PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-57
“Dewi Sarilangking...! Maafkan kalau saya keliru menduga... bukankah
Andika ini Sang Dewi Sarilangking yang kemudian terkenal dengan julukan
Nini Bumigraba...“
“Hik, hik, Datujiwa! Matamu masih tajam. Lima puluh tahun yang lalu kita
pernah bertemu dan engkau masih belum lupa kepadaku. Bagus! Hai ini
saja sudah menyelamatkan kepalamu!”
“Saya menghaturkan salam dan hormat kepada Nini Bumigarba yang sakti
mandraguna. Kalau boleh saya bertanya, apakah kehendak Andika sehingga
memberi penghormatan kepada kami dengan kunjungan ke Wilis ini?”
“Ketahuilah, heh engkau Datujiwa! Aku sedang nganglang jagad
(mengelilingi dunia) untuk, mencari seorang murid yang cocok. Di sini
aku melihat bocah ini, hatiku tertarik sekali. Dia cocok untuk mewarisi
ilmu-ilmuku. Sayang engkau telah merusaknya dengan omongan-omongan
kosong tentang mengalah dan macam-macam obrolan tiada guna.”
Sebelum ada yang menjawab, Retna Wilis yang baru berusia enam tahun itu
bangkit berdiri dan berkata kepada nenek aneh yang mukanya diselimuti
uap hitam itu, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar,
“Nenek yang aneh! Aku adalah murid Eyang Datujiwa yang sakti. Engkau
hendak mengambil murid aku? Apakah kesaktianmu? Apakah engkau lebih
sakti dari Eyang Datujiwa? Aku hanya mau menjadi murid orang yang
memiliki kesaktian lebih dari Ibuku dan Eyang Datujiwa!”
“Retna... Diam kau!” bentak Endang Patibroto yang masih merasa ngeri
melihat nenek itu. Ia mengerti bahwa nenek ini biar pun seorang sakti,
namun dikelilingi oleh hawa jahat seperti iblis. Mana mungkin ia
membolehkan puterinya menjadi murid nenek iblis ini?
“Heh-heh-heh, semangatnya boleh juga! Nah, Datujiwa, engkau mendengar
sendiri. Hayo bangkit dan kau lawan aku beberapa jurus untuk membuka
mata calon muridku!”
“Tidak! Tidak boleh anakku diambil murid orang begitu saja!” Endang
Patibroto berteriak marah. Kekhawatirannya bahwa anaknya akan diambil
murid nenek iblis itu membuat ia marah dan lupa akan kengeriannya.
Timbul keberaniannya dan kalau Endang Patibroto sudah marah, biar setan
dan iblis sendiri muncul di depannya, dia tidak akan mundur selangkah
untuk melawannya!
Nenek yang tadinya sama sekali tidak memperhatikan Endang Patibroto, kini membalikkan mukanya memandang penuh perhatian.
“Hemm... jadi engkaukah yang menjadi ibu anak ini? Wah, engkau boleh
juga. Pantas saja mempunyai puteri seperti dia. Siapakah namamu, Nini?”
“Namaku Endang Patibroto dan akulah ketua Padepokan Wilis. Retna Wilis
adalah puteriku, dan dia menjadi murid Ki Datujiwa atas kehendakku. Aku,
tidak memperkenankan dia menjadi muridmu, harap kau orang tua jangan
memaksa!”
“Heh-heh-heh, siapa yang memaksa? Anakmu itu dengan suka hati sendiri
datang kepadaku. Bukankah begitu, Retna Wilis yang manis? Engkau yang
datang sendiri kepadaku? Lihatlah.”
Retna Wilis hanya memandang dengan matanya yang lebar bersinar-sinar,
akan tetapi tiba-tiba anak itu lalu berjalan menghampiri nenek itu. Ada
sesuatu yang mendorongnya sehingga kedua kakinya dengan sendirinya
melangkah menghampiri nenek iblis itu.
“Retna Wilis! Jangan lancang engkau!” Endang Patibrotb membentak.
“Heh-heh, tidak ada yang memaksa dan engkau pun akan merelakan anakmu,
Endang Patibroto. Retna Wilis bocah ayu, kembalilah dulu kepada ibumu,
aku tidak memaksa siapa-siapa dan kalau kau ingin menyaksikan
kesaktianku, Ibu dan gurumu ini boleh belajar seratus tahun lagi masih
takkan mampu menandingiku.”
