PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-61
Kalau tiga orang yang pertama kali dirobohkan dengan Gelap Musti tadi
hanya merasa kepalanya pecah dan sukar dapat bangkit kembali, adalah dua
orang korban Aji Pethit Nogo ini tak mungkin dapat hidup lagi karena
mengalami gegar otak yang amat hebat!
Pada saat yang hampir bersamaan, Pangeran Panji Sigit juga sudah
berhasil memukul roboh seorang pengeroyok dengan tulang pundak remuk,
dan membanting seorang pengeroyok lain sehingga kedua orang itu pun
tidak mampu bertanding lagi.
“Wah, kiranya kalian juga memiliki sedikit kepandaian?” bentak Gagak
Kroda, benar-benar terkejut karena tak diduganya sama sekali bahwa suami
isteri itu akan dapat merobohkan tujuh orang anak buahnya, terutama
isteri pangeran itu yang telah merobohkan lima orang sedemikian
mudahnya.
“Majulah, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda! Inilah Setyaningsih dan
ketahuilah bahwa aku adalah adik kandung Endang Patibroto! Suami
ayundaku, Pangeran Panjirawit tewas oleh para prajurit Jenggala sendiri,
dan kini suamiku, juga seorang Pangeran Jenggala, kini hendak ditangkap
oleh prajurit-prajurit Jenggala sendiri! Akan tetapi, kalian hanya akan
dapat melakukan hal itu melalui mayatku! Benar ucapan Ayunda Endang
Patibroto bahwa di Jenggala banyak terdapat iblis-iblis menyamar sebagai
ponggawa kerajaan!”
Setyaningsih biasanya pendiam dan tidak banyak cakap, akan tetapi kini
kemarahannya memuncak ketika ia melihat suaminya hendak diganggu orang.
Mendengar disebutnya nama Endang Patibroto, kedua orang pentolan Gagak
Serayu itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka berubah. Tentu
saja mereka sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang wanita sakti
yang bernama Endang Patibroto dan kini mereka berhadapan dengan adik
kandung wanita sakti itu!
Pantas saja tandangnya begini hebat! Selama petualangan mereka, dua
orang bersaudara ini baru satu kali berhadapan dengan orang yang sakti
dan yang sudah merobohkan mereka, bahkan telah menghancurkan kesatuan
Lima Gagak Serayu sehingga tiga orang adik mereka roboh tewas, yaitu
Tejolaksono.
Dan mereka sudah mendengar bahwa Endang Patlbroto memiliki kedigdayaan
yang setingkat dengan Tejolaksono! Maka begitu mendengar bahwa gadis
yang cantik jelita dan berkulit kuning langsat, yang menjadi isteri
Pangeran Panji Sigit ini adalah adik kandung Endang Patibroto, tentu
saja mereka terkejut dan gentar.
“Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, kenapa kalian tidak lekas menangkap dua
orang ini? Perlukah aku melaporkan kepada Gusti Pangeran Kukutan bahwa
kalian jerih terhadap seorang gadis “
Terdengar Cekel Wisangkoro berkata mengejek.
Mendengar ini, dua orang kakek tinggi besar itu menjadi merah mukanya.
Mereka hanya terkejut mendengar disebutnya Endang Patibroto, akan tetapi
tentu saja mereka tidak takut menghadapi pangeran muda itu dan
isterinya yang hanya merupakan seorang gadis muda. Serempak mereka
berdua lalu menerjang maju dengan suara gerengan mereka.
Karena maklum bahwa suami isteri muda itu memiliki ilmu kepandaian yang
tak boleh dipandang ringan, maka Gagak Dwipa sudah mengerjakan bedok
atau pedangnya yang panjang dan kuat itu untuk menerjang Setyaningsih,
sedangkan Gagak Kroda sudah menubruk Pangeran Panji Sight untuk
menggelut dan menangkapnya.
Perintah yang mereka terima adalah menangkap Pangeran Panji Sigit, maka tentu saja mereka tidak berani membunuh pangeran ini.
Karena ini, maka Gagak Kroda yang kuat dan kebal tubuhnya itulah yang
menghadapi Pangeran Panji Sigit dengan tangan kosong, adapun Gagak Dwipa
menerjang Setyaningsih dengan senjata tajam untuk merobohkannya, kalau
perlu membunuhnya! Membunuh wanita ini tidak menjadi larang bagi mereka.
Dua orang kakek itu adalah kepala-kepala perampok yang semenjak muda
sudah berkecim pung dalam dunia kekerasan. Mereka dahulunya menjadi
pimpinan gerombolan Gagak Serayu dan selain kepandaian mereka cukup
tinggi, juga pengalaman mereka dalam bertempur sudah matang.
Apa lagi semenjak kesatuan mereka, Lima Gagak Serayu dihancurkan oleh
Tejolaksono dan tinggal mereka berdua yang hidup, dua orang ini sudah
menggembleng dirinya lebih rajin lagi dan kini mereka merupakan lawan
yang tangguh bagi suami isteri muda itu.
Apa lagi Pangeran Panji Sigit yang biar pun sejak kecil mempelajari olah
keprajuritan, tapi tidaklah sesakti Setyaningsih yang memang terlahir
dalam keluarga sakti. Pangeran yang mempergunakan kerisnya ini didesak
hebat oleh Gagak Kroda yang tandangnya seperti sang raksasa Kumbokarno,
menubruk sambil menggereng, kedua lengannya yang besar panjang berbulu
itu menyambar-nyambar dengan cengkeraman-cengkeraman kuat, kalau
tubrukannya dielakkan sehingga tubuhnya terdorong ke depan, ia terus
menggulingkan tubuhnya dan sambil bergulingan ini ia mengejar terus
hendak menangkap kaki pangeran muda itu!
Pangeran Panji Sigit terdesak hebat dan menjadi agak ngeri dan jijik
melihat cara berkelahi yang tidak pakai aturan ini. Beberapa kali ujung
kerisnya berhasil mencium kulit lawan, bahkan dua kali ia berhasil
menusuk dada kanan dan lambung kiri, akan tetapi tusukan kerisnya
mental, seolah-olah ia menusuk segumpal karet tebal yang amat ulet dan
keras!
Tentu saja pangeran ini terkejut sekali dan maklum bahwa lawannya
memiliki kekebalan yang amat kuat, maka ia berlaku hati-hati sekali dan
menujukan serangan kerisnya pada bagian-bagian yang berbahaya dan tidak
dilindungi kekebalan.
Namun, ia tidak diberi kesempatan karena Gagak Kroda sudah mendesaknya
dengan rangsekan bertubi-tubi dan pangeran ini pun maklum bahwa sekali
tubuhnya kena dicengkeram jari jari tangan yang sebesar buah pisang
ambon itu, tentu sukar baginya untuk dapat meloloskan diri!
Maka ia kini hanya mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk
menghindar dengan loncatan ke sana ke mari dan karena tubuh Gagak Kroda
yang tinggi besar itu tidak dapat bergerak segesit dia, maka untuk
sementara waktu Pangeran Panji Sigit masih dapat bertahan.
Pertandingan antara Setyaningsih melawan Gagak Dwipa lebih hebat lagi
karena Gagak Dwipa sepak terjangnya dalam penyerangan tidak seoerti
Gagak Kroda yang berusaha menangkap hidup-hidup Pangeran Panji Sigit.
Gagak Dwipa yang menggunakan pedangnya berusaha untuk mengalahkan wanita
muda yang sakti mandraguna itu dengan bacokan-bacokan dan
tusukan-tusukan mematikan. Namun Setyaningsih yang memegang keris
melakukan perlawanan gigih dan gerakan-gerakannya amat cepat memusingkan
kepala Gagak Dwipa.
Setiap serbuan pedang dapat dielakkan atau ditangkis dengan tenaga yang
kuat, dan di samping membalas dengan tusukan kerisnya, juga tangan kiri
Setyaningsih kadang-kadang mengirim pukulan-pukulan sakti yang amat
ampuh. Biar pun pukulan tangan kiri belum ada yang mengenai tubuh Gagak
Dwipa, akan tetapi angin pukulannya itu saja sudah membuat Gagak Dwipa
terdesak dan kadang-kadang terhuyung mundur.
