PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-60


Muka Sarudigdo yang sudah buruk sekali akibat hidungnya remuk itu, terbelalak dengan mata lebar dan pada saat itu, Joko Pramono menyambitkan remukan golok di tangannya yang seperti hujan menyambar ke arah muka yang buruk itu, amblas dan menancap masuk ke dalam dahi, mata, pipi dan mulut.
Sarudigdo mengeluarkan suara seperti seekor kerbau disembelih, tubuhnya roboh dan kedua tangannya mencakar-cakar mukanya sendiri yang sudah penuh darah, kemudian berkelojotan dan mati dekat mayat Maruto.
“Rini, sudah kepalang tanggung, habiskan saja bedebah-bedebah ini!” kata Joko Pramono dan dua orang muda itu kini kembali berlomba. Mereka berdiri saling membelakangi dan bersicepat merobohkan semua pengeroyok yang bersenjata golok dan tombak.
Sepak terjang mereka seperti sepasang burung garuda menyambar-nyambar dan dari kedua telapak tangan mereka tersebar maut karena setiap kali telapak tangan bergerak menampar atau kaki berkelebat menendang, tentu ada pengeroyok yang roboh dan tewas!
Pasukan itu tadi disombongkan oleh dua orang pemimpinnya sebagai pasukan yang pantang mundur dan tidak mengenal takut, akan tetapi kini melihat betapa kawan-kawan mereka seperti mentimun melawan durian, ada dua orang di antara mereka yang terbirit-birit dan terkencing-kencing melarikan diri.
“Hemm, kalian hendak lari ke mana?”
Pusporini berkata mengejek dan cepat memungut dua batang tombak yang berserakan di tanah, lalu bergerak hendak melontarkan dua batang tombak itu ke arah dua orang yang hendak melarikan diri.
Akan tetapi lengannya dipegang olehJoko Pramono dengan halus dan pemuda ini berkata,
“Jangan, Rini! Mereka tentu lari ke induk pasukan dan lebih baik kita mengikuti mereka. Kita sudah kelepasan tangan melibatkan diri dalam pertempuran dan sudah banyak membunuh anak buah para pengacau, tidak baik bekerja setengah-setengah kepalang tanggung. Mari kita selidiki keadaan induk pasukan mereka!”
Pusporini menoleh dan sejenak mereka berpandangan.
Baru sekali ini selama mereka berkumpul, mereka melakukan pertempuran bersama-sama dan hasil pertandingan ini membuat mereka lebih dekat satu sama lain. Perlahan-lahan sinar kemerahan yang membayangi wajah cantik itu dan memancar keluar dari sinar matanya, melunak dan akhirnya gadis itu tersenyum, senyum manis yang timbul dari lubuk hatinya, bukan seperti senyumnya kepada perwira Jenggala tadi yang merupakan senyum buatan untuk menyembunyikan kemarahan yang meluapluap.
“Hampir aku lupa akan tugas kita...“ kata Pusporini sambil membuang dua batang tombak itu, kemudian memandang ke arah mayat-mayat yang berserakan memenuhi tempat itu. Tujuh belas orang mati, termasuk si jenggot panjang dan si hidung besar, dan keadaan di situ sunyi sekali, sunyi yang mengerikan. “Mari kita ikuti mereka!”
Sepasang orang muda yang perkasa ini lalu berkelebat meninggalkan tempat itu, mengikuti bayangan dua orang sisa pasukan Pasopati yang melarikan diri pontang-panting itu. Dari jauh mereka melihat dua orang itu lari terus, biar pun napas mereka telah kerenggosan hampir putus, dua orang itu tidak berani berhenti dan lari terus.
Menjelang senja, barulah dua orang itu sampai di tempat tujuan dan ternyata mereka itu tidak lari ke induk pasukan seperti yang mereka sangka, melainkan lari memasuki sebuah rumah gedung yang berada di sebuah dusun, letaknya di pinggir.