Setelah Ratna Wilis berjalan mendekatinya, Endang Patibroto maklum dari
pandang mata anaknya bahwa anaknya tadi menghampiri si nenek iblis itu
bukan atas kehendak sendiri. Kemarahannya memuncak dan ia lalu menerjang
maju, meloncat dan menampar dengan tangan terbuka. Hebat bukan main
gerakan Endang Patibroto ini karena dalam kemarahannya dan dugaannya
bahwa lawannya amat sakti, ia meloncat dengan Aji Bayu Tantra dan
menghantam dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh sekali.
“Wuuuutttt...! Dessss...!”
Tubuh Endang Patibroto terpental membalik bagai dilontarkan. Padahal
pukulannya belum menyentuh tubuh nenek itu masih terpisah setengah
meter. Akan tetapi ada hawa mujijat yang mendorongnya ke belakang
sehingga kalau dia tidak memiliki ilmu keringanan tubuh yang hebat tentu
ia telah terbanting
“Jangan...Ni-dewi...!”
Namun cegahan Ki Datujiwa itu terlambt karena Endang Patibroto dalam
kemarahan-nya telah memekik dengan aji kesaktian Sardulo Bairowo dan dia
telah menerjang lagi sambil menggunakan pukulan Gelap Musti yang amat
dahsyat.
“Blaarrrr!”
Pukulan yang hebat bagaikan halilintar menyambar itu juga tidak sampai
menyentuh tubuh si nenek yang hanya tersenyum. Pukulan itu tertumbuk
pada dinding yang tak tampak, namun yang kuatnya melebihi baja, dan yang
membuat Endang Patibroto terhuyung-huyung ke belakang dengan tubuh
tergetar hebat. Kini Endang Patibroto memandang dengan mata terbelalak
“Hi-hi-hik, kau benar-benar hebat. Tak kusangka engkau sehebat ini,
Nini. Ah, makin berhargalah puterimu. Ibunya begini hebat, dan sudah
sepatutnya kalau puterinya kelak lebih hebat lagi. Siapa-kah gurumu,
Nini Endang Patibroto.?”
Suara itu terdengar halus lembut dan manis sekali dan ada pengaruh yang
mendorong Endang Patibroto untuk menjawab dengan suara gemetar,
“Guruku... adalah Dibyo Mamangkoro...!
“Heh-heh-heh-heh! Pantas... pantas... Dibyo Mamangkoro adalah paman dari
iblis betina Mamangsari isteri Prabu Boko! Ha-ha-ha, sungguh kebetulan
sekali. Dan aku adalah guru dari Mamangsari! Kalau kini puterimu belajar
kepadaku, berarti dia menjadi murid dari Eyang Canggahnya sendiri...
hi-hik!”
Endang Patibroto terbelalak dan tertegun. Pantas saja nenek ini sakti
seperti iblis sendiri, kiranya adalah guru dari Mamangsari permaisuri
Sang Prabu Boko yang kabarnya dahulu memiliki aji-aji kesaktian sejajar
dengan kesaktian Sang Prabu Boko!
Akan tetapi kini Ki Datujiwa yang sudah bangkit berdiri maju dan memberi hormat kepada nenek itu.
“Sadhu-sadhu-sadhu... Nini Bumigarba! Pengambilan murid harus dilakukan
dengan suka rela antara guru dan muridnya, juga harus pula mendapatkan
ijin orang tuanya Memaksakannya berarti memperkosa dan hal itu amatlah
tidak baik. Apa lagi Retna Wilis sudah menjadi muridku, biar pun
kepandaianku masih dangkal, kalah jauh kalau dibandingkan dengan
kepandalanmu, akan tetapi dia menjadi muridku secara suka rela, Kalau
aku sebagai gurunya melarang dia menjadi murid orang lain, ibunya
sendiri pun tidak setuju, tidak semestinya Andika memaksakan kehendakmu,
Nini Bumigarba.”
Kini dari balik tabir asap atau uap menghitam itu tampak sepasang mata yang menyinarkan api.
“Datujiwa! Engkau ini siapa berani menentangku? Sudah kukatakan bahwa
aku tidak memaksa, dan bocah ini dengan suka sendiri hendak menjadi
muridku, dengan syarat aku harus dapat mengalahkanmu. Tidak perlu banyak
wawasan lagi, majulah dan lawanlah aku kalau kau hendak mempertahankan
kedudukanmu sebagai guru Retna Wilis!”
Ki Datujiwa menoleh kepada Retna Wilis dan bertanya, suaranya halus dan
sikapnya masih tenang, “Angger, Retna Wilis benarkah engkaupun akan suka
berguru kepada Nini Bumigarba ini kalau dia dapat mengalahkan aku?”
Retna Wilis semenjak kecil dimanja ibunya dan anak ini paling ingin
menjadi seorang yang sakti. Dia belum dapat membedakan mana baik dan
mana jahat, bahkan tidak mempedulikannya. Baginya, kalau dia bisa
menjadi seorang sakti, seperti ibunya, atau melebihi, dia akan merasa
senang sekali. Kini ditanya oleh gurunya, dia menjawab sambil mengangguk
,
“Benar, Eyang. Saya percaya bahwa Eyang yang sakti tentu akan dapat mengalahkan nenek ini.”
Ki Datujiwa menghela napas dan ketika bertemu pandang dengan Endang Patibroto, ia makin kecewa.
Dalam pandang mata Endang Patibroto, ia dapat merangkap pernyataan
wanita itu yang ingin agar dia turun tangan menandingi Nini Bumigarba.
Agaknya Endang Patibroto sendiri pun percaya bahwa dia akan dapat
mengalahkan nenek ini.
“Baiklah, Nini Bumigarba. Entah apa hubungannya kemunculanmu yang aneh
ini dengan munculnya awan gelap dari Sriwijaya dan Cola, aku tidak tahu.
Akan tetapi, jangan salah menduga bahwa aku menghadapimu karena
memperebutkan siswa. Kalau hanya untuk itu, aku rela mengalah. Akan
tetapi terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri menentangmu karena aku
tahu pasti bahwa kalau Retro Wilis menjadi muridmu, dia akan kaubawa
menyeleweng dari pada kebenaran dan kelak dia hanya akan menimbulkan
malapetaka saja. Nah, aku sudah siap!”
Nini Bumigarba bergelak, suara ketawa yang mengandung kekejaman karena
sesungguhnya nenek ini marah sekali. Rahasianya telah dibuka oleh dugaan
Ki Datujiwa dan dia mengambil keputusan untuk melenyapkan orang yang
dianggapnya hanya akan menjadi penghalang saja ini.
“Nah, hadapilah kematianmu!”
Nini Bumigarba mendengus dan kedua tangannya bergerak seperti orang
menampar. Jarak antara dia dan Ki Datujiwa ada dua meter jauhnya, akan
tetapi tamparannya itu mendatangkan angin dan hawa pukulan amat
dahsyatnya. Ki Datujiwa yang maklum akan kesaktian lawan, cepat mengelak
dan menangkis. Namu tetap saja ia terhuyung-huyung ke belakang dengan
wajah pucat.
“Hi-hi-hik, Retna Wilis bocah ayu lihatlah, baru sekali pukulan saja
dungu yang menjadi gurumu ini sudah tidak kuat!” Nini Bumigarba melangk
maju dua tindak dan kembali kedua tangannya menampar dari kanan kiri.
Ki Datujiwa sebetulnya bukan seorang sakti biasa saja. Dia memiliki
kesaktian yang sudah tinggi tingkatnya dan jaranglah ada orang yang
mampu menandinginya. Endang Patibroto sendiri yang memiliki kesaktian
menggemparkan kedu kerajaan Jenggala dan Panjalu, masih kalah olehnya.
Akan tetapi kini dia menghadap Nini Bumigarba, bukan manusia lumrah,
maka dia terpaksa mengerahkan seluruh tenaga batin dan tenaga saktinya.
Kembali dia menangkis pukulan jarak jauh itu sambil meloncat ke kiri
sehingga kini tidak lagi dia terhuyung. Dia maklum bahwa kalau dia
membalas dengan pukulan jarak jauh, tenaga saktinya masih tidak akan
kuat merobohkan si nenek iblis, maka kini dengan nekat ia lalu
melanjutkan loncatannya mengelak tadi, sebelum kakinya kembali menyentuh
tanah ia sudah melejit dan tubuhnya menyambar miring ke arah Nini
Bumigarba, tangan kananhya menatnpar dan ia mengeluarkan pekik nyaring.
Telapak tangan kakek ini berubah merah dan pukulannya ini kalau mengenai
tubuh lawan, dapat membuat tubuh lawan tewas dalam keadaan hangus!
“Plakkk... Pukulan telapak tangan itu sama sekali tidak menyentuh kulit
tubuh Nini Bumigarba, masih sejengkal jauhnya, akan tetapi sudah
tertangkis hawa sakti yang kuat sekali sehingga Ki Datujiwa terpelanting
jatuh!
Dengan sigapnya Ki Datujiwa meloncat bangun, akan tetapi gerakannya ini
dipapaki oleh sebuah tamparan tangan kiri Nini Bumigarba. Telapak tangan
nenek ini tidak menyentuhnya, namun hawa pukulan yang ampuhnya menggila
telah mengenai kepala sehingga kakek yang sakti itu mengeluarkan suara
keluhan perlahan dan robohlah ia, roboh miring tak betgerak lagi karena
nyawanya telah meninggalkan badan.
“Kau... kau bunuh dia...?”
Endang Patibroto memeklk marah dan siap untuk menyerang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba Retna Wilis berseru,
“Ibu, dia hebat sekali! Eyang Datujiwa dikalahkannya dengan mudah! Ibu, aku suka menjadi muridnya!”
“Retna Wilis...!”
Endang Patibroto membentak akan tetapi tiba-tiba terjadilah keanehan.
Endang Patibroto merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan air dingin yang
mengusir semua amarahnya, membuat semangatnya lemah dan tubuhnya lesu
dan dingin.
Ketika ia mengangkat muka, ia melihat betapa kini tabir asap yang
menyelubungi wajah nenek itu lenyap, tampaklah wajah yang masih
membayangkan kecantikan, wajah yang kini dalam pandang matanya tampak
agung dan suci, yang mempunyai sinar mata seperti kilat menyambar. Ia
pun menunduk dan seperti bukan atas kehendak sendiri, Endang Patibroto
berkata,
“Baiklah, Retna Wilis, kuijinkan engkau menjadi murid Nini Bumigarba...“
Nini Bumigarba tertawa mengikik, tubuhnya menyambar didahului asap hitam
kemudian ia melayang pergi dari situ dan lenyaplah nenek itu bersama
Retna Wilis!.
Setelah nenek itu lenyap, barulah Endang Patibroto seperti disiram air
dingin, seperti baru sadar dari mimpi buruk. Ia terbelalak mencari
anaknya, kemudian menjerit,
“Retna... Anakku...! Jangan pergi...!” Ia lalu meloncat dengan Aji Bayu
Tantra, melakukan pengejaran ke arah lenyapnya tubuh nenek tadi.
Namun sampai ke bawah puncak ia berlari-lari, dipandang penuh keheranan
oleh semua anggota Padepokan Wilis yang tidak tahu apa yang telah
terjadi. Kemudian Endang Patibroto berlari-lari ke puncak, kini diikuti
oleh semua anak buahnya yang menduga terjadi hal-hal yang amat hebat.
Ketika para anggota Padepokad Wilis tiba di puncak, mereka terbelalak
memandang ketua mereka itu menangisi Ki Datujiwa yang telah menjadi
mayat!.
Beberapa hari kemudian, setelah mengurus jenazah Ki Datujiwa dan
berkabung, Endang Patibroto mengumpulkan semua anak buahnya. Dengan
rambut awut-awutan dan pakaian lusuh dia berkata,
“Puteriku diculik orang. Aku akan pergi mencarinya. Kalian semua bekerja
seperti biasa dan jagalah Padepokan Wilis baik-baik. Jangan mencari
perkara dengan orang luar dan hanya kalau ada orang luar datang
mengganggu, lawan sekuatnya. Tunggu sampai aku kembali ke sini.”
Demikian pesannya dan semua anak buahnya mengantar kepergian ketua mereka itu dengan hati penuh prihatin.
Setelah jauh meninggalkan Wilis, Endang Patibroto menjadi bingung.
Kemana ia harus mencari puterinya? Penculik puterinya adalah seorang
manusia seperti iblis, sukar sekali dicari jejaknya. Andai-kata dia
berhasil menemukan puterinya bersama penculiknya sekali pun, apakah
dayanya? Dia tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap seorang yang
sakti mandraguna seperti Nini Bumigarba itu!
Makin nelangsa rasa hati Endang Patibroto, nelangsa dan merasa
ditinggalkan seorang diri di dunia yang penuh derita ini. Teringatlah
Endang Patibroto kepada ayah Retna Wilis dan tiba-tiba wanita perkasa
ini menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak. Wanita
gagah perkasa yang di waktu mudanya menimbulkan geger, yang tidak
mengenal takut tidak mengenal susah berwatak keras seperti baja itu kini
menangis sesenggukan.
“Joko Wandiro... aduhh, Joko Wandiro..., bagaimana anakmu... Tidak tahukah engkau betapa hancur hatiku...?”
Ia merintih-rintih menyebut nama kecil Tejolaksono. Terbayanglah wajah
kekasihnya itu. Tejolaksono atau Joko Wandiro, adipati di Selopenangkep
dan rasa rindunya tak tertahankan lagi. Dia harus mencari Tejolaksono.
Dia harus menyampaikan kesusahan ini kepada ayah Retna Wilis. Hanya
bersama Tejolakson saja di sampingnya ia akan merasa kuat menghadapi
Nini Bumigarba, merasa kuat untuk melanjutkan hidup, menempuh gelombang
kehidupan, mengatasi segala kepahitan dan derita. Dia tidak perlu malu
kepada Ayu Candra.
Setelah mendapat pikiran ini, bulat tekad di hati Endang Patibroto untuk
kembali ke Selopenangkep minta bantuan Tejolaksono untuk bersama-sama
mencari puteri mereka yang dilarikan Nini Bumigarba. Wanita perkasa ini
melakukan perjalanan cepat siang malam tanpa berhenti dan dalam beberapa
hari saja tiba-lah dia di Kadipaten Selopenangkep.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa hatinya ketika mendapat
keterangan bahwa Adipati Tejolaksono tidak lagi menjadi adipati di
Selopenangkep dan bahwa Adipati Tejolaksono telah di ganti orang lain.
Namun kekecewaan in terobati oleh keterangan bahwa kekasihnya itu kini
telah menjadi patih muda Kota Raja Panjalu! Diam-diam ia merasa girang
dan bersyukur bahwa kini orang yang dicintanya telah mendapat kemuliaan.
Kemudian rasa girang dan syukur ini terganggu pula oleh berita bahwa di
dalam kekacauan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Panjalu,
Selopenangkep pernah diduduki musuh dan dalam perang itu banyak sekali
orang gagah Selopenangkep yang gugur, di antaranya adalah Roro Luhito,
ibu tirinya yang gugur dalam medan perang. Juga bahwa adik tirinya
Pusporini, lenyap dalam keributan itu.
Ketika Endang Patibroto mendengar cerita tentang hancurnya Selopenangkep
dan larinya Tejolaksono bersama Ayu Candra, ia menjadi terharu. Ah,
kiranya orang yang dikasihinya itu pun mengalami penderitaan. Putera
mereka, Bagus Seta, masih belum kembali dan akhirnya Tejolaksono berdua
Ayu Candra saja yang masih tinggal, namun kemudian terpaksa pula lari
dari Selopenangkep.
“Aku harus menyusul mereka ke Panjalu,” pikirnya. Tidak ada orang lain
di dunia ini yang dapat ia sambati, yang dapat ia harapkan bantuannya
untuk mencarI kembali anaknya yang hilang.
Tanpa mengenal lelah Endang Patibroto lalu meninggalkan Selopenangkep
dan melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan, yaitu menuju ke Kota
Raja Panjalu di timur. Sungguh ia tidak mengira bahwa ia masih akan
kembali ke kota raja, padahal ketika ia tinggal di Wilis, ia berjanji
dalam hatinya tidak akan mencampuri urusan kedua Kerajaan Panjalu dan
Jenggala lagi.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sudah amat terkenal, baik di
Panjalu maupun di Jenggala. Karena maklum akan hal ini, Endang
Patibroto memasuki Kota Raja Panjalu secara diam-diam, menggunakan
kepandaiannya untuk masuk dengan cara meloncati pagar tembok yang
mengelilingi kota raja. Kemudian ia pergi mencari tempat tinggal Patih
Muda Tejolaksono.
Waktu itu telah lewat tengah hari, menjelang senja dan dengan gerakan
seperti seekor burung srikatan, Endang Patibroto meloncati pager di
belakang kepatihan, kemudian melayang turun masuk ke dalam taman
kepatihan.
Teringat bahwa ia telah berada di taman tempat tinggal kekasihnya dan
bahwa ia akan bertemu dengan orang yang selama bertahun-tahun ini
menjadi kembang mimpi, menjadi kenangan yang menimbulkan kerinduan,
jantungnya berdebar karena girang dan tegang, juga amat terharu.
Pada saat itu, kebetulan sekali Patih Muda Tejolaksono sedang duduk di dalam taman bunga, duduk melamun seorang dia.
Hati Ki Patih Tejolaksono sedang ruwet, pikirannya tidak tenang dan
hatinya selalu merasa tidak enak. Hal ini disebabkan karena ki patih ini
memikirkan keadaan di Jenggala. Beberapa pekan yang lalu, secara tak
terduga-duga ia dan isterinya, Ayu Candra, menerima kedatangan
Setyaningsih dan suaminya, Pangeran Panji Sigit. Suami isteri yang untuk
beberapa tahun hidup kesepian di Panjalu ini tentu saja menjadi girang
dan hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri ketika melihat
Setyaningsih tiba-tiba muncul itu. Baru setelah Setyaningsih yang
menangis itu memeluk Ayu Candra, mereka sadar bahwa yang mereka alami
bukanlah dalam mimpi.
“Aduh, adikku yang cantik... engkau... engkau Setyaningsih... Puji
syukur kepada para dewata bahwa engkau... engkau sekarang telah menjadi
puteri jelita... betapa lamanya engkau pergi, Adikku...“
Akhirnya Ayu Candra dapat berkata setelah berangkul-rangkulan dan bertangisan.
Setyaningsih mengusap air matanya kemudian memberi hormat, menyembah
kepada Ki Patih Tejolaksono yang memandang penuh keharuan. Wajah ki
patih yang masih tampan itu penuh gores-gores tanda kepahitan dan
penderitaan batin yang menimpanya selama bertahun-tahun ini. Setelah
mengelus rambut kepala Setyaningsih penuh keharuan, Ki Patih Tejolaksono
berkata;
“Adinda Setyaningsih, sungguh saat ini amat membahagiakan hatiku.
Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapakah ksatria perkasa yang
datang bersamamu ini, Adinda?”
Wajah yang ayu itu tiba-tiba menjadi merah dan dengan suara lirih ia berkata memperkenal kan,
“Dia... dia adalah... suami hamba, dia Pangeran Panji Sigit dari Jenggala.”
“Ahhhh...!”
Tejolaksono berseru, tercengang kemudian cepat-cepat ia menjatuhkan diri
berlutut, diikuti oleh Ayu Candra, hendak menghaturkan sembah.
“Harap Paduka maafkan, karena hamba tidak tahu bahwa Paduka...”
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat berlutut juga dan mengangkat bangun Ki Patih Tejolaksono.
“Duh Rakanda Patih dan Ayunda, mohon jangan membikin saya menjadi malu
dan kikuk. Setelah saya menjadi suami Diajeng Setyaningsih, berarti saya
adalah adik ipar Paduka sendiri. Rakanda Patih, saya tidak berani
menerima penghormatan Paduka berdua, bahkan sayalah yang menghaturkan
sembah kepada Rakanda berdua.”
Ki Patih Tejolaksono menjadi gembira sekali menyaksikan kerendahan hati
dan keramahan pangeran muda itu. Dia tersenyum dan berkata,
“Baiklah, Adinda Pangeran, silakan duduk. Sungguh amat besar rasa
bahagia di hati saya mendengar bahwa Adinda Pangeran berkenan mengambil
Yayi Setyaningsih sebagai isteri.”
“Setyaningsih, kau bocah nakal! Sungguh terlalu sekali, mengapa menikah
secara diam-diam saja tidak mengundang kami? Betapa tega hatimu...
melupakan kami...“
Ayu Candra menegur.
Setyaningsih menunduk.
“Maafkan saya, Ayunda. Sesungguhnya, belum lama saya dinikahkan secara
sederhana di Wilis. Ayunda Endang Patibroto menghendaki demikian, dan
dia adalah ketua Padepokan Wilis dan tinggal di sana semenjak...
semenjak pergi dari Selopenangkep.”
“Aduh Dewa... Kasihan sekali Endang Patibroto...!”
Ayu Candra terisak menangis sedangkan Ki Patih Tejolaksono mengerutkan
keningnya, merasa jantungnya seperti ditusuk keris berbisa.
“Ohhh, Endang Patibroto, mengapa engkau meninggalkan kami dan hidup
bersunyi sendiri di puncak Wilis...? Ah, betapa besar penderitaanmu...”
Kembali Ayu Candra menangis, dan Setyaningsih ikut pula menangis.
Ki Patih Tejolaksono menghela napas panjang lalu berkata, suaranya menggetar namun nadanya senang,
“Sudahlah, tidak perlu disedihkan karena hal itu sudah terlewat. Kurasa,
penderitaannya tidaklah lebih besar dari pada penderitaan kita, bahkan
mungkin sekali dia lebih senang karena dapat hidup tenteram dan damai di
puncak Wilis, tidak seperti kita yang selalu tertimpa keributan dan
kekacauan perang.”
Ayu Candra terhibur pula dengan ucapan suaminya yang cukup beralasan ini, maka sambil menyusut air matanya ia lalu bertanya,
“Adinda Setyaningsih, bagaimana... bagaimana dengan puteranya...?”
Setyaningsih mengerling ke arah Ki Patih Tejolaksono dan menjawab perlahan,
“Ayunda Endang Patibroto mempunyai seorang puteri, namanya Retna Wilis,
keponakanku cantik manis dan amat pintar. Kini telah berusia enam tahun
dan bahkan baru-baru ini mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna,
yaitu Eyang Resi Datujiwa...“
“Aahhhh, Kakangmas... Paduka harus menyusul ke Wilis, harus memboyong
Adinda Endang Patibroto dan Nini Retna Wilis! Endang Patibroto adalah
isteri Paduka dan Retna Wilis adalah puteri Paduka, anak kita... ah,
Kakangmas, Paduka harus memboyong mereka ibu dan anak... harus...!” Ayu
Candra terisak menangis.
Pangeran Panji Sigit bertukar pandang, dengan isterinya. Pangeran muda
ini telah mendengar dari isterinya bahwa Retna Wilis adalah puteri
Tejolaksono, bahkan Endang Patibroto, kakak iparnya yang telah menjadi
janda itu telah menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono. Ia hanya menunduk
dan mendengarkan dengan terharu, merasa kasihan kepada Endang Patibroto
dan puterinya, dan merasa kagum akan kehalusan budi Ayu Candra.
“Diajeng Ayu Candra, apakah engkau sudah lupa akan watak Endang
Patibroto? Kalau dia sudah mengambil keputusan, siapakah yang akan mampu
merubahnya? Kalau dia menghendaki untuk hidup bersama kita, tentu dia
akan datang sendiri, sebaliknya kalau dia tidak menghendaki, disusul pun
apa gunanya? Kita harus mengucap syukur bahwa dia masih dalam keadaan
selamat, demikian puteri kita... Retna Wilis...”
Ketika menyebut nama ini, suara Ki Patih Tejolaksono agak menggigil
karena ia merasa terharu sekali. Dia mempunyai seorang putera, namun
Bagus Seta itu semenjak kecil dibawa pergi orang-orang sakti dan belum
juga kembali. Dia mempunyai seorang puteri pula, namun selama hidupnya
belum pernah ia melihat puterinya yang sudah berusia enam tahun itu!
Setelah menarik napas panjang menenangkan penderitaan batinnya,
Tejolaksono lalu berkata kepada Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit,
“Sebaiknya Adinda berdua kini menceritakan pengalaman Andika.”
Tiba-tiba wajah Pangeran Panji Sigit yang tampan itu menjadi muram dan ia berkata,
“Ah, Rakanda Patih, kedatangan kami berdua membawa berita yang amat buruk dari Jenggala.”
Ki Tejolaksono mengangguk-angguk
“Kami di Panjalu telah mendengar berita terbawa angin lalu bahwa di
Jenggala terjadi kekacauan-kekacauan, bahkan kabarnya Paman Patih
Brotomenggala yang setia itu melakukan pengkhianatan sehingga seluruh
keluarga dihukum mati. Sampai di manakah kebenaran berita ini Adinda
Pangeran?”
“Duh Rakanda Patih, memang seperti mimpi buruk apa yang terjadi di
Jenggala. Bukan itu saja, bahkan... Ibunda Ratu sendiri kini telah
diasingkan di pembuangan yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro...”
“Aduh para dewata yang agung! Sampai sedemikian jauhnya? Mengapa...?”
“Fitnah, Rakanda! Fitnah merajalela di Jenggala dan Ramanda Prabu telah
dicengkeram persekutuan yang lebih jahat dan keji dari pada iblis-iblis
sendiri!”
Dengan penuh semangat namun dengan suara penuh duka Pangeran Panji Sigit
lalu menceritakan keadaan di Jenggala seperti yang ia dengar dari mulut
sang ratu sendiri. Ki Patih Tejolaksono dan Ayu Candra mendengarkan
dengan wajah berubah pucat dan mata terbelalak. Setelah Pangeran Panji
Sigit selesai bercerita, Ki Patih Tejolaksono memukul pahanya sendiri
sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
“Hebat...! Sang Prabu di Panjalu selalu merasa sungkan untuk mencampuri
urusan dalam istana Jenggala. Akan tetapi kalau keadaan sudah sedemikian
rusaknya, hal ini sebaiknya harus dilaporkan kepada sang prabu!”
“Memang kedatangan saya di Panjalu ini selain mengunjungi Rakanda Patih,
juga menurut nasehat dari Ibunda ratu untuk minta bantuan Uwa Prabu di
Panjalu agar Kerajaan Jenggala dapat diselamatkan dan dibersihkan dari
pada pengaruh anasir-anasir jahat itu, Rakanda.”
“Bagus! Kalau begitu, marilah sekaang juga kuantarkan Adinda Pangeran menghadap sang prabu.”
Sang prabu di Panjalu menerima kunjungan keponakannya dengan penuh
keramahan, akan tetapi ketika Sang Pangeran Panji Sigit menceritakan
tentang keadaan di Jenggala, sang prabu menjadi kaget dan keningnya
berkerut-kerut.
“Duh Jagad Dewa Bathara! Mengapa yayi prabu sampai terperosok begitu dalam?”
“Gusti sesembahan hamba,” Ki Patih Tejolaksono berkata, “hamba teringat
akan wejangan Sang Sakti Bhagawan Ekadenta akan awan gelap yang
mengancam keselamatan kerajaan keturunan Mataram. Hal ini cocok benar
dengan. lenyapnya huru-hara yang tadinya ditimbulkan oleh orang-orang
Sriwijaya dan Cola. Bukan tidak mungkin kalau mereka itu yang berhasil
menyelundup ke Jenggala dan merusak Jenggala dari dalam Gusti. Mohon
beribu ampun, bukan sekali-kali hamba hendak bersikap lancang akan
tetapi sebaiknya hal ini tidak didiamkan saja dan sudah sepatutnya kalau
hamba menerima perintah Paduka untuk membawa pasukan pilihan dan
membersihkan Jenggala dari pada pengaruh-pengaruh jahat itu, Gusti.”
Sang prabu tersenyum tenang.
“Memang sudah sepatutnya kalau engkau sebagai patih muda bersiap-siap
untuk membela Jenggala karena Kerajaan Jenggala merupakan kerajaan
keluarga kami. Akan tetapi wawasanmu itu kurang tepat dan agaknya tidak
akan bijaksana kalau dilaksanakan, Patih 'Tejolaksono.”
“Bolehkah hamba mengetahui mengapa tidak bijaksana kalau dilaksanakan,
Gusti? Padahal Jenggala sungguh amat membutuhkan bantuan.”
“Engkau harus ingat bahwa keadaan di Jenggala itu bukan terjadi karena
pengaruh dari luar yang dipaksakan, melainkan semua terjadi atas
kehendak yayi prabu sendiri. Kalau kita mencampurinya, hal itu amatlah
tidak baik dan pula tidak semestinya, patihku yang setia. Jangan-jangan
malah akan menimbulkan salah faham dari pihak yayi prabu sendiri. Tentu
saja akan menjadi lain persoalannya kalau yayi prabu sendiri yang
mengajukan permintaan bantuan secara resmi, tentu akan kukerahkan bala
tentara Panjalu untuk menyelamatkan Jenggala, tetapi, keadaannya lain
sama sekali. Belum tiba saatnya bagi kita untuk turun tangan.”
Mau tidak mau Tejolaksono harus mengakui kebenaran pendapat junjungannya
ini dan dia tidak berani membantah pula. Pangeran Panji Sigit sebagai
keponakan sang prabu, diminta untuk membawa isterinya dan berada di
istana.....
Komentar
Posting Komentar