Sayang bahwa perhatian Setyaningsih terpecah kepada pertandingan
suaminya. Ia tahu bahwa suaminya terdesak oleh lawannya, maka
kadang-kadang ia meninggalkan Gagak Dwipa yang sedang terhuyung,
menggunakan kesempatan itu untuk menerjang ke arah Gagak Kroda yang
sudah mendesak suaminya. Inilah yang menyebabkan Gagak Dwipa belum juga
dapat dikalahkannya.
Pangeran Panji Sigit makin terdesak. Gagak Kroda terlalu kebal dan kuat
sehingga tusukan kerisnya tidak melukai kulit raksasa itu. Dengan
penasaran dan juga marah karena isterinya yang terpaksa membantunya itu
kadang-kadang bahkan terancam keselamatannya oleh Gagak Dwipa, pangeran
ini berseru keras dan membalas serangan lawan dengan menujukan kerisnya
ke arah mata.
Kemarahan pangeran ini memperlipat-gandakan kekuatannya sehingga sesaat
lamanya Gagak Kroda terdesak dan mundur karena matanya selau terancam
ujung keris yang runcing.
Juga Setyaningsih menjadi marah karena kegelisahannya melihat suaminya
yang terdesak. Biar pun belum sempurna karena hawa sakti di tubuhnya
belum kuat benar, Setyaningsih pernah belajar aji kesaktian yang hebat
dari Endang Patibroto, yaitu pekik sakti Sardulo Bairowo.
Mulailah ia mengeluarkan pekik sakti ini dan suaranya membuat Gagak
Dwipa menjadi terkejut sekali dan ketika ia terhuyung, tamparan tangan
kiri Setyaningsih mampir di pundaknya, membuat tubuh raksasa ini
terpelanting.
Kalau saja pada saat itu Pangeran Panji Sigit tidak sedang terdesak dan
Setyaningsih mengirim serangan susulan, pasti Gagak Dwipa akan terpukul
tewas. Akan tetapi kembali Setyaningsih meloncat ke arah lawan suaminya,
dengan pekik pendek-pendek melengking tinggi ia menerjang Gagak Kroda.
Sebuah tamparan tangan kirinya mengenai dada kanan Gagak Kroda. Tubuh
raksasa ini amat kebal, apa lagi dadanya yang setiap hari “sarapan”
bacokan golok dan tusukan ujung tombak. Tadi pun tusukan-tusukan keris
di tangan Pangeran Panji Sigit tak pernah dapat menggores kulit dadanya.
Akan tetapi kini kena diserempet tamparan Pethit Nogo tangan kiri
Setyaningsih, raksasa ini mengaduh dan terhuyung ke belakang sambil
memegang dadanya yang serasa panas terbakar.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara terkekeh dan seperti
menyambarnya halilintar, tampak sinar hitam seperti ular hidup menyambar
ke arah kepala Setyaningsih. Wanita muda ini terkejut sekali karena
hawa pukulan yang keluar dari sinar hitam ini demikian kuatnya. Ia
menangkis dengan kerisnya, terdengar suara nyaring dan kerisnya
terpental dari tangannya!.
Setyaningsih memekik nyaring, pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya mencelat
ke samping ketika sinar hitam itu terus mengejarnya. Alangkah kagetnya
ketika ia melihat bahwa sinar hitam itu adalah tongkat di tangan kakek
yang berpakaian pendeta dan bernama Cekel Wisangkoro!
Kiranya kakek itu seorang yang amat sakti. Hatinya penuh kekhawatiran,
apa lagi ketika ia melirik dan melihat betapa suaminya kini telah kena
diringkus oleh kedua lengan Gagak Kroda yang amat kuat.
Suaminya meronta-ronta namun tak dapat terlepas. Tentu suaminya
dikalahkan karena pengeroyokan Gagak Kroda dan Gagak Dwipa selagi dia
terdesak sinar hitam itu. Karena kini ia mengerahkan perhatian kepada
suaminya, ketika tiba-tiba sinar hitam kembali menyambar, Setyaningsih
agak terlambat melompat dan pundaknya kena diserempet tongkat ular,
membuat wanita ini terhuyung.
Dan pada saat itu Gagak Dwipa sudah melompat maju dan mengirim tusukan
dengan pedangnya ke arah dada Setyaningsih, tusukan yang agaknya sukar
untuk dapat ia hindarkan dalam keadaan terhuyung seperti itu.
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Pangeran Panji Sigit dan
Setyaningsih itu, tiba-tiba terdengar pekik melengking tinggi yang
hampir sama dengan pekik Setyaningsih akan tetapi jauh lebih kuat dan
sebuah lengan yang halus melayang, menampar ke arah kepala Gagak Dwipa.
Angin pukulannya amat kuat sehingga Gagak Dwipa terkejut bukan main.
Namun bekas pimpinan Gagak Serayu ini cepat menarik kembali pedangnya
yang tadi menusuk Setyaningsih dan terus ia babatkan ke atas menangkis
lengan halus itu.
“Krakkk!”
Pedang itu patah menjadi tiga potong bertemu dengan tangan Pusporini
yang mengandung tenaga mujijat Pethit Nogo, bahkan tangan itu masih
dapat mendorong pundak Gagak Dwip yang terpental ke belakang.
Setyaningsih hanya sekelebatan saja melihat datangnya seorang wanita
cantik yang menolongnya, akan tetapi pada saat itu perhatiannya terpusat
kepada suaminya, maka tubuhnya berkelebat ke depan dan tangannya
menampar ke arah Gagak Kroda yang masih mendekap tubuh suaminya yang tak
mampu bergerak.
Gagak Kroda yang maklum akan keampuhan pukulan Setyaningsih, yang tadi
membuat dadanya terasa seperti pecah, cepat melepaskan dekapannya dan
menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan men jauh sehingga ia
terbebas dari pada pukulan maut.
Dua orang saudara Gagak itu benar-benar amat kuat.
Mereka sudah bangkit lagi dan bersiap-siap. Akan tetapi pada saat itu,
dua orang wanita yang sama muda sama cantik rupawan, akan tetapi
sama-sama ganas dan penuh kemarahan telah menerjang mereka dan keduanya
mengeluarkan pekik-pekik melengking yang dahsyat.
Gagak Kroda menjadi pucat ketika ia melihat Setyaningsih menerjangnya
dengan tamparan-tamparan sakti, dan ia berusaha mengelak dan menangkis
sambil terhuyung mundur. Di lain fihak, Gagak Dwipa juga merasa ngeri
ketika melihat wanita muda yang cantik dan berkulit hitam manis itu
sambil tersenyum-senyum manis sekali menerjangnya dengan tamparan yang
seolah-olah menghembuskan api kawah Gunung Bromo!
Yang membuat kedua orang raksasa ini merasa ngeri adalah pekik-pekik
melengking yang keluar dari mulut mereka. Kedua orang tokoh Serayu ini
mundur-mundur dan wajah mereka membayangkan ketakutan hebat.
Cekel Wisangkoro yang melihat para pembantunya terdesak dan terancam,
segera berkelebat maju dengan tongkat hitamnya, akan tetapi pada saat
itu, berkelebat bayangan orang dan seorang pemuda tampan gagah perkasa
yang datang bersama wanita cantik itu telah berdiri menghadapinya sambil
tersenyum-senyum.
“Pendeta palsu, dua orang kawanmu itu adalah laki-laki raksasa yang
melawan dua orang wanita muda, sesungguhnya mereka itu sudah tak tahu
malu sekali. Masa masih akan kaubantu lagi? Engkau ini pendeta dukun
lepus sungguh tak tahu malu!”
Cekel Wisangkoro adalah murid Wasi Bagaspati yang amat sakti, tentu saja
menjadi marah dan tidak memandang sebelah mata kepada pemuda ini. Ia
menyeringai, memperlihatkan mulut ompong dan berkata,
“Hemm, biarlah kubunuh engkau lebih dulu sebelum menundukkan dua orang wanita galak itu!”
Sambil berkata demikian, Cekel Wisangkoro berteriak keras dan tongkatnya
menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang amat kuat dan cepat
gerakannya. Akan tetapi Joko Pramono, pemuda itu, dengan mudah mengelak
sambil mengejek,
“Luput! Engkau ini pendeta dari manakah? Rambutmu sudah penuh uban akan
tetapi kau biarkan panjang terurai dan mengkilap oleh minyak, tanda
bahwa pada lahirnya engkau sudah tua bangka, akan tetapi hatimu masih
ingin bersolek! Badanmu kurus kering seperti cecak mati pada usia tua,
akan tetapi mukamu menyinarkan nafsu duniawi, jubahmu kuning berhiaskan
benang emas akan tetapi kakimu telanjang, tanda bahwa engkau suka akan
kemuliaan dan kemewahan akan tetapi tidak tahu akan tata susila seorang
pendeta! Bicaramu seperti pribumi akan tetapi hidungmu seperti kakatua,
tanda bahwa engkau bukanlah orang tanah Jawa. Eh, dukun lepus, engkau
siapa dan orang mana?”
Muka kakek itu memang kemerahan, akan tetapi sekarang menjadi lebih merah karena marah.
“Bocah bermulut lancang! Mampuslah di tangan Cekel Wisangkoro!”
bentaknya sambil menyerang kembali, menusukkan tongkatnya ke arah
tenggorokan Joko Pramono. Namun kembali pemuda ini miringkan tubuh dan
dari samping tangannya menangkis.
“Plakk!”
Cekel Wisangkoro terkejut bukan main dan mengeluarkan teriakan nyaring
karena tongkatnya itu terpukul miring dan telapak tangannya menjadi
perih. Hal ini hanya menandakan bahwa pemuda itu memiliki hawa sakti
yang luar biasa kuatnya.
Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang pemuda yang usianya paling banyak
dua puluh dua tahun itu dapat menangkis tongkatnya sampai miring!
“Heh keparat, rasakan kesaktiankul” katanya dan kini ia memutar
tongkatnya sepertI kitiran sehingga tongkat Itu berubah menjadi sinar
hitam yang bergulung-gulung dan membentuk lingkaran lebar. Dari dalam
lingkaran ini menyambar keluar hawa pukulan yang mengandung daya ampuh
dan berbau amis, tanda bahwa pukulan ini adalah aji kesaktian yang
mengandung hawa beracun!
“Dukun keji!”
Joko Pramono berseru keras sekali dan tubuh pemuda ini agak merendah,
setengah berjongkok, kemudian ia mendorongkan kedua tangannya ke depan.
Itulah aji pukulan Cantuko Sakti yang menjadi ilmunya yang khas! Bukan
main dahsyatnya dorongan ini dan Joko Pramono mempergunakannya karena
makIum bahwa lawannya tak boleh dipandang ringan.
“Auuggghhhh…!”
Tubuh pendeta itu terlempar ke belakang seperti disambar angin puyuh.
Biar pun ia berusaha untuk mempertahankan diri dengan tongkat yang ia
dorong-dorongkan ke tanah, tetap saja ia terjengkang dan dari mulutnya
menyembur darah segar! Cekel Wisangkoro yang sudah banyak pengalaman-nya
itu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang benar-benar
luar biasa, maka cepat ia merogoh sakunya dan... melarikan diri secepat
kedua kakinya mampu meloncat!.
“Dukun lepus hendak lari ke mana?”
Joko Pramono meloncat pula melakukan pengejaran.
Pangeran Panji Sigit yang menonton sepak terjang Joko Pramono, menjadi kagum bukan main.
Tetapi kini pemuda perkasa itu mengejar si pendeta yang melarikan diri,
maka kembali ia memperhatikan sepak terjang isterinya dan wanita muda
yang tadi membuatnya bengong terlongong itu. Dua orang wanita itu
seperti dua orang kembar, sama-sama tangkas dan dahsyat, sama-sama
mengeluarkan pekik, dan pukulan-pukulan mereka adalah Aji Pethit Nogo
yang sudah ia kenal gerakannya.
Akan tetapi ia dapat menilai bahwa hawa pukulan Aji Pethit Nogo wanita
hitam manis itu jauh lebih kuat dari pada isterinya. Ia melihat betapa
dua orang kakek itu kini melakukan perlawanan hanya untuk mempertahankan
nyawa.
Beberapa kali mereka terpelanting hanya terkena hawa pukulan Pethit
Nogo, bergulingan dan berusaha lari. Namun selalu lawannya telah
menantinya untuk menyambut dengan pukulan lain.
Gagak Kroda sudah tak dapat tahan lagi menghadapi desakan-desakan
Setyaningsih. Ia hendak melarikan diri, tapi Setyaningsih yang marah
sekali melihat betapa suaminya tadi terancam bahaya di tangan kakek ini,
menyambutnya dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Ketika untuk kesekian kalinya Gagak Kroda berusa menangkap tangan wanita
itu untuk digelutnya, untuk dihancurkan dengan kedua lengannya yang
kuat, Setyaningsih sengaja membiarkan pergelangan tangan kirinya
ditangkap.
Pangeran Panji Sigit menahan teriakan kaget melihat isterinya dapat
ditangkap lengannya, akan tetap pada saat itu terdengar suara “prakk”!'
disusul robohnya tubuh Gagak Kroda yang pecah kepalanya terkena tamparan
tangan kanan Setyaningsih!
“Prakkk!”
Pada detik berikutnya, Gagak Dwipa juga roboh dengan kepala remuk terkena tamparan tangan Pusporini.
Kiranya tadi Setyaningsih sengaja membiarkan tangan kirinya tertangkap
lawan sehingga ia dapat kesempatan untuk melancarkan tamparan Pethit
Nogo dari dekat yang akibatnya memecahkan kepala Gagak Kroda. Adapun
Pusporini agaknya hendak menjaga perasaan saudaranya sehingga ia sengaja
“menanti” dan baru menurunkan tangan maut kepada Gagak Dwipa setelah
Setyaningsih berhasil merobohkan lawannya.
“Bagus sekali! Kalian telah berhasil! Sayang dukun lepus itu tak dapat
tertangkap. Ia menghilang menggunakan asap hitam, si keparat!”
Ucapan ini keluar dari mulut Joko Pramono yang sudah tiba kembali dengan
tangan kosong. Tadi ia mengejar Cekel Wisangkoro, akan tetapi tiba-tiba
kakek pendeta itu membanting beberapa buah benda yang meledak dan
menimbulkan asap hitam tebal sehingga Joko Pramono yang khawatir
kalau-kalau asap hitam itu beracun, cepat menghindar dan setelah asap
membuyar, ia telah kehilangan jejak pendeta itu.
Akan tetapi hanya Pangeran Panji Sigit yang memandang dan
memperhatikannya, karena. Pusporini dan Setyaningsih yang kini berdiri
saling pandang dan merasa seperti dalam mimpi, dengan wajah penuh
keharuan dan air mata menitik turun melalui pipi mereka yang masih
kemerahan karena pertempuran tadi, tidak memperhatikan hal lain di
sekeliling mereka.
“Yunda Setyaningsih!”
“Dinda Pusporini...!”
Dua orang wanita muda itu berlari maju dan saling menubruk, berpelukan
dan menangis penuh kebahagiaan dan keharuan. Pangeran Panji Sigit dan
Joko Pramono hanya berdiri memandang.
Mereka ini dapat merasakan keharuan yang menguasai kedua orang wanita
yang mereka cinta itu, maka mereka hanya menonton saja, bahkan Joko
Pramono yang biasanya gembira itu pun tak berani membuka mulut.
Setelah keharuan mereka mereda, dua orang wanita itu lalu melepaskan
rangkulan, saling berpandangan dengan mulut tersenyum akan tetapi mata
masih berlinang air mata. Barulah Joko Pramono membuka mulut dengan
suara gembira.
“Pusporini, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Mengapa aku tidak diperkenalkan?”
Mereka semua tersenyum. Ucapan Joko Pramono yang mengandung kegembiraan
itu sekaligus membuyarkan keharuan yang mencekam dan menimbulkan
kegembiraan yang timbul dari kebahagiaan perempuan itu.
“Ayunda Setyaningsih, dia ini adalah... saudara seperguruanku, namanya
Joko Pramono. Sebetulnya bukan orang lain karena dia adalah keponakan
mendiang Ki Adibroto ayah Ayunda Ayu Candra.”
“Oohh...”'
Setyaningsih terkejut juga akan tetapi melihat betapa pandang mata
pemuda tampan itu periang dan sama sekali tidak membayangkan permusuhan,
hatinya menjadi lega. Tentu saja Setyaningsih sudah tahu akan riwayat
keluarganya dan tahu bahwa di antara keluarganya dan keluarga Ayu Candra
pernah terjadi pertentangan yang hebat (baca Badai Laut Selatan).
“Engkau sudah tahu, dia ini Ayunda Setyaningsih, kakak tiriku, adik kandung Ayunda Endang Patibroto.”
Pusporini melanjutkan perkenalannya kepada Joko Pramono yang cepat menjura dengan hormat kepada Setyaningsih.
“Ini adalah suamiku, Pangeran Panji Sigit dari Jenggala,” Setyaningsih
memperkenalkan suaminya kepada dua orang muda itu, kemudian sambil
menoleh kepada suaminya ia berkata, “Kakangmas, ini adalah adikku
Pusporini yang sering kuceritakan, sungguh tak terduga dapat kita jumpai
di sini, malah bersama saudara seperguruannya menjadi penolong kita.”
Sebagai orang-orang yang mengerti akan tata susila, Joko Pramono dan
Pusporini berlutut dengan hormat dan hendak menghaturkan sembah, akan
tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat membangunkan mereka dan berkata,
“Ah, harap jangan banyak menggunakan peradatan. Kita adalah orang-orang
sendiri, keluarga sendiri. Bahkan kami berdua yang merasa bersyukur dan
berteima kasih kepada andika yang telah menyelamatkan nyawa kami dari
pada ancaman bahaya maut.”
Kemudian memandang ke sekelilingnya.
Gagak Kroda dan Gagak Dwipa telah menjadi mayat, dan bukan hanya dua
orang itu saja,bahkan tujuh orang prajurit pengawal yang tadi ia
robohkan bersama isterinya telah tewas. Ia menghela napas dan berkata,
“Mari kita mencari tempat yang bersih dan di sana kita bercakap-cakap.”
Mereka berempat meninggalkan tempat yang mengerikan karena penuh mayat
orang itu, memasuki hutan dan berhenti di bagian hutan yang bersih dan
teduh, juga sinar bulan dapat menerangi tempat itu karena pohonpohonnya
tidaklah amat rapat.
Mereka berempat duduk di atas akar-akar pohon, kemudian dengan gembira mereka bercakap-cakap menuturkan riwayat masing-masing.
Sebetulnya yang bicara hanya dua orang wanita itu yang menceritakan
pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah, sepuluh tahun yang
lalu ketika Setyaningsih diajak pergi meninggalkan Selopenangkep oleh
Endang Patibroto.
Ketika Setyaningsih menceritakan keadaan keluarga mereka, apa lagi
ketika menceritakan betapa ibu Pusporini, yaitu Roro Luhito, tewas di
tangan musuh yang mengepung Selopenangkep, Pusporini menjerit lirih dan
terguling pingsan!.
Tiga orang itu menjadi terharu dan sibuk. Sambil menangis Setyaningsih
memeluk tubuh Pusporini, mengguncang-guncangnya dan memanggil-manggil
namanya.
Pangeran Panji Sigit hanya menarik napas panjang dan berdiam diri karena
ia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia tidak dapat berdaya. Joko
Pramono merasa kasihan sekali kepada gadis yang dicintanya, maka ia
berjongkok dan berbisik kepada Setyaningsih,
“Perkenankanlah saya menyadarkannya. Setyaningsih maklum akan kesaktian
pemuda teman adik tirinya itu, maka ia lalu melepaskan Pusporini lalu
mundur.
Bersama suaminya ia melihat Joko Pramono menyentuh punggung Pusporini,
menekannya dan menempelkan telapa tangan kini ke ubun-ubun gadis itu.
Pusporini mengeluarkan rintihan perlahan lalu membuka matanya dan
bangkit duduk.
Begitu melihat Joko Pramono, lalu tersedu dan merangkul, mulutnya menjerit lirih,
“Ibu... Ah, Joko Pramono... ibuku... ibuku...”
Joko Pramono terharu, mengelus rambut kepala gadis yang dicintanya itu.
Dalam keadaan berduka seperti itu, Pusporini tanpa disadarinya jelas
memperlihatkan perasaan hatinya kepada Joko Pramono sehingga
Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit memaklumi keadaan dua orang muda
itu dan mereka hanya saling pandang penuh rasa haru.
Setelah sadar kembali, Pusporini cepat melepaskan pelukannya dan mukanya menjadi merah.
Setyaningsih cepat memegang tangannya dan berkata,
“Adikku yang baik, teguhkanlah hatimu. Ibuku dan ibumu telah gugur dalam
perang, gugur sebagai kusuma bangsa, sebagai wanita-wanita berjiwa
satria yang gagah perkasa. Kita patut merasa bangga dan kita harus
mencontoh mereka. Musuh-musuh yang menewaskan ibu-ibu kita adalah
musuh-musuh kita yang sekarang juga.”
Pusporini mengangguk. Dengan kekuatan batinnya ia sudah dapat mengatasi
kedukaannya dan dengan tenang ia mendengarkan cerita Setyaningsih lebih
Ianjut tentang keadaan keluarganya.
“Sekarang Kakangmas Tejolaksono telah menjadi patih muda di Panjalu dan
tinggal di kota raja bersama Ayunda Ayu Candra. Mereka hanya berdua saja
di sana karena sampai sekarang, Bagus Seta belum juga pulang...”
Setyaningsih menarik napas panjang mengingat akan nasib buruk Tejolaksono.
“Untung bahwa belum lama ini Ayunda Endang Patibroto juga datang ke
Panjalu dan sekarang telah bersatu dengan Rakanda Patih Tejolaksono.”
Pusporini menjadi girang mendengar ini, wajahnya mulai berseri kembali.
“Syukurlah. Hanya sayang bahwa Bagus Seta masih belum juga pulang. Ke mana sajakah perginya bocah itu?”
“Menurut penuturan rakanda patih Bagus Seta diambil murid oleh seorang
maha sakti yang berjuluk Bhagawan Ekadenta, entah dibawa pergi ke mana
oleh gurunya itu.”
Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono saling pandang sejenak karena
mereka teringat akan pesan guru mereka bahwa kelak mereka akan membantu
seorang pemuda sakti mandraguna. Jangan-jangan Bagus Seta anak yang
disebut-sebut guru mereka itu!.
“Selanjutnya bagaimana, Yunda?”
Pusporini kembali menghadapi Setyaningsih yang kini mulai menceritakan pengalamannya semenjak ia meninggalkan Selopenangkep.
Ketika mendengar bahwa Endang Patibroto melahirkan seorang anak perempuan, Pusporini girang sekali.
“Wah, sekarang sudah berapa usianya keponakanku itu? Siapa namanya?”
“Namanya Retna Wilis dan sekarang usianya sudah lebih sepuluh tahun.
Akan tetapi... ah, sungguh menyedihkan kalau diingat nasib Rakanda Patih
Tejolaksono. Bagus Seta belum pulang dan tidak diketahui berada di
mana, sedangkan puterinya yang belum pernah dilihatnya itu, Retna Wilis
keponakan kita...”
“Mengapa dia? Mengapa...?” Pusporini bertanya penuh kekhawatiran.
“Dia baru-baru ini terculik oleh Nini Bumigarba...”
“Apa...? Terculik? Dari tangan Ayunda Endang Patibroto? Sungguh
mengherankan! Siapa berani melakukan hal itu? Siapakah itu Nini
Bumigarba?”
Pusporini terkejut, heran, dan marah sekali mendengar ada orang berani
menculik puteri ayundanya yang demikian sakti mandraguna.....!
Komentar
Posting Komentar