Melihat adanya empat orang penjaga di pintu gerbang, Joko Pramono dan Pusporini dapat menduga bahwa rumah itu tentulah rumah seorang pembesar yang berkuasa, karena kalau hanya rumah seorang kepala dusun saja tidak mungkin dijaga empat orang pengawal yang pakaiannya indah seperti pengawal istana.
Di pendopo luar tampak pondok sesajen yang seperti juga di dusun-dusun lain, dua orang muda itu melihat bahwa yang dipuja-puja oleh penghuni rumah gedung ini adalah Sang Bathara Shiwa.
Dengan hati-hati mereka melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah itu, dan dengan hati-hati mereka menyelinap dan mengintai.
“Apa kau bilang? Pasukan Pasopati binasa semua oleh dua orang laki-laki dan wanita? Sungguh menggelikan!” bentak seorang laki-laki tinggi besar dan dengan sikap marah laki-laki ini mengelebatkan pedangnya yang panjang dan...”capp!” pedang itu amblas setengahnya ke dalam tiang rumah itu. Laki-laki ke dua, yang juga tinggi besar, berdiri pula dari tempat duduknya, memandang penuh penghinaan kepada dua orang pelarian yang kini berlutut di lantai, lalu membentak,
“Dan kalian tidak tahu nama mereka? Bahkan kalian berani meninggalkan pasukan membiarkan kawan-kawan tewas sedangkan kalian sendiri melarikan diri? Pengecut tak tahu malu! Beginikah prajurit-prajurit pilihan yang menjadi anggota pasukan Pasopati?”
Joko Pramono dan Pusporini yang mengintai, melihat bahwa dua orang laki-laki setengah tua yang marah-marah itu benar-benar kelihatan amat kuat, tidak saja hal ini terbayang pada tubuh mereka yang tinggi besar, akan tetapi juga gerak-gerik dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan ilmu kepandaian.
“Hamba... hamba berdua... bukan melarikan diri karena takut... hanya ingin melaporkan hal itu kepada paduka...“ kata seorang di antara mereka.
“Pengecut! Sama saja dengan menunjukkan tempat ini kepada musuh!” bentak orang yang berpedang dan cepat sekali tangannya sudah mencabut pedang di tiang tadi dan sekali pedang berkelebat, leher kedua orang itu telah terbabat putus! Gerakan pedang ini amat cepat dan mahir sekali, juga sekali babat membuntungi dua buah kepala menunjukkan tenaga yang amat kuat.
“Adi Kroda, kita harus cepat-cepat mengajak mereka berangkat dari sin! Lekas kau persiapkan kuda dan memberi tahu Eyang Cekel Wisangkoro agar kita dapat cepat membawa pergi mereka. Karena dua orang itu adalah orang-orang Panjalu yang hendak merampas kedua orang tamu kita!”
“Engkau benar, Kakang Dwipa. Aku pergi!” kata kakek tinggi besar ke dua yang melangkah cepat keluar dari dalam ruangan itu.
Kakek pertama juga meninggalkan ruangan setelah memanggil dua orang pengawal dan memberi perintah menyingkirkan dua mayat tadi, dan tanpa diketahui kakek yang ahli bermain pedang ini, yang pergi sambil membawa pedang disarungkan di pinggang, Joko Pramono dan Pusporini mengikuti dengan jalan menyelinap dan berindap-indap melalui taman di luar gedung,dilindungi oleh kegelapan malam yang mulai tiba.
Dua orang kakek tinggi besar itu adalah Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, dua di antara Lima Gagak Serayu, yaitu sisa dari tiga orang saudara mereka yang tewas ketika berperang melawan pasukan Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang kini telah menjadi patih muda di Panjalu.
Dua orang Gagak Serayu ini masih mendendam kepada Panjalu dan telah mengumpuikan sisa gerombolan mereka kemudian mengabdikan dirinya kepada Wasi Bagaspati dan akhirnya memperoleh “kedudukan” sebagai kepala-kepala pasukan pengawal, menjadi hamba-hamba setia dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di Jenggala!
Seperti telah diketahui, Gagak Dwipa adalah seorang ahli pedang yang kuat sedangkan Gagak Kroda memiliki tubuh yang kebal. Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka kini sedang dibayangi oleh seorang muda yang sakti mandraguna, yang telah membasmi pasukan Pasopati yang menjadi anak buah mereka.
Gagak Dwipa memasuki ruangan dalam gedung itu dan dua orang muda yang elok bangkit berdiri menyambut kedatangannya. Gagak Dwipa segera menjura dengan penuh hormat kepada laki-laki muda yang tampan itu, juga kepada wanita cantik yang berdiri di sebelah kirinya lalu berkata,
“Mohon maaf, Gusti Pangeran, kalau hamba datang mengganggu Paduka berdua yang sedang beristirahat. Akan tetapi terpaksa hamba memberitahukan bahwa sekarang juga perjalanan harus dilanjutkan, harap Paduka berdua suka mempersiapkan diri.”
Sementara itu, Pusporini yang mengintai di luar bersama Joko Pramono, tiba-tiba memegang lengan temannya itu. Ketika Joko Pramono merasa betapa jari tangan Pusporini yang memegang lengannya gemetar, ia cepat menengok dan alangkah terkejut hatinya ketika melihat wajah yang cantik itu menjadi pucat.
Biar pun wajah itu hanya menerima penerangan suram-suram yang menyorot dari dalam gedung, namun Joko Pramono sudah mengenal betul wajah wanita ini dan ia segera memandang penuh pertanyaan.
Pusporini mendekatkan mulutnya ke telinga temannya dan berbisik, “Dia... Setyaningsih...”
“JokoPramono terkejut dan merasa heran sekali. Tentu saja ia sudah banyak mendengar penuturan gadis ini tentang keluarganya, maka nama Setyaningsih sudah dikenalnya baik-baik sebagai saudara tiri gadis ini dan adik kandung Endang Patibroto.
Maka ia cepat memandang kembali ke sebelah dalam dan kini ia memandang wanita muda itu penuh perhatian. Ia melihat bahwa wanita itu sebaya dengan Pusporini dan amat cantik jelita, berkulit kuning langsat dan sinar matanya tajam. berpengaruh, membayangkan kekerasan hati.
Diam-diam ia menjadi kagum akan tetapi juga terheran-heran seperti Pusporini mendapatkan wanita itu berada di tempat ini dan seakanakan menjadi tokoh penting yang dihormati kakek tinggi besar itu. Bahkan pemuda tampan yang berdiri di sebelah kanannya itu disebut gusti pangeran!
Melihat Pusporini seakan-akan tak dapat menahan kerinduan hatinya dan seperti hendak berseru memanggil, Joko Pramono cepat menyentuh lengan gadis itu dan menggelengkan kepala sambil member! isyarat dengan telunjuk di depan mulut, minta gadis itu agar jangan mengeluarkan suara.
“Paman Dwipa, apa pula artinya ini?” Pemuda tampan yang disebut gusti pangeran itu berkata, alisnya yang hitam berkerut. “Telah dua hari kita mengadakan perjalanan dan isteriku lelah sekali, ingin beristirahat malam ini. Kita telah berada di wilayah Jenggala, di tempat sendiri, mengapa tergesa-gesa? Bukankah besok kita dapat melanjutkan perjalanan pagi-pagi dan sore hatinya dapat tiba di kota raja?”
“Mohon maaf, Gusti. Sesungguhnyalah apa yang Paduka katakan, akan tetapi telah terjadi hal-hal yang gawat.Hendaknya Paduka ketahui bahwa pada masa ini kita menghadapi banyak musuh yang dikirim oleh Panjalu...”
“Ah, betapa mungkin? Uwa Prabu di Panjalu...”
“Mungkin bukan oleh gusti sinuwun di Panjalu, akan tetapi semenjak pengkhianatan mendiang Patih Brotomenggala, kaki tangannya masih selalu berusaha mengacaukan Jenggala. Baru saja hamba mendapat keterangan bahwa ada beberapa orang mata-mata musuh yang akan menangkap Paduka berdua...”
“Eh? Aneh sekali! Aku dan isteriku berpakaian menyamar sebagai penduduk biasa, siapa mengetahui bahwa aku adalah Pangeran Panji Sigit dari Jenggala dan ini isteriku?”
Ucapan ini kembali mengejutkan hati Pusporini sehingga di luar kesadarannya gadis ini memegang lengan Joko Pramono dan... mencubitnya keras-keras! Untung Joko Pramono dapat menahan diri, kalau tidak tentu ia akan memekik, bukan karena nyeri melainkan karena... girang. Cubitan seorang gadis yang dicinta mendatangkan rasa nyeri yang sedap di hati!
“Ah, Paduka tidak tahu betapa pandai mendiang Patih Brotomenggala sehingga banyak kaki tangannya mendapat dukungan tokoh-tokoh di Panjalu. Maafkan hamba, demi keselamatan Paduka sendirilah terpaksa malam ini juga hamba akan mengiringkan Paduka berdua menuju ke kota raja. Setelah Paduka tiba di sana menghadap gusti sinuwun, baru akan legalah hati hamba dan akan bebas hamba dari pada tanggung jawab yang berat...”
Pusporini dan Joko Pramono dapat menangkap isyarat yang terpancar keluar dari pandang mata Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit. Pangeran itu menarik napas panjang dan akhirnya berkata kepada Gagak Dwipa yang menundukkan muka dengan hormat,
“Baiklah kalau begitu,Paman. Engkau sudah begitu baik untuk mengantar kami, tentu saja kami akan menurut segala langkah yang kauambil demi keselamatan kami.”
Pada saat itu, masuklah Gagak Kroda. Setelah memberi hormat kepada pangeran muda bersama isterinya itu, ia lalu berkata kepada Gagak Dwipa,
“Kakang Dwipa, kereta telah siap di luar.”
Pangeran muda itu dan isterinya melangkah keluar dari gedung diikuti oleh kedua orang kakek tinggi besar. Sebuah kereta yang indah telah menanti di luar, dan berangkatlah suami isteri itu, dikawal oleh kedua orang kakek itu sendiri bersama tiga orang pengawal yang kelihatannya memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Joko Pramono dan Pusporini tetap mengikuti dari jauh.
Mereka menggunakan aji kesaktian mereka sehingga lari mereka cepat sekali, tidak tertinggal oleh larinya kuda yang menarik kereta di sebelah depan. Sambil membayangi kereta itu dari jauh mereka bercakap-cakap.
“Sungguh aneh luar biasa!” kata Pusporini kemudian mengomel. “Mengapa kau melarang aku menjumpai Setyaningsih? Kau tidak tahu betapa rinduku kepadanya! Ingin sekali aku mendengar dari mulutnya sendiri bagaimana dia sampai bisa menjadi isteri seorang Pangeran Jenggala Luar biasa...!”
“Hemm, suaminya memang hebat. Seorang pangeran! Begitu tampan dan gagah! Wah, tentu kau akan dapat belajar dari dia bagaimana untuk dapat memancing hati seorang pangeran. Aku berani bertaruh, tentu akan banyak pangeran yang akan tergila-gila kepadamu!”
Tiba-tiba Pusporini berhenti dan memandang pemuda itu dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Kau... mendem (mabuk)! Siapa ingin memancing hati pangeran? Apa maksudmu dengan ucapan gila itu?”
Joko Pramono terkejut dan merasa betapa rasa cemburu membuat ia kelepasan bicara.
“Eh... ohh... maaf... aku... aku hanya bermaksud bahwa amat terhormat menjadi isteri pangeran... bahwa... bahwa aku seperti batu kerikil kalau dibandingkan dengan seorang pangeran yang seperti batu intan...”
“Wah, lebih gila lagi. Kaukira aku perempuan macam apa yang silau oleh ketampanan seorang pangeran? Jadi kau... kau cemburu...? Ceriwis kau! Genit kau! Cih, aku jemu! Sudahlah, aku tidak sudi bertemu dengan Setyaningsih...!”
Gadis itu terisak, membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
Sejenak Joko Pramono melongo, kemudian ia mengerahkan tenaga berlari cepat mengejar Pusporini.
“Pusporini... berhentilah... ampunkanlah aku... berhenti...!”
Akan tetapi gadis itu berlari cepat sekali dan Joko Pramono menjadi bingung karena ia maklum bahwa kalau Pusporini tidak mau memperlambat larinya, tentu akan sukar baginya untuk menyusul dan tentu mereka tidak akan dapat mengikuti suami isteri dalam kereta itu.
“Pusporini...! Aku tobat minta ampun...! Tunggulah aku, mari kita mengejar mereka. Setyaningsih dan suaminya dalam bahaya...!”
Mendengar kalimat terakhir itu, tiba-tiba Pusporini berhenti dan membalikkan tubuhnya. Pandang matanya berkilat dan pipinya basah air mata. Joko Pramono terkejut dan merasa menyesal sekali. Belum pernah ia melihat gadis itu menangis. Ia lalu melompat dekat dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu!
“Pusporini... aku mengaku salah... aku telah gila, ampunkan aku! Ampunkan mulutku yang lancang, betapa gila aku pernah meragukan perasaanmu yang suci.”
Pusporini tadinya marah sekali, akan tetapi melihat laki-laki yang dicintanya itu berlutut di depannya, ia menjadi terharu sekali.
“Joko Pramono, bangkitlah. Tidak layak seorang pria berlutut di depan wanita. Kumaafkan engkau,akan tetapi jangan sekali-kali lagi bicara seperti tadi... kau telah menyayat hatiku.”
Joko Pramono bangkit berdiri dan mereka berpandangan, penuh maaf dan penuh pengertian sehingga pandang mata mereka berubah mesra. Akhirnya Pusporini yang lebih dahulu menunduk dengan muka kemerahan.
“Apa maksudmu bahwa Setyaningsih terancam bahaya?”
“Aku tidak main-main. Aku mencurigai dua orang kakek itu. Tidak melihatkah engkau tadi Setyaningsih dan suaminya bertukar isyarat pandang mata? Tentu mereka itu tidak menjadi sekutu mereka, entah apa yang telah terjadi.Akan tetapi ada perasaan di hatiku seolah-olah mereka masuk perangkap.”
“Ah, kalau begitu, kejar...!”
Pusporini mendahului Joko Pramono dan berlari cepat sekali mengejar ke arah larinya kereta yang kini sudah tak tampak lagi. Joko Pramono juga mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Di dalam hatinya terasa lega sekali karena ia merasa seolah-olah baru saja terhindar dari pada malapetaka terbesar selama hidupnya!
Sebetulnya apa yang terjadi dengan Setyaningsih dan suaminya? Seperti telah kita ketahui, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih merupakan dua orang tokoh pasukan rahasia yang dipimpin Pangeran Darmokusumo dari Panjalu.
Mereka ini bersama beberapa orang pengawal yang merupakan ahli-ahli penyelidik, menyelundup memasuki daerah Jenggala dan tugas mereka adalah mencari jejak Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis.
Lama mereka itu bersama anak buah mereka melakukan penyelidikan, namun tak seorang pun pernah mendengar nama Nini Bumigarba, apa lagi melihat nenek menyeramkan itu. Jejak nenek itu lenyap sama sekali dan mereka menjadi bingung karena tidak berhasil sedikit pun juga. Karena itu, Pangeran Panji Sigit dan isterinya lalu memisahkan diri dari para penyelidik dengan niat untuk memasuki Kota Raja Jenggala.
Pangeran itu bertekad untuk menghadap ramandanya dengan resiko menghadapi musuh-musuh rahasia Kerajaan Jenggala. Akan tetapi dia merasa yakin bahwa hanya di istana sajalah ia akan dapat mendengar tentang nenek itu.
Dua hari yang lalu, ketika mereka sedang berjalan memasuki sebuah dusun, mereka bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda.
Di antara anak buah pasukan ini terdapat pula seorang prajurit Jenggala yang tentu saja segera mengenal Pangeran Panji Sigit, sungguh pun pangeran itu menyamar dalam pakaian penduduk biasa. Ia cepat memberitahukan hal ini kepada kedua orang kakek itu yang cepat mengatur siasat.
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah mendengar tugas rahasia dari Pangeran Kukutan bahwa kalau mereka mendengar akan adanya Pangeran Panji Sigit, mereka harus membawanya ke istana!
Kiranya Pangeran Kukutan telah mendengar bahwa adik tirinya itu pernah datang menghadap ratu yang diasingkan, maka timbul rasa khawatir di hatinya. Ia merundingkan hal ini dengan Suminten yang segera bangkit seleranya, bangun nafsunya mendengar akan kembalinya Pangeran Panji Sigit.
Seorang wanita seperti Suminten ini, yang setiap hari berganti kekasih, akan menjadi bosan dengan pria-pria tampan yang dengan senang hati melayani segala kehendak dan nafsunya. Sebaliknya, ia akan merasa tersiksa dan menderita penyakit wuyung (rindu asmara) kalau ada pria yang menolak cintanya! Dan pria yang menolaknya, satusatunya pria tampan yang menolaknya adalah Pangeran Panji Sigit.
Bukan ini saja. Orang pertama yang membangkitkan berahinya, yang menjadi cinta pertamanya namun yang tak sudi melayaninya adalah Pangeran Panjirawit, suami Endang Patibroto yang pertama. Bahkan kasih tak terbalas inilah yang sesungguhnya membuat perubahan besar dalam hidup Suminten, yang membuat dia dari seorang abdi menjadi wanita yang paling berkuasa di seluruh Jenggala.
Cinta kasihnya yang gagal terhadap Pangeran Panjirawit ini pulalah yang menjadikan dia seorang wanita pengabdi nafsu berahi yang keranjingan, seorang wanita yang haus akan cinta kasih yang tak pernah dapat memenuhi hatinya. Dan Pangeran Panji Sigit mempunyai wajah yang mirip dengan kakak tirinya itu!
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda menjadi girang sekali dan cepat-cepat dia bersama pasukannya bersembah sujut memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit.
Tentu saja pangeran muda ini menjadi terkejut sekali. Dia bersama isterinya sudah menyamar dengan pakaian penduduk biasa, namun ternyata pasukan itu mengenalnya. Terpaksa, untuk menyembunyikan tugas rahasianya yang berbahaya, ia pun menyatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang ke kota raja untuk menghadap ramandanya sang prabu di Jenggala.
Demikianlah, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih dikawal oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, naik sebuah kereta dan sampai di dusun itu di mana mereka beristirahat di sebuah gedung besar yang menjadi tempat peristirahatan para petugas Kerajaan Jenggala yang melakukan tugas berjaga dan menyelidili wilayah perbatasan.
Ketika dua orang kakek itu memaksa mereka melanjutkan perjalanan di waktu malam, hati Pangeran Panji Sigit dan isterinya menjadi curiga. Akan tetapi kalau mereka menolak, tentu kedua orang kakek itu mencurigai mereka, maka mereka menurut dan diam-diam mereka bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Malam itu bulan purnama bersinar di angkasa yang bersih dan cerah sehingga kalau saja tidak digoda oleh kecurigaan yang membuat hati mereka tidak nyaman, tentu perjalanan itu merupakan perjalanan yang amat menyenangkan. Kanan kiri jalan yang bermandikan cahaya bulan keemasan amatlah sedap dipandang.
Sudah hampir dua jam kereta berjalan cepat dan tibatiba, di sebuah jalan perempatan, kereta berhenti. Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih saling berpandangan kemudian mereka menyingkap tenda sutera penutup jendela kereta dan memandang keluar.
Di bawah sinar bulan yang terang, tampak tiga orang penunggang kuda menghadang di depan kereta yang dihentikan. Sejenak Pangeran Panji Sigit tertegun dan memandang penuh perhatian.
Benarkah ucapan Gagak Dwipa bahwa ada orang-orang Panjalu yang hendak mengganggunya? Tidak mungkin! Kalau toh ada utusan dari Panjalu, tentu utusan itu adalah anggota pasukan rahasia atau anak buah Pangeran Darmokusumo, atau juga anak buah Patih Tejolaksono.
Akan tetapi dia tidak mengenal mereka itu dan tampak olehnya bahwa tiga orang itu dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah empat puluh tahun, berjubah kuning seperti pakaian pendeta, kakinya telanjang, rambutnya putih terurai sampai ke pinggang, mukanya kehitaman dengan hidungnya yang panjang berbentuk paruh burung kakatua, tubuhnya kurus tinggi.
“Pangeran Panji Sigit, kami atas nama kerajaan dan atas perintah gusti patih di Jenggala, ditugaskan menangkap Andika bersama wanita yang datang bersama Andika!”
Kakek itu berkata, suaranya nyaring dan serak.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih cepat meloncat keluar dari kereta itu, berdiri dengan sikap siap. Sedikit pun mereka tidak menjadi gentar, apa lagi Setyaningsih, dengan muka angkuh memandang kepada kakek itu, sinar matanya memancarkan kemarahan.
“Tidak mungkin! Mengapa pula Patih Jenggala hendak menangkap aku? Paman Dwipa dan Paman Kroda, apa artinya ini?” bentak Pangeran Panji Sigit.
Akan tetapi,dengan heran dan marah pangeran itu melihat betapa kedua orang kakek tinggi besar itu pun sudah melompat turun dan bergabung dengan tiga orang itu yang sudah melompat turun dari kuda masing-masing. Bahkan Gagak Dwipa tertawa mengejek lalu berkata,
“Pangeran Panji Sigit, ketahuilah bahwa paman ini adalah Paman Cekel Wisangkoro, kepercayaan dari Gusti Pangeran Kukutan. Sebaiknya Andika berdua menyerah saja agar dapat ditangkap secara terhormat, dari pada harus dipergunakan kekerasan. Kalau gusti patih memerintah agar Andika ditangkap, tentu ada alasannya yang kuat!”
“Hemm, kiranya kalian berdua adalah orang-orang jahat yang sengaja hendak mencelakakan kami!”
Tiba-tiba Setyaningsih berkata, suaranya dingin dan mengandung ancaman mengerikan.
“Kakangmas Pangeran adalah putera gusti sinuwun di Jenggala yang hendak pulang ke istana ramandanya sendiri. Siapa pun tidak berhak menangkapnya!”
“Hemm, galak benar isteri pangeran ini! Kalian hendak melawan kami?” bentak Gagak Kroda yang wataknya berangasan. Adapun lima orang yang tadi mengawal kereta, bersama dua orang prajurit yang bertugas memanggil Cekel Wisangkoro dan kini datang bersama kakek pendeta itu, telah maju mengurung Pangeran Panji Sigit dan isterinya.
“Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, memang tadinya aku sudah curiga terhadap kalian. Semenjak kecil aku berada di Jenggala dan selalu aku melihat perwira-perwira dan pengawal-pengawal yang berjiwa satria, tidak seperti kalian orang-orang kasar melebihi gerombolan perampok. Kiranya kalian adalah pemberontak-pemberontak yang mengatur siasat untuk mencelakakan kami! Tunggu saja sampai aku menghadap ramanda prabu, pasti pengawal-pengawal palsu macam kalian ini akan dijatuhi hukuman mati!”
“Bodoh! Kenapa kalian melayani mereka bicara? Lekas tangkap!” Cekel Wisangkoro tak sabar lagi. “Gusti Pangeran Kukutan sudah tak sabar menanti!”
“Hayo tangkap mereka!”
Gagak Dwipa memberi aba-aba kepada tujuh orang prajurit pengawal yang menjadi anak buahnya. Dia memandang rendah kepada pangeran yang halus sikapnya itu, juga isterinya yang cantik jelita dan lemah lembut, oleh karena itu ia memerintahkan anak buahnya untuk turun tangan menangkap suami isteri itu.
Tujuh orang prajurit itu dengan penuh gairah lalu menubruk maju. Hanya dua orang yang menerjang Pangeran Panji Sigit, sedangkan yang lima orang lagi, yaitu mereka yang tadi mengawal kereta, seperti anjing-anjing kelaparan berebut tulang, telah berlomba menerkam Setyaningsih.
Mereka adalah orang-orang kasar, bekas anak buah gerombolan Gagak Serayu, orang-orang yang sudah biasa menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga sejak melihat Setyaningsih, sudah bergelora nafsu berahi mereka. Kini, mereka memperoleh kesempatan untuk menangkap, tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk sekedar menggerayang dan meremas tubuh yang menggairahkan hati mereka itu.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka bahwa wanita muda cantik jelita itu bukanlah makanan empuk seperti yang mereka kira. Bahkan sebaliknya! Begitu mereka menubruk, Setyaningsih yang sejak tadi sudah menahannahan kemarahannya, sama sekali tidak mengelak, bahkan menyambar mereka dengan tamparan-tamparan sakti.
“Wuut-wuut... plak-plak-plak...!”
Tiga di antara lima orang itu terpelanting dan memegangi kepala yang serasa akan pecah! Muka mereka bengkak-bengkak membiru akibat pukulan yang dikerahkan dengan Aji Gelap Musti yang pernah dipelajari dari ayundanya, yaitu Endang Patibroto ketika ia berada di puncak Wilis!
Mereka semua terkejut setengah mati. Lima orang itu adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, bertubuh kebal, namun sekali gebrakan saja Setyaningsih telah merobohkan tiga orang yang agaknya takkan dapat bangkit lagi cepat-cepat. Mereka ini, dua orang prajurit yang lain menjadi gentar, akan tetapi juga marah. Mereka ini menerjang maju, tidak untuk menggerayang tubuh, melainkan untuk memukul roboh dan menangkap wanita perkasa itu dengan kekerasan.
Pangeran Panji Sigit mungkin tidak seganas isterinya, juga tidak sesakti isterinya. Akan tetapi, pangeran ini telah pula menerima gemblengan dan petunjuk Ki Datujiwa, maka menghadapi dua orang prajurit pengawal itu tentu saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dengan cekatan sekali pangeran muda ini mengelak dari setiap sergapan, cengkeraman atau pukulan, kemudian ia pun membalas dengan pukulan -pukulannya yang cukup ampuh.
Berbeda dengan Pangeran Panji Sigit yang sifatnya memang pemurah dan betapa pun juga tidak ingin membunuh ponggawa kerajaan ramandanya sendiri, Setyaningsih yang sudah marah sekali itu kini mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya berkelebat ke depan dan terjangan kedua orang prajurit itu pun ia sambut dengan pukulan-pukulan Pethit Nogo!
“Werrr... plak-plak...!”
Dua orang prajurit itu roboh terjengkang dan tubuh mereka berkelojotan, tak mampu bangkit kembali.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar