koyak dan dengan beberapa
luka kecil babak dan lecet pada lengan dan pahanya. Ia bangklt dari
lantai, kini berdiri 'dan menentang pandang mata para ponggawa yang
hadir.
Ia maklum bahwa para ponggawa itu sebagian besar adalah kaki tangannya,
akan tetapi di antara mereka masih terdapat orang-orang yang pro ki
patih, maka kepada mereka inilah ia menujukan pandang matanya. Kemudian
ia berpaling kepada Ki Patih Brotomenggala, mulutnya tersenyum mengejek
secara terang-terangan kepada musuhnya ini, lalu mulai bercerita,
“Ketika Ramanda Prabu dan para pengikut sedang berburu dengan gembira di
dalam hutan, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan, dan beberapa orang
pengawal roboh. Tahu-tahu, entah darimana datangnya, kami telah
terkurung oleh puluhan orang tinggi besar berkepala gundul yang ganas
dan liar, bersenjata golok!”
Sang pangeran berhenti dan kembali menoleh ke arah Ki Patih
Brotomenggala yang mendengarkan dengan sikap tenang dan pandang mata
penasaran.
Para ponggawa menahan napas karena mereka pun belum tahu apa
sesungguhnya yang telah terjadi sehingga sang prabu pulang dari
perburuan tanpa dikawal pasukan pengawal.
“Para pengawal kami mengadakan perlawanan dengan gagah berani, sedangkan
aku sendiri cepat melindungi Ramanda Prabu dan Ibunda Selir yang
berlindung di dalam kereta. Perang tanding seru terjadi, akan tetapi
sungguh pun para pengawal yang gagah berhasil menewaskan musuh, jumlah
musuh terlalu besar dan akhirnya para pengawal kami yang tiga puluh
orang itu roboh tewas semua.”
Kembali pangeran Kukutan berhenti sebentar dan para pendengarnya menahan napas, bahkan ada yang mengeluarkan ;eruan tertahan.
“Gerombolan penjahat gundul itulah menyerbu kereta. Kami melakukan
perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena dikeroyok banyak orang yang
liar, akhirnya Ramanda Prabu, ibunda Selir, dan saya sendiri tertawan
dan diikat pada pohon. Nyaris kamI bertiga terbunuh apa lagi Ramanda
Prabu yang sudah ter ancam dengan golok musuh siap membacok. Pada detik
terakhir, muncullah satria perkasa ini, Seorang satria dari Bali dwlpa
bernama Raden Warutama yang sebetulnya bukanlah orang lain karena Raden
Warutama ini anak keponakan mendiang Sang Patih Narotama yang sakti
mandraguna dan setia! Dengan kesaktiannya, para penjahat itu dapat
dibunuh semua, kecuali dua orang yang sengaja ditawan hidup-hidup untuk
menjadi saksi.”
Para ponggawa kini memandang ke arah Warutama yang masih duduk bersila
dengan tenang itu, memandang penuh kagum. Siapa tidak akan kagum kala
mendengar bahwa pria yang tampan d perkasa itu adalah keponakan Sang
Narotama yang perkasa? Apa lagi pria ini telah membebaskan sang prabu
dari pada ancaman maut.
“Ramanda Prabu sendiri yang bertanya kepada para penjahat itu ketika
beliau ditangkap, menanyakan kehendak mereka dan siapa yang menyuruh
mereka. Dan apa jawab mereka? Secara terang-terangan mereka mengatakan
bahwa mereka adalah anak buah Brotomenggala!”
“Bohong...!”. Ki Patih Brotomenggala berseru keras.
Namun Pangeran Kukutan tidak mempedulikannya dan melanjutkan kata-katanya dengan suara lantang,
“Tadinya pun kami bertiga tidak percaya akan pengakuan mereka. Akan
tetapi berkali-kali mereka mengaku bahwa mereka itu hanya melaksanakan
tugas yang diperintahkan oleh Brotomenggala yang menurut pengakuan
mereka menaruh dendam kepada Ramanda Prabu atas kematian mantunya
beberapa tahun yang lalu.”
