PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-66


“Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking...!”
Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa menghitam dan dari tangan kanannya yang mengeluarkan hawa mujijat itu tampak sinar menguap hitam, makin lama makin tebal menutup wajah Retna Wilis.
Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan seperti itu, tidak bergerak dan Retna Wilis merasa betapa seluruh tubuhnya penuh oleh hawa panas bergetar yang membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh kepasrahan ia tetap “membuka” dirinya untuk nenerima hawa sakti itu sebanyak dan sepenuhnya.
Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang, barulah Retna Wilis “menutup” dirinya dan membuka mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut dengan lemas bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang.
Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya, dibawa meloncat ke darat, kemudian dibawa kembali ke dalam goa di mana biasanya nenek itu duduk bersamadhi.
Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna Wilis merebahkanr(ya di, atas tanah, ia tersenyum dan,berkata lemah,
“Berhasil baik... Wisalangking telah kupindahkan ke tubuhmu...”
Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada hawa membumbung dari pusarnya, membawa bau yang amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.
“Jangan khawatir... kerahkan -hawa sakti di tubuh, tekan pusarmu, jangan membiarkannya keluar. Itulah pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking. Biarkan dia terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya, takkan terasa apa-apa...”
Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan mengerahkan tenaga mengatur napas.
Benar saja, rasa muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis merawat gurunya yang kelihatan lemah sekali. Sampai semalam suntuk dara remaja ini merawat gurunya tanpa banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut gurunya dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buah-buah yang ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.
Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa wajah gurunya telah banyak berubah. Kini nenek itu kehilangan seri wajahnya, kehilangan sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara sekali ketuaannya.
Akan tetapi kesehatannya agaknya sudah pulih dan nenek itu sudah dapat keluar dari goa dan seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur matahari pagi di atas pasir.
“Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu,” nenek itu berkata. “Terutama sekali jangan pergi dari sini sebelum melihat tanda bintang. Sekarang perhatikan bagaimana engkau harus melatih diri untuk membangkitkan Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa sakti itu dalam serangan pukulan.”
Nenek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik tinggi, dia sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji Wisalangking. Setelah ia mengerti benar bagaimana harus melatih diri, Retna Wilis bertanya,
“Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti ini? Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah.”
Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara.
“Tidak lama lagi... tidak lama lagi... lihat siapa yang datang itu!”
Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia melihat bahwa yang datang adalah Ki Warok Surobledug yang tempo hari ia lukai bersama seorang kakek tua berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu bangkit berdiri.
“Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah kujumpai di hutan dan kulukai. Dia datang lagi bersama seorang kakek tua, entah mau apa dia!”
“Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat ekor babi hutan kemarin dulu, kau maksudkan empat orang laki-laki? He-he-heh, sekarang, kau boleh hadapi mereka, hendak kulihat bagaimana sepak terjang muridku!”
Nenek itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk bersila dan wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu mendapatkan kembali semangat dan agak berseri...
Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari pasir dan ia melangkah maju tiga tindak lalu berdiri menanti datangnya dua orang kakek itu.
Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang dianggapnya ringan, melainkan memandang kakek rambut putih yang datang bersama warok itu. Kakek ini pendek dan gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot,mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu sudah mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, dengan lengan baju lebar sekali sehingga kedua tangannya tertutup.
Langkahnya ringan dan halus, namun dapat mengimbangi kecepatan langkah Ki Warok Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu, kakek rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini Bumigarba dan berkata dengan suara halus,
“Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya yang maha sakti! Kiranya Paduka berada di sini, Nini Bumigarba? Ah, sekarang tidak heran lagi aku mengapa keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi, mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih membiarkan murid Paduka mengganas dan melakukan pembunuhan secara keji?”
Nlni Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira.
“Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah andika ini, yang berbau pertapa di gunung?”
“Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud,tentu saja Paduka tidak pernah mendengar nama saya yang kecil dan tidak terkenal, sebaliknya siapakah yang tidak mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking atau Nini Bumigarba?” jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat.
“Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka dengan kaki saya kalau saja empat orang murid saya tidak terbunuh secara kejam oleh dara ini yang kalau saya tidak salah menduga adalah Murid Paduka.”
“Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!”
“Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin mengetahui mengapa empat orang murid saya terbunuh oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang ingatan saya,dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang Wishnu, mereka telah menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi pahlawan-pahlawan pembela nusa bangsa.”
“Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti omongan bocah yang masih ingusan! Seorang pertapa tua seperti andika ini masih bertanya mengapa mereka mati? Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki, bagaimana mereka dapat mati? Mengapa seorang seperti andika, yang kuduga telah puluhan tahun bertapa dan mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup? Apakah andika sudah sedemikian sakti mandraguna sehingga hendak mengingkari dan melawan kehendak Sang Trimurti?”
Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi,suaranya masih penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam,
“Sama sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat oleh kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai peri kemanusiaan dan saya hanyalah seorang manusia biasa yang tentu saja tak dapat melepaskan diri dari pada ikatan kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan Dewata,hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan dan tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada di tangan manusia karena kewajiban untuk berikhtiar, untuk berjaga dan mengatur segala perbuatannya akan menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti bahwa kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata. Akan tetapi, yang saya uruskan adalah sebab kematian mereka, karena sebab ini tentu diperbut oleh manusia! Andai kata empat orang muridku itu tewas dalam perang membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena sebab kematiannya adalah sebab yang luhur dan utama.Andai kata mereka tewas dalam membela kebenaran, hal itu pun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid saya mati secara sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka tebus dengan nyawa. Sudah menjadi kewajiban saya sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus hal ini, Nini Burrugarba.”
“Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa hasilnya mendapatkan ilmu berdebat! Kematian murid-muridmu disebabkan oleh perbuatan muridku. Nah, dia berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!”
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu.
“Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini Bumigarba.”
Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak bergerak-gerak.
“Nini, andika seorang dara yang masih remaja, masih bocah, harap andika suka memberi keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada nafsu amarah yang mendorongku menghadapimu. Katakanlah, mengapa andika membunuh empat orang muridku? Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah bahwa aku akan menerimanya dengan penuh pengertian dan keprihatinan.”
Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan Ki Ageng Kelud melihat betapa sinar mata dara itu mengandung hawa maut dan hawa dingin yang mendirikan bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang akan menggegerkan dunia, seperti gurunya di waktu muda.
Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk keselamatan bocah ini sambil menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir yang berbentuk indah dan kemerahan itu.
“Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu diributkan. Empat ekor babi hutan yang menjadi muridmu itu pun tidak ada kesalahan apa-apa, hanya mereka itu minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa sih anehnya?”
Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah,akan tetapi jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan dari pada sikap dan kata-kata Nini Bumtgarba sendiri!
Dunia diancam malapetaka hebat yang merupakan diri bocah ini, pikirnya dan dia akan menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
“Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka murid-muridku minta mati di tanganmu?”
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia melihat betapa tadi gurunya melayani kakek ini, ia berpendapai bahwa kakek ini tentulah bukan orang sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap.Maka setelah menghela napas panjang ia berkata,
“Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang.Yang paling muda memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku bilang bahwa mereka sebaliknya pergi saja karena kalau kesabaranku habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu nienertawakan aku dan menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta mati, aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya marah-marah dan menyerangku. Kutanya apakah mereka juga ingin mati, dan mereka menjawab dengan serangan senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak berbelapati, maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul kakek ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun tidak membunuhnya, hanya menyambitnya dengan buah sawo agar dia tidak menggangguku lagi.”
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main! Dara ini liar dan ganas sekali dan ia dapat membayangkan peristiwa itu. Murid-muridnya tewas dalam keadaan penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi, kelak akan merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia menghela napas panjang dan berkata,
“Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta mati di tanganmu, apakah engkau juga hendak membunuhku?”
Berkerut alis yang hitam menjelirit itu.
“Sesungguhnya aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng Kelud. Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian dan berusaha membalas dendam kematian murid-muridmu, silakan, aku tidak akan mundur selangkah, sekarang maupun kapan saja.”
“Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani bertanding melawan Retna Wilis muridku yang sakti mandraguna? Heh-heh-heh!”
Ucapan ini jelas merupakan ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan kalau seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding melawan seorang dara remaja yang masih bocah!
“Saya bertindak membela kematian murid-muris saya,kalau Paduka hendak membela murid Paduka, dan berkenan menamatkan hidup saya, silakan, Nini Bumigarba,” jawab kakek itu dengan suara halus. Ia maklum bahwa dia sama sekali bukanlah lawan Nini Bumigarba,akan tetapi kalau perlu, ia akan lawan juga,bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya,melainkan terutama sekali untuk menghalau bahaya yang mengancam ketenteraman dunia.
“Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan muridku? Ki Ageng Kelud, kalau andika bisa mengalahkan Retna Wilis, berarti andika telah mengalahkan aku pula!”
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat sekali. Ia makium bahwa Nini Bumigarba adalah seorang yang kesaktiannya sukar dicari tandingnya dan bahwa seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak ada alasan untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa semua aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada muridnya ini!
Dia telah mendengar penuturan Ki Warok Surobledug akan kesaktian dara remaja itu yang amat luar biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin bahwa dara ini merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
“Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata kalau saya gagal membasmi pengaruh buruk yang mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah engkau!”
“Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu seperti yang kau minta!” kata Retna Wilis, sikapnya dingin dan sama sekali tidak kelihatan tegang, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan yang sakti.
Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok Surobledug yang berdiri menonton di situ menjadi tegang dan merinding bulu tengkuknya. Biar pun dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud, namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup menandingi bocah yang tidak lumrah manusia, melainkan lebih tepat disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka,mengheningkan cipta sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia menghadapi sebuah pertandingan mati-matian tanpa pamrih untuk diri pribadi, tanpa dikendalikan nafsu, baik nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata karena sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak dibasmi, kelak akan mendatangkan malapetaka bagi manusia.
Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang matanya mengeluarkan sinar bersemangat, kemudian ia melangkah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh,kemudian tubuhnya berkelebat maju dan tangan kirinya menampar secara sembarangan. Biar pun gerakannya sembarangan saja, namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera menghamtam karang yang kelihatannya juga sembarangan saja namun dapat menggetarkan gunung karang! Ki Ageng Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan kagum sekali.
Dalam detik itu maklumlah ia mengapa empat orang muridnya bukan lawan dara ini yang sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila.
Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak semestinya mengelak seperti orang takut menghadapi tamparan pertama lawannya yang masih bocah, maka dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat lengan kanannya menangkis.
“PlakkI”
Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya, Retna Wilis dipaksa melang-kah mundur tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak, kakek itu terhuyung ke belakang sampai tubuhnya mendoyong miring.
Makin kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti dara itu benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh sungkan lagi karena biar pun masih bocah, namun dara ini merupakan lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi.
Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang ke atas dan bagaikan seekor burung garuda, ia telah menubruk dengan kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti sepasang cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan kepala Retna Wilis.
Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng Kelud memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya sendiri selama dia bertapa di Gunung Kelud sampai puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia ajarkan kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga ilmu ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti yang sudah mencapai puncak tinggi.
Ilmu ini disebut Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang berada di puncak randu alas digerumut seekor ular. Menyaksikan gerakan garuda menyambar-nyambar dan akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham bagi kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah, gerak silat yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu Aji Garuda Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang ia tahu amat tangguh, tanpa meragu lagi kakek ini menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak namun belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar biasa, digembleng oleh seorang manusia yang memiliki kesaktian tidak lumrah, akan tetapi dia masih-belum berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan tidak mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata kepada lawan yang mana pun juga. Kini, menghadapi terjangan Ki Ageng Kelud yang tubuhnya melayang di udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak menangkis tidak mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan sambil mengerahkan A ji Argoselo yang membuat tubuhnya kokoh kuat dan kebal seperti batu gunung atau batu karang yang sanggup menerima hantaman ombak samudera.
“Desss...!”
Betapa pun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng Kelud untuk menewaskan gadis yang dianggapnya merupakan ancaman bagi ketenteraman dunia itu, namun hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang dipupuknya selama puluhan tahun.
Oleh karena itu, melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis, timbul dari sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala melainkan mencengkeram kedua pundak dara itu.
Akan tetapi, terjangannya yang dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh yang keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan tenaga dahsyat pula menggempur tenaganya sendiri. Tubuh Retna Wilis hanya bergetar dan berguncang seperti batu karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air laut pula tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh terguling-guling!
Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat sehingga ia harus mengerahkan seluruh hawa sakti di tubuhnya agar jangan roboh, menjadi terkejut juga dan timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan hal ini membuat hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh lawan bergulingan dan wajah kakek itu menjadi, pucat, ia mengeluarkan pekik melengking, dan menerjang maju, menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak hancur kepala kakek itu!
Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman maut, cepat ia yang masih pening menggulingkan diri mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasukl tanah sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau kaki yang mengandung kekuatan itu tadi mengenai kepala Ki Ageng Kelud, tentu akan remuk dan pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan sambil siap-siap menghadapi lawannya yang amat tangguh itu.
“Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!” Terdengar Nini Bumigarba tertawa mengejek, hatinya girang menyaksikan kehebatan sepak terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis “mendapat hati” dan segera ia memekik lagi sambil menerjang dengan gerakan cepat sekali. Bagi mata biasa, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng Kelud, ia melihat betapa gerakan tubuh dara itu amat cepatnya, berputaran dengan dua lengan dikembangkan dan dari putaran tubuhnya itu meluncurlah pukulan-pukulan yang dahyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah Aji Pancaroba yang hebatnya seperti amukan angin taufan!
Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud bersikap tenang dan mencurahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk bertahan dan membela serta melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau tidak tentu dia tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Aji Pancaroba yang hebatnya bukan main ini.
Betapa pun juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia sudah tua, tenaganya sudah banyak berkurang dan napasnya tidak sepanjang puluhan tahun yang lalu, daya tahannya berkurang.
Sebaliknya, Retna Wilis makin lama makin hebat dan cepat gerakannya. Kalau kakek ini berhasil menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu, seolah-olah dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap kaki tangan dara itu menyerempet pundak atau bahu, tubuh kakek itu tergetar dan terhuyung-huyung.
Ki Ageng Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan terdengarlah Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu. Ki Warok Surobledug berdiri dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu ia akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi itu rebah tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung, hendak membantu maklum bahwa tenaganya tidak ada artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak membantu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi. Ketika tubuh Ki Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya terhuyung oleh dorongan angin pukulan dahsyat, Retna Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari tangan ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha mengelak dengan miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang akan tetapi jari-jari tangan yang lunak halus dan kecil menyambar cepat dan menimpa pundak kirinya.
“Krekkk...!”
Remuklah tulang pundak Ki Ageng Kelud dan tubuh kakek itu terguling. Retna Wilis menubruk maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu yang sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil tersenyum tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan mata, tidak tahan menyaksikan kematian kakek itu.
“Ganas...!”
Suara ini perlahan dan halus, dibarengi bayangan putih seperti asap datang bertiup dan tahu-tahu tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang seperti ditiup angin yang tak tertahankan saking kuatnya. Seluruh tubuh dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi bertemu dengan telapak tangan halus yang membuat hawa saktinya seolah-olah tenggelam ke dalam lautan yang dingin melebihi ampak-ampak!
Ketika ia dapat menguasai dirinya dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut dan berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap bersinar putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti sebuah arca. Akan tetapi dia bukan arca karena pada saat itu, kakek itu berkata kepada Ki Ageng Kelud,
“Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua kembali ke tempat andika.”
Ki Ageng Kelud biar pun sudah remuk tulang pundaknya, namun dengan kekuatan batinnya dapat mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke arah wajah yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh hormat,
“Omm...sadhu-sadhu-sadhu...”
Ia berdiri menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk kepada Ki Warok Surobledug yang tadi terpesona dan terbelalak, sambil menahan nafas lalu mengikuti Ki Ageng Kelud. Setelah mereka pergi jauh sehingga tak tampak lagi dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok Surobledug bertanya,
“Paman panembahan...dia... dia itu siapakah? Dewatakah...?”
Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
“Dia manusia biasa, manusia yang terlalu biasa, manusia wajar... manusia sejati...”
Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat menduga siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun mulutnya tidak kuasa menyebut namanya karena hatinya yang penuh dengan keharuan membuat lehernya tercekik, mulutnya terkancing.
Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil menguasai dirinya, memandang kakek itu dengan alis berkerut. Hatinya panas dan penuh penasaran, juga tidak puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya, berani menggagalkan pukulan mautnya? Bahkan berani seenaknya saja menyuruh pergi dua orang kakek tadi? Seluruh urat syarat di tubuhnya menegang, dan ia sudah siap untuk

menerjang kakek yang lancang ini.

Tadinya ia tidak dapat melihat muka yang tertutup halimun putih, akan tetapi setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan kepada pandang matanya, ia dapat menembus halimun atau uap putih itu dan tampaklah dengan jelas wajah seorang pria yang tampan.
Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang mata yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah dan. tanpa pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan tulus.
Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek itu tidak seperti biasanya, tampak beringas penuh kemarahan, sepasang matanya menyorotkan kekejaman seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di depannya itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya kepada kakek itu dan berkata dengan suara serak dan kasar.
“Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan sekali! Telah puluhan tahun aku mencuci tangan, tak pernah mengganggumu, akan tetapi engkau selalu menjadi batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan diri di tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!”
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut penuh welas asih dan penuh pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar suara gurunya, ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama Ekadenta?
Inikah musuh besar gurunya dan murid orang inikah yang kelak harus ia kalahkan? Mengapa harus menanti sampai bertemu muridnya?
Gurunya pun dia tidak gentar untuk menandinginya. Kini musuh ini telah membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik melengking dahsyat, Retna Wilis telah meloncat maju dan tangannya telah menyambar segenggam pasir, kemudian ia mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir sampai pasir itu menjadi hitam kebiruan kemudian menyambitkan pasir itu ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji Pancaroba!
Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan karena pasir yang digenggamnya tadi telah berubah menjadi pasir berbisa. Jangankan sampai melukai daging, baru mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan yang merenggut nyawa.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar