PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-51


Permaisuri ini merasa kehilangan tangan kanannya pada waktu Ki Benggalaenggala sekeluarga dibasmi. Diam-diam ia menangis di dalam kamarnya dan di dalam hatinya ia maklum bahwa gilirannya akan tiba kalau dia tidak cepat-cepat bertindak.
Dia tahu benar bahwa yang menjadi biang keladi dari pembasmian keluarga Ki Patih Brotomenggala tentulah Suminten dan Pangeran Kukutan.
Tentu saja sang permaisuri tidak tahu bagaimana caranya, hanya tahu bahwa Suminten dan Pangeran Kukutan merupakan persekutuan yang ingin merebut kekuasaan dengan cara mempengaruhi dan menundukkan sri baginda, suaminya.
Permaisuri ini tidaklah gelisah mengkhawatirkan keselamatan dirinya pribadi, sama sekali tidak. Dia sudah tua, dan pula di dalam tubuhnya mengalir darah ksatria utama. Yang dia khawatirkan adalah keadaan suaminya, dan terutama sekali keadaan kerajaan.
Dapat ia membayangkan betapa Jenggala akan hancur dan akan cemar kalau kelak dirajai oleh seorang macam Pangeran Kukutan yang ia tahu benar adalah seorang muda yang suka mengganggu anak isteri orang lain, berhati palsu, pandai bermuka-muka, dan terutama sekali, menjadi kekasih dan sekutu Suminten.
Namun, apakah yang dapat dilakukan oleh seorang wanita tua yang lemah? Memang, ada beberapa orang ponggawa tinggi yang selalu setia kepadanya, akan tetapi dlbandingkan dengan kekuasaan Suminten dan Pangeran Kukutan di waktu ini, apa lagi dibantu oleh patih yang baru, maka ia sama sekali tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Sang permaisuri hanya berdoa setiap hari sambil menanti kesempatan baik untuk menjatuhkan pukulan untuk menghancurkan Suminten dan sekutunya…..
********************
Gadis itu menangis tersedu-sedu sambil melangkah terhuyung-huyung di dalam hutan yang gelap. Malam telah tiba, namun dia dipaksa berjalan terus oleh temannya, seorang laki-laki tua yang membawa obor di tangan kanan, sedangkan tangan kiranya menggandeng lengan gadis itu.
Mulutnya mengeluarkan suara menghlbur, sungguh pun suaranya sendiri menggetar penuh keharuan dan hiburan itu tidak ada artinya sama sekali bagi gadis yang berjalan sambil tersedu-sedu menangis itu.
Gadis itu bukan lain adalah Widawati, gadis berusia sembilan belas tahun, cucu Ki Patih Brotomenggala.
Tubuhnya tinggi semampai, perawakannya sedang berisi, kulitnya hitam manis dan halus, gerak-geriknya serba luwes. Pada saat itu, pakaiannya kusut, sekusut rambutnya yang terurai. Ketika sinar obor di tangan laki-laki tua itu menerangi wajahnya, tampaklah wajah yang ayu menarik.
Wajah yang dapat diduga tentu biasanya cerah gemilang seperti sinar matahari pagi, dengan bentuk mulut yang selalu senyum, bibir yang selalu merekah, selalu siap untuk senyum dan tertawa, siap selalu untuk mengucapkan kata-kata halus lembut, menutupi deretan gigi yang tidak begitu rata namun putih bersih, dengan ketidakrataan yang bahkan menambah manis! Alisnya menjelirit hitam, di atas sepasang mata yang indah sinarnya karena pandang mata itu mengandung pengertian mendalam, mengandung kesabaran dan kasih sayang terhadap segala yang dipandangnya.
Gadis seperti yang muda-muda selalu datang kepadanya ini, kalau sedang berduka akan mengharukan hati setiap orang, kalau sedang gembira akan menyinari semua orang, dan kalau marah akan disangka pura-pura karena wajah seperti ini memang “tidak pantas” kalau dipakai marah. Wajah yang bulat telur dengan dagu kecil meruncing itu menyembunyikan usianya, membuat ia tampak jauh lebih muda dari pada usianya.
Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala ini adalah seorang gadis yang amat rajin mempelajari segala kepandaian puteri. Terkenal di kepatihan sebagai sebagai seorang gadis yang cerdik dan pandai, baik dalam olah kewanitaan, kesenian, dan kerajinan tangan, maupun dalam olah keprajuritan karena sebagai cucu Ki Patih Brotomenggala yang sakti, tentu saja ia tidak mau ketinggalan mempelajari seni bela diri yang gerakan-gerakannya mendekati seni tari itu.
Karena kecerdikannya, gadis ini amat disegani oleh para abdi, bahkan ariggauta keluarga untuk bertanya segala macam hal yang tidak dimengertinya. Widawati dengan tekun dan sabar memberi bimbingan kepada mereka sehingga tampaklah bakatnya sebagai seorang pendidik yang sabar.
Biasanya, jika mendapat kesempatan mengikuti ramandanya yang sebagai mantu ki patlh yang juga menjabat pangkat, yaitu sebagai petugas perairan untuk mengatur pengairan sawah ladang milik istana, seringkali keluar dan melakukan pemeriksaan, Widawati merasa amat gembira.
Dia seorang gadis pencinta alam dan sifatnya yang ramah dan riang itu pun sesuai dengan suasana alam terbuka. Melihat tanah merekah merah dan subur, melihat rumput hijau seperti permadani, melihat padi di sawah menguning emas dan bernyanyi tertiup angin, disinari matahari yang cerah, semua ini menciptakan watak yang ramah dan baik pada dirinya.
Widawati seorang gadis pencinta alam, seorang gadis pencinta sesama manusia, yang ramah-tamah, tidak suka menyakiti hati orang lain, dengan kecantikannya dan kesegaran yang wajar. Namun kini, biar pun ia melakukan perjalanan melalui hutan-hutan, di alam yang liar terbuka, ia sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Ia hanya menangis terus, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, pikirannya kalut, perasaannya hancur, mulutnya merintih-rintih menyebut nama ayah bundanya, kakek nenek, dan saudara-saudaranya yang kesemuanya terbasmi habis oleh sri bagirida dengan tuduhan berkhianat. Sepasang mata yang biasanya jernih dan berseri penuh kasih dan pengertian itu kini menjadi merah dan membendul oleh tangis.
Kakek itu adalah Ki Mitra, seorang juru taman, abdi keluarga pelatih tarian. Hanya juru taman ini sajalah yang dapat mengantar Widawati lolos dari kerajaan dengan aman, karena seorang abdi tidak akan kentara kalau pergi meninggalkan ramah.
Memang ini merupakan siasat para ponggawa tua yang masih setia kepada Ki Patih Brotomenggala yang cepat-cepat turun tangan mengatur kebebasan Widawati begitu mendengar bahwa gadis ini kebetulan saja lolos dari pada cengkeraman maut.
Memang dugaan mereka benar karena tidak lama kemudian setelah Widawati melarikan diri diantar juru taman, datang orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan mencari gadis itu di rumah pelatih tarian. Biar pun diberi tahu bahwa gadis itu tidak berada di situ dan sudah pulang, namun pasukan pengawal ini tidak percaya dan tetap melakukan penggeledahan sehingga andai kata Widawati bersembunyi di dalam gedung itu, pasti akan tertangkap.
Pula, para pengawal ini meneliti apakah penghuni rumah pelatih tari-tarian itu masih lengkap, dan baru mereka meninggalkan rumah itu setelah mendapat kenyataan bahwa tidak ada seorang pun di antara keluarga guru tari itu meninggalkan rumah. Tentu saja mereka ini tidak peduli dan tidak menyelidiki apakah seorang juru taman ada atau tidak!
Dengan bantuan para ponggawa tua, akhirnya Ki Mitra si juru taman bersama Widawati, berhasil lolos keluar dari istana melalui pintu gerbang bagian selatan.
Ki Mitra yang juga merupakan seorang yang biar pun hanya berpangkat juru taman namun dapat melihat kemaksiatan merajalela di dalam kerajaan, dengan taruhan nyawa sendiri membawa gadis cucu ki patih itu terus melakukan perjalanan ke selatan, tidak pernah benhenti karena takut kalau-kalau ada pengejaran dari istana.
Widawati adalah seorang gadis yang terlatih, kalau hanya berjalan kaki sampai jauh saja ia cukup kuat. Akan tetapi, melakukan perjalanan terus-menerus tanpa henti dan dengan hati hancur, benar-benar. amatlah sengsara. Baiknya di situ ada Ki Mitra yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya, menggugah semangatnya sehingga ia dapat bertahan dan malam hari itu, dengan penerangan obor yang dinyalakan Ki Mitra, mereka berjalan terus menyusup-nyusup hutan liar.
“Aduh, Ki Mitra... hendak kau bawa ke manakah aku ini? Ah, mengapa mereka tidak membiarkan aku mati bersama keluargaku agar aku terbebas dari-pada segala derita...’
Widawati berhenti dan menyandarkan diri di batang pohon. Tubuhnya gemetar, wajah yang pucat itu penuh peluh, dadanya bergelombang, kedua, tangan membelai leher sendiri seakan-akan hendak mencekik leher sendiri, kedua matanya dipejamkan dan air matanya menitik turun melalui kedua pipinya.
Ki Mitra membetulkan obornya yang hampir padam. Setelah obornya bernyala baik kembali, ia menoleh kepada gadis itu. Hatinya penuh keharuan dan ia berkata,
“Den-ajeng, hendaknya tenang dan jangan berpendirian seperti itu. Keluarga Paduka tewas karena fitnah, sama halnya dengan dibunuh. Paduka tidak boleh bersikap lemah. Ingat bahwa Paduka adalah keturunan gusti patih yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Keluarga Paduka difitnah dan dibunuh orang, hanya Paduka yang dapat lolos, ini berarti bahwa kelak ada orang yang dapat membalaskan segala dendam sakit hati ini. Marilah, Den-ajeng, saya diberi kepercayaan dan tugas oleh para gusti yang menjadi sahabat keluarga Paduka untuk menyelamatkan Paduka, agar jauh dari jangkauan tangan iblis-iblis bermuka manusia itu.”
“Ke mana? Ke mana engkau hendak membawaku?”
Widawati menyusut air matanya, semangatnya mulai bangkit karena panas oleh ucapan Ki Mitre yang mengingatkannya akan semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Dengan tangan terkepal ia teringat kepada Pangeran Kukutan yang sudah beberapa kali berusaha untuk menggodanya, namun yang selalu ia tolak dengan tegas karena biar pun Pangeran Kukutan itu seorang muda belia yang tampan gagah, namun ia dapat mengenal moralnya yang bejat.
Dari penuturan Ki Mitra di sepanjang jalan, ia tahu bahwa yang menjatuhkan fitnah, entah bagaimana caranya sehingga terdapat bukti-bukti bahwa kakeknya melakukan khianat terhadap raja, adalah Pangeran Kukutan dan Suminten, wanita cantik selir raja yang amat dibencinya karena ia sudah banyak mendengar tentang sifat rendah hina wanita itu.
“Menurut pesan para sahabat keluarga Paduka, kakek Paduka gusti patih mempunyai dua belas orang pengawal kepercayaan yang secara aneh telah menghilang pada saat terjadinya penangkapan keluarga Paduka. Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang gagah per kasa dan saya hanya mengenal dan tahu tempat tinggal seorang di antara mereka yang bernama Wiraman. Ki Wiraman ini berasal dari dusun Suko, dekat desa tempat asal saya, di selatan. Ke sanalah saya hendak membawa Paduka, mencari Ki Wiraman dan selanjutnya menyerahkan Paduka kepadanya. Karena hanya seorang yang memiliki kesaktian dan sudah terpercaya penuh seperti dua belas orang pengawal itu sajalah yang akan mampu menyelamatkan paduka, tidak seperti saya ini, seorang juru taman yang lemah.”
Perjalanan dilanjutkan dan dengan bekal dendam sakit hati terhadap musuh-musuh yang membasmi keluarganya, Widawati menderita kesengsaraan perjalanan tanpa mengeluh lagi. Selama sepekan ia mengikuti Ki Mitra melakukan perjalanan menyusup-nyusup hutan, melalui dusun-dusun kecil, makan seadanya tidur di mana saja.
Akhirnya tibalah mereka di dusun Suko dan di sini pun mereka menjumpai bekas tangan musuh-musuh kepatihan. Ternyata bahwa dusun ini pun diobrak-abrik oleh pasukan pengawal kerajaan karena pasukan ini terlambat datang mencari keluarga Wiraman yang telah lolos sehari sebelum pasukan pengawal datang.
Banyak penduduk dusun Suko disiksa, ada beberapa orang malah dibunuh karena mereka tidak dapat memberitahukan ke mana perginya Wiraman dan keluarganya!
Apakah sesungguhnya yang terjadi? Wiraman adalah seorang di antara dua belas orang pengawal kepercayaan Ki Patih Brotomenggala yang dapat lobos dengan luka-luka di tubuhnya ketika dua belas orang pengawal ini berusaha melindungi sang prabu di dalam hutan.
Seperti telah diceritakan, di bagian depan ketlka peristiwa penghadangan rombongan sang prabu diserbu gerombolan gundul di hutan dan ketika para pengawal sri baginda terdesak oleh gerombolan itu, dua belas orang pengawal pilihan yang secara sembunyi mengawal, lalu muncul dan mengamuk. Akan tetapi mereka ini disambut oleh tiga orang yang sakti mandraguna, yaitu Warutama, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro sehingga sebelas orang di antara mereka tewas dan hanya Wiraman saja yang berhasil melarikan diri.
Ki Wiraman ini langsung menuju ke kepatihan, akan tetapi karena ia terluka dan hanya dapat melakukan perjalanan lambat-lambat, ia datang terlambat karena keluarga kepatihan sudah ditangkap semua! Dapat dibayangkan betapa kaget dan duka hati ksatria ini. Ia maklum bahwa keselamatan keluarganya sendiri pun terancam, maka dengan menahan nyeri di dadanya akibat luka pukulan, ia memaksa diri pulang ke dusunnya di Suko dan cepat-cepat ia membawa keluarganya pergi dari dusun itu, bersembunyi di daerah liar di pantai laut kidul.
Untung ia berlaku cepat, karena Pangeran Kukutan yang kemudian mendengar akan dua belas orang pengawal rahasia ini, cepat-cepat mengerahkan pasukan pengawal mencari keluarga dua belas orang itu dan menangkap mereka semua! Hanya sehari setelah ia membawa keluarganya lari dari Suko, datanglah sepasukan pengawal ke dusun itu dan mengobrak-abrik dusun Suko.
Mendengar berita ini, Ki Mitra maklum bahwa amatlah tidak aman bagi Widawati untuk berdiam di dusun Suko, maka terpaksa ia mengajak gadis itu pergi meninggalkan Suko, untuk ia ajak ke dusunnya sendiri di mana tanggal keluarga adik kandungnya yang hidup sebagai petani di situ. Memang dia berasal dari dusun ini, dan ia bermaksud menitipkan Widawati pada keluarga adiknya untuk sementara waktu sehingga ia akan lebih mudah pergi menyusul dan mencari Wiraman yang telah melarikan diri.
Menjelang senja mereka telah melewati gunung karang terakhir dari pegunungan yang berderet-deret dari barat ke timur seolah-olah menjadi tanggul pembendung ancaman Laut Selatan. Widawati sudah lelah sekali, dan baru sekarang ia mengeluh,
“Ki Mitra..., masih jauhkah dusunmu? Aku ingin sekali beristirahat dan berpikir...”
“Sudah dekat, Den-ajeng, itu di depan... eh, hati-hatilah, di depan ada orang!”
Widawati cepat menundukkan mukanya. Pakaiannya sudah kusut dan kotor, juga kakinya penuh lumpur dan debu sehingga ia tidak banyak bedanya dengan gadis-gadis dusun biasa, apa lagi karena telah melepaskan semua perhiasan emas permata dari tubuhnya dan menyimpannya di dalam kemben.
Hanya menurut nasehat Ki Mitra, ia harus selalu menyembunyikan mukanya karena wajahnya terlalu cantik untuk mengaku seorang gadis dusun. Maka kini otomatis ia menundukkan mukanya agar orang yang disebut oleh Ki Mitra itu tidak akan melihat wajahnya apa bila mereka bersilang jalan.
Ketika orang yang datang dari depan dan jalannya berindap-indap menyusuri tepi sawah itu telah datang dekat, Ki Mitra berseru, suaranya girang sekali, Ah, Denmas Wiraman...?” Ki Mitra tertegun memandang. “Bukankan andika... Denmas Wiraman...?”
Mendengar sebutan nama ini, Widawati mengangkat muka memandang. Pria itu bertubuh sedang dan tegap, terbayang kekuatan di balik kulit lengan dan dadanya yang bidang. Usianya empat puluh tahunan, dengan pandang mata tajam dan wajahnya yang tampan membayangkan derita hidup yang diterimanya penuh kesabaran. Sabar, kuat, penuh pengertian membayang pada wajah di bawah rambut yang sudah mulai terhias warna putih. Seorang pria yang gagah dan wajahnya mendatangkan kepercayaan.
Wiraman, pria itu, juga memandang penuh perhatian, dan hanya mengerling sebentar kepada Widawati, lalu perhatiannya tercurah kembali kepada Ki Mitra. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya kelihatan menderita kelelahan hebat. Akan tetapi pandang matanya bersinar dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal Ki Mitra.
“Kakang Mitra kalau aku tak salah duga?” tanyanya.
“Betul, saya adalah Ki Mitra! Ah, Denmas Wiraman, betapa susah payah saya mencari Andika...!” Dengan girang Ki Mitra memegang lengan tangan prla itu.
“Ada apakah? Engkau yang telah bekerja sebagai juru taman di kota raja, mengapa datang mencariku?”
“Denmas, ceritanya panjang sekali. Marilah Andika ikut bersama kami ke rumah adik saya di dusun itu, nanti saya ceritakan semua persoalan yang amat gawat dan penting...”
“Hemm..., boleh, marilah. Akan tetapi... siapakah nini yang ikut bersamamu ini?”
Ki Mitra menoleh ke kanan kiri sebelum menjawab, lalu berbisik, “Untuk dia inilah maka saya mencari Andika. Dia ini adalah satu-satunya cucu gusti patih yang berhasil lolos dari cengkeraman maut...”
“Ahhh... Ya Dewata Yang Maha Kasih! Paduka cucu gusti patih...? Aduhai puteri yang patut dikasihani betapa hebat penderitaan Paduka...!” Digerakkan oleh hati yang penuh iba Wiraman mendekati Widawati dengan pandang mata penuh perasaan.
Kedukaan yang sudah memenuhi hati gadis itu kini meluap. Pria ini adalah seorang kepercayaan kakeknya dan sikap yang amat baik itu membuatnya terharu sehingga ia pun lupa diri, melangkah maju dan membiarkan dirinya dirangkul, menangis di atas dada yang bidang itu.
Wiraman mengelus rambut yang kusut itu, hatinya seperti disayat-sayat pisau beracun.
“Duh para dewata yang agung, lindungilah kiranya puteri yang malang ini...“ bisiknya. Namun dia seorang satria yang segera dapat mengatasi keharuan hatinya. “Harap Paduka tenang dan teguh hati, menerima nasib seperti yang telah ditentukan para dewata. Manusia hanya sekedar menerima dan mengalami. Mari, mari kita pergi ke dusun dan di sana bicara panjang lebar dan menentukan langkah selanjutnya.”
Pergilah mereka bertiga ke dusun kecil yang menjadi kampung halaman Ki Mitra. Mereka disambut dengan penuh keheranan akan tetapi juga penuh kegirangan oleh keluarga adik kandung Ki Mitra. Terhadap adiknya, Ki Mitra memperkenalkan Wiraman sebagal seorang rekan kerja di kota raja, adapun Widawatt diperkenalkan sebagal adik misan Wiraman. Agar tidak menimbulkan keraguan, terpaksa Widawati menyebut “kakang” kepada Wiraman, sebaliknya Wiraman menyebutnya “nimas”.
Malam hari itu, mereka bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing. Hati Wiraman terharu sekali ketika ia mendengar betapa seluruh keluarga kepatihan musnah dibasmi oleh Pangeran Kukutan dan Suminten. Wajah satria ini menjadi merah, giginya berkerot dan kedua tangannya dikepal.
“Hem m... si bedebah Kukutan dan Suminten! Tentu saja sang prabu yang sudah sepuh dan kehilangan kewaspadaan karena mabuk nafsu itu tidak mengerti akan tipu muslihat mereka! Kalian tunggu saja! Di dunia ini, masih ada aku Wiraman yang tahu akan semua muslihat kalian!”
“Sebetulnya, rahasia apa yang tersembunyi di balik peristiwa itu, Kakang Wiraman?” tanya Widawati yang kini tidak merasa canggung lagi di hadapan pria itu, karena memang sikap Wiraman wajar dan sopan serta jujur terhadap dirinya.
Wiraman menghela, napas panjang, kemudian mulai bercerita,
“Ketika sang prabu pergi berburu, kami dua balas orang kepercayaan gusti patih mendapat tugas rahasia dari gusti patih untuk secara sembunyi melindungi keselamatan sang prabu. Kami melihat betapa rombongan sang prabu diserbu oleh gerombolan orang-orang gundul. Tentu saja kami segera menerjang keluar dari tempat persembunyian karena para pengawal kewalahan menghadapi serbuan liar mereka. Akan tetapi, tiba-tiba muncul tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga sebelas orang teman-temanku tewas semua, sedangkan aku sendiri terluka parah. Aku bersembunyi dan menyaksikan peristiwa hebat. Sang prabu, Pangeran Kukutan, dan wanita iblis Suminten itu ditangkap dan diancam hendak dibunuh sisa gerombolan gundul. Tiba-tiba muncul seorang pria yang mengaku bernama Raden Warutama yang membunuhi sisa gerombolan gundul, padahal aku mengenal dia itu sebagai seorang sakti yang tadinya membantu gerombolan gundul. Hemm...! Dan sekarang, Warutama itu menjadi seorang yang berjasa!”
“Kabarnya akan diangkat menjadi patih...!” kata Ki Mitra.
Wiraman memukulkan tinjunya di atas tanah lantai kamar kecil itu.
“Tentu saja! ini adalah hasil persekutuan mereka! Siasat yang busuk sekali untuk menonjolkan jasa Warutama dan untuk menjatuhkan fitnah kepada gusti patih! Keparat...! Kalau aku tidak dapat membalas kekejian ini, aku tidak akan sudi memakai nama Wiraman lagi!”
Suasana menjadi sunyi. Mereka bertiga tenggelam ke dalam lamunan masing-masing, merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa itu, ngeri mengingat tipu muslihat yang demikian keji dan busuknya. Kemudian kesunyian dipecahkan suara Ki Mitra,
“Sekarang,... bagaimana... selanjutnya harus diatur, Denmas? Tentang Den-ajeng Widawati ini...”
“Kakang Mitra lebih baik besok kembali ke kota raja agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kakang berjalan seperti biasa dan diam-diam memperhatikan keadaan dan perkembangan di dalam istana agar siap untuk memberi laporan kalau dibutuhkan. Sedangkan mengenai Diajeng Widawati, serahkan saja kepadaku. Akulah yang mulai detik ini bertanggung jawab atas keselamatannya. Aku sedang memikirkan. jalan terbaik untuk Diajeng Widawati.”
Widawati menyusut air matanya.
“Kakang Wiraman, karena membela mendiang Eyang Patih, engkau telah mengalami kesengsaraan. Bagaimana aku kini tega untuk menjadi beban tanggunganmu lagi? Aku akan memperberat hidupmu, akan membahayakan hidupmu; dan keluargamu masih amat membutuhkan perlindunganmu...”
“Keluargaku...?” Wiraman menghela napas panjang. “Jangan kau khawatir, Diajeng Widawati. Keluargaku telah kuungsikan dan mereka kini hidup sebagai petani-petani yang cukup aman tenteram. Bahkan sementara ini aku tidak berani mendekati mereka, karena keadaanku seperti sebuah penyakit menular, siapa yang kudekati berarti terancatn bahaya. Jenggala sedang mencari-cariku sebagai seorang yang berbahaya bag Pangeran Kukutan dan Suminten, juga bagi Patih Warutama, karena akulah satu-satunya orang yang mengetahui akan rahasia mereka. Aku bahkan harus menjauhkan diri dari keluargaku. Isteriku seorang bijaksana, dan aku tidak khawatir akan keadaan mereka. Juga engkau sendiri merupakan seorang buronan seperti aku, Diajeng. Engkau dicari karena engkau merupakan sisa musuh besar yang tentu akan membalas dendam. Keadaan kita berdua sama-sama sebagai buronan, maka tidak ada yang saling men jadi beban, tidak ada yang saling memberatkan. Asal saja engkau menaruh kepercayaan penuh kepadaku, demi para dewata, aku tidak akan membiarkan engkau tertimpa malapetaka, akan kubela dengan seluruh jiwa ragaku.”
Makin deras air mata Widawati mengalir dan di antara linangan air matanya ia memandang kepada pria yang begini baik terhadap dirinya. Seolah-olah ia mendapatkan pengganti orang tua dan keluarga dalam diri Wiraman. Mendapatkan seorang sahabat baik, seorang pelindung, seorang yang dapat ia sandari dalam kehidupan mendatang, yang boleh ia percaya sepenuhnya.
Pada keesokan harinya, mereka meninggalkan dusun itu sesuai rencana yang diatur oleh Wiraman. Ki Mitra kembali seorang diri ke kota raja setelah dilepas pergi oleh Widawati yang berkali-kali menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata. Kemudian Wiraman bersama gadis itu pergi meninggalkan dusun. Widawati kali ini tidak pernah bertanya ke mana mereka pergi, karena dia sudah menyerahkan seluruh keselamatan dirinya ke tangan pria ini, akan menurut saja ke mana dia dibawa pergi…..
********************
Permaisuri Jenggala seringkali duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya sambil meruntuhkan waspa (air mata). Semenjak terbasminya keluarga kepatihan, dia merasa sunyi dan duka, merasa betapa kini ia menghadapi lawan yang amat kuat tanpa kawan yang dapat ia andalkan.
Hatinya selalu perih kalau ia mengingat betapa kini seluruh istana telah dicehgkeram oleh Suminten, sedangkan seluruh kerajaan berada di telapak tangan Pangeran Kukutan dan Patih Warutama yang baru diangkat.
Betapa pun juga, sang prameswari tidak pernah putus harapan untuk menolong suaminya dari cengkeraman Suminten, terutama sekali mengingat bahwa usahanya menentang persekutuan mereka itu demi untuk menolong Kerajaan Jenggala dari pada keruntuhan.
Ia maklum bahwa diam-diam masih banyak sekali ponggawa dan para pangeran yang setia kepadanya, yang diam-diam membenci persekutuan busuk itu.
Dan permaisurl yang sabar dan tekun ini tidak pernah menghentikan usahanya memata-matai Suminten. Ia percaya bahwa akan tiba saatnya ia akan dapat menghancurkan Suminten melalui perbuatan Suminten sendiri yang ia tahu merupakan seorang wanita muda pengabdi nafsu berahi, seorang wanita muda yang hanya pada lahirnya saja mencinta dan setia kepada sang prabu, akan tetapi sesungguhnya merupakan seorang wanita yang bermoral bejat, yang setiap malam berganti pacar untuk melayani nafsu berahinya.
Hanya sukarnya, Suminten amat pandai menjaga diri. Kamarnya selalu dikepung ketat oleh para pengawal penjaganya, juga para abdi dalem yang melayaninya adalah orang-orang kepercayaannya sendiri sehingga sukarlah bagi sang permaisuri untuk “menerobos” pertahanan penjagaan yang ketat itu.
Namun, sang permaisuri yang sabar dan tekun ini tak pernah menyerah kalah. Setiap malam ia berdoa mohon bantuan dewata, dan diam-diam ia selalu memasang mata-mata yang berupa emban-emban tua yang setia untuk mengawasi gerak-gerik di keputren di mana Suminten tinggal dalam bangunan-bangunan dan taman yang amat mewah.
Dan pada malam hari itu agaknya doa yang selalu ia panjatkan terkabul, karena tiba-tiba masuklah seorang emban dengan tergesa-gesa, bersembah sujud di depan sang permaisuri sambil berbisik,
“Duh Gusti, tibalah saatnya kini yang telah dinanti-nanti oleh Paduka Gusti. Ibis betina itu kini berada di pesanggrahan di taman sari, agaknya menanti kekasihnya. Dan pintu tembusan ke taman sari tidak terjaga, sehingga Paduka dapat masuk ke taman sari bersama hamba. Mudah-mudahan sekali ini paduka dapat menarigkap basah si iblis betina, itu.”
Wajah yang tua dan masih membayangkan kecantikan itu, yang selama ini keruh, tiba-tiba berseri. Sejenak sang permaisuri memejamkan mata dan menengadahkan muka, seolah-olah menghaturkan terima kasih kepada para dewata. Kemudian dengan cepat namun tenang ia bangkit, lalu membiarkan dirinya digandeng oleh emban keperdayaannya itu, keluar dari kamar memasuki taman sari.
Taman sari milik sang permaisuri ini bersambung dengan taman sari milk Suminten, hanya dibatasi pagar tinggi. Biasanya, pintu tembusan antara kedua taman itu dijaga oleh pengawal kepercayaan Suminten dan ditutup. Akan tetapi malam ini tidak ada pengawal menjaga dan daun pintunya tidak dipalang sehingga mudahlah sang permaisuri bersama emban memasukinya.
Kedua kaki sang permaisuri menggigil karena hatinya tegang. Kalau saja tidak mengingat keselamatan raja dan kerajaan, tentu ia tidak sudi bertindak sebagai maling dan pengintai macam ini. Berindap-indap mereka menghampiri pesanggrahan bercat merah yang mungil di dalam taman sari Suminten itu.
Malam itu gelap, dan hal ini menguntungkan sang permaisuri yang dapat menghampiri pondok kecil mungil bercat merah itu sampai dekat sekali. Emban kepercayaannya member! isyarat agar sang permaisuri tidak mengeluarkan suara sambil menunjuk ke arah jendela kecil yang bertirai sutera merah. Mereka berdua lalu berindap-indap menghampiri jendela, di mana emban kepercayaannya itu mengintai ke dalam.
Sang permaisuri juga mengintai dan melihat bahwa Suminten sedang duduk seorang diri dii dalam kamar itu, termenung. Melihat wajah cantik madunya ini, hati wanita tua itu menjadi panas. Sesungguhnya dia bukanlah seorang wanita pencemburu, bukan wanita yang berhati sesempit itu. Kalau melihat madunya yang lain, betapa pun sang prabu mencinta madu itu, dia tidak akan menjadi panas hatinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar