PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-53
Dahulu dia hanyalah seorang perwira kecil di Jenggala, dan karena dia
bermain cinta dengan seorang puteri dari selir raja, dia terpaksa
melarikan diri agar tidak dihukum mati.
Dan setelah berkali-kali gagal dalam usahanya mengejar kemuliaan, gagal
di Blambangan dan merantau terlunta-lunta di Bali, kini dia berhasil
menjadi Patih Jenggala!
Ki Patih Warutama yang dahulunya bernama Raden Sindupati ini adalah
seorang pria yang tampan dan gagah, namun sayang ketampanan dan
kegagahannya itu hanya menjadi pulasan belaka, hanya setebal kulitnya.
Hati dan pikirannya selalu kotor dan menjadi hamba dari pada
nafsu-nafsunya sendiri, terutama sekali nafsu berahi yang membuat dia
menjadi seorang pria yang gila wanita.
Setelah kini kedudukannya kokoh kuat, la mulai membujuk Suminten dan
Pangeran Kukutan untuk mulai mengadakan kontak dengan fihak Sriwljaya
dan Cola yang wakil-wakilnya memang sudah banyak yang menyelundup ke
Jenggala.
Mulailah kini Ki Patih Warutama mengangkat pembantu-pembantu yang
sesungguhnya adalah anak buah Sang Wasi Bagaspati dan Sang Biku
Janapati! Mulailah pengaruh kedua kerajaan itu menyusup ke Jenggala.
Bukan hanya ini saja usaha yang dilakukan oleh KI Patih Warutama. Juga
kedudukan dan kemuliaannya membuat penyakit lama dalam dirinya kambuh,
yaitu mengejar wanita-wanita cantik! Dan di Jenggala adalah kedungnya
wanita-wanita cantik!
Dengan ketampanan wajahnya, ditambah kedudukannya sebagai patih,
diperkuat pula oleh kesaktiannya, akan mudah sekali bagi Warutama untuk
mencari perawan, janda, atau isteri orang untuk diambilnya. Mulailah
pria ini berpesta-pora, pesta palsu, dan ia seolah-olah berlomba dengan
Suminten.
Suminten adalah seorang wanita yang gila pria yang selalu haus dan tak
terpadamkan, tak pernah puas nafsu berahinya, sehingga setiap malam dia
harus ditemani seorang pria, ganti-berganti bahkan hampir setiap malam
berganti pria.
Demikian pulalah dengan Warutama. Setelah kini kedudukannya mencapai
tingkat tinggi dan kokoh kuat, ia tidak menyembunyikan sifatnya ini dan
menyaingi Suminten dalam hal mengumbar nafsunya, berganti-ganti wanita
setiap malam, entah puteri siapa, entah isteri siapa asalkan cantik
jelita dan sesuai dengan seleranya!
Ketika teringat akan bekas kekasihnya dan mengadakan penyelidikan, ia
mendengar bahwa puteri yang dahulu menjadi kekasihnya, yaitu puteri raja
dari selir yang bernama Wulandari telah menjadi isteri seorang
tumenggung, dia menjadI penasaran sekali dan hatinya takkan dapat merasa
puas dan tenteram sebelum ia berhasil mendapatkan kembali kekasihnya
yang dahulu dipaksa berpisah darinya itu.
Dia tidak peduli akan kenyataan bahwa menurut penyelidikannya, suami
Wulandari itu, yang bernama Tumenggung Matunggal adalah seorang
tumenggung yang menjadi kaki tangan Pangeran Kukutan pula, jadi
merupakan “anak buah”, dan tidak peduli pula bahwa suami isteri itu
telah mempunyai seorang anak perempuan yang kini sudah menjadi seorang
gadis dewasa!
Mulailah ki patih merenung dengan hati penuh kerinduan kepada bekas
kekasihnya dahulu, padahal iapun mengetahui bahwa, kekasihnya itu,
Wulandari yang dahulu amat cantik jelita, kenes dan kewes memikat, kini
sedikitnya tentu sudah berusia empat puluh tahun!
Makin rindu rasa hatinya kalau ia mengenang peristiwa di masa yang lalu.
Wulandari mencinta dirinya, menyerahkan jiwa raga kepadanya dan ketika
hubungan gelap mereka ketahuan, terpaksa ia melarikan diri. Tadinya
dikabarkan orang bahwa Wulandari telah membunuh diri. Baru sekarang ia
ketahui bahwa hal itu hanya disiarkan untuk menjaga nama dan kehormatan
keluarga raja, padahal diam-diam gadis bekas kekasihnya itu dikawinkan
dengan Tumenggung Matunggal.
Apa lagi setelah ia melakukan penyelidikan dan berhasil melihat bekas
kekasihnya itu, rindu dendam dan berahinya makin memuncak. Bukan saja
terhadap kekasihnya yang ternyata masih cantik jelita, bahkan lebih
“matang” dari pada duapuluh tahun lebih yang lalu, melainkan juga
terhadap Dyah Handini, puteri bekas kekasihnya itu yang kini telah
menjadi seorang perawan jelita! Dan mulailah otaknya yang cerdik seperti
setan itu merencanakan siasatnya yang keji…..
********************
Ki Tumenggung Matunggal merasa girang dan bangga sekali ketika ia
diserahi tugas oleh Ki Patih Warutama untuk melakukan peninjauan ke
Nusabarung dan terus ke Blambangan, dua kadipaten yang telah ditaklukkan
oleh Jenggala. Baik Nusabarung (baca Badai Laut Selatan) maupun
Belambangan dahulu dapat diserbu dan ditaklukkan berkat kesaktian Endang
Patibroto.
Setiap orang pembesar tentu akan merasa girang dan bangga kalau menjadi
utusan atau wakil kerajaan menInjau daerah taklukan, girang karena
biasanya daerah taklukan tentu akan mellmpahkan hadiah-hadiah dan tanda
bukti yang akan membuatnya pulang dengan harta benda bertumpuk, dan
bangga karena tugas ini membuktikan bahwa dia adalah orang yang
dipercaya oleh kerajaan!
Dengan hati bangga dan besar Ki Tumenggung Matunggal berangkat beserta
pasukannya setelah berpamit dari isterinya, puterinya, dan
selir-selirnya.
Sama sekali ki tumenggung ini tidak pernah mimpi bahwa kepergiannya yang
takkan pernah kembali, dan bahwa perpisahannya dengan keluarganya
adalah perpisahan terakhir!
Mengapa demikian? Karena semua ini adalah siasat keji yang dilakukan
oleh Patih Warutama yang bertekad bulat untuk mendapatkan kembali bekas
kekasihnya, Wulandari yang telah menjadi nyi tumenggung itu, mendapatkan
kembali Wulandari berikut puterinya, Dyah Handini.
Dan untuk mencapai niat hati keji ini, Patih Warutama tidak segan untuk
melakukan hal yang bagaimana kejamnya pun. Tumenggung Matunggal harus
dilenyapkan! Demikianlah siasat yang amat busuk dan yang hanya timbul
dalam hati seorang manusia yang sudah menjadi hamba nafsu dan menjadi
murid iblis!
Sungguh patut dikasihani orang-orang seperti Ki Tumenggung Matunggal
ini. Seorang manusia pengejar kemuliaan dan kedudukan dengan -cara apa
pun juga, tidak segan untuk menjilat-jilat atasannya, rela menjadi kaki
tangan Pangeran Kukutan dan mengkhianati kerajaan, sama sekali tidak
tahu bahwa sebetulnya ia hanya dipergunakan sebagai alat oleh fihak
atasan yang dalam hal mengejar kesenangan pribadi jauh melebihinya,
dalam kekejaman jauh 'melewatinya.
Tidak sadar bahwa dia hanya dipermainkan, dipuji-puji dan diberi hadiah
apa bila masih diperlukan, tetapi sekali fihak atasannya tidak
memerlukannya lagi, dia akan dilempar dan dibunuh begitu saja! Dan
alangkah banyaknya manusia-manusia macam Tumenggung Matunggal ini, yang
tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai kesetiaan.
Kepergiannya melaksanakan tugas meninjau ke daerah-daerah taklukan,
diakhiri dengan kematian dalam perjalanan karena diracun oleh
pengawalnya sendiri, sudah tentu saja pengawal yang menjalankan perintah
Ki Patih Warutama.
Adapun racun yang dipergunakan adalah racun yang diminta oleh Ki Patih
Warutama dari Ni Dewi Nilamanik, racun yang amat hebat dan tidak dikenal
orang sehingga kematian Tumenggung Matunggal dianggap sebagai kematian
wajar, kematian karena sang tumenggung diserang penyakit mendadak di
dalam perjalanannya.
Malam hari itu nyi tumenggung atau yang dahulunya bernama Wulandari,
puteri dari selir sang prabu, menangis di dalam kamarnya, menangisi
kematian suaminya.
Sesungguhnya ia tidak mencintai suami ini, suami yang dijodohkan dengan
dia secara paksaan. Akan tetapi karena suaminya itu selalu baik
terhadapnya, maka kematiannya yang mendadak dalam perjalanan itu
membuatnya berduka juga.
Dan menjelang tengah malam, ketika nyi tumenggung yang berduka ini sudah
hampir dapat melupakan dukanya dengan tidur, tiba-tiba jendela kamarnya
terbuka dari luar dan sesosok bayangan berkelebat masuk ke kamar itu.
Wulandarl terkejut dan sejenak berdiri bulu tengkuknya, mengira bahwa
roh suaminya yang datang melayang masuk dari jendela itu. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa pria tampan dan gagah yang
berdiri di kamarnya, yang memandangnya dengan senyum membayang di balik
kumis tipis dan pandang mata mesra, adalah Ki Patih Warutama!
Baru satu kali Wulandari melihat patih yang baru ini, yang sekali itu
pun hanya sepintas lalu, akan tetapi ia telah mengenal ki patih ini
karena wajah ki patih mengingatkan dia akan seorang yang pernah
dikenalnya baik-baik, akan wajah Raden Sindupati, bekas kekasihnya
belasan tahun yang lalu!
Mengapa Ki Patih Warutama memasuki kamarnya? Dan pada waktu malam buta
dengan melalui jendela seperti seorang maling? Jantung Wulandari
berdebar keras, wajahnya menjadi pucat dan kalau saja ia tidak melihat
jelas bahwa ki patihlah orang ini, tentu ia telah menjerit. Kini dengan
tubuh gemetar ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata dengan suara
penuh teguran, namun halus,
“Gusti Patih... mengapa Paduka...?”
“Wulandari, jangan takut, bintang pujaanku...“ kata Warutama sambil melangkah maju, mendekat.
Wulandari membelalakkan kedua matanya. Ia mengangkat muka dan memandang
dengan mata terbelalak, muka makin pucat. Nama kecilnya disebut begitu
saja oleh ki patih, padahal di dalam dunia ini hanya satu orang saja
yang menyebutnya dengan ucapan mesra “bintang pujaan.”
“Paduka... Paduka...“ ia menggagap kebingungan.
Namun kedua tangan ki patih yang kuat itu sudah memegang pundaknya dan
mengangkat nya berdiri. Muka mereka berdekatan, dua pasang mata
berpandangan, dan terdengar bisikan keluar dari mulut yang menggigil.
“Paduka Gusti Patih Warutama...”
Warutama tersenyum. “Benar, aku Ki Patih Warutama...”
“Kenapa Paduka masuk kamar ini...? Di tengah malam melalui jendela?
Apakah... apakah kehendak Paduka?” Wulandari sudah dapat menguasai
hatinya dan merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ki patih.
“Apa salahnya? Aku datang untuk menghiburmu, karena aku merasa kasihan kepada keluarga Tumenggung Matunggal yang sudah berjasa.”
“Akan tetapi... ah, Paduka harus cepat keluar dari sini...”
Kembali lengan ki patih bergerak dan tanpa dapat mengelak lagi Wulandari
sudah dipeluknya dan dipaksanya muka yang masih cantik itu menengadah
sehingga mereka kembali saling memandang, muka mereka amat dekat.
“Wulandari, bintang pujaanku... tidakkah engkau mengenal aku, Diajeng?
Pangling orangnya masa pangling suaranya? Andai kata engkau pangling
rupa dan suara, apakah engkau sudah melupakan ini?” Sambil berkata
demikian, Ki Patih Warutama atau yang dahulu bernama Raden Sindupati itu
menundukkan mukanya lalu mencium leher Wulandari di bawah telinga kini.
Ciuman yang khas, seperti yang ia lakukan dahulu kalau dia bermain
cinta dengan bekas kekasihnya ini, bibirnya mengecup kulit kuning
langsat yang halus itu dan giginya menggigit...
“Aaggghhhh... engkau... engkau benar Kakangmas Sindupati...”
Wulandari berkata lirih dan mereka kembali berpandangan.
“Engkau mengenalku kini, Diajeng. Akan tetapi Sindupati sudah tidak ada
nama itu sudah dikubur. Aku Ki Patih Warutama. Sindupati lenyap namun
cinta kasihku kepadamu tak pernah lenyap Diajeng bintang pujaanku...”
Warutama lalu mencium mulut yang terbuka karena tercengang keheranan
itu, mencium mata yang memandangnya penuh takjub karena memang wajah
pria ini sudah amat berubah. Wulandari mula terengah-engah dan berkata
seperti merintih,
“Akan tetapi... Kakangmas...aku... aku sudah menjadi isteri...”
Kembali Warutama mencium dan membungkam mulut itu sehingga Wulandari tidak dapat melanjutkan kata-kata nya.
“Bukan, engkau kini sudah menjadi seorang janda, Wulandari kekasihku.”
“...tetapi... aku... suda tua, Kakangmas...”
Kembali bibir Warutama sudah menghentikan kata-katanya. Ki patih ini
menciumi kekasih lama ini dengan penuh kemesraan, menumpahkan semua
kerinduannya selama ini sehingga Wulandari menggigil dibuatnya. Wanita
ini memejamkan matanya dan belaian serta ciuman kekasihnya yang tak
pernah dilupakannya ini membuat semua bulu di tubuhnya meremang.
“Engkau tidak pernah tua bagiku, Diajeng. Engkau akan kuboyong ke
kepatihan bersama puterimu, engkau akan hidup bahagia di sampingku, akan
kutebus semua penderitaan yang kita alami selama berpisah, kita takkan
berpisah lagi, Diajeng...”
“Kakangmas Sindupati...”
“Hushh, namaku Warutama...”
“Kakangmas Warutama, betapa mungkin itu? Apa yang akan dikatakan orang
kalau kami diboyong ke kepatihan? Suami... suamiku baru saja
meninggal... dan...”
Kembali bibir Warutama yang tiada puasnya itu sudah menghentikan
kata-katanya, menciuminya dengan penuh kemesraan sehingga naik
sedu-sedan dari dalam dada Wulandari, membuat napasnya sesak, kepalanya
pening seperti, orang mabuk.
“Tidak mengapa, Diajeng. Mendiang suamimu seorang berjasa, sudah
sepatutnya kalau keluarganya menerima penghargaan dariku. Engkau menurut
sajalah aku yang akan mengatur segalanya, aku yang bertanggung jawab.”
“Tapi... tapi...”
Hanya sampai di situ saja bantahan yang keluar dari mulut Wulandari
karena ciuman-ciuman dan belaian-belaian disertai suara bujuk rayu bekas
kekasihnya telah membuai seluruh tubuhnya menjadi lemas, napasnya
terengah-engah dan membuat dia seperti mabuk, tidak lagi sadar apa yang
dilakukannya melainkan tunduk akan kekuasaan nafsu yang sudah
mencengkeramnya.
Bahkan ketika Ki Patih Warutama memondongnya menuju ke pembaringan,
dengan sepasang mata dipejamkan dan mulut merintih tak tentu apa yang
diucapkannya, Wulandari melingkarkan kedua lengannya ke leher bekas
kekasihnya, seperti dua puluh tahunan yang lalu.
Peristiwa pemboyongan nyi tumenggung dan puterinya ke kepatihan tentu
akan menimbulkan geger kalau saja yang melakukan pemboyongan itu adalah
“orang kecil” atau ponggawa yang kedudukannya masih rendah. Perbuatan
tidak wajar, apa lagi melanggar hukum, dari ‘orang kecil’ tentu akan
mencelakakan pembuatnya sendiri.
Akan tetapi, siapakah yang berani mencela atau menghalangi perbuatan
“orang besar” seperti Ki Patih Warutama? Tidak dahulu tidak sekarang,
orang yang berkedudukan tinggi dan memiliki kekuasaan, dapat berbuat
seenak perutnya sendiri tanpa ada orang yang berani mengganggu, karena
bukankah “hukum” berada mutlak di dalam telapak tangannya? Semenjak
dahulu sampai kini, hukum yang dibuat manusia ternyata gagal untuk
melindungi manusia-manusia yang termasuk golongan kecil, dan pada
hakekatnya merupakan cara untuk menekan si kecil dan sebaliknya
melindungi si besar.
Pemboyongan ibu yang baru saja menjadi janda bersama puterinya ke
kepatihan tentu saja menimbulkan keheranan dan pelbagail dugaan, namun
semua ini dapat ditutup oleh alasan ki patih bahwa hal ini dilakukan
oleh ki patih mengingat akan jasa Tumenggung Matunggal yang tewas dalam
melakukan tugas.
Maka habislah urusan itu, bahkan ki patih dipuji-puji sebagai seorang
atasan yang pandai menghargai jasa bawahannya, dan bahwa ki patih adalah
seorang baik hati yang menaruh kasihan kepada ibu dan puterinya itu.
Namun, sesungguhnya bukan sesederhana ini persoalannya dan hal ini hanya
Wulandari yang mengetahuinya. Mula-mula janda ini merasa berbahagia
sekali karena dia telah dapat berkumpul kembali dengan kekasih lama,
bahkan dapat melanjutkan cinta kasih mereka yang dahulu diputus dengan
paksa.
Mula-mula Wulandari terlena dalam kenikmatan cinta, terbuai oleh bujuk
rayu dan cinta asmara yang dilimpahkan oleh Ki Patih Warutama. Akan
tetapi, ketika pada suatu malam ki patih menyatakan bahwa ki patih
hendak mengambil puterinya, Dyah Handini, menjadi isteri ki pitih, ia
terkejut sekali seperti disambar halilintar di malam terang bulan!
“Ahhh, Kakangmas...! Betapa mungkin? Tidak bisa... tidak boleh Handini menjadi isterimu...”
Ki Patih Warutama merangkulnya, memeluk dan membelainya sambil tersenyum.
“Mengapa tidak, Wulandari? Dia akan menjadi isteriku, dan kita bertiga
akan dapat berkumpul terus sampai selamanya! Bukankah hal ini
membahagiakan kita bertiga?”
“Tidak boleh... ah, Kakangmas, tidak boleh...“ Wulandari menangis.
Warutama mengerutkan alisnya, akan tetapi ia masih tersenyum dan menciumi muka yang mulai basah air mata itu.
“Diajeng Wulandari, ketahuilah bahwa aku mencinta puterimu. Dia
mengingatkan aku kepada engkau ketika masih muda. Ketika kita dipaksa
berpisah, engkau seumur dia dan persis seperti dia sekarang inilah
keadaanmu. Apakah engkau cemburu? Dia puterimu sendiri. Dan engkau tentu
yakin bahwa kalau dia menjadi isteriku, dia akan hidup bahagia. Dan
engkau pun akan selalu bersanding di sisiku dan di sisi puterimu. Jangan
khawatir, bintang pujaanku, aku dapat membagi cinta kasihku antara
kalian berdua. Bahkan hubungan suci ini akan mengikat kita bertiga
erat-erat, selamanya tidak akan berpisah lagi.”
“Tidak...! Tidak...! Aahhh, jangan...“ Wulandari menangis makin mengguguk.
Sinar mata yang menyeramkan memancar keluar dari mata Ki Patih Warutama.
Kedua tangannya yang tadi membelai tubuh Wulandari, masih membelainya
dan naik ke atas, membelai dan meraba-raba leher wanita itu, mengusap
usap dengan gerakan-gerakan tangan seperti hendak mencekiknya. Mulutnya
tersenyum dan suaranya dingin sekali ketika ia bertanya lirih,
“Mengapa? Mengapa tidak? Katakanlah, apa sebabnya mengapa kau tidak setuju.”
Wulandari mengangkat mukanya memandang wajah pria yang sudah menjatuhkan
hati dan segala-galanya itu. “Kakangmas, dia... Dyah Handini itu...,
dia... adalah anakmu sendiri...”
Jari-jari yang mengelus leher itu menegang, akan tetapi belum mencekik,
sungguh pun masih membelainya, agak lebih kasar dari pada tadi.
Wulandari hendak merenggutkan dirinya namun tidak dapat.
“Apa kau bilang...? Dia anakku...?”
“Betul, Kakangmas. Dengarlah dahulu, ketika engkau melarikan diri... dan
aku dipaksa kawin dengan Tumenggung Matunggal, aku sudah... sudah
mengandung satu bulan. Dia anakmu, Kakangmas, karena itu... tidak boleh
engkau mengambilnya sebagai isterimu...’
“Aku tidak percaya! Juga tidak peduli. Dia akan menjadi isteriku, tak
peduli dia anakku atau bukan, tak peduli engkau setuju atau tidak!?”
“Kakangmas... Wulandari berseru dengan suara penuh permohonan, dengan air mata bercucuran.
“Cukupl Dengar baik-baik. Aku cinta kepada Dyah Handini, seperti cintaku
kepadamu dahulu. Cintaku kepadamu yang terputus. Kini aku minta
dilanjutkan, karena dia serupa benar dengan engkau dahulu. Hanya ada dua
jalan bagimu. Menyetujui dia menjadi isteriku sehingga kita bertiga
akan dapat terus berkumpul, akan tetapi terus saling mencinta, atau...
engkau mati sekarang juga dan dia tetap menjadi isteriku!”
Jari-jari tangan yang masih melingkari leher Wulandari itu kini mengeras dan cekikan mulai terasa.
Dengan wajah pucat dan air mata mengalir, Wulandari terpaksa mengangguk, tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi.
“Ha-ha-ha, bagus, itu baru namanya bintang pujaanku yang sejati!”
Ki Patih Warutama tertawa lalu mengecup bibir Wulandari dengan buas,
lalu memaksa wanita yang nelangsa batinnya itu untuk melayani cinta
kasihnya yang sesungguhnya hanya merupakan cinta berahi, cinta berahi,
cinta nafsu yang selalu menjadi penuntun bagi setiap perbuatan seorang
manusia macam Warutama atau Sindupati.
Demikianlah, biar pun sudah mendengar dari mulut Wulandari sendiri bahwa
Dyah Handini adalah anaknya, Ki Patih Warutama tak mau mundur dan
melangsungkan pernikahannya dengan dara yang denok ayu itu.
Tentu saja pesta pernikahan diramaikan dengan mewah dan meriah, dan
orang-orang mulai memuji-muji lagi ki patih yang dianggapnya amat baik,
suka mengangkat derajat anak seorang tumenggung. Semua orang menganggap
betapa baik nasib Dyah Handini dan ibunya, yang biar pun telah
kehilangan ayah dan suami, namun kini malah dinaikkan derajatnya sampai
berlipat kali!
Dyah Handini sendiri sebagai seorang gadis pada masa itu, hanya menurut
kehendak ibunya dan akhirnya dia pun berbahagia karena suaminya, biar
pun usianya sudah mendekati setengah abad, harus diakui merupakan
seorang pria yang tampan dan gagah, apa lagi amat pandai dan seorang
ahli dalam merayu wanita dan bermain cinta.
Segera dara yang denok ini jatuh dan mabuk oleh rayuan pria yang menjadi
suaminya, sedikit pun tak pernah menduga bahwa suaminya ini
sesungguhnya adalah ayahnya sendiri
Ki Patih Warutama yang pada lahirnya merupakan seorang patih yang
berpengaruh dan berkuasa, merupakan seorang pria yang tampan dan gagah,
sebenarnya batinnya amatlah rendah. Hanya manusia berperangai binatang
saja kiranya yang sudi melahap puterinya sendiri! Bukan hanya itu saja,
bahkan lebih jauh lagi tingkah dan ulah ki patih ini.
Terang-terangan di depan isterinya, ia melanjutkan hubungan rahasianya
dengan Wulandari! Akhirnya Dyah Handini juga mengetahui bahwa ibunya
telah “diselir” oleh suaminya. Anak dan ibu menjadi madu!
Namun, Dyah Handini yang sudah jatuh bertekuk lutut oleh belaian kasih
sayang ki patih yang amat pandai, tidak berani marah, bahkan diam-diam
menjadi gembira karena baginya, lebih baik membagi suaminya dengan
ibunya dari pada dengan wanita lain.
Terjadilah kemaksiatan yang menjijikkan dalam kamar Kl Patih Warutama.
Kini terang-terangan saja dia bermain cinta dengan ibu dan anak itu. Dia
tidur sekamar dengan Wulandari dan Dyah Handini, bergiliran mencintai
ibu dan anak, tanpa malu-malu lagi bertiga tidur seranjang!
Kadang-kadang, mereka bertiga duduk bercengkerama, bersanda-gurau, ki
patih duduk di tengah, Wulandari duduk di atas paha kanannya, Dyah
Handini duduk di atas paha kirinya, memeluk kedua ibu dan anak itu
dengan dua lengannya, bergiliran menciumi dan mencumbu mereka!
Hebatnya, lambat-laun Wulandari dapat melupakan rasa nelangsa di hatinya
dan mulailah ia bergembira dan akhirnya ia merasa berbahagia mendapat
kenyataan betapa ki patih masih tetap mencintanya seperti cintanya
terhadap puterinya.
Wulandari merasa mendapat kepuasan lahir batin dan tak peduli lagilah
akan tata susila, tidak malu menyaksikan puterinya bermain cinta dengan
ki patih, juga tidak malu lagi disaksikan puterinya apa bila dia
mendapat giliran! Adakah perbuatan a-susila yang lebih gila dari pada
ini?
Sementara itu, kedudukan Suminten makin kuat. Keadaan sang prabu yang
sudah tua tiada lebih kuat dari pada seorang tapadaksa yang tak berdaya.
Semua persoalan pemerintahan dipegang oleh tiga serangkai itu,
Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Hubungan dengan wakil-wakil Kerajaan Sriwijaya dan Cola makin diperkuat
dan mulailah diatur rencana untuk menguasai seluruh Jenggala, kemudian
menghantam Panjalu.
Kadipaten sebelah timur sudah pula dihubungi dan mereka ini, termasuk
Kadipaten Nusabarung dan Kadipaten Blambangan yang menaruh dendam
terhadap Panjalu, sudah siap-siap pula untuk membantu jika pecah perang.
Awan gelap menyelimuti angkasa di atas kedua kerajaan bersaudara itu,
kerajaan yang menjadi keturunan Mataram, yang terpecah karena mendiang
Sang Prabu Airlangga bermaksud bersikap adil dan mencegah perang saudara
dengan cara membagi kerajaan menjadi dua…..
********************
Di kaki Gunung Anjasmoro sebelah utara merupakan pedusunan yang amat
sunyi, yang hanya berpenduduk beberapa puluh keluarga petani miskin.
Namun tempat ini memiliki pemandangan alam yang indah dan kesunyian
selalu merupakan sifat yang khas dari pada keindahan alam.
Di antara pondok-pondok kecil, gubuk-gubuk berdinding anyaman bambu dan
beratap daun kelapa itu terdapatlah sekelompok bangunan yang dikurung
pagar tembok. Pintu gerbang dinding yang mengurung kelompok bangunan ini
selalu terjaga oleh beberapa orang prajurit pengawal. Keadaan
sekeliling pondok sunyi dan hening, dan hanya beberapa kali saja setiap
harinya ada pelayan tua yang keluar melalui pintu gerbang untuk mengurus
keperluan penghuni pondok.
Pondok ini adalah tempat pengasingan atau pembuangan bagi bekas
permaisuri, sang ratu dari Jenggala! Setelah sang ratu ini gagal
menandingi Suminten yang sangat cerdik sehingga sang ratu yang hendak
“menangkap basah” selir itu sebaliknya malah masuk perangkap, wanita tua
ini sekarang menjadi seorang buangan, hidup bersunyi diri di dalam
pondok yang dikurung dinding tinggi dan terjaga slang malam ini. Tidak
pernah keluar dari pondok, tidak pernah bertemu dengan orang lain
kecuali para pelayannya karena bekas permaisuri ini dilarang keluar, dan
dilarang pula menerima kunjungan orang luar.
Akan tetapi pada suatu hari, lewat pagi, sepasang orang muda memasuki
pintu gerbang dinding yang mengurung pondok pengasingan ini. Mereka
berdua tidak dilarang oleh para penjaga, bahkanpara penjaga cepat-cepat
berlutut memberi hormat dan menyapa dengan penuh kehormatan kepada pria
yang lewat menggandeng wanita itu.
Mereka itu masih muda-muda dan keduanya amatlah eloknya, bagaikan sepasang dewa asmara Sang Hyang Komajaya dan Komaratih.
Kedua orang muda ini bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit dan
isterinya, Setyaningsih. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
setelah menikah di Padepokan Wilis, Pangeran Panji Sigit mengajak
isterinya untuk ke Jenggala.
Pangeran Panji Sigit maklum bahwa kembalinya ke Jenggala merupakan
perbuatan yang banyak resikonya bagi dirinya karena dia telah mempunyai
seorang musuh yang berbahaya, yaitu Suminten. Akan tetapi karena
pangeran ini amat mencinta ramandanya, dan pula karena ia berpikir bahwa
setelah ia beristeri, kiranya Suminten tidak begitu gila untuk
menggodanya lagi, maka ia bertekad untuk pulang ke Jenggala.
Di sepanjang perjalanan, pangeran yang amat memperhatikan keadaan
ramandanya dan keadaan kota raja, bertanya-tanya dan alangkah kaget
hatinya ketika ia mendengar segala peristiwa hebat yang terjadi di
kerajaan ramandanya. Tentang pengangkatan Pangeran Kukutan menjadi
putera mahkota, sama sekali tidak mendatangkan kesan apa-apa di hatinya
karena memang Pangeran Panji Sigit bukan seorang yang gila akan
kedudukan.
Peristiwa yang menimpa keluarga ki patih, yang didengarnya di jalan, dan
tentang penggantian patih baru, hanya mendatangkan rasa haru dan
kasihan di samping rasa penasaran mengapa paman patih yang dianggapnya
amat baik dan setia itu sampai dijatuhi hukuman sekeluarga sedemikian
mengerikan. Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa ibunda ratu
diasingkan, dibuang ke kaki Anjasmoro, Pangeran Panji Sigit menjadi
marah sekali.
“Setan betina, iblis laknat, siluman keji! Semua ini gara-gara dial”
seru Pangeran muda itu sambil mengepal tinju dan mukanya menjadi merah
sekali.
“Eh, Kakangmas...!” Setyaningsih menegur suaminya.
Pangeran Panji Sigit merangkulnya dan ia sadar, dapat pula menguasai
hatinya yang terbakar. Setelah menghela napas panjang ia berkata,
“Diajeng, sungguh jahat sekali dia itu. Semua ini tentu hasil perbuatan
Suminten. Aduh dewata Yang Maha Agung... mengapa Ramanda Prabu sampai
tenggelam sedemikian dalamnya... Diajeng, mari kita pergi ke kaki
Anjasmoro, lebih dahulu kita menjenguk Ibunda Ratu.”
Perjalanan dilanjutkan. Kuda tunggangan mereka dilarikan lebih cepat dan
akhirnya mereka dapat juga menemukan pondok pengasingan di kaki. Gunung
Anjasmoro.
Para penjaga tentu saja mengenal Pangeran Panji Sigit yang memang sejak
dahulu amat disuka oleh semua prajurit, maka dengan mudah saja Pangeran
Panji Sigit dan isterinya memasuki pintu gerbang dan langsung mencari
bekas permaisuri yang menurut para abdi sedang duduk seperti biasa di
belakang pondok.....
Komentar
Posting Komentar