“Bohong! Fitnah belaka! Gusti Sinuwun, percayakah Paduka akan fitnah
keji seperti itu? Hamba sama sekali tidak tahu-menahu, bahkan mengenal
mereka pun tidak! Hendaknya Paduka menyelldikl dengan seksama sebelum
menjatuhkan keputusan. Bukan sekali-kali karena hamba mementingkan
keselamatan sendiri, hanya hamba mengkhawatirkan langkah yang Paduka
ambil sebelum mengadakan pemeriksaan secara teliti. Hamba hanya berani
mengatakan dengan sumpah bahwa sesungguhnya hamba tidak tahu-menahu
dengan terjadinya peristiwa keji di dalam hutan itu.”
Wajah sang prabu menjadi merah,
“Brotomenggala! Telingaku sendiri mendengar pengakuan setan-setan gundul
itu! Mataku sendiri melihat betapa mereka membunuhi semua pengawalku,
hendak...menghina selirku. Dan Andika masih menyangkal? Seret dua orang
gudul itu masuk!”
Dua prang pengawal menyeret dua orang tinggi besar yang gundul itu
masuki ruangan. Biar pun tubuh mereka penuh luka, namun kedua orang itu
sama sekali tidak memperlihatkan kelemahan dan ketakutan.
Mata mereka masih terbelalak memandang ke depan, dan mereka itu sama
sekali tidak kelihatan menderita, seolah-olah semua ini tidak terasa
oleh mereka. Kedua tangan mereka dibelenggu dan setelah kedua orang
pengawal itu menekan dan memaksanya, barulah mereka itu roboh dan
berlutut di depan sang prabu.
Karena bangkit kemarahannya ketika melihat dua orang ini, sang prabu
memberi isyarat kepada Pangeran Kukutan untuk mewakilinya memeriksa
tawanan.
“Hei, kalian dua orang yang sudah melakukan dosa! Katakan sebenarnya,
siapa yang menyuruh kalian dan gerombolan kalian untuk menyerang
rombongan gusti sinuwun!” kata Pangeran Kukutan dengan suara lantang.
Seorang di antara mereka yang pipinya terluka mengangkat muka dan menjawab, suaranya dingin penuh ejekan,
“Pasukan kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala untuk menghadang
rombongan Gusti Sinuwun dalam hutan, untuk membunuh Gusti Sinuwun dan
Gusti Pangeran Pati, serta menculik Selir Gusti Sinuwun.”
Sunyi senyap keadaan ruangan itu setelah terdengar pengakuan ini, dan
muka para ponggawa yang menjadi sahabat ki patih menjadi pucat, mata
mereka memandang ke arah patih tua itu dengan keheranan dan pertanyaan.
Terdengar isak tertahan di antara keluarga yang berlutut di belakang Ki
Patih Brotomenggala
“Penghianatan keji yang tiada taranya! Sudah sepatutnya kalau si
penghianat keji sekeluarganya dihukum gantung sampai mati di alun-alun!”
Tiba-tiba terdengar suara Suminten, lantang memecah kesunyian dan
ketegangan, menimbulkan ketegangan baru. Melihat wajah dan keadaan ki
patih sekeluarga, semua hati para ponggawa terharu dan kasihan, namun
mengingat akan dosanya yang amat hebat, tak seorang pun berani membantah
tuntutan yang keluar dari mulut terkasih sang prabu yang dalam
peristiwa itu mengalami pula ancaman dan penghinaan.
Tiba-tiba Ki Patih Brotomenggala dari tempat ia bersila meloncat ke
depan dan di lain saat kedua tangannya sudah men-cengkeram leher dua
orang tawanan gundul itu, mukanya merah dan matanya melotot, mulutnya
mendesiskan kata-kata penuh kemarahan,
“Jahanam! Hayo katakan siapa yang menyuruh kalian menjatuhkan fitnah atas diri sayal”
Dengan sikap tenang saja dua orang gundul itu berkata,
“Kami diperintah oleh Ki Patih Brotomenggala...!”
“Krakkki” Ki Patih Brotomenggala menggerakkan kedua lengannya, dua
kepala yang gundul itu beradu keras dan pecah berantakanl Semua orang
terkejut, Pangeran Kukutan meraba gagang keris, para pengawal sudah siap
dengan tombak mereka untuk mengeroyok ki patih yang agaknya hendak
memberontak.
“Brotomenggala! Berani engkau melakukan hal ini di hadapanku?”
Bentakan ini keluar dari mulut sang prabu yang sudah bangkit berdiri dari tempat duduk. nya.
Ki Patih Brotomenggala yang tadinya tak dapat mengendalikan
kemarahannya, ketika mendengarkan bentakan ini menjadI lemas seluruh
sendi tulangnya, dan Ia menjatuhkan diri berlutut di depan junjungannya.
“Ampunkan hamba... hamba tidak berani... akan tetapi semua ini adalah fitnah... fitnah..., fitnah...!”
Patih yang sudah tua itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, tubuhnya
menggigil karena menahan rasa penasaran dan kemarahan besar.
“Tidak ada fitnahi Aku sendiri yang menjadi saksi, bagaimana bisa
dikatakan fitnah? Pengawal, tangkap penghianat dan pemberontak ini,
laksanakan hukuman gantung di alun-alun bersama seluruh keluarganyal”
Sang prabu yang sudah diamuk kemarahan itu mengeluarkan perintah yang
disambut isak tangis seluruh keluarga kepatihan. Namun para pengawal
yang sudah mendapat aba-aba dari Pangeran Kukutan, sudah menangkap
mereka semua, membelenggu dan menggiring mereka keluar dari ruangan itu,
menuju ke alun-alun.
Para ponggawa tidak ada yang berani campur tangan karena mereka pun
yakin akan keadaan ki patih, sungguh pun hal ini membuat mereka
terheran-heran dan tidak mengerti. Kini alun-alun telah dibanjiri
penduduk yang hendak menyakslkan pelaksanaan hukum massal yang
mengerikan ini. Tiang-tiang gantung dibangun serentak, tiga puluh enam
buah banyaknya.
Mengerikan! Hanya mereka yang menjadi kaki tangan Suminten dan Pangeran
Kukutan saja yang diam-diam tersenyum puas karena musuh besar mereka
yang berbahaya itu kini akan dibasmi habis. Rakyat biasa menonton dengan
wajah pucat dan banyak pula yang menangis sembunyi-sembunyi.
Sang prabu sendiri duduk di panggung dengan wajah pucat dan mata sayu.
Suminten duduk di dekatnya dengan wajah berseri, dan Pangeran Kukutan
berdirl tegak, gagah dan masih berpakaian pemburu. Di dekatnya berdirl
Raden Warutama yang menjadi buah bibir para ponggawa, karena dialah pada
saat Itu menjadi pahlawan penolong raja.
Para hukuman sudah digiring berkelompok di dekat tiang-tiang gantungan. Amat mengharukan keadaan mereka.
Ki patih yang sudah tua dengan kedua tangan dibelenggu, berdiri dengan
kedua kaki terpentang, mukanya yang keriputan menengadah ke langit,
seolah-olah mohon kekuatan dari para dewata. Bergantlan keluarganya
menghampirinya, memeluk kedua kaklnya dan menangis, namun kakek perkasa
itu tidak mau memandang ke bawah karena ia maklum bahwa sekali
semangatnya runtuh, ia akan menjadi pilu dan hatinya akan menderita. Ia
tidak ingin mati dalam keadaan seorang pengecut. Karena ia tidak
bersalah, mati pun harus seperti seorang satria perkasa.
Perang tanding terjadi dalam hati dan pikirannya. Betapa pun gagah
sikapnya, kalau dia dan keluarganya akan mati di tiang gantungan,
berarti mereka itu mati sebagai keluarga penghianat! Kalau dia mengamuk
pada saat terakhir itu, akhirnya ia akan mati dikeroyok berikut
keluarganya dan mati sebagai keluarga pemberontak!,
Tiba-tiba ki patih mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau
terluka dan ia sudah memballkkan tubuh, menghadap ke arah sang prabu
yang duduk di atas panggung. Kemudian, sambil memandang junjungannya
dengan sepasang mata berkilat-kilat, ia berkata, suaranya nyaring
sehingga terdengar oleh semua orang, memecah kesunyian yang menegangkan
di saat itu,
“Gusti Sinuwun! Hamba bukan seorang penghianat, karena itu hamba tidak
ingin mati sebagai seorang penghianat terhukum! Keluarga hamba adalah
abdi-abdi yang setia, bukan pula pemberontak! Maka hamba sekeluarga rela
mengorbankan nyawa demi dharma bakti hamba kepada Paduka Gusti. Namun
sekali lagi, bukan mati sebagai orang hukuman karena hamba tidak
berdosa, melainkan mati membunuh diri karena penyesalan dan kedukaan
menyaksikan Paduka Gusti Sinuwun junjungan hamba telah terkena bujukan
iblis, telah dilemahkan oleh manusia-manusia berhati iblis seperti
Suminten dan Pangeran Kukutan! Hamba sekeluarga rela berkorban, namun
semoga paduka menjadi sadar...!”
Semua orang tertegun dan secepat kilat ki patih yang memang memiliki
kedigdayaan ini telah mematahkan belenggu tangannya dengan sekali
renggut kemudian tangannya meraih seorang pengawal di dekatnya, merampas
sebatang pedang dan dengan pedang ini ki patih lalu menyerbu
keluarganya sendiri! Hebat bukan main perlstiwa ini.
Gerakan ki patih amat tangkas dan cepat, tusukan-tusukannya tepat
mengenai dada menembus jantung sehingga setiap keluarga yang terkena
tusukannya, roboh tak sempat menjerit lagi. Isteri-isterinya,
putera-puterinya, para abdi, seorang demi seorang dia robohkan, dia
renggut nyawanya dengan perantaraan ujung pedang.
Mereka yang roboh tak bergerak lagi, mereka yang belum terbunuh berlutut
dan membuka dada sambil memandang ki patih dengan air mata bercucuran.
Semua siap menerima kematian di tangan ki patih!
Tinggal lima orang kanak-kanak, yaitu cucu buyut ki patih yang belum
roboh tewas. Ki patih meloncat dengan mengayun pedang. Dari mulut
seorang anak laki-laki cucu buyutnya, berusia paling banyak lima tahun,
terdengar rintihan,
“Eyang... Eyang Buyut...!”
Ki patih yang matanya terbelalak, pedang dan seluruh pakaian serta kedua
lengannya merah oleh darah keluarganya itu seperti disambar halilintar,
berdiri memandang wajah anak kecil yang menangis itu, menggigil,
pedangnya terlepas dan ia menjatuhkan diri berlutut, mendekap lima anak
kecil yang kini kesemuanya menangis.
“Srrrt... srrrtt...!”
Hujan anak panah yang dilepas oleh para pengawal atas perintah Pangeran Kukutan menyambar ke arah kakek dan lima orang cucunya.
Ratusan batang anak panah menancap di tubuh kakek itu yang dengan tenaga
terangkir merangkul lima orang cucunya, tak bergerak-gerak, dan hanya
darah yang bercucuran dari sekelompok manusia ini membuktikan bahwa
mereka berenam telah menjadi sasaran anak panah.
Ketika para pengawal menyerbu dan mendekat, baru diketahui bahwa kakek
itu memeluk lima orang cucunya dengan pengerahan tenaga sehingga mereka
berlima telah tewas karena remuk tulang-tulangnya dalam dekapan kakek
mereka sebelum anak-anak panah itu menembus tubuh mereka bersama tubuh
kakek mereka.
KI Patih Brotomenggala tewas dalam keadaan memeluk lima orang cucu
buyutnya, dengan mata masih melotot penuh penasaran akan tetapi mulut
membayangkan kasih sayang mesra kepada keluarganya yang terpaksa ia
bunuh sendiri karena menghindarkan mereka dari pada kematian sebagai
keluarga penghianat atau pemberontak!
Penglihatan yang amat hebat itu membuat semua penonton menggigil, banyak
yang bercucuran air mata, bahkan ada yang pingsan di tempat ia berdiri
atau berjongkok. Sang prabu sendiri ternyata pingsan di tempat duduknya
dan dengan pimpinan Suminten dan Pangeran Kukutan, sang prabu diusung
masuk kemball ke dalam istana. Para pengawal membubarkan semua penonton
dan melenyapkan mayat-mayat keluarga ki patih, tidak lupa mencabuti
tiang-tiang gantungan yang masih bersih karena belum digunakan itu.
Peristiwa mengerikan itu kembali mengguncangkan Kerajaan Jenggala,
membuat gentar mereka yang tadinya berfihak kepada Ki Patlh
Brotomenggala.
Para ponggawa yang tebal rasa sayang kepada diri sendiri, yang berwatak
pengecut, melihat betapa besar kekuasaan pangeran mahkota dan selir
terkasih sang prabu, maka tanpa malu-malu mereka ini cepat memalingkan
muka dan dengan suka rela menggabung kepada Pangeran Kukutan. Mereka
yang leblh kokoh batinnya, yang menjunjung kesatriaan di atas
kepentingan pribadi, diam-diam lolos dari kerajaan, membawa keluarga
mereka melarikan diri dan bersembunyi di gunung-gunung dan sebagian
besar lari memasuki daerah Panjalu.
Sang prabu menjadi berpenyakitan semenjak terjadinya peristiwa
mengerikan itu. Atas bujukan Suminten dan Pangeran Kukutan, juga karena
menganggap bahwa orang yang telah menolong nyawanya itu patut diberi
anugerah besar, apa lagi mengingat bahwa Raden Warutama memiliki
kesaktian hebat, maka diangkatlah Raden Warutama menjadi patih,
menggantikan Ki Patih Brotomenggala.
Dengan demikian, secara tidak resmi, Suminten mewakili raja mengatur
rencana. Resminya, Pangeran Mahkota Kukutan yang mewakili raja mengatur
pemerintahan, dan pelaksanaannya adalah Ki Patih Warutama!
Beberapa malam kemudian setelah terjadinya peristiwa mengerikan di
alun-alun Kerajaan Jenggala, Suminten berkenan menerima “kunjungan” Ki
Patih Warutama di dalam kamarnya! Karena dia berkedudukan sebagai patih,
tentu saja akan amat menyolokiah kalau Warutama datang secara
berterang, maka Warutama mempergunakan aji kesaktiannya, memasuki
keputren ini seperti seorang pencuri. Di dalam kamar yang indah dan
harum itu, Suminten dan Pangeran Kukutan menyambutnya dan
berpesta-poralah ketiga orang yang mabuk kemenangan ini, dengan
hidangan-hidangan yang lezat, dilayani oleh emban-emban yang muda-muda
dan cantik-cantik. Tentu saja para emban dan abdi yang menjadi pelayan
di situ, termasuk beberapa orang pengawal kepercayaan, adalah
orang-orang yang sudah amat dipercaya.
“Sungguh beruntung siasat yang Andika jalankan itu berjalan dengan amat
lancar dan berhasil baik, Paman Patih,” kata Pangeran Kukutan setelah
mereka terhenyak kekenyangan dan kepuasan menghadapi meja yang telah
dibersihkan dari sisa-sisa makanan.
“Dan baru sekarang kita dapat berkumpul sehingga akan dapat terjawablah
pertanyaan-pertanyaan yang sungguh mengganggu perasaanku.”
“Hal apakah yang hendak Paduka tanyakan?”
“Tentang pasukan gundul itu. Siapakah mereka?”
Patih Warutama tersenyum lebar dan membusungkan dada.
“Mereka “adalah anak buah sahabat kita dari Negeri Cola.”
“Permainan yang amat berbahaya sekali!” kata Suminten sambil memandang
dengan sepasang matanya yang jeli dan bersinar jalang, yang dapat
meneliti tubuh seorang pria penuh penilaian seperti ketika ia memandang
patih baru itu pada saat Itu.
“Andika membiarkan dua di antara mereka tertawan hidup-hidup dan
diperiksa di depan gusti sinuwun. Hatiku hampir berhenti berdetik ketika
mereka dlperiksa, apa lagi ketika mereka digertak oleh Brotomenggala.
Bagaimana andai kata mereka itu ketakutan dan mengaku terus terang?”
Patih Warutama memandang ke arah dada Suminten yang membusung,
seolah-olah hendak menembus kulit halus itu menjenguk hati yang hampir
berhenti berdetik. Mulutnya masih tersenyum bangga.
“Tidak mungkin. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah kehilangan
pengaruh atas diri pribadi, sepenuhnya mereka dIkuasaI oleh ilmu
kesaktian sahabat kita yang bernama Cekel Wisangkoro, murid Sang Wasi
Bagaspati yang sakti mandraguna, wakil dari Negeri Cola.”
“Hemm, kiranya begitu? Aku pun amat khawatir tadinya. Akan tetapi,
kupikir bahwa pelaksanaan siasat itu agak merugikan. Untuk itu Andika
telah mengorbankan hampir lima puluh orang anggota pasukan gundul.
Bukankah ini berarti mengorbankan nyawa teman-teman sendiri?” tanya Pangeran Kukutan.
Berkerut kening tebal Patih Warutama.
“Pangeran, Paduka agaknya masih harus banyak belajar. Untuk mencapai
cita-cita, tidak ada jalan yang tak boleh ditempuh dan dipergunakan.
Jangankan hanya mengorbankan nyawa lima puluh orang kawan, kalau perlu,
jalan yang lebih keji dan buruk lagi harus dilakukan demi tercapainya
cita-cita. Yang penting, cita-cita kita tercapai, bukan? Apa artinya
nyawa puluhan orang mayat hidup itu? Ha-ha-ha!”
Diam-diam Suminten dah Pangeran Kukutan bergidik. Mereka pun
bercita-cita tinggi dan tidak segan-segan melakukan apa saja demi
cita-cita tercapai. Akan tetapi tidak pernah terpikirkan oleh mereka
untuk menempuh jalan seperti itu, membunuhi kawan sendiri sekian
banyaknya. Kini mereka diam-diam menganggap betapa benarnya pendapat
kawan baru ini dan mereka mengangguk-angguk, seperti murid-murid yang
menerima ajaran lebih tinggi dari seorang guru yang pandai. Melihat
sikap mereka, Patih Warutama lalu melanjutkan kata-katanya dengan suara
bangga.
“Manusia hidup harus bercita-cita untuk mencapai kedudukan tertinggi,
karena hanya dengan kekuasaan dan kedudukan tinggi kita akan dapat
menikmati kesenangan dunia. Selagi hidup, kalau tidak mereguk arak
kenikmatan dunia sepuasnya, apa artinya? Hanya menanti mati. Dan untuk
mencapai cita cita, kita tidak boleh memilih cara. Cara apa saja harus
ditempuh demi tercapainya cita-cita!”
Orang ini hebat, pikir Suminten Dengan dia ini sebagai sekutuku, akan
berhasillah segala cita-citaku. Maka kini pandang matanya mulai
memancarkan daya tarik yang amat memIkat ke arah Patih Warutama. Ki
patih bukan tidak tahu akan hal ini.
Dia seorang pria yang sudah berpengalaman dan sudah mengenal belaka
segala sifat wanita, maka ia makin bangga, wajahnya berseri dan tanpa
diminta ia melanjutkan kata-katanya seperti seorang guru besar memberi
kuliah atau seorang pendeta memberi wejangan,
“Hanya orang yang memperoleh kemenangan saja yang akan tercapai
cita-citanya. Kemenangan adalah kunci pertama, karena yang menang itu
berarti yang berkuasa, dan sudah barang tentu bahwa yang berkuasa itu
selalu baik dan benar. Yang buruk dan salah, yang patut diinjak-injak
adalah mereka yang kalah. Bayangkan saja, andai kata dalam urusan
menghadapi keluarga Brotomenggala kita yang kalah, akan bagaimana
jadinya dengan kita? Kalau mereka yang menang, tentu mereka yang
berkuasa dan mereka yang baik dan benar. Kita yang kalah? Menjadi
makanan cacing!”
Pangeran Kukutan dan Suminten mendengarkan dengan pandang mata kagum dan
gembira. Mereka lalu minum hidangan yang terbuat dari pada campuran
madu dan sari buah, minuman yang memabukkan dan mempunyai daya
merangsang.
Kalau kita mengetahui latar belakang tiga orang ini, akan terdengar
sumbang dan melantur pendapat yang dikemukakan oleh Warutama tadi.
Namun, ah, betapa banyaknya orang di luar kesadaran pribadi mempunyai
pendapat yang serupa.
Untuk mencapai cita-cita maka segala cara dibenarkan! Betapa kotor dan
menyesatkan pendapat seperti itu! Mereka lupa bahwa yang kotor tidak
mencerminkan yang bersih, bahwa yang pahit tidak memberikan buah yang
manis. Kalau cara yang dipergunakan untuk menempuh cita-cita itu keji,
maka sudah tak dapat disembunyikan lagi bahwa cita-citanya sendiri pun
tentu keji!
Tidak mungkin cita-cita yang bersih ditempuh dengan jalan atau cara yang
kotor! Sebaliknya, cita-cita yang kotor takkan dapat ditempuh dengan
cara yang bersih, atau kalau pun bersih, maka kebersihan cara itu hanya
merupakan siasat atau kedok belaka. Sudah jelas bahwa cita-cita yang
baik dan bersih HARUS dicapai dengan cara yang baik dan bersih pula!
Pendapat ke dua dari Warutama yang bermoral bejat tentang kemenangan,
kekuasaan dan kebenaran merupakan pendapat yang tersesat jauh, bahkan
mudah menyesatkan orang. Memang tak dapat disangkal kenyataannya bahwa
di dunia ini banyak berlaku hukum seperti yang dikatakannya, yaitu siapa
menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia benar dan baik! Akan tetapi
ini hanya pendapat orang yang menjadi kawula iblis, yang hidup demi
pemuasan nafsu pribadi.
Pendapat Warutama itu merupakan hukum rimba yang hanya patut diterapkan
pada kehidupan binatang yang tidak mengenal peri kemanusiaan. Manusia
mengenal pribudi, tahu akan baik dan buruk, mana benar mana salah.
Justeru pribudi menuntut agar setiap manusia ingat bahwa dalam
kemenangan tidak boleh sombong dan mabuk serta gila kekuasaan. Kemudian,
yang kebetulan berkuasa tidak boleh sewenang-wenang menganggap diri
sendiri selalu benar dan baik.
Karena menang dan kalah itu hanya pandangan belaka, seperti suka dan
duka. Yang menang di lain waktu bisa kalah, demikian sebaliknya. Juga
kedudukan-tinggi atau rendah hanya pandangan, yang tinggi sewaktu-waktu
bisa saja menurun, yang rendah menalk. Karena itu, pedoman terbaik
adalah tidak patah hati di waktu kalah dan tidak tinggi hati di waktu
menang. Selalu rendah hati, menujukan langkah di atas jalan yang benar,
dan menerima segala peristiwa yang menimpa diri sebagai kehendak Yang
Maha Kuasa!
Suminten yang sedang dimabuk cita-cita setinggl langit, mendengar ucapan-ucapan Patih Warutama, menjadi amat tertarik.
“Sungguh beruntung bagiku dapat berjumpa dengan seorang yang pandai
seperti Andika! Semoga kerja sama di antara klta akan tetap kekal
abadIl” Ucapan ini disertai senyum dan diikuti kerling memikat dari
sudut mata.
Warutama tertawa, lalu tanpa malu-malu terhadap Pangeran Kukutan ia berkata,
“Bolehkah sekarang raya mengharapkan hadiah pribadi dari Sang Ayu?”
Suminten terkekeh genit, bibir yang merah itu merekah dan tampak deretan
gigi yang putih dan berbentuk bagus seperti mutiara. Dengan gaya manja
ia menggeliat, menoleh kepada Pangeran Kukutan sambil berkata,
“Puteranda Pangeran, sudikah Paduka pulang sekarang karena ibunda ingin
sekali beristirahat sambil minta nasehat-nasehat dari ki patih?”
Pangeran Kukutan maklum akan maksud hati Suminten. Dia tidak cemburu
lagi, karena dia sudah mengenal betul watak ibu tiri atau juga
kekasihnya ini. Tiada bedanya dengan dia sendiri. Setiap malam harus ada
seorang kekasih yang mengawani melewatkan malam panjang! Dia mengenal
tubuh indah wanita ini yang tak pernah merasa puas dalam mengabdi nafsu
berahi.
Ia bangkit dan tersenyum maklum sambil mengangguk kepada Warutama.
Kemudlan pergi meninggalkan kamar itu untuk mengunjungi seorang di
antara kekasihnya yang banyak terdapat di antara para puteri, abdi
wanita, dan selir-selir pangeran sepuh!ainnya.
Asyik dan mesralah kini mereka berdua, Suminten dan Warutama, setelah
mereka ditinggal berdua saja di dalam kamar itu. Para abdi diusir
keluar, pintu kamar ditutup dan mulailah mereka saling mengenal pribadi
masing-masing.
Diam-diam Warutama kagum sekali karena sekarang ia mengenal betul siapa
sebenarnya wanita yang bernama Suminten ini dan mengapa wanita ini dapat
mencapai kekuasaan di Kerajaan Jenggala. Banyak sudah ia mengenal
wanita yang secara suka rela atau paksaan menjadi kekasihnya, namun baru
sekali ini ia bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar dapat
mengimbangi keahliannya dalam bermain asmara.
Sebaliknya, Suminten juga mendapat kenyataan yang jauh melampaui
dugaannya, bahkan mendapatkan pengalaman yang jauh berada di luar batas
lamunannya. Mimpi pun belum pernah ia menemui pria yang seperti
Warutama, seorang yang sudah matang dan benar-benar merupakan seorang
ahli dalam menyenangkan perasaan dan hati wanita.
Mereka berdua seperti mabuk dan lupa diri, tenggelam dalam lautan nafsu
yang memabukkan dan barulah Patih Warutama sadar dan tergesa-gesa
meninggalkan kamar itu ketika keesokan harinya, seorang abdi kepercayaan
secara terpaksa mengetuk pintu kamar karena khawatir kalau-kalau sang
prabu berkenan datang berkunjung di pagi hari itu.
Dengan adanya Patih Warutama, makin kuatlah kedudukan persekutuan yang
bercita-cita menguasai Jenggala ini, dan makin berkembanglah sayap
persekutuan ini, makin jauh kuku-kukunya mencengkeram Jenggala. Sang
prabu yang makin lemah sudah menyerahkan seluruh kepercayaannya kepada
Suminten yang tak kunjung gagal menina-bobokkan raja tua itu di malam
hari, kepada Pangeran Kukutan yang selalu pandai mencari muka sebagai
seorang putera mahkota yang penuh hormat, taat, dan berbakti, dan kepada
Patih Warutama yang sikapnya tenang, pribadinya berwibawa, dan
pendapat-pendapatnya jitu itu.....
Komentar
Posting Komentar