PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-54
Muka itu tidak dirias, tidak dibedaki, rambutnya digelung bersahaja ke
belakang, rambut yang sudah bercampur banyak uban, tubuhnya ditutup
libatan kain berwarna putih sederhana, pakaian seorang pertapa. Hanya
sepasang gelang sederhana yang menghias kedua tangannya yang
bertelanjang sampai ke siku.
Sang ratu itu sedang duduk bersamadhi, hening dan tidak bergerak seperti
sebuah arca. Wajahnya yang tua itu membayangkan ketenangan, namun
gurat-gurat pada dahinya jelas membayangkan penderitaan batin yang
hebat. Betapa pun juga, mulutnya menjadi pencerminan kesabarannya
sehingga makin mengharukan hati Pangeran Panji Sigit yang segera
menggandeng tangan isterinya, diajak maju dan menjatuhkan diri berlutut
di depan sang ratu sambil berkata lirih,
“Duhai Ibunda Ratu yang mulia, hamba Panji Sigit bersama isteri datang
menghadap Paduka...“ kata Pangeran Panji Sigit dengan suara terharu.
Wanita itu membuka kedua matanya. Wajahnya berseri, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, tanda bahwa hatinya gembira sekali.
“Panji Sigit... Ah, Pangeran, alangkah gembira hatiku. Mendekatlah, Puteraku wong bagus...”
Panji Sigit mendekat dan wanita tua itu lalu membelai rambut kepalanya.
Sentuhan ini membuat hati Panji Sigit makin terharu sehingga dua titik
air mata membasahi pipinya.
“Dia ini isterimu, Kulup? Ah, Nini, mendekatlah, Mantuku...!”
Setyaningsih menyembah dan menghampiri. Dengan kedua tangan di atas
kepala kedua orang itu, sang ratu menengadah seolah-olah mohon berkah
dewata untuk sepasang orang muda itu. Wajahnya jelas membayangkan
keharuan dan kegembiraan.
“Duhai Ibunda Ratu... apakah yang telah terjadi...? Paduka...”
“Husshhhh, Panji Sigit puteraku. Tidak ada apa-apa denganku, cerita
tentang aku tidak menarik. Lebih baik kauceritakan pengalamanmu semenjak
kau pergi dari istana. bagaimana sekarang tahu-tahu pulang membawa
isteri yang begini cantik jelita? Anak nakal, agaknya engkau baru pulang
dari taman sorga dan mempersunting seorang bidadari...”
Di dalam hatinya, Pangeran Panji Sigit makin terharu dan kagum sekali ia
akan ketenangan dan ketabahan hati sang ratu. Sudah mengalami nasib
yang demikian sengsara dan terhina, masih bersikap tenang, tidak
menonjolkan penderitaan pribadinya. Dan seorang wanita yang begini telah
dibuang oleh sang prabu!
Maka ia pun menenangkan perasaan hatinya dan bercerita tentang
pengalamannya setelah dia pergi meninggalkan istana. Betapa ia memasuki
sayembara di lembah Wilis dan berhasil mempersunting Setyaningsih.
“Kanjeng Ibu, dia ini bukan orang lain, melainkan adik kandung dari
Ayunda Endang Patibroto yang kini menjadi ketua Padepokan Wilis.” Ia
menutup ceritanya.
“Ahhhh... Endang Patibroto manluku yang terkena fitnah dan... kasihan
puteraku Panjirawit... Jadi Andika adik kandung Endang Patibroto?
alangkah baiknya, kalian menyambung kembali ikatan yang terputus oleh
keadaan. Aku girang sekali, Panji Sigit dan Setyaningsih.”
“Duh Kanjeng Ibu, sekarang hamba mohon Paduka suka menceritakan, mengapa
Paduka sampai menjadi begini... sungguh bingung dan sedih hati hamba
mendengar dalam perjalanan tentang paduka...”
Sang ratu tersenyum. “Apa yang engkau dengar, Pangeran?”
“Hamba mendengar cerita orang dalam perjalanan hamba bahwa Paduka di...
diasingkan ke tempat ini oleh Ramanda Prabu karena katanya Paduka...
Paduka melakukan fitnah kepada ibunda selir...”
Sang ratu mengangguk.
“Memang tampaknya begitulah, Puteraku. Akan tetapi sebetulnya di balik
kenyataan ini terdapat rahasia-rahasia yang amat pelik. Nah, kau
dengarlah penuturanku, karena engkau sebagai seorang Pangeran Jenggla
berhak mengetahuinya.”
Maka berceritalah wanita tua itu dengan suara tenang dan sabar.
Diceritakan segala peristiwa yang terjadi di dalam istana, yang tidak
diketahui orang lain. Tentang sepak terjang Suminten dan Pangeran
Kukutan tentang persekutuannya dengan ki patih yang baru, tentang
kelemahan sri baginda dan kemudian betapa dia sendiri terjebal ke dalam
perangkap yang mereka pasang yang menjebloskannya sehingga mengakibatkan
dia terbukti melakukan fitnah dan dihukum buang.
“Ah, si keparat, iblis betina yang keji!”
Pangeran Panji Sigit mengepa tinju, mukanya merah dan matanya terbelalak penuh kemarahan.
“Agaknya dahulu pun dia sengaja menggoda dan menyinggungku agar aku pergi dari istana dan dia dapat berbuat sesukanya! Keparat!”
“Kakangmas, tenanglah...“ Setyaningsih memperingatkan.
Sang ratu tersenyum. “Wah, isterimu ini mengagumkan, Pangeran. Agaknya
tidak semudah ayundamu dikuasai kemarahan. Dia benar, Puteraku,
tenanglah dan ceritakan kepadaku, apa yang dia lakukan dahulu terhadap
dirimu.”
“Hamba... hamba merasa malu untuk menceritakan peristiwa menjijikkan itu, Kanjeng Ibu!”
“Biarlah hamba yang bercerita, Kanjeng Ibu. Sebelum Kakanda Pangeran
pergi dari istana, Kakanda pernah digoda oleh... Ibunda selir, dibujuk
rayu dan diajak bermain asmara. Kakanda Pangeran tidak mau melayani
niatnya yang kotor itu, kemudian Kakanda yang merasa malu sekali lalu
pergi meninggalkan istana.”
Sang ratu mengangguk-angguk. “Hemm... tidak aneh. Betapa banyaknya
pangeran yang terjatuh oleh rayuannya! Syukur engkau teguh hati,
Angger.”
“Ibunda Ratu, kita harus menghancurkan iblis betina itu! Penghlnaan terhadap Paduka harus dibalas. Biarlah hamba yang...!”
“Jangan, Kulup. Jangan menurutkat hati panas. Ingatlah bahwa benci dan
dendam hanya akan mengotori dan mengeruhkan batin sendiri. Aku tidak
membenci Suminten, aku tidak mendendamnya, setelah aku mendapat
ketenangan batin di sini baru kuketahui akan hal ini. Aku menerima nasib
dan sisa hidupku yang tak lama lagi ini tidak boleh sekali-kali
dikotori oleh benci dan dendam.”
“Akan tetapi, lblis betina itu telah merusak kebahagiaan Paduka, telah
menghina Paduka sehingga Paduka mengalami nasib sengsara seperti ini.
Dia adalah musuh Paduka...”
“Keliru wawasanmu, Angger. Boleh jadi dia menganggap aku sebagai musuh,
akan tetapi biarlah kalau begitu. Aku tidak menganggap dia atau siapa
saja sebagai musuh, dan peristiwa yang menimpa diriku tidak kuanggap
sebagai salah siapa-siapa, melainkan semata-mata adalah tepat seperti
yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa. Apa pun yang terjadi di dunia ini
adalah tepat seperti yang dikehandaki-Nya, karena di luar kehendakNya,
takkan terjadi sesuatu.”
Diam-diam Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih menjadi kagum dan di
dalam hati mereka tunduk terhadap wawasan yang sedemikian hebatnya, yang
sukar dilaksanakan oleh siapa pun.
“Maaf, Ibunda Ratu, hamba takkan sanggup dan berani membantah kebenaran
wejangan Paduka itu. Akan tetapi, kerajaan berada dalam cengkeraman
manusia-manusia iblis, kerajaan terancam bahaya, juga Ramanda Prabu...
ah, betapa mungkin hamba yang melihat hal itu semua lalu berpeluk
tangan, mendiamkannya saja?”
“Hal itu lain lagi persoalannya, Puteraku. Sudah menjadi kewajibanmu
sebagai seorang pangeran dan ksatria untuk membela Ramandamu dan
kerajaan.Sudah menjadi kewajibanmu pula untuk menghalau musuh negara.
Akan tetapi kalau demikian, semua tindakanmu mempunyai dasar yang
bersih, bukan semata-mata karena kebencian dan hendak membalas dendam
yang ditimpakan kepadaku. Mengertikan engkau akan perbedaannya, Angger
Pangeran?”
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk.
Tahulah ia sekarang apa yang dimaksudkan ibu tirinya ini. Tentu saja
sebagai seorang gemblengan, ia sudah banyak menerima wejangan dari
guru-gurunya, sudah mengerti pula akan perbedaan antara dua perbuatan
yang sama. Hanya sama tampaknya, namun seperti bumi dan langit
perbedaannya yang terletak pada dasar perbuatan itu yang menjadi sebab.
Membunuh dan membunuh tidaklah sama kalau membunuh yang pertama
berdasarkan kebencian dan dendam sedangkan membunuh yang ke dua
berdasarkan membela negara. Bukanlah perbuatannya yang dinilai,
melainkan yang tersembunyi di balik perbuatan itu, pendorong dan
pamrihnya.
“Hamba mengerti, Kangjeng Ibu. Akan hamba usahakan sekerasnya agar hamba
tidak melibatkan persoalan pribadi dalam perjuangan hamba, melainkan
persoalan membela negara dan melindungi Ramanda Prabu. Hamba bermohon
diri, Kanjeng Ibu, sekarang juga hamba bersama Setyaningsih hendak mulai
menentang dan menghalau iblis-iblis yang mencengkeram Kerajaan
Jenggala.”
“Kau terlalu sembrono, Pangeran. Kalian berdua tidak boleh pergi ke Jenggala, hal ini amat berbahaya bagi kalian berdua.”
“Hamba tidak takut. Harap Kanjeng Ibu jangan khawatir. Selama hamba
pergi merantau, hamba telah menerima banyak gemblengan ilmu, dan di
samping hamba ada Diajeng Setyaningsih yang memiliki kesaktian. Hamba
berdua dapat menjaga diri. Pula, di kota raja banyak terdapat para
ponggawa yang masih setia kepada Ramanda Prabu, dan banyak
sahabat-sahabat hamba...”
“Ah, engkau tidak tahu, Angger. Seluruh ponggawa telah menjadi kaki
tangan Kukutan. Dan ketahuilah bahwa Ki Patih Warutama memiliki
kesaktian yang amat luar biasa sehingga dia berhasil menyelamatkan
ramandamu dari serbuan orang-orang jahat seperti yang kuceritakan padamu
tadi. Engkau sudah pernah bentrok dengan Suminten. Hal ini amat
berbahaya bagimu. Sekali Suminten menudingkan telunjuknya kepadamu,
engkau akan dikeroyok dan ramandamu takkan dapat berbuat apa-apa karena
ramandamu kini tidak pernah keluar dari dalam kamarnya. Tak ada seorang
pun sahabat yang berani membelamu, Angger.”
Pangeran Panji Sigit mengerutkan alisnya yang tebal.
“Habis, apakah yang harus hamba Iakukan, Kanjeng Ibu? Apakah menerima nasib dan berdiam diri saja?”
“Hanya ada satu jalan terbaik yang dapat kutunjukkan kepadamu, Puteraku.
Pergilah engkau bersama isterimu ke Panjalu. Di Jenggala sendiri sudah
tidak ada orang yang akan dapat menolong kerajaan. Panjalu sajalah yang
akan dapat mengatasi keadaan. Pergilah menghadap uwa prabu di Panjalu
dan ceritakan semua yang telah kaudengar dariku tadi. Di sana banyak
terdapat orang-orang pandai, bahkan Adipati Tejolaksono pun kabarnya
berada di Panjalu menjadi patih muda. Nah, ke sanalah tempat engkau
mencari bantuan, Angger.”
Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang pemuda yang hanya menurutkan nafsu
amarah. Mendengar nasehat ini ia dapat menerima, maka ia pun lalu
berpamit dan pergilah ia bersama Setyaningsih menuju ke Panjalu.
Setyaningsih juga merasa girang sekali karena mendengar bahwa Adipati
Tejolaksono telah pindah ke Panjalu, dengan demikian dia akan mendapat
kesempatan untuk berkunjung dan bertemu dengan mereka, terutama sekali
dengan Pusporini yang sudah amat dia rindukan. Tidak ada halangan
merintangi perjalanan sepasang suami isteri yang perkasa ini, dan
perjalanan dilakukan dengan cepat…..
********************
“Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular, melainkan ular
yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya. Sudah ribuan kali berganti
kulit dan sudah banyak menerima cahaya sakti bulan dan matahari.
Batu mustika itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di
antara kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor ular,
hanya menambah kebuasannya membahayakan mereka yang lewat di hutan itu,
namun sebaliknya amatlah berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah
memberi ijin kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai
hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak penggembala, dan ambil
mutiaranya. Akan tetapi hati-hatilah!”
Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada dua orang muridnya, Joko
Pramono dan Pusporini. Telah tiga tahun lebih mereka berdua digembleng
oleh guru mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi dan
biar pun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru, namun gemblengannya
hebat luar biasa sehingga aji-aji yang telah mereka berdua miliki kini
memperoleh kemajuan pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi
berlipat ganda.
“Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil mustika di dalam
kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh dia ini ikut? Dia hanya akan
menghalang-alangi pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba
berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang tanpa bantuan dial”
kata Pusporini sambil melirik-lirik ke arah Joko Pramono.
Hatinya sedang kesal karena tadi pagi dalam latihan mempergunakan tenaga
sakti memukul air, ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika
dipukul Joko Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.
“Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah murid Eyang yang satu.
ini makin lama makin sombong? Makin besar kepala!” Joko Pramono juga
menyerang marah.
“Apa? Kepalaku besar? Tidak sebesar kepalamu! Engkaulah yang sombong!
Pagi tadi dia menyombongkan tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah
kuat olehnya, Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?”
“Aku kan bicara apa adanya?” bantah Joko Pramono.
“Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?”
“Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit-jerit kegelian dan ketakutan!”
“Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil? Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!”
Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak.
“Sudah, sudah... ha-ha-ha...! Kalian ini seperti bocah-bocah nakal saja.
Mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benar-benar membuat aku
awet muda! Pertengkaran kalian itu membayangkan jiwa muda yang masih
panas membara, semangat yang menyala-nyala dan... ha-ha-ha…, benar-benar
lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua kuijinkan berlomba mencari
dan membunuh ular Puspo Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan
menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!”
“Baik, hamba pamit mundur, Eyang!” Pusporini menyembah lalu berkelebat,
sekejap mata saja lenyap dari hadapan gurunya yang duduk di depan pondok
bambu.
“Hamba pun minta diri, Eyang!” Joko Pramono juga berkelebat cepat mengejar Pusporini, khawatir kalau kalah dulu.
Kembali kakek tua renta itu tertawa bergelak dan menengadah ke angkasa,
mulutnya berkemak-kemik, “Lucu... lucu... alangkah indahnya hidup bagi
orang-orang muda... ha-ha-ha...!”
Seperti burung terbang setidaknya seperti seekor kijang Pusporini lari
sambil mengerahkan seluruh aji kesaktian Bayu Sakti yang pernah ia
pelajari dari Adipati Tejolaksono dahulu.
Namun kini Aji Bayu Sakti yang ia pergunakan jauh mendapat kemajuan yang
hebat sehingga larinya amat cepat, tubuhnya ringan sekali dan kedua
kakinya seolah-olah tidak menginjak tanah melainkan terbang di atas
ujung rumput-rumput hijau!
Dalam hal tenaga sakti mungkin dia kalah kuat setingkat kalau
dibandingkan dengan Joko Pramono, akan tetapi dalam aji keringanan tubuh
dan kecepatan berlari, pemuda itu masih sukar untuk dapat
mengalahkannya. Apa lagi sekarang Pusporini mengerahkan seluruh
kepandaiannya karena ia memang sedang berlomba dengan pemuda itu!
Jauh di belakang, makin lama makin jauh tertinggal, Joko pramono juga
berlari secepatnya melakukan pengejaran. Di dalam hatinya, pemuda ini
sebetulnya sama sekali tidak berniat untuk mendahului Pusporini, sungguh
pun harus ia akui bahwa kalau berlomba lari ia takkan menang.
Namun, ia melakukan pengejaran karena di dalam hatinya timbul rasa
khawatir akan keselamatan gadis yang menjadi teman belajar, menjadi
teman berlatih akan tetapi juga menjadi lawan bertengkar itu.
Seringkali ia merasa heran mengapa dia selalu bertengkar dengan
Pusporini, mengapa agaknya ada terasa kenikmatan dan kegembiraan di
hatinya kalau mereka sedang bertengkar itu.
Bagi dia, Pusporini tampak paling manis kalau sedang marah-marah seperti
itu! Dan pemuda ini merasa di dalam hatinya bahwa mereka berdua selalu
bertengkar karena tidak mau kalah, karena masing-masing ingin dihargai,
ingin dikagumi. Namun, sehari saja tidak bertengkar, apa lagi tidak
berjumpa, merupakan siksaan batin yang tiada taranya
Demikianlah, dua orang muda itu berlari-lari seperti terbang menuju ke
sebuah hutan di lereng Gunung Kawi sebelah timur, yaitu hutan yang oleh
guru mereka disebut hutan Kaloka, di mana terdapat ular besar Puspo
Wilis yang bertapa dan yang harus mereka bunuh dan ambil mustikanya.
Beberapa pekan yang lalu, ular itu telah menelan tiga orang anak
penggembala kerbau yang sedang menggembala kerbau di pinggir hutan.
Sementara itu, dari kaki Gunung Kawl sebelah timur, tampak dua orang
berjalan kaki, mendaki lereng. Mereka adalah seorang laki-laki setengah
tua yang tampan dan gagah, berusia empat puluhan tahun, mengiringkan
seorang gadis yang usianya takkan lebih dari dua puluh tahun, seorang
gadis tinggi semampai yang manis sekali, berwajah cerah bermata jeli.
Gadis itu tidak tahu betapa pria yang mengiringkannya memandang
kepadanya dari belakang dengan pandang mata mesra, dan betapa pria itu
berkali-kali menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Mereka itu bukan lain adalah Wiraman dan Widawati, pengawal perkasa yang
setia kepada Ki Patih Brotomenggala dan cucu mendiang ki patih itu,
satu-satunya orang dari keluarga kepatihan yang lolos dari cengkeraman
maut. Sebagai orang-orang yang diburu oleh kaki tangan Pangeran Kukutan,
keduanya harus selalu berpindah-pindah dan bersembunyi-sembunyi, keluar
masuk hutan, naik turun gunung.
Tujuan perjalanan Wiraman adalah ke Panjalu, namun karena ia harus
melakukan perjalanan sambil bersembunyi, maka mereka terpaksa mengambil
jalan memutar yang amat jauh dan sukar.
Bagi Wiraman sendiri, seorang pengawal gemblengan yang bertubuh kebal
dan kuat, perjalanan sukar dan jauh itu tidaklah amat berat. Akan tetapi
patut dikasihani Widawati, biar pun dia pernah ia mempelajari ilmu olah
keprajuritan, namun karena sebagai cucu patih dia lebih sering
melakukan pekerjaan-pekerjaaan halus dan tubuhnya tidak begitu terlatih,
perjalanan itu amatlah menyiksa dan melelahkan.
Apa lagi semua kesukaran ini diderita dengan hati hancur apa bila
teringat akan nasib buruk yang menimpa keluarganya. Untung baginya, di
sampingnya terdapat Wiraman yang pandai menghiburnya, yang slap membela
dan melindunginya, dan yang menjamin akan segala keperluannya di
sepanjang perjalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah tanjakan terjal, di luar sebuah hutan
yang nampaknya angker dan liar, kaki Widawati tersandung dan ia
terhuyung ke depan. Untung pada saat itu Wiraman cepat melompat dan
menyambar lengannya sehingga dia tidak sampai jatuh tersungkur, akan
tetapi renggutan tangan Wiraman itu membuat tubuh Widawati tersentak ke
belakang dan berada di dalam pelukan pria itu, rapat bersandar di atas
dada yang bidang.
“Hati-hatilah...!”
Hanya demikian Wiraman dapat berkata karena pria segera memejamkan mata,
dadanya bergelombang ketika perasaan yang aneh meresap di dalam
tubuhnya. Tangan kanannya masih memegang lengan Widawati, tangan kirinya
memegang pundak gadis itu. Merasa betapa punggung dan kepala gadis itu
bersandar ke dadanya, mencium keharuman khas dari rambut dan peluh gadis
itu, berdebar jantungnya dan kakinya.
Widawati amat lelah. Juga tadi la terkejut karena tersandung dan akan.
tersungkur ke depan, di mana terdapat jurang yang dalam. Kini merasa
betapa ia selamat dan mendapat sandaran yang kokoh kuat, ia merasa aman
dan tenteram. Tiada henti-hentinya Wiraman melimpahkan budi kebaikan
kepadanya. la tidak tahu,, apa yang akan dia lakukan kalau di sampingnya
tidak ada Wiraman.
Tanpa disadari lagi, ketika kali ini kembali Wiraman yang menolongnya
pada saat yang tepat, menjadi bukti bahwa Wiraman selalu
memperhatikannya, selalu menjaganya, ia bersandar pada dada yang bidang
dan kuat itu dan sampai beberapa lamanya mereka hanya berdiri dalam
keadaan seperti itu, keduanya memejamkan mata.
Widawati dapat mendengar dengan telinganya betapa dada yang bidang itu
berdetak-detak keras. Hal ini menyadarkannya dan ia segera memisahkan
diri.
“Terima kasih, Kakang Wiraman, engkau telah menyelamatkan aku...”
“Ah, tidak perlu berterima kasih, Diajeng. Memang sudah menjadi
kewajibankulah untuk menjaga dan melindungimu. Engkau tentu lelah
sekali, dan di depan adalah hutan yang amat lebat, mari kita mengaso
dulu.”
“Baik, Kakang...”
Maka duduklah mereka berdua di bawah sebatang pohon, berteduh dari panas
terik matahari yang membakar kulit. Widawati menyusuti peluhnya dengan
ujung baju, menjilat-jilat bibirnya yang merah dengan ujung lidah.
Sebentar Wiraman terpesona memandang mulut itu, ketika pandang mata
mereka bertemu, Wiraman cepat-cepat menunduk dan berkata,
“Engkau tentu haus, Diajeng. tunggu sebentar kucarikan air...”
Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah pergi mencari air gunung yang
jernih.ditampungnya air itu dengan daun talas dan dibawanya air itu
kepada Widawati yang menerima dan meminumnya dengan lahap karena memang
ia haus sekali.
Sampai lama mereka beristirahat di situ. Angin sumilir membuat Widawati
mengantuk. Ia bersandar pada batang pohon dan memejamkan matanya.
Wiraman tidak mengganggunya, melainkan duduk pula tidak jauh dari situ,
memandang ke arah hutan lebat dengan pandang mata melamun. Berkall-kali,
sama halnya ketika dalam per jalanan tadi, Ia memandang ke arah
Widawati, menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala, menghela
napas lagi.
“Kakang Wiraman.”
Wiraman terkejut, seperti disentakkan dari alam mimpi. Tadinya ia tengah
melamun, memandang ke hutan dan mengglgit-gigit rumput yang tanpa
disadarinya telah ia cabut dari dekat kakinya. Ia menoleh dan pandang
mata mereka bertemu, bertaut, dan dari pandang mata Wiraman masih
memancar sinar cinta kasih yang jelas dan mesra. Mereka tidak
berkata-kata lagi, hanya pandang mata mereka yang melekat dan
seolah-olah mewakili mulut dan hati. Akhirnya Widawati yang berkata
lirih,
“Kakang..., engkau kenapakah? Sejak tadi kulihat engkau menarik napas
panjang dan menggeleng-geleng kepala. Ada sesuatu yang mengganggu
hatimu, Kakang. Katakanlah, apakah gerangan yang kau susahkan? Kalau
tidak kau ceritakan kepadaku, aku tentu akan menganggap bahwa akulah
yang menyusahkan hatimu, Kakang.”
“Ah, tidak... tidak sama sekali, Diajeng... aku hanya...”
Wiraman terdiam, amat sukar agaknya untuk mengeluarkan isi hatinya.
Mereka berpandangan kembali dan slnar mata penuh ketulusan hati dari
gadis itu seolah-olah memberi semangat dan keberanlan kepadanya.
“Biarlah kubukakan semua rahasia hatiku, Diajeng. Aku seorang laki-laki
yang suka berterus terang, dan aku berani pula mempertanggungjawabkan
semua perbuatan atau ucapanku. Semenjak aku bertemu denganmu, Diajeng,
ketika kau dibawa oleh Kakang Mitra... semenjak itulah terjadi sesuatu
yang tidak wajar di hatiku. Bagiku, ada sesuatu pada dirimu yang
mengikat, mempesona, dan mengguncang hatiku. Ada suatu daya tarik luar
biasa yang tidak wajar. Bukan kecantikanmu, bukan pula kemudaanmu, entah
apamu aku sendiri tidak dapat mengatakan, melainkan yang sudah pasti,
ada sesuatu yang membuat aku amat tertarik. Inikah yang disebut ikatan
Karma? Aku harus jujur, Diajeng, dan dengan segala kejujuran kunyatakan
sekarang juga demi menjaga segala kepura-puraan bahwa aku... cinta
kepadamu, Diajeng.”
“Ahhh... I”
Suara Widawati seperti rintihan perlahan yang langsung keluar dari lubuk
hatinya. Sepasang mata yang lebar jernih Itu mulai basah.
“Aku bukan..seorang yang tidak tahu diri, Diajeng. Aku sadar bahwa aku
telah beristeri, telah mempunyai anak-anak, dan bahwa usiaku pun sudah
setengah tua! Aku bukan seorang penghamba nafsu, aku mencinta isteri dan
anak-anakku, sampai kini aku belum pernah mengambil selir. Akan tetapi
terhadap engkau, Diajeng, entah mengapa aku sendiri tidak mengerti. Ada
sesuatu yang menarik hatiku sehingga hatiku menjerit bahwa aku
mencintamu, bukan cinta nafsu, akan tetapi... ah, seolah-olah aku tidak
akan sanggup untuk berpisah lagi dari sampingmu.”
“Kakang Wiraman...“ Widawati mulai terisak.
“Mungkin aku telah menjadi gila, Diajeng,” suara Wiraman terdengar
gemetar, “akan tetapi... demi semua Dewata, aku tidak berpura-pura,
tidakpula dimabuk nafsu. Sudah banyak kujumpai puteri-puteri cantik
jellta, lebih cantik dari padamul sudah pula kuhadapl godaan
wanita-wanita cantik, namun aku selalu menghindari karena hatiku tidak
suka menerima semua itu. Akan tetapi terhadap engkau, aku benar-benar
jatuh! Duhai Dewata, salahkah Wiraman ini? Salahkah Wiraman yang
setengah tua ini menjatuhkan hatlnya kepada seseorang, dalam hal ini
seorang gadis seperti, Widawati? Berdosakah kalau hati ini jatuh cinta?”
Ucapan-ucapan terakhir itu tidak lagi ditujukan kepada Widawati, melainkan kepada diri sendiri atau kepada para dewata.
Sampai lama keadaan sunyi, hanya terdengar Widawati menangis sesenggukan
sambil menyembunyikan mukanya di balik telapak tangannya. Kemudian
terdengar gadis itu berkata lirih,
“Kakang, bagaimana aku akan menjawab? Engkau merupakan satu-satunya
orang yang paling baik bagiku, seorang yang telah melimpahkan budi
kepadaku... cintamu itu, sungguh pun amat mengejutkan hatiku, namun aku
percaya akan kemurnianhya. Engkau adalah seorang pria yang patut
dihormati, patut disuwitani, patut dicinta. Sesungguhnya, alangkah akan
mudahnya bagi hatiku untuk membalas cinta kasih-mu, Kakang, akan
tetapi...”
“Akan tetapi aku sudah terlalu tua bagimu? Pantas menjadi ayahmu,
menjadi pamanmu? Katakanlah terus terang, Diajeng. Aku Wiraman bukan
seorang lemah dan aku dapat menghadapi semua kenyataan dengan mata
terbuka dan pikiran sadar.”
“Bukan, bukan begitu, Kakang Wiraman. Aku pun maklum bahwa cinta
tidaklah melihat usia, tidak pula melihat kedudukan dan keadaan
seseorang. Akan tetapi... engkau telah mempunyai anak isteri, Sedangkan
aku... aku semenjak dahulu bercita-cita untuk cinta mencinta dengan satu
orang saja, tidak suka aku dimadu... tidak suka aku melihat seorang
pria mempunyai selir. Banyak sudah terbukti kekacauan timbul karena
selir, contohnya sang..prabu sendiri...”
“Akan tetapi, tidak semua selir sejahat dia, Diajeng. Bukan sekali-kali
aku menyatakan ini untuk memaksamu menjadI selirku. Tidak. Sudah
kukatakan tadi bahwa aku mencintamu bukan oleh dorongan nafsu. Aku hanya
tidak ingin berpisah darimu dan... dan... ah, sudahlah, Diajeng, aku
hanya membuatmu berduka saja: Sudah cukup bagiku kalau engkau mendengar
akan perasaan hatiku, sudah cukup kalau engkau mengetahui bahwa aku
mencintamu. Lebih dari pada itu, tidak kuharapkan. Kalau engkau tidak
membalas cintaku, itu pun dapat kuterima dengan penuh kesadaran. Aku
tidak menyalahkanmu, hanya aku sendiri-lah yang gila. Aku tidak ingIn
menyeretmu ke lembah kedukaan dan kesengsarain, dan semoga Sang Hyang
Wisesa akan dapat mengangkatku dari pada keadaan yang gila ini. Kau
tinggallah di sini, Diitjeng, aku akan memburu kijang untuk kIta makan.
dagingnya. Di dalam hutan di depan itu pasti banyak binatang buruan.”
Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah lari meninggalkan Widawati memasuki
hutan yang liar itu untuk mencari binatang buruan, terutama kijang yang
lembut dan lezat rasa dagingnya.....
Komentar
Posting Komentar