PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-59
“Aku sendiri pun telah mengajukan usul seperti itu, akan tetapi tidak
diterima oleh gusti sinuwun. Dan memang kalau dipikir secara mendalam,
penyerbuan dengan pasukan itu bisa menimbulkan salah duga,disangka
Panjalu menyerang Jenggala.Musuh telah mempergunakan siasat halus, dan
jalan satu-satunya menghadapi mereka dengan diam-diam pula,” kata
Tejolaksono.
“Tepat seperti yang dikatakan Adinda Patih Tejolaksono,biarlah saya yang
menghadap Ramanda Prabu dan mohon perkenan beliau untuk. membentuk
pasukan rahasia yang tugasnya menentang para pengacau di Jenggala dengan
secara rahasia dan diam-diam. Dan kita harus mengadakan kontak dengan
orang-orang Jenggala sendiri yang masih setia kepada paman prabu dan
bibi ratu di Jenggala agar perjuangan pasukan rahasia ini akan dapat
berhasil.”
Keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti mandraguna ini mengadakan
perundingan dan akhirnya diambil keputusan mengangkat Pangeran
Darmokusumo sebagai pemimpin pasukan rahasia yang akan dibentuk,
sedangkan Patih Tejolaksono menjadi komandan pasukannya dibantu oleh
Endang Patibroto.
Akhirnya, keluarga Tejolaksono yang cerai-berai tidak karuan itu kini
dapat berkumpul kembali, sungguh pun belum lengkap. Pusporini masih
belum ada kabarnya, Bagus Seta masih belum diketahui berada di mana,
sedangkan Retna Wilis pun lenyap digondol nenek iblis tanpa diketahui ke
mana dibawanya..
Akan tetapi, berkumpulnya kembali Tejolaksono dan Endang Patibroto
merupakan hal yang selain menggembirakan semua orang termasuk Ayu
Candra, juga mendatangkan semangat dan kelegaan hati. Semua orang,
termasuk Pangeran Darmokusumo sendiri, merasa bahwa kalau kedua orang
sakti yang saling mencinta ini bersatu, tidak akan ada kesulitan yang
takkan dapat mereka atasi! Dan buktinya,begitu Endang Patibroto tiba,
terus saja terbentuk pasukan rahasia yang tadinya tak pernah
disinggung-singgung oleh Tejolaksono yang agaknya kehilangan semangat.
Kini, dengan hati girang Ayu Candra mendapat kenyataan betapa suaminya
telah pulih kembali semangatnya, tidak pernah melamun, wajahnya selalu
berseri, bahkan kalau menyinggung soal belum kembalinya Pusporini, Bagus
Seta, dan Retna Wilis, ia kini penuh harapan seolah-olah kehadiran
Endang Patibroto telah mempertebal keyakinan dan kepercayaan akan diri
sendiri!
Sebagai langkah pertama dari pasukan rahasia ini,Pangeran Darmokusumo
mengutus lima belas orang ahliahli penyelidik pilihan yang gagah perkasa
untuk menyelundup ke Kota Raja Jenggala melakukan penyelidikan akan
keadaan pengaruh jahat yang mencengkeram Jenggala, sedangkan Pangeran
Panji Sigit bersama isterinya, Setyaningsih, menyamar sebagal rakyat
biasa, memimpin selosin orang perajurlt pilihan untuk mulai dengan tugas
mereka mencari jejak Nini Bumigarba yang membawa lari Retna Wilis.
Pada waktu itu, telah genap lima tahun Pusporini dan Joko Pramono menjadi murid sang sakti Resi Mahesapati.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang lalu, Wiraman
dan Widawati yang menjadi korban racun ular Puspo Wilis sehingga di luar
kesadaran mereka telah melakukan hubungan sanggama sehingga terpaksa
Widawati semenjak saat itu menyerahkan jiwa raganya menjadi isteri
Wiraman, juga diterima oleh Resi Mahesapati sebagai murid-muridnya.
Biar pun hanya menerima gemblengan selama dua tahun, namun Wiraman yang
tadinya adalah seorang pengawal yang gagah perkasa itu mendapatkan
kemajuan yang luar biasa, sedangkan Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala
itu pun kini menjadi seorang wanita yang kosen.
Akan, tetapi yang tinggi sekali tingkat ilmu kepandaiannya adalah
Pusporini dan Joko Pramono. Berkat sifat kedua orang muda ini yang
selalu bersaing sampai tiga tahun lamanya, mereka memperoleh kemajuan
pesat.
Baru setelah terjadi peristiwa penaklukan ular Puspo Wilis dan mereka
itu hampir saja menjadi korban pengaruh hawa beracun ular itu, keduanya
saling menginsyafi dengan penuh kesadaran bahwa sesungguhnya mereka itu
saling mencinta.
Bahwa semua persaingan mereka itu sama sekali bukan berdasarkan iri dan
benci, melainkan berdasarkan cinta kasih sehingga mereka selalu ingin
menonjolkan diri di mata masing-masing orang yang dicintanya dengan
dasar niat ingin dikagumi dan ingin dihargai atau lebih tepat lagi ingin
dicinta!
Semenjak peristiwa itu, mereka tidak lagi bersaing, bahkan sering mereka
itu memperlihatkan sikap mengalah, terutama sekali Joko Pramono, dan
biar pun mulut mereka tak pernah menyatakan sesuatu, namun pandang mata
mereka sudah terang-terangan menyatakan isi hati yang penuh cinta.
Namun, tiadanya persaingan bukan berarti bahwa ketekunan mereka
mengendur.
Sama sekali tidak. Setelah mendengar penuturan W iraman akan keadaan di
Jenggala, kemudian mendengar wejangan Resi Mahesapati, mereka belajar
makin rajin dan kini mereka mempunyai cita-cita dalam belajar, yaitu
untuk kelak dipergunakan menolong Jenggala, membersihkan kerajaan itu
dari manusia-manusia iblis yang berusaha mencengkeramnya.
Pagi hari itu Resi Mahesapati memanggil keempat orang muridnya itu menghadap. Dengan suara halus ia berkata,
“Tugasku telah selesai memberi bimbingan kepada kalian mengejar ilmu.
Joko Pramono dan Pusporini, telah genap lima tahun kalian mempelajari
ilmu dan sudah tiba saatnya kalian turun gunung memanfaatkan segala yang
kalian telah pelajari. Seperti telah berkali-kali kutekankan adalah
menjadi tugas kalian untuk berdarma bakti kepada kebajikan, kebenaran
dan keadilan. Dan karena pada saat ini mendung telah meliputi Jenggala
dan sebagian dari Panjalu, maka kalian harus turun gunung dan membantu
usaha membersihkan mendung yang mengancam keselamatan rakyat
kerajaan-kerajaan keturunan Mataram. Ingat bahwa mereka yang mengancam
keselamatan itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu yang tinggi,
bahkan ada di antara mereka yang lebih sakti dari pada tokoh-tokoh kedua
kerajaan, bahkan aku sendiri tidak akan mampu melawannya. Akan tetapi,
untuk menghadapi mereka yang sakti mandraguna ini akan muncul seorang
pendekar muda dan kepadanyalah kalian akan membantu. Apa yang akan
kalian lakukan di hari depan, terserah kepada kebijaksanaan kalian, aku
orang tua hanya dapat membekali doa restu. Juga engkau Ki W iraman,
engkau dan Widawati tidak terlepas pula dari pada kewajiban untuk
membantu usaha menentang pengaruh buruk itu. Pergilah kalian berempat
dan aku dapat memandang kepergian kalian berempat dengan hati lapang
karena kurasa, usahaku selama ini tidak akan sia-sia.”
“Akan tetapi, Eyang resi. Kemanakah hamba berdua harus menuju?” tanya
Pusporini yang sebetulnya ingin sekali kembali ke Selopenangkep mencari
keluarganya.
“Rundingkanlah nanti bersama Joko Pramono, dan terutama sekali,
dengarkan nasehat Ki Wiraman. Dia ini lebih berpengalaman dalam hal
perjuangan dibandingkan dengan kalian berdua. Nah, berangkatlah tanpa
ragu-ragu, karena setiap cita-cita harus dimulai dengan tekad bulat.
Sedikit saja keraguan akan menghambat tercapainya citacita.”
Setelah berkata demikian, Resi Mahesapati yang duduk bersila itu
meramkan mata, tanda bahwa dia mulai bersamadhi dan tidak mau diganggu
lagi. Empat orang itu lalu menyembah dan berpamit dengan hati terharu,
teringat akan kebaikan budi kakek ini selama mereka berada di situ.
Kemudian berangkatlah mereka meninggalkan tempat di mana mereka
digembleng itu. Adapun batu mustika ular Puspo Wilis sejak lama telah
diberikan kepada Pusporini dan kini menjadi penghias leher Pusporini
sebagai sebuah mata kalung yang indah sekali, mengeluarkan sinar
kehijauan.
Karena masih terpengaruh oleh rasa duka harus berpisah meninggalkan guru
yang mereka cinta itu seorang diri di puncak gunung, empat orang itu
menuruni gunung tanpa bicara dan baru setelah mereka tiba di kaki gunung
dan untuk penghabisan kali menengadah ke puncak seolah-olah merupakan
pandang penuh harapan dan permintaan doa restu, baru mereka berunding.
“Menurut pendapat saya, lebih baik kalau Andika berdua dari sini
langsung memasuki Jenggala untuk melakukan penyelidikan tentang keadaan
kerajaan itu sekarang. Andika berdua tidak dikenal, tentu saja akan
lebih mudah melakukan perjalanan ke daerah yang kacau itu. Sedangkan
saya sendiri bersama diajeng W idawati akan langsung menuju ke Panjalu,
melaporkan segala keadaan dua tahun yang lalu kepada sang prabu di
Panjalu.”
Demikian Wiraman menyatakan pendapatnya. Joko Pramono dan Pusporini tak
dapat membantah kebenaran pendapat ini dan mereka mengangguk.
“Benar sekali pendapat Paman. Kami akan menyelidiki keadaan Kota Raja
Jenggala, kemudian kami akan pergi menyusul Paman ke Panjalu,” kata Joko
Pramono.
“Kalau Paman tiba di Panjalu, harap Paman kunjungi kediaman Kakangmas
Tejolaksono dan ceritakan keadaanku kepada keluargaku. Akan tetapi,
betulkah Kakangmas Tejolaksono kini telah menjadi patih muda di Panjalu
seperti yang Paman ceritakan dahulu?”
Wiraman mengangguk. “Saya pun hanya mendengar beritanya saja bahwa
setelah berhasil mengamankan kekacauan kekacauan yang timbul di wilayah
barat Adipati Tejolaksono diangkat menjadi patih muda. Tentu akan saya
selidiki tentang keluarga Andika, dan saya akan menghadap Gusti Patih
Tejolaksono.”
Dari kaki gunung itu, rombongan mereka dipecah menjadi dua, Wiraman dan
Widawati menuju ke Panjalu, sedangkan Joko Pramono dan Pusporini
melanjutkan perjalanan mereka ke Jenggala untuk melakukan tugas
menyelidiki sebelum mereka menyusul pula ke Panjalu.
Kedua orang muda murid Sang Resi Mahesapati itu melanjutkan perjalanan dengan gembira.
Setelah lima tahun lamanya mereka mengejar ilmu di puncak gunung, kini
mereka menghadapi dunia ramai dengan hati penuh ketegangan, apa lagi
kalau mereka mengingat akan cerita Ki W iraman tentang keadaan Jenggala
yang kacau-balau dan akan kekuasaan-kekuasaan jahat yang mencengkeram
kerajaan itu.
Namun ketegangan ini hanya timbul karena mereka ingat akan tugas mereka
sebagai orang-orang berkepandaian yang melaksanakan tugas menentang
kejahatan, bukan sekali-kali karena rasa takut. Hati mereka besar dan
mereka mempunyai penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Selama lima
tahun digembleng oleh Sang Resi Mahesapati yang sakti mandraguna, kedua
orang muda ini memperoleh kemajuan yang hebat.
Mereka bukan lagi orang-orang muda remaja lima tahun yang lalu. Biar pun
lima tahun yang lalu mereka telah memiliki kepandaian yang cukup
tinggi, namun semua aji kesaktian mereka masih mentah, sama sekali
berbeda dengan keadaan mereka sekarang yang telah menyempurnakan semua
aji itu di bawah bimbingan Sang Resi Mahesapati.
Pusporini telah berusia dua puluh satu tahun, sedangka Joko Pramono
telah berusia dua puluh dua tahun, dan mereka berdua telah memiliki
kedigdayaan yang matang.
“Mudah-mudahan saja tugas kita akan berjalan lancar sehingga kita dapat
segera pergi ke Panjalu untuk mencari rakandamu Gusti Patih
Tejolaksono,” terdengar Joko Pramono berkata ketika mereka berdua
berjalan seenaknya memasuki hutan belantara yang sudah dekat dengan Kota
Raja Jenggala.
Mereka telah melakukan perjalanan selama tujuh hari dan tidak pernah
mereka menemui halangan. Di sepanjang perjalanan mereka melalui
dusun-dusun dan mendengar akan keadaan di Jenggala yang mengecilkan
hati.
Para penduduk dusun menceritakan betapa kini kekacauan dari kota raja
itu menular menjalar ke dusundusun, di mana para ponggawa yang diangkat
oleh petugas kerajaan, diganti secara paksa oleh ponggawa-ponggawa baru
yang memerintahkan agar rakyat memuja-muja Sang Bathari Shiwa.
Berita ini hanya dicatat dalam hati oleh kedua orang muda itu untuk
kelak mereka laporkan ke Panjalu. Akan tetapi karena mereka bertugas
menyelidik, mereka tidak mau melibatkan diri dengan para ponggawa baru
itu dan selalu menjauhkan diri dari pertentangan yang tidak ada artinya
dan hanya akan mengganggu tugas penyelidikan mereka.
Tujuan utama mereka adalah kota raja untuk menyelidiki keadaan di sana
karena mereka tahu bahwa yang menjadi pusat biang keladi semua kekacauan
adalah kota raja.
“Kenapa sih engkau ingin tergesa-gesa pergi ke Panjalu dan menemui
Rakanda Patih Tejolaksono?” tanya Pusporini, di dalam hatinya
mentertawakan pemuda itu karena tentu saja ia sudah dapat menduga
sebabnya.
“Kenapa? Tentu saja untuk meminang adiknya yang cantik manis, galak,
sakti mandraguna dan... merupakan wanita paling mulia di dunia ini
bagiku, puteri yang bernama Dyah Pusporini...!”
Pusporini meruncingkan bibirnya, mengejek. “Aku tidak mau bicara tentang
perjodohan sebelum tugas kita selesai, sebelum semua anasir jahat
dibasmi habis dari Jenggala dan Panjalu!”
“Wah, bagaimana kalau sampai belasan tahun belum selesai?” Joko Pramono
mencela dan memandang gadis di samping kirinya dengan mata terbelalak
lebar.
Pusporini mengerling ke kanan dan tersenyum. “Kalau sampai belasan tahun mengapa? Siapa sih yang tergesa-gesa?”
“Wah, aku akan menjadi jejaka tua dan engkau akan menjadi perawan tua!'
kata Joko Pramono setengah berkelakar akan tetapi juga setengah
bersungguh. sungguh.
“Kalau bertemu dengan rakandamu itu, aku akan nekat meminangmu hendak
kulihat kalau keluargamu menetapkannya dan mendesakmu, engkau akan dapat
berkata apa lagi!”
“Engkau memang orang nekat, lebih baik namamu dirubah menjadi Joko Nekat
saja!” Pusporini menggoda sambil tertawa. Sesungguhnya di dalam hatinya
ia pun tidak sabar lagi menanti pinangan pemuda yang dicintanya ini.
Usianya sudah dua puluh satu tahun dan pada jaman itu, seorang wanita
berusia dua puluh satu tahun biasanya tentu telah menjadi seorang ibu
dari dua tiga orang anak!
“Sstttt... di depan ada orang...”
Joko Pramono berbisik dan gadis itu sudah dalam keadaan siap, hilang
sikapnya berkelakar. Kedua orang muda itu berjalan terus dengan langkah
tenang, namun pandang mata mereka waspada dan penuh perhatian karena
mereka maklum bahwa di dalam gerombolan alang-alang dan pohon di sebelah
depan terdapat banyak orang bersembunyi.
Ketika mereka tiba di tempat terbuka yang agak luas, dikelilingi
pohon-pohon dan alang-alang, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Kisanak yang lewat, berhenti dulu!”
Dari balik semak-semak di sekeliling tempat itu berloncatan keluar
banyak orang laki-laki yang memakai kain dan celana seragam, bertubuh
tinggi besar dan melihat betapa mereka itu lalu serempak membuat gerakan
mengurung secara teratur, mudah diduga bahwa mereka itu bukanlah
perampok, melainkan sebuah pasukan yang terlatih, akan tetapi sikap
mereka tiada bedanya dengan perampok-perampok.
Pandang mata mereka kini menjalari wajah dan tubuh Pusporini dan gadis
ini menghitung sembilan belas mulut yang menyeringai penuh nafsu kurang
ajar terhadap dirinya. Hanya sebuah pasukan kecil yang terdiri dari
tujuh belas orang yang dikepalai dua orang lakilaki tinggi besar yang
dapat dibedakan dari para anak buahnya melihat pakaiannya yang lebih
mewah. Pusporini dan Joko Pramono yang terkurung di tengah-tengah itu
berdiri dengan sikap tenang-tenang saja.
Dua orang pimpinan pasukan itu lalu melangkah maju. Sejenak mereka
memanclang pemuda dan pemudi itu penuh selidik, dan seorang di antara
mereka berdua, yang hidungnya besar mbengol yang menandakan bahwa dia
seorang yang gila wanita, tertawa dan berkata,
“Kakang Maruto, aku tetap tidak percaya kalau perawan denok seperti ini
menjadi mata-mata! Huah-ha-ha, kalau mereka mengirim mata-mata sedenok
sungguh menyenangkan sekali. Biar dikirim empat losin pun aku masih
kurang!”
“Adi Saru, jangan sembrono. Orang-orang Panjalu amat cerdik, tentu
mengirim mata-mata yang pandai menyamar. Heh, kisanak!” kata orang ke
dua itu yang jenggotnya berjuntai panjang sampai dua kilan.
“Kalian berdua siapakah dan dari mana hendak ke mana?”
Joko Pramono yang selalu bersikap hati-hati tetap tidak ingin melibatkan
diri dalam pertempuran sebelum mereka tiba di Kota Raja Jenggala
menyelidiki keadaan dan dapat mencari Ki Mitra yang menjadi juru taman
di rumah guru kesenian seperti yang mereka ketahui dari pesan Ki W
iraman, menjawab,
“Kami kakak beradik penghuni di kaki Gunung Kawi, hendak pergi ke kota raja mencari paman kami yang bekerja di sana.”
“Hemm, Andika terlalu gagah dan tampan untuk menjadi seorang pemuda dusun biasa!” kata si jenggot panjang.
“Dan perawan ini terlalu denok untuk menjadi perawan gunung. Lihat
kulitnya putih kuning dan halus, matanya yang masih membayangkan
keturunan menak, jeli dan tajam pandangannya, bulu mata yang lentik,
ha-ha-ha, perawan denok ini lebih cantik dari pada puteri di istana!
Kalian baru boleh lewat kalau aku sudah memeriksa dara ini!” kata si
hidung besar sambil menyeringai kepada Pusporini.
“Memeriksa bagaimana maksudmu?” tanya Joko Pramono, suaranya dingin dan sinar matanya mengandung kemarahan yang ditahan-tahan.
Hatinya panas sekali melihat kekasihnya hendak diperlakukan secara
kurang ajar, dan kalau menurutkan panasnya hati, ingin ia memukul remuk
kepala si hidung besar saat itu juga. Akan tetapi pemuda ini masih
menekan hatinya, ingin mencari penyelesaian secara damai agar tugas
mereka tidak terganggu.
“Huah-ha-ha-ha, memeriksa bagaimana? Jangan khawatir, kisanak. Aku tidak
akan menyusahkan adikmu, bahkan sebaliknya, dia akan senang sekali
setelah kuperiksa nanti. Aku harus menggeledahnya, siapa tahu dia
membawa surat-surat rahasia, membawa benda-benda rahasia yang
disembunyikan di balik pakaiannya. Mari, manis, mari ikut bersamaku ke
balik semak-semak tebal agar jangan ada mata lain melihatmu sehingga
engkau akan menjadi malu, denok!”
Si hidung besar mengulurkan tangan hendak memegang lengan Pusporini,
akan tetapi gadis itu melangkah mundur sambil tersenyum manis sehingga
si hidung besar yang melihat senyum yang mencipta lesung pipit di pipi
yang manis sekali terpesona.
“Nanti dulu, kisanak!”
Joko Pramono melangkah maju di depan Pusporini, memandang mereka berdua,
tidak mempedulikan anak buah pasukan yang tertawa-tawa melihat lagak
seorang di antara pemimpinnya tadi.
“Sebelum Andika berdua mengambil tindakan, ingin kami bertanya, siapakah
Andika berdua dan pasukan ini pasukan apa? Mengapa Andika hendak
memeriksa kami dan dengan hak apakah?”
Si jenggot panjang tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, melihat wajah dan dandananmu, engkau seperti bukan bocah
gunung, akan tetapi pertanyaanmu ini menyatakan bahwa engkau benar
seorang dusun yang tidak tahu apa-apa. Dengarlah baik-baik, aku Maruto
dan Adi Sarudigdo ini adalah dua orang perwira Jenggala yang sudah
kondang kaonang-onang (terkenal), pemimpin pasukan Pasopati yang tidak
mengenal takut atau mundur atau kalah. Pasukan kami merupakan pasukan
yang paling jagoan di Jenggala, menjadi kembang di antara pasukan
pengawal di luar istana. Kini banyak berkeliaran mata-mata yang dikirim
oleh Panjalu dan entah sudah berapa banyak mata-mata yang kami bunuh.
Karena itu, kami berhak untuk memeriksa setiap orang yang kami curigai
dan sudah menjadi hak Adi Sarudigdo yang memang mempunyai kepandaian
khusus untuk menggeledah wanita untuk memeriksa adikmu ini. Nah, sudah
jelaskah? Kalau kalian melawan, berarti kalian akan mati tanpa diperiksa
lagi!”
Joko Pramono sudah menjadi marah sekali. Jelas olehnya sekarang betapa
rendah watak pasukan ini dan dari sikap mereka ini saja ia sudah dapat
menilai bahwa mereka ini tentulah bukan prajurit-prajurit sejati dari
Jenggala yang dahulu terkenal sebagai prajurit-prajurit dan satriasatria
utama.
Kini pasukan ini tiada bedanya dengan segerombolan penjahat yang kasar
dan liar dan sudah dapat diduga bahwa mereka ini tentulah menjadi anak
buah dari pada mereka yang kini menguasai Jenggala. Kesabarannya lenyap
dan hal ini tampak dari sinar matanya yang berkilat. Melihat keadaan
pemuda in!, Pusporini lalu berkata lirih,
“Biarkan aku menghadapi mereka.”
Joko Pramono melangkah mundur karena ia tahu bahwa gadis yang
dikasihinya itu tentu sudah marah luar biasa melihat sikap dan mendengar
ucapan dua orang pemimpin pasukan Pasopati ini dan hendak turun tangan
sendiri. Ia mengalah dan mundur.
Pusporini tersenyum-senyum dan melangkah maju, memandang kepada perwira
yang tinggi besar yang berhidung besar, lalu berkata, suaranya merdu dan
halus, matanya bersinar-sinar sehingga wajahnya menjadi makin jelita,
“Andika ini seorang perwira gagah perkasa dari Jenggala dan sudah lama
aku mendengar bahwa perwiraperwira Jenggala adalah satria-satria
perkasa. Apakah Andika ini juga menjadl anak buah Ki Patih Warutama yang
kabarnya sakti mandraguna itu?”
Si hidung besar mengangkat dadanya sampai membusung, hidungnya berkembang-kempis mendenguskan hawa kebanggaan dan kesombongan.
“Hehheh, tidak salah dugaanmu, puteri yang jelita seperti bidadari
kahyangan! Aku Sarudigdo, perwira digdaya, sakti mandraguna dan menjadi
tangan kanan gusti patih di Jenggala! Dengan kepalan tangan kiri aku
sanggup memukul pecah kepala seekor harimau kumbang, dengan tangan kanan
aku sanggup memukul pecah kepala seekor harimau gembong, dengan kedua
kakiku aku sanggup menjegal roboh seekor gajah. Dengan golokku si dukun
peminum darah aku sanggup “
“Menyembelih ayam.” Pusporini melanjutkan.
“Cukuplah, yang penting sekarang engkau tadi mengatakan hendak
menggeledah aku. Benarkah engkau ini seorang ahli menggeledah wanita?”
“Ha-ha-ha, Kakang Maruto hanya berkelakar! Akan tetapi yang jelas,
setiap orang wanita yang kena kugerayang tubuhnya tentu akan bertekuk
lutut, akan gandrunggandrung kepadaku, karena aku memiliki Aji
Asmaragama dan setiap orang dara, termasuk engkau, Manis, kalau sudah ku
“
“Cukup sudah! Dengan cara bagaimana engkau hendak menggeledahku?” Pusporini menahan kemarahannya.
“Heh-heh, tak perlu kukatakan, engkau nanti akan menikmatinya sendiri.
Marilah, denok, kita bersembunyi di balik semak-semak yang tebal sana...
heh-heh “
“Seorang gagah tidak perlu sembunyi-sembunyi. Di sini pun mengapa?”
Perwira itu membelalakkan matanya sehingga hidungnya yang besar kelihatan makin mbengol. “Di sini? Dilihat semua orang?”
“Mengapa tidak? Bagaimana sih caranya?” Pusporini tetap menggoda.
“Wah, sayang dong kalau banyak yang lihat. Pertamatama kau harus membuka
kembenmu (ikat pinggang),... bajumu dan kutangmu dan...”
“Begini?”
Pusporini mengudar (melepaskan) ujung kembennya sepanjang satu meter.
Kembennya yang dari sutera merah berkembang itu dibuka sedikit dan semua
mata, terutama mata si hidung besar sudah membelalak penuh gairah. Akan
tetapi tiba-tiba Pusporini dengan gerakan yang cepat sekali mengebutkan
ujung kemben itu ke arah muka si hidung besar.
“Tarr... plakkkk!”
“Waduhhhh...! Aduh biyung...!”
Sarudigdo si hidung besar itu mendekap hidungnya dengan tangan sambil mengaduh-aduh.
Hidungnya yang besar terkena sambaran ujung kemben menjadi remuk dan
berubah menjadi segumpal daging yang berdarah. Pusporini sambil
tersenyum menyelipkan lagi ujung kembennya di pinggang.
“Iblisss... jahanang... kurang ajang...!”
Sarudigdo memaki-maki dengan suara bindeng, kemudian ia menubruk dengan
kedua lengan dipentang,seperti seekor harimau buas menubruk seekor
domba.
Namun Pusporini bukanlah domba betina yang lemah. Tubrukan itu mudah
saja dielakkan dengan miringkan tubuhnya ke kiri, dan pada saat itu
kakinya melayang naik sedemikian cepatnya sehingga sukar diikuti oleh
pandangan mata.
“Siuuuuttt... ngekkkk!”Ujung kakinya sudah bersarang ke dalam perut Sarudigdo.
Tubuh perwira ini memang kebal dan di antara kawan-kawannya dia terkenal
pula sebagai seorang yang otot kawat balung wesi (urat kawat tulang
besi), kulitnya juga tebal sekali. Akan tetapi karena tendangan itu amat
kuatnya, walau pun kulitnya tidak apaapa, akan tetapi isi perutnya
terasa melilit-lilit seperti digiling atau ditusuk-tusuk seribu batang
jarum karatan.
la meringis-ringis, mendekap perut dengan dua tangannya, terengah-engah
dengan lidah terjulur keluar seperti seekor anjing kehausan, sepasang
matanya mendelik dan sejenak dia lupa akan hidung besarnya yang remuk
karena perutnya terasa lebih nyeri dari pada hidungnya. Kini ia tidak
dapat memaki-maki dengan suara bindeng seperti tadi, melainkan hanya
dapat mengeluarkan suara...
“nguuukkk... nguuukkk...“ seperti lutung ketakutan.
Maruto dan para anak buah pasukan yang disebut dengan nama garang
“Pasopati” itu terbelalak. Hampir mereka tak dapat percaya bahwa seorang
gadis cantik jelita seperti itu dapat merobohkan Sarudigdo dalam dua
gebrakan saja.
Padahal kedua orang itu, Sarudigdo dan Maruto, adalah orang-orang
pilihan Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama sendiri, dan keduanya
adalah bekas pentolan dari gerombolan Gagak Serayu!.
“Perempuan iblis!” Maruto yang tadinya terbelalak itu membentak marah,
golok besarnya terhunus dan cepat seperti angin menyambar ia telah
menerjang maju, membacokkan goloknya ke leher Pusporini.
“...jangan... jangan... bunuh, tangkap dia untuk... untukku...”
Sarudigdo masih dapat mengeluarkan kata-kata setelah mulas perutnya agak
mereda. Melihat kesaktian Puspirini, nafsunya makin menggelora dan dia
ingin memiliki wanita itu sebelum menyiksanya sekeji mungkin!
Akan tetapi Maruto tidaklah semata keranjang temannya dan dia sudah
marah sekali, maka bacokannya itu dilakukan sepenuh tenaga dan tujuannya
hanya satu, yaitu membunuh wanita ini. Joko Pramono hanya tersenyum
memandang, siap menyerang apa bila anggota-anggota pasukan itu maju
mengeroyok.
Akan tetapi para prajurit itu tidak berani maju tanpa komando. Biasanya,
kedua orang pemimpin mereka itu tidak pernah terkalahkan, maka sekali
ini pun mereka percaya bahwa Maruto tentu akan dapat membunuh gadis itu.
Pusporini tenang-tenang saja. Melihat golok berkelebat menyambar, ia
hanya miringkan tubuhnya sehingga golok menyambar dekat pundak, kemudian
ia merendahkan diri secara otomatis dan tangan kirinya yang dibuka
jarijarinya menyodok ke depan, menggunakan Ajinya Pethit Nogo!
Terdengar bunyi bercuit saking hebatnya tusukan jari dengan Aji Pethit
Nogo yang kini telah mencapail kesempurnaannya berkat gemblengan Sang
Resi Mahesapati. Di dalam latihannya, dengan Aji Pethit Nogo ini, dari
jarak satu meter Pusporini sanggup menggunakan angin pukulannya membuat
air sungai terpecah dan muncrat-muncrat, dan sentuhan jari tangannya
dapat membuat batu-batu gunung remuk menjadi bubuk! Batang pohon jati
tua yang sudah keras seperti besi menjadi bolong-bolong kalau tercium
jari-jarinya yang halus kecil dengan bentuk mucuk bung (seperti re-bung)
itu.
Pusporini menyerang dengan Aji Pethit Nogo dari jarak satu meter
sehingga jari-jari tangannya tidak menyentuh tubuh lawan. Memang ia
tidak sudi menyentuhkan jari-jari tangannya pada tubuh laki-laki macam
Maruto dan tadi pun ia menghajar hidung Sarudigdo yang baginya
menjijikkan itu dengan tungkak kakinya!
Akan tetapi, pukulan yang mengandung hawa sakti itu telah mengenai dada
Maruto dan terdengarlah Maruto memekik keras, goloknya terlepas, tangan
kirinya mendekap dada dan ia terjengkang roboh, berkelojotan dengan
mata, hidung, mulut dan telinganya mengucurkan darah dan tewas seketika!
Gegerlah para anak buah pasukan itu! Melihat kematian kawannya,
Sarudigdo terkejut sampai lupa akan rasa nyeri di hidung dan perutnya.
“Serbu...! Bunguh...! Habiskang mereka...!” teriaknya bindeng dan ia sendiri sudah
menerjang dengan goloknya. Karena sedikit banyak ia merasa gentar dan
ngeri terhadap Pusporini, sekarang dia membacokkan goloknya kepada Joko
Pramono yang masih berdiri tenang-tenang saja sambil tersenyum.
Melihat datangnya golok ini, Joko Pramono sama sekali tidak mengelak dan
setelah golok menyambar dekat, ia mengangkat tangannya memapaki golok
dengan telapak tangan kosong.....!
Komentar
Posting Komentar