PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-58


Kalau ia teringat kepada orang-orang sakti seperti Sang Biku Janapati, apa lagi Sang Wasi Bagaspati, dengan anak buah mereka yang sakti mandraguna seperti Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni, ia bergidik dan merasa ngeri. Kalau orang-orang yang amat sakti dan jahat seperti mereka itu, menandingi iblis sendiri, yang sedang mengacau Jenggala, akan hebat dan mengerikan akibatnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika senja hari itu Endang Patibroto mengguna kan kepandaiannya menyelundup ke Kota Raja Panjalu kemudian secara rahasia ia melompatl dinding kepatihan dan memasuki taman bunga, pada saat itu kebetulan Ki Patih Tejolaksono sedang termenung seorang diri di alam taman itu.
“Kakangmas...”
Lirih sekali nanggilan yang keluar dari mulut Endang Patibroto yang berdiri dengan muka pucat dan air mata bercucuran ketika ia memandang pria yang amat dicintanya itu.
Hatinya diliputi keharuan. Kekasihnya itu kini sudah agak tua, rambutnya di atas telinga telah mulai bercampur uban, wajahnya yang masih tampan dan gagah itu penuh garis-garis derita batin. Apa lagi dalam keadaan termenung itu, wajah Tejolaksono kelihatan susah dan murung.
Ki Patih Tejolaksono sedang tenggelam dalam lamunannya, memikirkan keadaan Jenggala, memikirkan Endang Patibroto dan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, memikirkan Bagus Seta yang belum juga kembali, sehingga ia agaknya tidak mendengar panggilan halus lirih itu.
“Kakangmas Tejolaksono...”
Ki Patih Tejolaksono tersentak kaget lalu bangkit dari duduknya sambil membalikkan tubuh.
Matanya terbelalak, wajahnya pucat, sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya, bahkan menggunakan tangan menggosok kedua matanya karena ia khawatir kalau-kalau renungannya membuat ia seperti mimpi. Benarkah wanita yang berdiri dengan air mata bercucuran ini Endang Patibroto, wanita yang tak pernah dia lupakan selama ini, yang selalu ia rindukan, yang membuat ia merana dan duka? Tidak salah lagi. Tak ada wanita ke dua di dunia ini seperti Endang Patibroto. Memang agak tua, dan wajah yang cantik itu lesu dan membayangkan kedukaan hebat, rambut yang hitam panjang itu kusut, pakaiannya pun lusuh. Akan tetapi dia tetap Endang Patibroto!
Sejenak mereka berpandangan, muka Ki Patih Tejolaksono pucat, air mata makin deras mengucur dari kedua mata Endang Patibroto. Bibir kedua orang itu menggigil, bergerak-gerak namun tidak ada suara yang keluar. Akhirnya Ki Patih Tejolaksono mengeluarkan suara lirih dan serak,
“Engkau...?”
Dalam suara bisikan ini terkandung segala kerinduan, segala harapan, dan segala teguran, membuat Endang Patibroto terisak lalu wanita itu lari menghampiri, langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tejolaksono dan merangkul kedua kaki pria itu.
Tejolaksono berdiri seperti arca, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya kusut, memandang sepasang pundak yang terguncang-guncang karena tangis.
Setelah kini wanita itu merangkul kakinya, setelah ia merasa betapa betisnya basah kejatuhan air mata, yakinlah hati Tejolaksono bahwa benar Endang Patibroto yang kini berlutut di depan kakinya. Hatinya menjeritkan kerinduan, hasratnya mendorong-dorongnya untuk memeluk dan menciumi wanita yang amat dicintanya ini. Akan tetapi melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua penderitaan yang dialami keluarga semenjak Endang Patibroto lolos dari Selopenangkep tanpa pamit.
Teringatlah ia betapa ia hidup nelangsa dan terbenam kerinduan dan kedukaan ditinggal pergi Endang Patibroto. Teringat betapa kejam hati Endang Patibroto meninggalkannya, memutuskan cinta kasih mereka yang sedang hangat-hangatnya dan timbullah kemarahan di hati Tejolaksono.
“Endang Patibroto, engkau yang sudah minggat mening-galkan kami tanpa memper-dulikan kami, sekarang datang ada keperluan apakah?”
Endang Patibroto mene-ngadahkan muka yang basah air mata, memandang ke wajah pria yang dicintanya itu. Akan tetapi ketika ia mendengar suara itu, suara yang dingin sekali, melihat wajah yang tak bersemangat, melihat yang menatapnya penuh penyesalan dan sikap yang acuh tak acuh, jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum dan wanita itu tersedu-sedu.
“Kakangmas Tejolaksono...”
Rintihan suara Endang Patibroto ini tersendat-sendat dan sukarlah baginya untuk melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat tenggorokannya seperti tersumbat

Tejolaksono memejamkan mata untuk menahan perasaan harunya mendengar suara wanita yang dicintanya ini menyebut namanya dengan getaran penuh duka dan penuh cinta kasih terpendam. Namun kemarahan hatinya yang sakit masih tidak mengijinkan dia menyambut ulur hati merindu, dan Tejolaksono kini bersidakap, sikapnya tak acuh.

“Kakangmas..., ampunkan semua kesalahanku...”
Sejenak Tejolaksono tertegun dan hatinya yang penuh cinta itu diliputi rasa heran dan kasihan. Inikah Endang Patibroto yang dahulu? Wanita perkasa yang pantang mundur menghadapi segala bahaya dan kesukaran? Wanita yang tak kenal takut dan tak pernah meruntuhkan air mata?
“Sesungguhnyakah engkau merasa bersalah, Endang Patibroto? Tidakkah yang kau lakukan itu malah benar karena kalau engkau tidak meninggalkan kami engkau pun akan mengalami segala kesengsaraan dan derita seperti yang kami alami?”
Ucapan ini halus dan tidak kedengaran seperti orang marah, namun mengandung sindiran yang lebih tajam dan menyakitkan hati dari pada kata-kata keras.
“Aduh Kakangmas...”.
Endang Patibroto tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan tangisnya makin mengguguk. Teringat ia betapa dahulu meninggalkan Selopenangkep karena terpaksa, pergi dengan hati hancur karena tidak mau menyusahkan hati Tejolaksono dan terutama sekali Ayu Candra.
Teringat ia betapa ia hidup terlunta-lunta, melakukan perjalanan yang amat sengsara dalam keadaan mengandung bersama Setyaningsi betapa kemudian la rela menjadi kepala dari gerombolan Wilis, hidup mengasingkan diri dari dunia ramai.
Kemudian, terutama sekali ia teringat betapa tertimpa malapetaka yang hebat, diperkosa yang berarti dihina oleh Sindupati. Dan kini, setelah ia kehilangan puterinya yang dilarikan Nini Bumigarba sehingga ia terpaksa harus mencari ayah puterinya untuk dimintai bantuan, ia diserang dengan ucapan-ucapan penyesalan, ditusuk-tusuk perasaan hatinya yang sudah luka-luka membutuhkan obat dan hiburan itu.
Pada saat itu, Ayu Candra yang memasuki taman menyusul suaminya yang ia tahu seperti biasanya duduk bersunyi diri di dalam taman, melihat suaminya berdiri-dengan muka marah dan seorang wanita menangis di depan kakinya. Ayu Candra heran dan terkejut sekali, akan tetapi ketika ia meneliti dari jauh dan melihat bahwa wanita itu bukan lain adalah Endang Patibroto, ia menjerit sambil lari menghampiri.
“Endang Patibroto...!”
Serta-merta ia menubruk dan memeluk wanita yang sedang menangis itu dengan hati penuh keharuan dan kegirangan. Menghadapi penyambutan yang sama sekali di luar dugaannya ini, hati Endang Patibroto seperti diremas dan ia hanya dapat sesenggukan sambil mambalas rangkulan wanita yang menjadi madunya. Sungguh dia tidak menyangka penyambutan ini, karena sesungguhnya sebelum tiba di sana, Ayu Candralah yang ia khawatirkan akan menyambutnya dengan sikap bermusuh.
“...Ayunda... aku datang untuk... untuk minta maaf... Kakanda Tejolaksono tidak sudi mengampunkan aku... kuharap... Ayunda memaafkan segala kesalahanku...”
ndang Patibroto terisak-isak dalam rangkulan Ayu Candra.
Dengan mata terbelalak Ayu Candra memandang ke atas, ke arah wajah suaminya yang masih bersedakap dengan muka muram dan keras. Ia lalu berkata dengan lengan masih merangkul leher madunya
“Apa...? Bukan engkau yang harus minta maaf, Adikku... sebaliknya akulah yang harus minta maaf kepadamu! Karena akulah, karena kebodohanku, karena kehancuran hatiku kehilangan puteraku... aku telah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatimu... tidak, Endang Patibroto, bukan kau yang salah, melainkan aku...!” Ayu Candra juga menangis.
“Alangkah mulia hatimu, Ayunda... dan kemuliaanmu membuat aku merasa makin berdosa... sehingga patutlah kalau Kakanda Tejolaksono tidak sudi memaafkan aku..., biarlah aku pergi saja...”
“Jangan... Tidak boleh kau pergi, Endang Patibroto...”
Ayu Candra yang kini menangis sampai merangkul erat-erat. Kemudian Ayu Candra menarik Endang Patibroto bangun berdiri, menghadapi suaminya dan berkatalah wanita ini dengan muka basah air mata.
“Kakangmas, mengapa Paduka begini kejam terhadap Adinda Endang Patibroto?”
Suara ini penuh tuntutan dan penuh teguran karena wanita ini maklum dengan penuh keyakinan betapa suaminya banyak berduka karena rindu kepada Endang Patibroto, betapa sesungguhnya suaminya amat mencinta Endang Patibroto. Mengapa kini suaminya seolah-olah marah dan menolak Endang Patibroto?
“Siapakah yang kejam, Diajeng?”
Kini Ki Patih Tejolaksono mendapat kesempatan untuk mengeluarkan isi hatinya yang penuh kemarahan dan penyesalan.
“Siapakah yang pergi meninggalkan kita tanpa pamit, bahkan membawa pergi adinda Setyaningsih, menimbulkan banyak kedukaan pada keluarga kita? Andai kata dia tidak minggat, belum tentu Bibi Roro Luhito tewas dan belum tentu Adinda Pusporini lenyap. Andai kata dia berada di Selopenangkep, belum tentu kadipaten itu mudah dihancurkan musuh. Andai kata dia tidak pergi minggat, tentu seorang anak tidak akan dipisahkan dari ayahnya, bahkan kelahirannya pun di luar tahu ayahnya! Andai kata dia tidak pergi, belum tentu begitu banyak malapetaka terjadi dan begitu banyak kedukaan batin diderita...”
“Aduh, Kakangmas...!”
Kalimat demi kalimat merupakan ujung keris yang menusuk-nusuk hati Endang Patibroto sehingga wanita itu mengeluh panjang dan pingsan dalam rangkulan Ayu Candra!
“Endang Patibroto...! Adikku cah-ayu..., ingatlah... sadarlah...! Ah, Kakangmas, betapa kejam hatimu...!”
Ayu Candra menangis mengguguk ketika melihat wajah Endang Patibroto yang pucat itu.
Sesungguhnya, di dalam hati Ki Patih Tejolaksono terdapat cinta kasih yang amat besar terhadap Endang Patibroto. Kalau tadi ia bersikap keras adalah karena hatinya sedang kusut, pikirannya sedang ruwet memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kini melihat wanita yang dicintanya itu roboh pingsan, ia menjadi amat kasihan. Tanpa banyak kata lagi ia lalu meraih tubuh Endang Patibroto dari rangkulan Ayu Candra.
Tubuh Endang Patibroto amat kuat. Hanya sebentar saja ia tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia telah rebah di sebuah pembaringan yang bersih dan indah. Ia belum membuka matanya, akan tetapi telinganya telah dapat mendengar kata-kata Ayu Candra. Ia tahu bahwa ia berada dalam kamar, dijaga oleh Ayu Candra dan Tejolaksono.
“Kakangmas sendiri dahulu mengerti bahwa kepergiannya adalah karena ucapanku yang timbul dari kedukaanku kehilangan Bagus Seta. Memang kita telah banyak menderita, akan tetapi apakah Paduka tidak ingat bahwa dia pun telah mengalami banyak penderitaan? Ketika Setyaningsih datang, aku sudah minta kepadamu untuk menyusul dan memboyong dia dan puterinya ke sini, akan tetapi Paduka mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, dia akan datang sendiri. Kini dia telah datang, akan tetapi Paduka sambut dengan kata-kata yang pedas dan menyakitkan hati. Padahal aku yakin betapa besar cinta kasih Paduka kepadanya! Betapa selama bertahun-tahun ini Paduka mengenangnya dengan hati berdarah. Kita semua sudah sama-sama menderita, setelah berkumpul kembali semestinya saling menghibur untuk menghilangkan semua kenangan duka.”
Terdengar oleh Endang Patibroto betapa Tejolaksono menghela napas panjang.
“Aku dikuasai kemarahan karena dia telah membuat aku banyak berduka selama ini,' Diajeng. Dan aku pun hanya ingin menguji apakah benar-benar sekali ini dia ingin hidup bersama kita...”
Tiba-tiba Tejolaksono menghentikan kata-katanya karena dia tahu bahwa Endang Patibroto sudah mulai menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda bahwa dia mulai sadar. Ayu Candra juga melihat ini, maka wanita ini bangkit lalu berkata,
“Karena dia datang dalam keadaan, begini, tanpa membawa bekal, aku akan menyediakan semua keperluannya, Kakangmas. Juga aku akan memberi kabar kepada Setyaningsih agar datang berkunjung.” Tanpa menanti jawaban, wanita yang bijaksana ini lalu meninggalkan kamar itu.
Tejolaksono duduk di tepi pembaringan, memandang wajah Endang Patibroto. Setelah kini kemarahannya hilang, ia memandang wajah itu dengan penuh keinduan dan cinta kasih. Hatinya terharu, dan terpesona memandang bulu mata yang panjang melengkung itu mulai bergerak-gerak, kemudian kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka.
Dua pasang mata beradu dan saling melekat sampai lama. Tak perlu lagi kiranya mulut mengeluarkan kata-kata kalau dari dua pasang mata itu keluar begitu banyak pernyataan yang hanya dapat ditangkap oleh rasa. Mulut dapat mengeluarkan seribu satu macam kata-kata bohong, namun sinar mata mencerminkan isi perasaan hati dan keduanya yakin betapa dalam cinta kasih di antara mereka melalui pandang mata mereka.
Melihat betapa perlahan-lahan sepasang mata yang amat tajam dan selalu dikaguminya itu mengalirkan air mata, Tejolaksono berkata halus,
“Kau... kau maafkan kekasaranku tadi... Diajeng...”
Endang Patibroto tersedak oleh isaknya sendiri, lalu ia pun bangkit duduk.
“Sudah sepatutnya kalau Paduka marah padaku, Kakangmas... kuharap kini Kakangmas dapat mengampunkan aku...”
“Aku maafkan semua perbuatanmu yang telah lalu, Endang Patibroto...”
Tejolaksono memegang kedua tangan kekasihnya ini dan jari-jari tangan mereka mengeluarkan getaran cinta kasih yang amat besar.
“Terima kasih, Kakangmas Tejolaksono...”
“Duhai Adinda, betapa aku rindu kepadamu... betapa kering melayu hatiku selama kau tinggalkan... Diajeng Endang Patibroto... betapa besar cinta kasihku kepadamu...!”
Ki Patih Tejolaksono merangkul leher wanita itu dengan kasih mesra. Akan tetapi tiba-tiba Endang Patibroto tersedu dan melepaskan diri dari pelukan, lalu meloncat turun ke bawah pembaringan dan berlutut di sifu, menangis terisak-isak dan berkata dengan suara terputus-putus.
“...aduh Kakangmas pujaan hamba... aahh, harap jangan sentuh aku, Kakangmas... jangan membelai Endang Patibroto yang hina ini... aku... aku... telah ternoda, tidak bersih lagi... aku manusia hina yang sudah cemar... Kakangmas, kau bunuh saja aku...!”
Wajah Ki Patih Tejolaksono menjadi pucat sekali. Ia cepat mengangkat bangun Endang Patibroto, ditariknya wanita itu duduk di tepi pembaringan menghadapinya dengan pandang mata tajam ia berkata,
“Diajeng Endang Patibroto. Apa artinya semua ini? Ceritakanlah apa yang telah terjadi sehingga Adinda bersikap seperti ini! Kita telah menjadi suami isteri, tidak boleh ada rahasia lagi di antara kita, Diajeng.”
“Kakangmas... malapetaka hebat telah menimpa diriku... membuat aku terhina, tercemar dan ternoda...!”
“Ceritakanlah, ceritakanlah...“ Tejolaksono mendesak tidak sabar lagi.
“Terjadinya di waktu aku mengadakan sayembara tanding untuk mencarikan jodoh Setyaningsih...“
Endang Patibroto lalu bercerita tentang pertemuannya dengan orang yang mengaku bernama Warutama, kemudian betapa dalam keadaan pingsan dia diperkosa oleh Warutama. Semua dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling dengan persiapan menghadapi segala akibatnya. Wanita perkasa ini maklum bahwa kalau hal itu tidak ceritakan kepada Tejolaksono, selalu akan ada jurang pemisah yang lebar terasa olehnya antara dia dan kekasihnya.
“Demikianlah, Kakangmas... setelah dia pergi barulah teringat olehku bahwa orang yang wajahnya sudah berubah itu sebetulnya adalah si keparat Sindupati...”
Ki Patih Tejolaksono bangkit berdiri, mukanya menjadi merah sekali, matanya terbelalak, kedua tangannya terkepal dan la berkerot-kerot saking marahnya, mulutnya membisikkan kutukan hebat, “Bedebah...!”
Jantung Endang Patibroto serasa dirobek-robek dan wanita ini menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu.
“Duh Kakangmas... aku rela kauhina, bahkan aku siap kaubunuh sekali pun... memang aku wanita hina... duh Ibunda... mengapa malapetaka yang menimpa Ibu dahulu kini menimpa anakmu pula...?”
Tejolaksono membungkuk dan mengangkat bangun Endang Patibroto dengan memondongnya dan dengan penuh kasih sayang mendudukkan wanita itu kembali ke atas pembaringan, merangkul dan menciuminya.
“Tidak, kekasihku. Engkau sama sekali tidak hina! Aku tidak akan mengulang apa yang dahulu salah dilakukan oleh mendiang ayahmu. Dahulu pun, seperti engkau telah tahu, ibumu diperkosa orang... ayahmu menyesal dan menyalahkannya, sehingga terjadilah ekor atau akibat yang amat hebat. Kini peristiwa seperti itu menimpa dirimu, Diajeng. Aku sama sekali tidak menyalahkan engkau, Diajeng yang bernasib malang... bukan kehendakmu terjadi hal seperti itu. Namun kita harus membalas kekejian Sindupati... eh, kau bilang dia bernama Warutama sekarang? Si keparat! Dan dia menjadi Patih Jenggala! Celaka...!”
Endang Patibroto seolah-olah Gunung Semeru yang tadinya menindih perasaan hatinya kini telah lenyap, dadanya lapang hatinya merasa bahagia sekali. Dia tidak peduli apakah Warutama sekarang menjadi Patih Jenggala atau menjadi setan. Kegirangan hatinya mendapat kenyataan bahwa pria yang dicintanya ini tidak marah dan tidak menyalahkannya dalam peristiwa pemerkosaan itu membuat ia lupa segala. Dipeluknya Tejolaksono dan dengan sedu-sedan ia berbisik di dada suami itu,
“Aduh, terima kasih, Kakangmas... terima kasih... terima kasih...!”
Tejolaksono dapat memahami keharuan hati Endang Patibroto. Dia maklum betapa besar artinya sikapnya dalam peristiwa itu bagi seorang wanita, apa lagi seorang wanita seperti Endang Patibroto.
Diam-diam dia merasa kagum akan sikap Endang Patibroto yang tidak ragu-ragu menceritakan hal itu kepadanya dalam kesempatan pertama. Hanya seorang wanita yang berhati murni saja yang akan mengaku secara terus terang seperti ini.
Hanya wanita yang menghendaki agar di antara cinta kasih mereka tidak terdapat penghalang dalam bentuk apa pun juga, yang menghendaki cinta kasih yang murni, yang akan berani menceritakan pemerkosaan terhadap dirinya dengan resiko patahnya rantai kasih itu sendiri.
Ia membiarkan Endang Patibroto melampiaskan kelegaan hatinya dalam tangis, dan dengan belaian kasih mesra ia mengusap-usap rambut yang kusut itu. Peristiwa pemerkosaan itu sama sekali tidak mempengaruhi cintanya, bahkan memperdalam cintanya yang kini dilengkapi dengan perasaan kasihan yang mendalam.
Dan Tejolaksono tidak sadar bahwa kalau di dunia ini jarang terdapat wanita yang begitu murni cintanya seperti Endang Patibroto, lebih jarang lagi terdapat pria yang dapat menerima peristiwa pemerkosaan dengan dada begitu lapang, dengan pengertian begitu mendalam seperti perasaan hatinya terhadap Endang Patibroto!
“Diajeng, sudahlah jangan menangis. Percayalah, aku sudah lupa lagi akan peristiwa yang menimpa dirimu sungguh pun aku takkan dapat melupakan Warutama yang jahat itu. Tenangkan hatimu karena peristiwa keji itu takkan diketahui orang lain, tidak akan diketahui oleh Ayu Candra, oleh siapa pun juga, bahkan tidak akan diketahui oleh anak kita... eh, di mana Retna Wilis, anak kita itu? Diajeng, aku sudah banyak mendengar tentang dia dari Adinda Setyaningsih, kenapa kau tidak membawa dia ke sini?”
Wajah Endang Patibroto yang tadinya merah berseri karena bahagia mendengar ucapan penerimaan Tejolaksono mengenai malapetaka yang menimpa dirinya, kini menjadi muram dan ia menghela napas panjang, lalu mengangkat mukanya dari dada suaminya.
“Kakangmas, memang nasibku selalu malang, dirundung malapetaka. Anak kitatu, Retna Wilis, sudah baik-baik mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Ki Datujiwa, akan tetapi tiba-tiba muncul nenek iblis Nini Bumigraba yang membunuh Ki Datujiwa dan menculik Retna Wilis...”
“Duh para Dewata..., mengapa begini...?”
Tejolaksono mengeluh dengan hati pedih. Puteranya, Bagus Seta, sampai kini belum juga pulang. Kemudian, puterinya yang belum pernah dilihatnya, Retna Wilis, diculik orang pula!
“Diajeng, bagaimana bisa terjadi hal itu? Mengapa Diajeng tidak melindunginya dan melawan mati-matian?”
Tejolaksono memang belum pernah mendengar nama Nini Bumigarba sehingga ia merasa terheran-heran mengapa isterinya ini yang amat sakti, ditambah lagi dengan Ki Datujiwa yang menurut keterangan Setyaningsih amat sakti sehingga dalam sayembara dapat menandingi dan mengalahkan Endang Patibroto, tidak mampu melindungi Retna Wilis.
Endang Patibroto lalu menceritakan dengan suara duka namun dengan sejelasnya tentang kedatangan Nini Bumigarba yang menyeramkan. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,
“Nenek iblis itu luar biasa sekali, Kakangmas. Jangankan hanya aku, sedangkan Ki Datujiwa yang sakti itu pun sama sekali bukan tandingannya. Nenek itu bukan seperti manusia, mukanya pun tidak dapat tampak nyata, tertutup semacam halimun kehitaman. Ahh, Kakangmas bagaimana kita harus mencari dan menolong anak kita itu...?”
Endang Patibroto berduka sekali sehingga suaminya segera merangkulnya untuk menghibur.
“Betapa pun sakti mandraguna nenek itu, namun kalau dia hanya menghendak Retna Wilis menjadi muridnya, puter kita akan selamat. Hanya aku khawatir... nenek itu begitu kejam dan seperti Iblis, bagaimana puteri kita dapat menjadi muridnya? Kita harus berusaha mencarinya, dan mencegahnya menjadi murid nenek itu. Akan tetapi... ah, aku teringat... kau bilang nenek itu mukanya tidak tampak karena tertutup halimun hitam? Aneh sekali...”
“Apa maksudmu, Kakangmas? Apakah Paduka pernah bertemu dengan dia?”
“Bukan dengan dia, bahkan mendengar namanya pun belum pernah. Akan tetapi aku pernah berjumpa dengan seorang maha sakti yang juga wajahnya selalu tertutup semacam halimun, akan tetapi halimun putih dan kakek sakti mandraguna itu adalah seorang suci yang membawa putera kita Bagus Seta menjadi muridnya...”
Tejolaksono lalu menuturkan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah. Banyak suka-dukanya dalam pertemuan antara dua orang yang saling mencinta ini, banyak hal-hal yang mengharukan dan menimbulkan gelisah, akan tetapi kebahagiaan karena mereka dapat berkumpul kembali merupakan hiburan yang amat besar. Setelah berkumpul kembali, mereka menjadi besar hati dan akan sanggup memikul semua beban dan derita hidup bersama-sama.
Ayu Candra yang bijaksana membiarkan mereka itu saling menuturkan semua pengalaman, tidak mengganggu mereka dan hanya mengirimkan pengganti pakaian yang baru dan bersih untuk Endang Patibroto, menyuruh abdi-abdi wanita untuk mengirim hidangan, dan baru pada keesokan harinya Ayu Candra menghadap suaminya dan bertemu dengan madunya bersama-sama Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit.
Pertemuan yang mengharukan, apa lagi ketika Setyaningsih mendengar bahwa Retna Wilis diculik orang. Mukanya yang berkulit kuning bersih dan cantik jelita itu mengeras, alisnya berkerut dan matanya memancarkan api kemarahan. Ia menoleh kepada suaminya dan berkata,
“Bagaimana pendapat Kakanda akan hal itu? Bukankah semua itu termasuk rencana persekutuan iblis yang sedang berusaha mencengkeram kedua kerajaan keturunan Mataram? Saya merasa yakin bahwa nenek iblis yang bernama Nini Bumigarba itu tentu mempunyai hubungan dengan tokoh-tokoh jahat seperti yang telah diceritakan rakanda patih kepada kita, tokoh-tokoh dari Sriwijaya dan Cola.”
Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk.
“Uwa Prabu telah mengirimkan banyak penyelidik ke Jenggala, mempelajari keadaan di sana. Dan sebaiknya kalau kita sendiri tidak tinggal diam, menyelidiki ke mana Retna Wilis adik kita itu dibawa pergi. Rakanda Patih, biarlah saya sendiri bersama Setyaningsih pergi melakukan penyelidikan, mencari jejak nenek yang jahat itu.”
Tejolaksono termenung.
“Menurut penuturan ayundamu Endang Patibroto, nenek itu amatlah saktinya, bukan merupakan lawan kita. Memang seharusnya kita melakukan penyelidikan dan kami percaya penuh akan kemampuan Adinda Pangeran dan Setyaningsih, akan tetapi harap jangan sembrono dan jangan sekali-kali mencoba untuk melawan nenek itu. Cukup kalau bisa mendapatkan jejaknya dan bisa mengetahui di mana adanya anakku Retna Wilis, kemudian melaporkan kepada kami.”
“Jangan khawatir, Rakanda Patih. Kami akan bersikap hati-hati sekali dan tidak hanya kami berdua yang menyelidik, melainkan kami akan berusaha menyebar barisan penyelidik...”
Ucapan Pangeran Panji Sigit ini terhenti karena pengawal memberi tahu akan kedatangan Pangeran Darmokusumo bersama isterinya.
Mereka ini datang berkunjung setelah mendengar bahwa Endang Patibroto telah “pulang” ke rumah suaminya yang baru, yaitu Patih Tejolaksono. Seperti telah diketahui, baik Pangeran Darmokusumo maupun isterinya keduanya adalah sahabat-sahabat baik Endang Patibroto. Di waktu mudanya, isteri pangeran ini yang bernama Puteri Mayagaluh adalah sahabat baik Endang Patibroto (baca Badai Laut Selatan), bahkan puteri ini adalah adik kandung mendiang Pangeran Panjirawit. Adapun Pangeran Darmokusumo sendiri, seorang pangeran terkemuka dari Panjalu, pernah bekerja sama dengan Endang Patibroto ketika mereka berdua memimpin pasukan menyerbu Blambangan beberapa tahun yang lalu.
Pertemuan ini pun mengharukan, juga amat menggembirakan. Percakapan mengenai pengalaman mereka masing-masing membawa ke persoalan negara, yaitu Kerajaan Jenggala yang sedang diliputi mendung gelap. Terutama sekali Puteri Mayagaluh dan adik tirinya, Pangeran Panji Sigit, keduanya menundukkan muka dan merasa prihatin sekali kalau memikirkan keadaan ayah mereka, sang prabu di Jenggala yang sudah sepuh itu, yang kini seolah-olah berada dalam cengkeraman iblis jahat!
Ketika percakapan tiba pada persoalan diculiknya Retna Wilis, Pangeran Darmokusumo yang sudah kurang lebih lima puluh tahun usianya itu berkata sambil mengerutkan alisnya,
“Nini Bumigarba? Wajahnya tertutup halimun kehitaman? pernah aku mendengar dongeng wanita sakti yang mukanya selalu tertutup halimun, namanya Dewi Sarilangking...”
“Itulah dia!” Endang Patibroto berseru. “Dewi Sarilangking yang sekarang bernama Nini Bumigarba, kepandaiannya hebat...!”
Pangeran Darmokusumo mengangguk-angguk. Ketika ia mendengar niat Pangeran Panji Sigit untuk bersama isterinya pergi mencari jejak, ia berkata.
“Memang seharusnya dilakukan penyelidikan. Kurasa masih ada hubungannya peristiwa ini dengan kekacauan di Jenggala. Biarlah aku akan mengerahkan pasukan-pasukan istimewa bagian penyelldik yang sudah berpengalaman untuk meneliti dan mencari jejak ke mana dibawanya Retna Wilis.”
Tiba-tiba Endang Patibroto berkata dengan muka merah,
“Kita semua sudah mendengar dan melihat kenyataan bahwa Jenggala berada dalam cengkeraman iblis-iblis laknat, bahkan fihak mereka telah berhasil menyelundupkan seorang manusia terkutuk seperti Warutama menjadi patih di Jenggala. Mau tunggu kapan lagi? Sebaiknya kita langsung menyerbu Jenggala dan membersihkan oknum-oknum pengacau itu, membinasakan dan membasmi mereka. Biarlah aku sendiri yang akan menghadap sang prabu di Panjalu untuk memimpin pasukan menghancurleburkan mereka itu!”
Tejolaksono bertukar pandang dengan Pangeran Darmokusumo.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar