PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-62
Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali. Mereka itu melongo ketika
mendengarkan penuturan Setyaningsih tentang kehebatan Nini Bumigarba,
dan diam-diam mereka ikut prihatin dan marah sekali.
“Kami berdua sedang bertugas menyelidiki ke mana dibawanya Retna Wilis
oleh Nini Bumigarba, namun semua penyelidikan kami tidak ada hasilnya.
Nenek itu seperti lenyap ditelan bumi,” kata Pangeran Panji Sigit
setelah isterinya menuturkan tentang pasukan rahasia yang dibentuk dan
dipimpin oleh Pangeran Darmokusumo sendiri, bersama Patih Tejolaksono.
“Karena itu, tidak ada jalan lain bagiku untuk kembali ke Jenggala,
menghadap ramanda prabu dan kurasa di Istana aku akan dapat mendengar
tentang Nini Bumigarba yang melarikan Retna Wilis. Dalam perjalanan ke
Jenggala, kami bertemu dengan Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sehingga
hampir saja kami tertimpa malapetaka.”
“Akan tetapi hal itu sama saja seperti menyerahkan diri ke tangan
musuh!” Joko Pramono berseru. “Paduka sudah dikenal oleh semua orang dan
agaknya kini para prajurit dan petugas Jenggala telah dikuasai oleh
mereka yang mencengkeram Jenggala dan yang memusuhi Paduka. Sebaiknya,
kami berdua saja yang pergi menyelidik ke sana karena kami tidak
dikenal.”
“Benar sekali apa yang dikatakan Joko Pramono. Ayunda Setyaningsih dan
Rakanda Pangeran lebih baik jangan memasuki Jenggala karena hal itu akan
berbahaya sekali,” kata pula Pusporini. Akan tetapi Setyaningsih tidak
menjawab, hanya menoleh kepada suaminya dan menanti jawaban dan
keputusan dari mulut suaminya.
Pangeran Panji Sigit tersenyum akan tetapi menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang dan berkata,
“Sungguh tepat pendapat Adimas Joko Pramono. Akan tetapi aku ingin
bertanya pendapat Adimas Joko Pramono. Bagaimana andai kata Adimas
menjadi aku, melihat ramanda prabu di Jenggala dicengkeram pengaruh
jahat, terancam keselamatan beliau oleh anasir-anasir yang menguasai
kerajaan? Apa yang akan Adimas lakukan? Apakah hanya akan memandang dari
jauh saja?”
Joko Pramono menghela napas panjang dan mengangguk maklum.
“Maaf bukan sekali-kali saya tadi tidak percaya akan jiwa kepahlawanan
Paduka, melainkan tadi saya hanya berpikir tentang bahaya-bahaya yang
mengancam Paduka. Tentu saja, kalau saya menjadi Paduka, saya akan
mendekati sang prabu dan akan membelanya dengan seluruh jiwa raga saya,
sesuai dengan tugas dharma bakti seorang satria terhadap negaranya.”
Pangeran muda itu tertawa dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata kagum.
“Sudah kuduga, takkan ada bedanya antara orang-orang yang menjunjung
tinggi dharma bakti sebagai seorang manusia yang tahu akan kebesaran dan
keadilan, yang tahu akan tugas-tugas kewajibannya sebagai seorang
manusia, tugas di dalam mengisi hidup yang tak lama ini. Karena
persamaan pendapat ini, maka makin yakinlah hatiku bahwa aku bersama
isteriku harus kembali ke Jenggala, apa pun yang akan kami hadapi kelak.
Tugaskulah untuk membela beliau, tugasku pula untuk mengingatkan beliau
akan kelalaian dan kekhilafan beliau. Setyaningsih, isteriku, beranikah
engkau mengunjungi istana Jenggala di mana banyak menanti musuh-musuh
berilmu tinggi untuk mencelakakan kIta?”
Setyaningsih memandang suaminya dengan pandang mata mesra dan wajah berseri.
“Sudah menjadi tugas mutlak seorang isteri untuk mengabdi suaminya,
mengikuti suaminya ke mana pun juga junjungannya itu pergi. Tiada
kesenangan dunia yang akan dapat menyelewengkan kesetiaannya, tiada pula
kesengsaraan yang akan dapat membuat ia meninggalkan sisi suaminya!”
Pangeran muda itu tertawa terbahak, makin girang dan besar hatinya.
“Tepat sekali. Engkau Setyaningsih (Kesetiaan Kaslh) bukan hanya nama belaka, namun menjadi watak lahir batin!”
Pusporini dan Joko Pramono melihat dan mendengar dengan hati penuh rasa
kagum dan terharu. Pusporini memeluk kakak tirinya dan berkata,
“Betapa aku dapat membiarkan Ayunda pergi bersama Rakanda Pangeran
menghadapi bahaya hebat di Jenggala? Tidak, Ayunda, aku tidak dapat
berdiam diri saja. Aku akan menemanimu dan membantumu mencari jejak Nini
Bumigarba yang melarikan Retna Wilis!”
“Benar sekali! Aku pun siap membantu dan biarlah hamba menjadi pembantu
Paduka, Rakanda Pangeran!” kata pula Joko Pramono dengan sikap gagah.
Pangeran Panji Sigit girang bukan main dan memegang pundak pemuda perkasa itu.
“Hati kami menjadi lebih mantap, lebih besar dan tabah dengan bantuan
kalian berdua yang sakti mandraguna. Sungguh bahagia hatiku dapat
menjadi suami seorang seperti Adinda Setyaningsih yang memiliki keluarga
gagah perkasa, dan... aku yakin bahwa engkau pun akan menjadi keluarga
kami... Adimas Joko Pramono!”
Wajah pemuda itu menjadi merah akan tetapi lebih merah lagi kedua pipi
Pusporini ketika ia bertemu pandang dengan Joko Pramono. Melihat ini,
Pageran Panji Sigit tertawa bergelak dan Setyaningsih ikut tertawa
sambil merangkul pundak adik tirinya.
Dengan semangat tinggi dan hati besar, empat orang muda perkasa ini lalu
melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kota Raja Jenggaia, menentang
bahaya yang mereka tahu sedang menantinya di kora raja itu, bagaikan
mulut lebar seorang raksasa yang siap untuk mencaplok mereka!.
Ketika empat orang muda ini memasuki kota raja, semua mata memandang mereka penuh takjub dan keheranan.
Akan tetapi masih banyak pula rakyat yang mengenal Pangeran Panji Sigit
dan tak lama kemudian terdengar teriakan-teriakan girang mereka dan
setelah beberapa orang penduduk tua menjatuhkan, diri berlutut di
pinggir jalan, semua orang lalu berlutut menyembah dan berderet-deret di
sepanjang jalan yang mereka lalui.
“Gusti Pangeran Panji Sigit datang...!”
“Gusti Pangeran yang kita cinta telah kembali...!”
Teriakan-teriakan ini cepat sekali sampai ke istana mendahului mereka
sehingga mengejutkan hati Pangeran Kukutan yang mendengar akan datangnya
adik tirinya itu.
Kalau Pangeran Kukutan terkejut dan khawatir, adalah Suminten yang cepat bangkit dari tempat duduknya dengan muka merah padam.
Wanita itu telah menjadi seorang wanita yang masak, berusia kurang lebih
dua puluh tujuh tahun, bertubuh padat yang tertutup pakaian yang serba
indah dan ketat, wajahnya manis dan terutama sekali sepasang matanya
membayangkan kecerdikan dan wibawa,dengan kerling tajam mengiris
jantung, dan mulutnya yang membayangkan hamba nafsu berahi, bibir yang
dapat bergerak-gerak menantang.
Begitu mendengar disebutnya nama Pangeran Panji Sigit, di dalam pandang
matanya timbul api gairah yang menyala-nyala, dadanya yang membusung itu
agak herombak dan ia cepat memerintahkan abdinya untuk memanggil
Pangeran Kukutan.
Kemudian ia mengundurkan memasuki ruangan belakang, sebuah ruangan
rahasia yang khusus ia pergunakan untuk mengadakan pertemuan rahasia
dengan sekutu-sekutunya, tempat yang rahasia dan aman dari pada gangguan
orang luar yang tidak dikehendaki kehadirannya.
Di sinilah ia menanti kedatangan pembantunya yang paling setia, juga
kekasihnya yang terdekat di antara sekian banyaknya pria-pria muda yang
menjadi kekasihnya, atau lebih tepat menjadi alat-alat permainannya
menurutkan hawa nafsu.
Wanita ini duduk termenung, menanti kedatangan Pangeran Kukutan dengan
mata setengah dipejamkan, suatu kebiasaan jika wanita itu sedang memutar
otaknya mencari siasat.
Tak lama kemudian, daun pintu didorong dari luar dan masuklah Pangeran
Kukutan yang langsung menghampiri wanita yang masih duduk menyandarkan
punggung dan lehernya ke sandaran kursinya.
Pangeran yang sudah biasa memasuki ruangan ini, yakin bahwa ruangan itu
merupakan tempat yang aman, tak perlu menutupkan daun pintu karena
takkan ada seorang pun manusia berani mengintai atau mendengarkan, dan
di sekeliling tempat itu telah terjaga kuat sekali oleh
pengawal-pengawal pilihannya.
Ia langsung menghampiri Suminten yang untuk kesekian kalinya ia
terpesona menyaksikan wanita ini duduk dengan kepala menengadah, mukanya
yang cantik itu tampak nyata, mata yang berbulu lentik setengah
terkatup, mulut yang manis itu setengah terbuka sehingga di antara
sepasang bibir yang penuh, merah dan merupakan sumber kehangatan nafsu
itu tampaklah ujung deretan gigi hampir menjepit ujung lidah yang kecil
merah, tampak sebagian rongga mulut yang merah gelap.
Biar pun Pangeran Kukutan itu bukan seorang laki-laki alim, bahkan
sebaliknya ia seorang pria yang selalu mengejar dan mendapatkan
wanita-wanita cantik dengan menggunakan kekuasaan, kedudukan, dan
ketampanannya, tapi setiap kali bertemu dengan Suminten, selalu gelora
darahnya dipanaskan nafsu berahi.
“Duhai, Adinda Suminten, betapa cantik jelita engkau...! Siang hari engkau memanggilku, apakah tidak dapat menahan lagI...?”
Ia membungkuk dan mencium bibir ternganga itu. Suminten baru sadar dari
lamunannya, dan sejenak ia membiarkan pria yang menjadi pembantunya itu
menikmati ciumannya.
Akan tetapi ketika tangan pangeran itu mulai menggerayang, ia cepat
memegang tangan itu, merenggutkan dirinya secara halus dan berkata
lirih,
“Duduklah, Pangeran. Aku memanggilmu karena urusan penting. Bukan saatnya untuk bermain cinta.”
Sesuatu dalam suara wanita yang sudah amat dikenalnya ini membuat Pangeran Kukutan cepat melangkah mundur.
Seluruh gairah nafsunya lenyap seperti asap dihembus, angin. Ia maklum
bahwa dalam keadaan seperti itu, Suminten mempunyai persoalan pelik yang
harus ia tanggapi dengan kepala dingin dan dengan penuh kesungguhan.
Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa tentu wanita yang amat cerdik
ini yang sesungguhnya telah mengangkat dirinya menjadi pangeran mahkota,
calon raja, yang sesungguhnya merupakan pucuk pimpinan dalam
persekutuan mereka yang kini telah menjadi kuat sekali, mencengkeram
serluruh Jenggala dalam kekuasaan mereka,. telah mendengar akan
munculnya Pangeran Panji Sigit di kota raja.
“Pangeran, apakah engkau sudah mendengar akan munculnya ancaman bagi ketenteraman kita?”
Pangeran Kukutan tersenyum.
“Apakah engkau maksudkan munculnya Panji Sigit dan tiga orang temannya di kota raja?”
Suminten mengangguk dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang menghitam.
“Pangeran, mengapa engkau memandang rendah dan menganggap hal ini sepele
saja? Bukankah kemarin dulu engkau sendiri yang melaporkan akan
kedatangan Paman Cekel Wisangkoro yang menceritakan betapa anak buahnya
tewas oleh kesaktian Pangeran Panji Sigit dan terutama tiga orang
temannya itu?”
“Harap tenangkan hatimu, Diajeng. Telah kuselidiki dan dengar dari Paman
Cekel Wisangkoro bahwa Panji Sigit datang bersama isterinya yang
bernama Setyaningsih dan dua orang muda laki-laki dan wanita yang tak
dikenal.Memang, menurut penuturan Paman Cekel Wisangkoro,laki-laki dan
wanita yang tak dikenal itu memiliki kepandaian yang lumayan sehingga
Paman Cekel sendiri terdesak, akan tetapi hal ini tak perlu
dikhawatirkan. Kami sudah siap sedia dan Paman Cekel Wisangkoro telah
mendatangkan bantuan orang-orang sakti dan aku tanggung bahwa sebelum
Panji Sigit dan teman-temannya sempat menghadap ramanda prabu, mereka
berempat sudah akan menjadi mayat yang tak dikenal orang lain di mana
kuburnya. Ha-ha-hal Aku hanya mengharap agar engkau dapat menahan
ramanda prabu supaya tidak berkesempatan mendengar akan munculnya Panji
Sigit, apa lagi menemuinya.”
Tiba-tiba Suminten menepukkan telapak tangannya pada lengan kursinya dan berseru marah,
“Bodoh sekali rencana itu!”
Pangeran Kulkutan berubah air mukanya. Ia maklum betapa bahayanya kalau
wanita yang cumbu rayunya dapat membuat ia lupa akan segala itu sedang
marah. Cepat ia bertanya,
“Apakah yang salah? Harap suka cepat memberi tahu agar aku dapat mengatur.”
“Engkau merencanakan untuk menggunakan kekerasan membunuh mereka sebelum
mereka bertemu sang prabu? Dengan demiklan. rakyat yang telah
mengetahui kedatangan Pangeran Panji Sigit akan menjadi curiga! Alangkah
bodohnya! Tidak! Hal ini, kemunculannya ini tentu merupakan siasat dari
tokoh-tokoh Panjalu dan kalau kita menggunakan kekerasan membunuhnya,
tentu akan mereka pergunakan untuk mengusik hati sang prabu sehingga
timbul kebenciannya kepada kita. Engkau tahu betapa besar kasih sayang
sang prabu kepada Pangeran Panji Sigit!”
“Apa salahnya kalau ramanda prabu mengetahuinya? Keadaan ramanda prabu
suda:h sedemikian lemahnya, tinggal menggencet sedikit saja tentu mati”
“Ah, engkau temyata masih dikuasai hatimu yang penuh rencana kekerasan.
Apakah yang menjadikan kita berhasil sampai begini jauh kalau bukan
karena siasat halusku? Dan kini hendak kau rusak dengan siasat yang
kasar dan liar seperti siasat orang-orang hutan?”
Pangeran Kukutan menunduk.
“Baiklah, saya akan melakukan segala petunjukmu. Sekarang bagaimana
baiknya untuk menghadapi Panji Sigit dan teman-temannya Itu?”
“Siasat lawan yang halus harus kita balas dengan siasat lebih halus
lagi. Kalau memang Panji Sigit dan temantemannya itu memiliki
kedigdayaan, mengapa kita tidak bersiasat untuk memperalat mereka demi
keuntungan kita? Mendekatlah, dan dengarkan baik-baik rencana siasatku,
kemudian rundingkan masak masak dengan para sakti yang membantu kita...”
Dengan penuh gairah Pangeran Kukutan melangkah maju, lalu berlutut dekat
kursi wanita itu agar mulut wanita itu yang berbisik-bisik dapat
mendekat, telinganya.
Terdengar bisikan-bisikan lirih dan hawa mulut itu meniup-niup
telinganya. Kalau saja urusan itu tidak amat penting,tentu Pangeran
Kukutan sudah lupa diri karena tidak dapat menahan gelora hatinya. Akan
tetapi ia melawan desakan nafsu ini dan mendengarkan penuh perhatian.
Sampai beberapa lama ia di ruangan itu tidak terdengar apa-apa lagi
kecuali suara berbisik-bisik yang keluar dari mulut Suminten dan
didengar oleh Pangeran Kukutan yang kadang-kadang mengangguk-angguk
dengan sinar mata penuh kekaguman.
Sementara itu, dua pasang orang muda yang memasuki kota raja, Pangeran
Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono dan Pusporini, sibuk menerima
sambutan penduduk yang memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit.
Sambil tersenyum-senyum sang pangeran terpaksa memperlambat langkahnya,
bahkan kadang-kadang berhenti untuk menyapa seorang dua orang penduduk
tua yang telah dikenalnya.
Akhirnya, mereka berempat ini dapat juga sampai di Istana, akan tetapi
setibanya di pintu gerbang istana setelah melewati alun-alun yang
lebar,mereka terpaksa berhenti di depan ujung tombak para penjaga pintu
gerbang luar.
“Tidak ada orang yang boleh melalui pintu gerbang ini tanpa izin! Andika
berempat telah mendapat izin siapakah hendak memasuki daerah istana?”
bentak seorang di antara para penjaga itu.
Pangeran Panji Sigit menahan kemarahannya. Dia melangkah maju dan memandang mereka dengan sinar mata tajam, kemudian berkata,
“Benarkah ucapan tadi keluar dari mulut penjaga pintu gerbang luar
istana Jenggala? Ataukah kalian ini prajurit penjaga yang palsu? Karena
kalau prajurit -prajurit Jenggala pasti akan mengenal Pangeran Panji
Sigit!”
Memang, semua penjaga dan pengawal istana kini telah diganti oleh
orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Semua petugas lama telah dienyahkan dan diganti orang-orang baru.
Karena sebagian besar di antara penjaga dan pengawal baru adalah
orang-orang luar, maka tentu saja mereka ini tidak mengenal Pangeran
Panji Sigit.
Para penjaga itu terkejut dan saling pandang, ragu-ragu menghadapi
pemuda tampan yang memandang mereka penuh wibawa itu. Pada saat itu,
terdengar bentakan,
“Ehh, para penjaga tolol! Tidak lekas membuka pintu gerbang untuk
junjungan kalian Pangeran Panji Sigit? Kalian benar-benar minta dihukum
picis!”
Para penjaga itu menjadi pucat wajahnya karena yang membentak dan
menegur mereka itu adalah Pangeran Kukutan sendiri! Pintu gerbang segera
dibuka dan Pangeran Kukutan menyam-but adik tirinya dengan penuh
kegembiraan.
“Duhai Adinda Pangeran, betapa besar rasa bahagia di hatiku mende-ngar
sorak-sorai rakyat yang mengabarkan akan kembalimu! Ah, betapa Adinda
telah menyusahkan hati seluruh keluarga istana karena kepergian Adinda
tanpa sebab dan tanpa pamit!”
Sambil berkata demikian, Pangeran Kukutan merangkul pundak adik tirinya itu dengan wajah berseri-seri.
Pusporini dan Joko Pramono saling bertukar pandang. Kelirukah cerita
yang mereka dengar dari Pangeran Panji Sigit tentang Pangeran Kukutan
yang dikatakannya berhati palsu? Ketika pangeran itu muncul, tadi Panji
Sigit telah membisikkan bahwa itulah Pangeran Kukutan yang kini menjadi
putera mahkota.
Ataukah cerita Pangeran Panji Sigit hanya merupakan fitnah yang timbul
dari hati yang iri? Buktinya, kini Pangeran Kukutan yang tampan dan
kelihatan gagah itu menyambut adiknya dengan sikap begitu riang. Tampak
oleh mereka betapa jauh bedanya wajah kedua orang pangeran putera Raja
Jenggala itu.
“Adinda Panji Sigit, mengapa tidak mengabarkan lebih dulu kalau hendak
pulang? Tentu akan kami sambut dengan pesta! Ah, sekarang pun belum
terlambat. Kepulangan Adinda akan kita rayakan dengan pesta yang
meriah!”
“Terima kasih, Kakanda Pangeran, akan keramahan Kakanda. Akan tetapi
tidak perlu kiranya diadakan penyambutan dengan pesta. Saya pulang hanya
untuk menghadap kanjeng rama, untuk memperkenalkan isteri saya dan
untuk mendekati beliau yang sudah sepuh.”
“Garwamu (isterimu)? Ah betapa menggembirakan! Yang manakah garwamu, Adinda?”
Pangeran Kukutan berseru girang sambil memandang berganti-ganti kepada
Pusporini dan Setyaningsih. Kalau Joko Pramono menganggap pangeran itu
amat ramah dan sikapnya wajar, adalah kedua orang wanita ini yang dapat
menangkap pandang mata penuh gairah menyinar dari balik wajah berseri
itu. Pandang mata yang seolah-olah dapat menelanjangi pakaian mereka!
Adapun Pangeran Kukutan yang memandang' dua orang wanita muda itu,
diam-diam menelan ludah dan mengilar karena sukar baginya memilih mana
yang lebih denok dan jelita di antara kedua orang wanita itu.
Yang seorang ayu kuning dan yang ke dua hitam manis, namun keduannya
memiliki daya penarik yang khas! Dia hanya pura-pura saja tidak tahu
karena sesungguhnya, pandang mata yang sudah berpengalaman sebagai
seorang pelahap wanita itu sekilas pandang saja sudah mengenal mana
gadis yang bersuami dan mana yang belum.
Pangeran Panji Sigit tidak heran menyaksikan penyambutan manis dari
Pangeran Kukutan karena dia sudah mngenal kepalsuan kakak tirinya ini.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaan bahwa kakak tirinya akan bersikap
semanis itu, padahal tadinya ia mengira bahwa tentu dia akan disambut
dengan ujung senjata. Betapa pun juga, karena mengenal watak Pangeran
Kukutan, ia tetap waspada dan menduga bahwa tentu ada maksud-maksud
tersembunyi di balik sambutan manis ini. Terpaksa ia pun lalu
memperkenalkan Setyaningsih.
“Dia inilah isteriku, Kakanda Pangeran. Namanya Setyaningsih dan dia adalah adik kandung Ayunda Endang Patibroto “
“Apa?”
Sepasang mata yang maniknya agak kebiruan itu membelalak. Pangeran
Kukutan memiliki manik mata yang agak kebiruan dan hal ini bagi sebagian
besar wanita yang bertemu dengannya menjadi sebuah daya penarik yang
kuat, sebaliknya bagi yang mengerti, warna itu menjadi tanda akan watak
seorang pria yang gila wanita. Diam-diam Pangeran Kukutan terkejut dan
gentar karena dia sesungguhnya tidak tahu bahwa isteri Pangeran Panji
Sigit adalah adik kandung Endang Patibroto.
Meremang bulu tengkuknya kalau ia teringat akan isteri mendiang Pangeran Panjirawit Itu!
“Adik kandung Ayunda Endang Patibroto isteri mendiang Kakanda Pangeran
Panjirawit yang sakti mandraguna? Ah, betapa menggirangkan hal ini...!”
Ia cepat-cepat membungkuk untuk membalas penghormatan Setyaningsih, dan
pada saat itu hanya dia sendiri yang tahu bahwa hatinya tldaklah
segirang ucapan mulutnya.
“Dinda Pusporini ini pun adik tiri Ayunda Endang Patibroto, sedangkan
Adimas Joko Pramono ini adalah sahabat baiknya tunggal guru.”
Pangeran Panji Sigit memperkenalkan dua orang pemuda itu dan sejenak
pandang mata Pangeran Kukutan menatap kedua orang muda itu penuh
selidik. Hemm, pikirnya. Jadi mereka berdua inikah yang oleh Cekel
Wisangkoro dikatakan sebagai dua orang muda yang amat sakti? Kelihatanny
tidak seberapa.
“Marilah, Adinda Pangeran, marilah beristirahat di tempatku. Sudah
kusediakan kamar-kamar untuk kalian berempat. Tentu Adinda lelah karena
perjalanan jauh dan perlu istirahat.”
Mereka berlima lalu memasuki halaman istana yang lebar.
“Kakanda, saya ingin segera pergi menghadap kanjeng rama. Sudah amat rindu hati saya karena lama tidak menghadap...”
“Ah, sayang sekali, Dimas. Kanjeng rama kini sudah sepuh dan kesehatan
beliau banyak mundur. Kanjeng rama banyak beristirahat dan kalau tidak
beliau kehendaki, siapa pun juga dilarang mengganggu. Akan tetapi, tentu
saja aku akan segera menyampaikan berita kedatangan Adinda ini melalui
ibunda selir. Ketahuilah bahwa kini kanjeng rama tidak suka diganggu
oleh siapa juga kecuali Ibunda selir, satu-satunya orang yang
diperkenankan memasuki kamar peraduannya tanpa izin. Hanya ibunda selir
saja yang kini siang malam melayani dan merawat kanjeng rama.”
Diam-diam hati Pangeran Panji Sigit tertusuk karena ia dapat menduga
bahwa tentu Suminten itulah yang dimaksudkan ibunda selir. Dia pun tahu
bahwa sebetulnya keadaan ramandanya seperti seorang tawanan sungguh pun
hal ini tidak diketahui oleh siapa pun juga, oleh ramandanya pun tidak.
Tetapi ia tidak mau memperlihatkan pengetahuannya ini dan bertanya,
“Ah, sampai begitu memelas keadaan rama? Ibunda selir yang manakah yang begitu setia dan baik hati terhadap kanjeng rama?”
“Siapa lagi kalau bukan ibunda selir Suminten, Dimas Pangeran. Kiranya
saya tidak berlebihan kalau mengatakan, seperti diketahui oleh semua
orang, bahwa kalau tidak mendapat perawatan yang amat baik dari ibunda
selir... ah..., entah bagaimana jadinya dengan kanjeng rama...!
Sudahlah, mari kita beristirahat di sana dan kita dapat bercengkerama
seenaknya.”
“Akan tetapi, mendengar keadaa kanjeng rama, saya makin tak kuat bertahan lama-lama untuk segera menghadap.”,
“Jangan khawatir, sebentar akan kusampaikan kepada ibunda selir agar
dilaporkan kedatangan dan kehendak Adinda itu kepada kanjeng rama
prabu.”
Demikianlah Pangeran Kukutan mulai menjalankan siasat yang telah
direncanakan oleh Suminten. Empat orang muda itu diterima dengan
sambutan ramah, ditempatkan di gedung tempat tinggal Pangeran Kukutan
sendiri karena keadaan di istana telah mengalami banyak perombakan
sehingga tempat yang dahulu ditinggali Pangeran Panji Sigit telah lenyap
pula.
Mereka dijamu dengan hidangan-hidangan lezat dan dihibur dengan pertunjukan tari-tarian
dan tembang-tembang yang dilakukan para seniwati pilihan di Jenggala.
Sementara itu, Suminten juga tidak tinggal diam, melainkan melaksanakan
bagiannya dalam siasat itu.
Suminten mengunjungi sang prabu di dalam kamarnya,seperti biasanya
merayu raja tua ini dan untuk kesekian kalinya sang prabu terbuai mabuk
dalam pelukan wanita ini yang merupakan tempat ia menikmati hidup
terakhir,tempat ia mencurahkan kasih sayangnya dan sumber satu-satunya
yang dapat menghibur segala duka nestapa dan kekosongan usia tua..
Berkat rayuan-rayuan Suminten, sang prabu yang tua itu seolah-olah
menjadi boneka yang semata-mata hidup untuk mengabdi nafsu berahinya
terhadap Suminten, tidak ada kemauan dan semangat sedikit pun juga untuk
memikirkan hal-hal lain, siang malam hanya terlena dalam buaian cinta
nafsu yang tak kunjung padam, yang sengaja selalu dikobarkan dan
dinyalakan oleh Suminten.
Sedemikian hebat pengaruh nafsu ini bagaikan api bernyala-nyala selalu
karena mendapat makanan bahan bakar berupa tubuh Suminten dan sikapnya
yang merayu mesra, sehingga sudah berbulan-bulan sang prabu tidak lagi
mau mempedulikan urusan lain, bahkan jarang keluar dari dalam kamarnya
yang seolah-olah disulap berubah menjadi surga dunia oleh Suminten!.
Setelah untuk kesekian kalinya sang prabu terlena mabuk, penuh kepuasan
dan kenikmatan, rebah berbantal paha. selir yang dicintanya itu, seperti
seorang pemadatan kekenyangan menghisap madat, dalam keadaan setengah
sadar setengah pulas, Suminten membelai rambut penuh ubah yang panjang
terurai itu sambil berkata manis,
“Gusti junjungan hamba, Paduka yang menjadi sumber kebahagiaan hamba,
ada sebuah berita yang amat menyenangkan dan hamba yakin Paduka tentu
akan gembira sekali mendengar berita yang hamba bawa ini...”
Kedua lengan raja tua itu merangkul pinggang yang ramping dan dengan mata terpejam mukanya dibenamkan ke perut,
“Tidak ada berita lebih bahagia dari pada kehadiranmu di dekatku, Suminten...”
Suminten tersenyum.
“Ah, Paduka selalu melimpahkan cinta kasih Paduka kepada hamba dengan
perbuatan dan kata-kata, untuk itu hamba berterima kasih dan bersyukur
kepada para dewata. Akan tetapi berita ini benar-benar akan menambah
kebahagiaan di hati Paduka, yaitu bahwa putera kita Pangeran Panji Sigit
telah pulang...”
Sepasang mata tua itu dan wajah yang keriputan berseri.
Sang prabu bangkit perlahan dari paha selirnya.
“Benarkah? Di mana dia... Puteraku Panji Sigit, di mana dia? Suruh dia datang menghadap...”
“Nah, bukankah Paduka menjadi bahagia sekali?”
“Benar! Terima kasih, Suminten. Memang berita ini amat menggembirakan...”
“Akan tetapi, sebelum puteranda pangeran diminta menghadap, hendaknya
Paduka mengerti pula akan hal-hal yang tidak menyedapkan hati...”
“Apakah maksudmu?”
“Sebelum pulang, dia telah menghadap... sang ratu...”
“Hemmm...”
“Bukan itu saja, malah baru saja dia pulang dari Panjalu.”
“Hemm..., kalau begitu, mengapa?, Apa salahnya dia menghadap rakanda prabu di
Panjalu?”
“Bukan itu persoalannya. Akan tetapi... agaknya dia telah mendengarkan
banyak bisik-bisik fitnah tentang Paduka,tentang hamba... dan agaknya
dia pulang membawa hati yang penasaran dan dendam. Hamba sungguh tidak
menghendaki puteranda Pangeran Panji Sigit memusuhi kita, Gusti, karena
hamba tahu betapa sayang hati Paduka terhadapnya. Karena itu...,
sebaiknya kalau Paduka melarang dia bicara tentang masa lampau, bahkan
memberi kedudukan kepadanya, memerintahkan dia menjadi pembantu
puteranda Pangeran Kukutan untuk menjaga ketenteraman kerajaan Paduka
yang memang sudah menjadi kewajibannya.”
Raja tua itu mengangguk-angguk.
“Tidak aneh kalau dia yang masih muda itu dapat terpengaruh. Dan
ucapanmu memang tepat sekali. Seorang muda harus diberi tugas kewajiban
sehingga tertanam jiwa setia dan patuh akan perintah.”
“Ada yang menggembirakan lagi akan tetapi juga mengkhawatirkan...”
“Apa lagi?”
“Dia pulang dengan... isterinya.”
“Isterinya? Dia sudah beristeri? Wahh... akan tetapi hal ini menggembirakan, mengapa mengkhawatirkan?”
“Karena isterinya adalah adik kandung Endang Patibroto...”
“Haa...?!” Sang prabu benar-benar terkejut dan tidak tahu apakah dia harus bergirang ataukah berkhawatir.
“Paduka tentu masih ingat akan kematian Pangeran Panjirawit, tentu dapat
menyelami perasaan Endang Patibroto yang teringat akan kematian
suaminya di tangan Paduka... dan... isteri Pangeran Panji Sigit adalah
adik kandung Endang Patibroto, maka tidak akan terlalu aneh kalau dia
pun mempunyal perasaan tidak manis terhadap Jenggala. Karena ini, hamba
harap Paduka dapat berhati-hati dan jangan terlalu percaya akan
kata-kata mereka sebelum kelak terbukti bahwa mereka ini benar-benar
mempunyai niat hati yang bersih terhadap kerajaan Paduka.”
Sangprabu mengangguk-angguk dan merasa kagum akan keluasan pandangan
selirnya ini yang selalu mendahulukan kepentingan kerajaan dan
kepentingan dia sebagal rajanya. “Jangan khawatir. Suruh dia menghadap”
Sama sekali raja yang tua dan pikun ini tidak tahu betapa sesungguhnya
bukan Endang Patibroto yang menaruh dendam atas kematian Pangeran
Panjirawit karena wanita perkasa itu sudah melihat kenyataan dart
sebab-sebab kematian suaminya adalah akibat fitnah yang dilakukan.oleh
kaki tangan Blambangan.
Tidak tahu bahwa sebetulnya Sumintenlah yang menaruh dendam itu.....!
Komentar
Posting Komentar