PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-66
“Muridku, terimalah hawa sakti Wisalangking...!”
Suara Nini Bumigarba terdengar seakan-akan dari angkasa menghitam dan
dari tangan kanannya yang mengeluarkan hawa mujijat itu tampak sinar
menguap hitam, makin lama makin tebal menutup wajah Retna Wilis.
Ada sejam lamanya mereka berdua dalam keadaan seperti itu, tidak
bergerak dan Retna Wilis merasa betapa seluruh tubuhnya penuh oleh hawa
panas bergetar yang membuat tubuhnya menggigil. Akan tetapi dengan penuh
kepasrahan ia tetap “membuka” dirinya untuk nenerima hawa sakti itu
sebanyak dan sepenuhnya.
Setelah mendengar suara nenek itu mengeluh panjang, barulah Retna Wilis
“menutup” dirinya dan membuka mata. Ia melihat nenek itu telah berlutut
dengan lemas bahkan hampir terbawa hanyut oleh ombak yang datang.
Cepat ia menyambar tubuh gurunya dan memondongnya, dibawa meloncat ke
darat, kemudian dibawa kembali ke dalam goa di mana biasanya nenek itu
duduk bersamadhi.
Tubuh nenek itu lemas sekali, akan tetapi ketika Retna Wilis merebahkanr(ya di, atas tanah, ia tersenyum dan,berkata lemah,
“Berhasil baik... Wisalangking telah kupindahkan ke tubuhmu...”
Tiba-tiba Retna Wilis merasa perutnya mual dan ada hawa membumbung dari
pusarnya, membawa bau yang amis sekali sehingga ia hampir muntah-muntah.
“Jangan khawatir... kerahkan -hawa sakti di tubuh, tekan pusarmu, jangan
membiarkannya keluar. Itulah pengaruh dari wisa (racun) Wisalangking.
Biarkan dia terbiasa di tubuhmu, kalau kau sudah dapat menundukkannya,
takkan terasa apa-apa...”
Mendengar ini, cepat Retna Wilis duduk bersila dan mengerahkan tenaga mengatur napas.
Benar saja, rasa muak dan mual lenyap, bau amis pun hilang. Setelah
keadaan diri sendiri baik kembali, mulailah Retna Wilis merawat gurunya
yang kelihatan lemah sekali. Sampai semalam suntuk dara remaja ini
merawat gurunya tanpa banyak cakap, menyuapkan pisang ke dalam mulut
gurunya dan ia sendiri pun mulai mengisi perutnya dengan buah-buah yang
ia ambil dari hutan tiga hari yang lalu.
Pada keesokan harinya, Retna Wilis melihat betapa wajah gurunya telah
banyak berubah. Kini nenek itu kehilangan seri wajahnya, kehilangan
sinar yang membayangkan semangat, tampak layu dan juga kentara sekali
ketuaannya.
Akan tetapi kesehatannya agaknya sudah pulih dan nenek itu sudah dapat
keluar dari goa dan seperti biasa, bersama muridnya ia duduk berjemur
matahari pagi di atas pasir.
“Kau ingat baik-baik pesanku kemarin dulu,” nenek itu berkata. “Terutama
sekali jangan pergi dari sini sebelum melihat tanda bintang. Sekarang
perhatikan bagaimana engkau harus melatih diri untuk membangkitkan
Wisalangking dalam tubuhmu dan mempergunakan hawa sakti itu dalam
serangan pukulan.”
Nenek itu lalu memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan dengan penuh
perhatian oleh Retna Wilis sehingga setelah matahari naik tinggi, dia
sudah hafal akan semua teori penggunaan Aji Wisalangking. Setelah ia
mengerti benar bagaimana harus melatih diri, Retna Wilis bertanya,
“Eyang, mengapa Eyang kelihatan tergesa-gesa seperti ini? Eyang masih sehat dan kita tidak akan saling berpisah.”
Nenek itu tersenyum, senyum yang menambah tua wajahnya, dan menoleh ke belakang, ke arah utara.
“Tidak lama lagi... tidak lama lagi... lihat siapa yang datang itu!”
Retna Wilis dengan tenang menoleh dan ketika Ia melihat bahwa yang
datang adalah Ki Warok Surobledug yang tempo hari ia lukai bersama
seorang kakek tua berambut putih dan tubuhnya gemuk pendek, ia lalu
bangkit berdiri.
“Eyang, dialah babi hutan tua yang pernah kujumpai di hutan dan kulukai.
Dia datang lagi bersama seorang kakek tua, entah mau apa dia!”
“Hi-hi-hik, jadi ketika kau bilang telah membunuh empat ekor babi hutan
kemarin dulu, kau maksudkan empat orang laki-laki? He-he-heh, sekarang,
kau boleh hadapi mereka, hendak kulihat bagaimana sepak terjang
muridku!”
Nenek itu memutar tubuh menghadap ke utara, masih duduk bersila dan
wajahnya yang tadinya keruh dan kusut itu mendapatkan kembali semangat
dan agak berseri...
Retna Wilis sudah mengebutkan pakaiannya untuk membersihkannya dari
pasir dan ia melangkah maju tiga tindak lalu berdiri menanti datangnya
dua orang kakek itu.
Dia tidak memandang kepada Ki Warok Surobledug yang dianggapnya ringan,
melainkan memandang kakek rambut putih yang datang bersama warok itu.
Kakek ini pendek dan gemuk sekali, wajahnya bersih tanpa kumis dan
jenggot,mulutnya tersenyum penuh kesabaran, dan usianya tentu sudah
mencapai sedikitnya tujuh puluh tahun. Jubahnya berwarna kuning, dengan
lengan baju lebar sekali sehingga kedua tangannya tertutup.
Langkahnya ringan dan halus, namun dapat mengimbangi kecepatan langkah
Ki Warok Surobledug yang lebar-lebar. Begitu tiba di tempat itu, kakek
rambut putih itu lalu membungkuk kepada Nini Bumigarba dan berkata
dengan suara halus,
“Duhai Sang Hyang Wishnu pengatur seluruh jagat raya yang maha sakti!
Kiranya Paduka berada di sini, Nini Bumigarba? Ah, sekarang tidak heran
lagi aku mengapa keempat orang muridku tewas di daerah ini. Akan tetapi,
mengapa setelah berusia sepuh sekali Paduka masih membiarkan murid
Paduka mengganas dan melakukan pembunuhan secara keji?”
Nlni Bumigarba menyeringai, sepasang matanya kelihatan berseri seperti orang merasa geli dan gembira.
“Wah, andika telah mengenalku, akan tetapi siapakah andika ini, yang berbau pertapa di gunung?”
“Saya yang bodoh adalah Panembahan Ki Ageng Kelud,tentu saja Paduka
tidak pernah mendengar nama saya yang kecil dan tidak terkenal,
sebaliknya siapakah yang tidak mengenal nama besar Ni Dewi Sarilangking
atau Nini Bumigarba?” jawab kakek itu, sikapnya penuh hormat.
“Tidak sekali-kali saya berani mengotorkan tempat Paduka dengan kaki
saya kalau saja empat orang murid saya tidak terbunuh secara kejam oleh
dara ini yang kalau saya tidak salah menduga adalah Murid Paduka.”
“Memang benar, dia ini muridku bernama Retna Wilis, Perawan Lembah Wilis dan calon ratu di Wilis!”
“Kalau begitu, saya mohon keadilan Paduka, dan ingin mengetahui mengapa
empat orang murid saya terbunuh oleh murid Paduka. Padahal, sepanjang
ingatan saya,dengan penuh ketelitian saya mendidik murid-murid saya
sehingga berkat bimbingan dan berkah Sang Hyang Wishnu, mereka telah
menjadi satria-satria yang menjunjung kebenaran dan keadilan, menjadi
pahlawan-pahlawan pembela nusa bangsa.”
“Heh-heh-heh, Ki Ageng Kelud. Ucapanmu seperti omongan bocah yang masih
ingusan! Seorang pertapa tua seperti andika ini masih bertanya mengapa
mereka mati? Heh-heh, tentu saja mereka mati karena sudah semestinya
mati! Kalau Sang Hyang Shiwa tidak menghendaki, bagaimana mereka dapat
mati? Mengapa seorang seperti andika, yang kuduga telah puluhan tahun
bertapa dan mengejar ilmu, masih bertanya tentang mati dan hidup? Apakah
andika sudah sedemikian sakti mandraguna sehingga hendak mengingkari
dan melawan kehendak Sang Trimurti?”
Kakek berambut putih itu mengangguk dan berkata lagi,suaranya masih
penuh dengan kehalusan yang mencerminkan kesabaran yang sudah mendalam,
“Sama sekali tidak, Nini Bumigarba. Akan tetapi manusia terikat oleh
kewajiban-kewajiban sebagai manusia, yang dinamai peri kemanusiaan dan
saya hanyalah seorang manusia biasa yang tentu saja tak dapat melepaskan
diri dari pada ikatan kemanusiaan. Hidup dan mati berada di tangan
Dewata,hal ini tak dapat disangkal lagi. Segala akibat adalah urusan dan
tugas para dewata. Akan tetapi sebab-sebabnya berada di tangan manusia
karena kewajiban untuk berikhtiar, untuk berjaga dan mengatur segala
perbuatannya akan menjadi sebab timbulnya akibat. Empat orang muridku
sudah mati, hal itu tidak saya ributkan karena saya mengerti bahwa
kematian mereka sudah dikehendaki oleh Dewata. Akan tetapi, yang saya
uruskan adalah sebab kematian mereka, karena sebab ini tentu diperbut
oleh manusia! Andai kata empat orang muridku itu tewas dalam perang
membela nusa bangsa, saya akan tersenyum puas karena sebab kematiannya
adalah sebab yang luhur dan utama.Andai kata mereka tewas dalam membela
kebenaran, hal itu pun akan memuaskan hati. Akan tetapi, saya mendengar
dari Ki Warok Surobledug ini bahwa empat orang murid saya mati secara
sia-sia, tanpa sebab yang patut mereka tebus dengan nyawa. Sudah menjadi
kewajiban saya sebagai guru mereka dan sebagai manusia untuk mengurus
hal ini, Nini Burrugarba.”
“Heh-he-he-he! Agaknya puluhan tahun andika bertapa hasilnya mendapatkan
ilmu berdebat! Kematian murid-muridmu disebabkan oleh perbuatan
muridku. Nah, dia berada di depanmu, kau uruslah dengan dia!”
Ki Ageng Kelud membungkuk kepada nenek itu.
“Terima kasih atas izin yang Paduka berikan, Nini Bumigarba.”
Kemudian ia menoleh dan menghadapi Retna Wilis yang masih berdiri dengan sikap tenang dan tak bergerak-gerak.
“Nini, andika seorang dara yang masih remaja, masih bocah, harap andika
suka memberi keterangan sejujurnya. Percayalah, aku adalah seorang tua
yang tidak menurutkan nafsu hati dan sama sekali tidak ada nafsu amarah
yang mendorongku menghadapimu. Katakanlah, mengapa andika membunuh empat
orang muridku? Kalau memang mereka itu bersalah, yakinlah bahwa aku
akan menerimanya dengan penuh pengertian dan keprihatinan.”
Sampai lama Retna Wilis menatap wajah kakek itu dan Ki Ageng Kelud
melihat betapa sinar mata dara itu mengandung hawa maut dan hawa dingin
yang mendirikan bulu roma sehingga diam-diam kakek ini dapat menduga
bahwa kelak tentu dara ini akan merupakan tokoh yang akan menggegerkan
dunia, seperti gurunya di waktu muda.
Diam-diam ia memanjatkan doa kepada para dewata untuk keselamatan bocah
ini sambil menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir yang berbentuk
indah dan kemerahan itu.
“Ki Ageng Kelud, tidak ada apa-apa yang perlu diributkan. Empat ekor
babi hutan yang menjadi muridmu itu pun tidak ada kesalahan apa-apa,
hanya mereka itu minta mati dan aku meluluskan permintaan mereka. Apa
sih anehnya?”
Ki Ageng Kelud terbelalak kaget. Dara itu masih bocah,akan tetapi
jawabannya begitu dingin dan lebih menyeramkan dari pada sikap dan
kata-kata Nini Bumtgarba sendiri!
Dunia diancam malapetaka hebat yang merupakan diri bocah ini, pikirnya
dan dia akan menghabiskan sisa hidup dan tenaganya untuk menentang
ancaman bagi ketenteraman dunia ini.
“Nini, ceritakanlah. Bagaimana asal mulanya maka murid-muridku minta mati di tanganmu?”
Retna Wilis tidak sabar lagi, akan tetapi karena ia melihat betapa tadi
gurunya melayani kakek ini, ia berpendapai bahwa kakek ini tentulah
bukan orang sembarangan dan patut pula ia layani bercakap-cakap.Maka
setelah menghela napas panjang ia berkata,
“Aku sedang memetik buah sawo ketika mereka datang.Yang paling muda
memaksaku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan menyuruh aku turun. Aku
bilang bahwa mereka sebaliknya pergi saja karena kalau kesabaranku
habis, mereka akan kubunuh. Yang paling muda itu nienertawakan aku dan
menantang supaya aku membunuhnya. Nah, karena dia sendiri yang minta
mati, aku lalu turun dan membunuhnya. Tiga orang kawannya marah-marah
dan menyerangku. Kutanya apakah mereka juga ingin mati, dan mereka
menjawab dengan serangan senjata mereka. Kuanggap mereka itu hendak
berbelapati, maka aku turun tangan membunuhnya. Kemudian muncul kakek
ini, akan tetapi karena dia tidak minta mati, aku pun tidak membunuhnya,
hanya menyambitnya dengan buah sawo agar dia tidak menggangguku lagi.”
Ki Ageng Kelud memandang dan tertegun. Bukan main! Dara ini liar dan
ganas sekali dan ia dapat membayangkan peristiwa itu. Murid-muridnya
tewas dalam keadaan penasaran. Dara seperti ini kalau tidak dibasmi,
kelak akan merupakan malapetaka bagi manusia-manusia lain. Ia menghela
napas panjang dan berkata,
“Nini Retna Wilis! Kalau aku si tua bangka ini minta mati di tanganmu, apakah engkau juga hendak membunuhku?”
Berkerut alis yang hitam menjelirit itu.
“Sesungguhnya aku bukan algojo tukang membunuh orang, Ki Ageng Kelud.
Akan tetapi, kalau engkau menghendaki demikian dan berusaha membalas
dendam kematian murid-muridmu, silakan, aku tidak akan mundur selangkah,
sekarang maupun kapan saja.”
“Heh-he-heh, pertapa gemblung (pandir)! Andika berani bertanding melawan
Retna Wilis muridku yang sakti mandraguna? Heh-heh-heh!”
Ucapan ini jelas merupakan ejekan, karena sesungguhnya amat memalukan
kalau seorang tokoh besar seperti Ki Ageng Kelud bertanding melawan
seorang dara remaja yang masih bocah!
“Saya bertindak membela kematian murid-muris saya,kalau Paduka hendak
membela murid Paduka, dan berkenan menamatkan hidup saya, silakan, Nini
Bumigarba,” jawab kakek itu dengan suara halus. Ia maklum bahwa dia sama
sekali bukanlah lawan Nini Bumigarba,akan tetapi kalau perlu, ia akan
lawan juga,bukan hanya demi membalas kematian murid-muridnya,melainkan
terutama sekali untuk menghalau bahaya yang mengancam ketenteraman
dunia.
“Heh-heh, apa kau kira akan dapat mengalahkan muridku? Ki Ageng Kelud,
kalau andika bisa mengalahkan Retna Wilis, berarti andika telah
mengalahkan aku pula!”
Mendengar ini, Ki Ageng Kelud diam-diam terperanjat sekali. Ia makium
bahwa Nini Bumigarba adalah seorang yang kesaktiannya sukar dicari
tandingnya dan bahwa seorang dengan kesaktian seperti nenek itu tidak
ada alasan untuk bicara besar, maka ucapannya tadi berarti bahwa semua
aji kesaktian nenek itu telah diwariskan kepada muridnya ini!
Dia telah mendengar penuturan Ki Warok Surobledug akan kesaktian dara
remaja itu yang amat luar biasa, dan kini ia baru benar-benar yakin
bahwa dara ini merupakan lawan yang amat berbahaya dan sama sekali tidak
boleh dipandang ringan.
“Bagus! Saya menyerahkan nyawa di tangan Dewata kalau saya gagal
membasmi pengaruh buruk yang mengotorkan dunia. Nini, bersiaplah
engkau!”
“Majulah, Ki Ageng Kelud, aku siap membunuhmu seperti yang kau minta!”
kata Retna Wilis, sikapnya dingin dan sama sekali tidak kelihatan
tegang, seolah-olah dia tidak sedang menghadapi tantangan seorang lawan
yang sakti.
Ketenangannya amat mengerikan sehingga Ki Warok Surobledug yang berdiri
menonton di situ menjadi tegang dan merinding bulu tengkuknya. Biar pun
dia sudah cukup yakin akan kesanggupan dan kedigdayaan Ki Ageng Kelud,
namun kini ia merasa ragu apakah kakek yang dipujanya itu akan sanggup
menandingi bocah yang tidak lumrah manusia, melainkan lebih tepat
disebut wanita iblis ini.
Ki Ageng Kelud bersedakap dan menundukkan muka,mengheningkan cipta
sejenak untuk berdoa kepada Dewata bahwa kini ia menghadapi sebuah
pertandingan mati-matian tanpa pamrih untuk diri pribadi, tanpa
dikendalikan nafsu, baik nafsu amarah maupun dendam, melainkan semata
karena sadar dan yakin bahwa jika dara berwatak iblis ini tidak dibasmi,
kelak akan mendatangkan malapetaka bagi manusia.
Setelah ia mengangkat muka lagi, sepasang matanya mengeluarkan sinar
bersemangat, kemudian ia melangkah maju menghampiri Retna Wilis.
Dara sakti itu memandang tak acuh,kemudian tubuhnya berkelebat maju dan
tangan kirinya menampar secara sembarangan. Biar pun gerakannya
sembarangan saja, namun di dalam kesederhanaan ini terkandung kekuatan
dahsyat, seperti dahsyatnya pukulan ombak samudera menghamtam karang
yang kelihatannya juga sembarangan saja namun dapat menggetarkan gunung
karang! Ki Ageng Kelud dapat merasa datangnya angin pukulan hawa sakti
yang terbawa oleh tamparan itu. Ia menjadi kaget dan kagum sekali.
Dalam detik itu maklumlah ia mengapa empat orang muridnya bukan lawan
dara ini yang sesungguhnya memiliki tangan yang ampuhnya menggila.
Namun, sebagai seorang tokoh tua, ia merasa tidak semestinya mengelak
seperti orang takut menghadapi tamparan pertama lawannya yang masih
bocah, maka dengan niat mencoba dan mengukur tenaga, Ia mengangkat
lengan kanannya menangkis.
“PlakkI”
Dua tenaga sakti bertemu melalui kedua lengan itu dan akibatnya, Retna
Wilis dipaksa melang-kah mundur tiga tindak, akan tetapi di, lain fihak,
kakek itu terhuyung ke belakang sampai tubuhnya mendoyong miring.
Makin kagetlah Ki Ageng Kelud. Kini ia yakin bahwa tenaga sakti dara itu
benar-benar hebat dan dia tidak perlu menaruh sungkan lagi karena biar
pun masih bocah, namun dara ini merupakan lawan paling tangguh yang
pernah ia hadapi.
Cepat ia mengatur keseimbangan tubuhnya dan sekali menggerakkan kaki,
tubuhnya sudah melayang ke atas dan bagaikan seekor burung garuda, ia
telah menubruk dengan kedua lengan dipentang dan kedua tangan seperti
sepasang cakar garuda mencengkeram ke arah pundak dan kepala Retna
Wilis.
Hebat bukan main serangan balasan kakek ini. Ki Ageng Kelud memiliki
sebuah ilmu yang amat dahsyat, ciptaannya sendiri selama dia bertapa di
Gunung Kelud sampai puluhan tahun lamanya, ilmu yang belum pernah ia
ajarkan kepada murid-muridnya karena selain terlalu dahsyat, juga ilmu
ini amat sukar dipelajari, membutuhan tenaga sakti yang sudah mencapai
puncak tinggi.
Ilmu ini disebut Garuda Manang yang ia ciptakan dari gerakan seekor
burung garuda yang sedang marah karena sarangnya yang berada di puncak
randu alas digerumut seekor ular. Menyaksikan gerakan garuda
menyambar-nyambar dan akhirnya membunuh ular besar itu menimbulkan ilham
bagi kakek sakti ini sehingga ia berhasil mencipta sebuah, gerak silat
yang selain dahsyat, juga amat sukar dipelajari, yaitu Aji Garuda
Manang. Kini, menghadapi seorang lawan yang ia tahu amat tangguh, tanpa
meragu lagi kakek ini menggunakan ilmu yang sudah dilatih masak-masak
namun belum pernah ia pergunakan dalam pertandingan itu.
Retna Wilis adalah seorang dara gemblengan yang luar biasa, digembleng
oleh seorang manusia yang memiliki kesaktian tidak lumrah, akan tetapi
dia masih-belum berpengalaman, amat percaya kepada diri sendiri dan
tidak mengenal takut, juga tidak memandang sebelah mata kepada lawan
yang mana pun juga. Kini, menghadapi terjangan Ki Ageng Kelud yang
tubuhnya melayang di udara itu, Retna Wilis tidak bergerak, tidak
menangkis tidak mengelak, melainkan diam menanti datangnya serangan
sambil mengerahkan A ji Argoselo yang membuat tubuhnya kokoh kuat dan
kebal seperti batu gunung atau batu karang yang sanggup menerima
hantaman ombak samudera.
“Desss...!”
Betapa pun sudah teguh dan bulat tekat di hati Ki Ageng Kelud untuk
menewaskan gadis yang dianggapnya merupakan ancaman bagi ketenteraman
dunia itu, namun hati kakek ini sudah penuh dengan welas asih yang
dipupuknya selama puluhan tahun.
Oleh karena itu, melihat Retna Wilis tidak mengelak maupun menangkis
terjangan yang dahsyat, ia terkejut sendiri dan otomatis, timbul dari
sifat welas asihnya, ia merubah cengkeramannya, tidak menyerang kepala
melainkan mencengkeram kedua pundak dara itu.
Akan tetapi, terjangannya yang dahsyat itu tertumbuk dengan tubuh yang
keras dan kebal melebihi baja dan yang mengeluarkan tenaga dahsyat pula
menggempur tenaganya sendiri. Tubuh Retna Wilis hanya bergetar dan
berguncang seperti batu karang diterjang ombak, sebaliknya, seperti air
laut pula tubuh Ki Ageng Kelud terpelanting dan roboh terguling-guling!
Retna Wilis yang merasa betapa tubuhnya tergetar hebat sehingga ia harus
mengerahkan seluruh hawa sakti di tubuhnya agar jangan roboh, menjadi
terkejut juga dan timbullah kemarahannya yang ditahan-tahan. Baru sekali
ini ia merasakan serangan yang demikian dahsyatnya, dan hal ini membuat
hatinya penasaran. Ketika melihat tubuh lawan bergulingan dan wajah
kakek itu menjadi, pucat, ia mengeluarkan pekik melengking, dan
menerjang maju, menggunakan tumit kaki kanannya untuk menginjak hancur
kepala kakek itu!
Ki Ageng Kelud maklum akan datangnya ancaman maut, cepat ia yang masih
pening menggulingkan diri mengelak dan kaki Retna Wilis amblas memasukl
tanah sampai sebetis dalamnya! Dapat dibayangkan betapa mengerikan kalau
kaki yang mengandung kekuatan itu tadi mengenai kepala Ki Ageng Kelud,
tentu akan remuk dan pecah berantakan. Ki Ageng Kelud cepat melompat
bangun, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan sambil siap-siap
menghadapi lawannya yang amat tangguh itu.
“Hi-hi-hik, sebentar lagi engkau mampus, pertapa tua!” Terdengar Nini
Bumigarba tertawa mengejek, hatinya girang menyaksikan kehebatan sepak
terjang muridnya.
Mendengar suara gurunya ini, Retna Wilis “mendapat hati” dan segera ia
memekik lagi sambil menerjang dengan gerakan cepat sekali. Bagi mata
biasa, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan berputaran yang membawa
debu beterbangan, sedangkan bagi pandang mata Ki Ageng Kelud, ia melihat
betapa gerakan tubuh dara itu amat cepatnya, berputaran dengan dua
lengan dikembangkan dan dari putaran tubuhnya itu meluncurlah
pukulan-pukulan yang dahyat dan mendatangkan angin berpusingan. Inilah
Aji Pancaroba yang hebatnya seperti amukan angin taufan!
Maklum akan hebatnya serangan ini, Ki Ageng Kelud bersikap tenang dan
mencurahkan segenap tenaga dan kepandaiannya untuk bertahan dan membela
serta melindungi dirinya. Untung bahwa ia seorang tokoh yang
berpengalaman dan gerakannya mantap dan tenang, kalau tidak tentu dia
tidak akan dapat bertahan lama menghadapi Aji Pancaroba yang hebatnya
bukan main ini.
Betapa pun juga, dia segera terdesak dan terus mundur-mundur dan
berputaran, sama sekali tidak lagi mampu membalas. Dia sudah tua,
tenaganya sudah banyak berkurang dan napasnya tidak sepanjang puluhan
tahun yang lalu, daya tahannya berkurang.
Sebaliknya, Retna Wilis makin lama makin hebat dan cepat gerakannya.
Kalau kakek ini berhasil menyusupkan satu dua pukulan, tubuh Retna Wilis
menahannya dan sama sekali tidak merasai pukulan itu, seolah-olah
dipijat tangan lunak saja. Sebaliknya, setiap kaki tangan dara itu
menyerempet pundak atau bahu, tubuh kakek itu tergetar dan
terhuyung-huyung.
Ki Ageng Kelud terdesak hebat, setiap saat tentu roboh dan terdengarlah
Nini Bumigarba terkekeh-kekeh mentertawakan kakek itu. Ki Warok
Surobledug berdiri dengan muka pucat, maklum bahwa sebentar lagi tentu
ia akan menyaksikan pertapa yang dijunjungnya tinggi-tinggi itu rebah
tak bernyawa. Dia menjadi gelisah dan bingung, hendak membantu maklum
bahwa tenaganya tidak ada artinya bahkan merupakan bunuh diri, tidak
membantu, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
Kekhawatiran Ki Warok Surobledug segera terjadi. Ketika tubuh Ki
Ageng-Kelud untuk ke sekian kalinya terhuyung oleh dorongan angin
pukulan dahsyat, Retna Wilis memekik dan mengirim pukulan dengan jari
tangan ke arah muka kakek itu. Ki Ageng Kelud berusaha mengelak dengan
miringkan tubuh dan menarik kepala ke belakang akan tetapi jari-jari
tangan yang lunak halus dan kecil menyambar cepat dan menimpa pundak
kirinya.
“Krekkk...!”
Remuklah tulang pundak Ki Ageng Kelud dan tubuh kakek itu terguling.
Retna Wilis menubruk maju mengirim pukulan maut ke arah kepala kakek itu
yang sudah meramkan matanya menanti datangnya maut sambil tersenyum
tenang. Juga Ki Warok Surobledug meramkan mata, tidak tahan menyaksikan
kematian kakek itu.
“Ganas...!”
Suara ini perlahan dan halus, dibarengi bayangan putih seperti asap
datang bertiup dan tahu-tahu tubuh Retna Wilis terdorong ke belakang
seperti ditiup angin yang tak tertahankan saking kuatnya. Seluruh tubuh
dara ini menggigil ketika ia merasa betapa pukulannya tadi bertemu
dengan telapak tangan halus yang membuat hawa saktinya seolah-olah
tenggelam ke dalam lautan yang dingin melebihi ampak-ampak!
Ketika ia dapat menguasai dirinya dan memandang, ternyata di situ telah
berdiri seorang kakek yang amat tua, berpakaian serba putih, berambut
dan berkumis jenggot panjang putih pula, wajahnya tertutup uap bersinar
putih dan kakek ini berdiri tak bergerak seperti sebuah arca. Akan
tetapi dia bukan arca karena pada saat itu, kakek itu berkata kepada Ki
Ageng Kelud,
“Ki Ageng dan Ki Warok, sebaiknya andika berdua kembali ke tempat andika.”
Ki Ageng Kelud biar pun sudah remuk tulang pundaknya, namun dengan
kekuatan batinnya dapat mengatasi rasa nyeri. Sejenak ia memandang ke
arah wajah yang terselimut uap putih, kemudian berkata lirih penuh
hormat,
“Omm...sadhu-sadhu-sadhu...”
Ia berdiri menyembah lalu membalikkan tubuhnya, mengangguk kepada Ki
Warok Surobledug yang tadi terpesona dan terbelalak, sambil menahan
nafas lalu mengikuti Ki Ageng Kelud. Setelah mereka pergi jauh sehingga
tak tampak lagi dari tempat itu, sambil terengah-engah Ki Warok
Surobledug bertanya,
“Paman panembahan...dia... dia itu siapakah? Dewatakah...?”
Ki Ageng Kelud menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
“Dia manusia biasa, manusia yang terlalu biasa, manusia wajar... manusia sejati...”
Ki Ageng Kelud tidak bicara lagi, di dalam hatinya ia dapat menduga
siapa gerangan kakek yang luar biasa tadi, namun mulutnya tidak kuasa
menyebut namanya karena hatinya yang penuh dengan keharuan membuat
lehernya tercekik, mulutnya terkancing.
Sementara itu, Retna Wilis yang telah berhasil menguasai dirinya,
memandang kakek itu dengan alis berkerut. Hatinya panas dan penuh
penasaran, juga tidak puas. Siapakah orang ini yang berani menentangnya,
berani menggagalkan pukulan mautnya? Bahkan berani seenaknya saja
menyuruh pergi dua orang kakek tadi? Seluruh urat syarat di tubuhnya
menegang, dan ia sudah siap untuk
menerjang kakek yang lancang ini.
Tadinya ia tidak dapat melihat muka yang tertutup halimun putih, akan
tetapi setelah ia mengerahkan hawa sakti dari pusarnya, disalurkan
kepada pandang matanya, ia dapat menembus halimun atau uap putih itu dan
tampaklah dengan jelas wajah seorang pria yang tampan.
Wajah yang membayangkan kesabaran tiada batasnya, dengan sepasang mata
yang seperti mata bayi baru dapat melek, begitu indah dan. tanpa
pencerminan perasaan sedikitpun, wajar dan tulus.
Tiba-tiba Nini Bumigarba meloncat maju, wajah nenek itu tidak seperti
biasanya, tampak beringas penuh kemarahan, sepasang matanya menyorotkan
kekejaman seolah-olah ia hendak menelan hidup-hidup kakek di depannya
itu. Kemudian ia menudingkan telunjuknya kepada kakek itu dan berkata
dengan suara serak dan kasar.
“Ekadenta! Engkau benar-benar seorang yang keterlaluan sekali! Telah
puluhan tahun aku mencuci tangan, tak pernah mengganggumu, akan tetapi
engkau selalu menjadi batu penghalang bagiku! Setelah aku mengasingkan
diri di tempat sunyi ini, engkau masih saja menggangguku!”
Kakek itu diam saja, hanya memandang dengan sinar matanya yang lembut
penuh welas asih dan penuh pengertian. Ketika Retna Wilis mendengar
suara gurunya, ia terkejut bukan main. Jadi dia inikah yang bernama
Ekadenta?
Inikah musuh besar gurunya dan murid orang inikah yang kelak harus ia kalahkan? Mengapa harus menanti sampai bertemu muridnya?
Gurunya pun dia tidak gentar untuk menandinginya. Kini musuh ini telah
membikin marah gurunya pula, maka dengan suara pekik melengking dahsyat,
Retna Wilis telah meloncat maju dan tangannya telah menyambar segenggam
pasir, kemudian ia mengerahkan aji kesaktiannya, menggenggam pasir
sampai pasir itu menjadi hitam kebiruan kemudian menyambitkan pasir itu
ke arah muka si kakek disusul terjangannya dengan Aji Pancaroba!
Itulah Aji Pasir Sekti yang amat mengerikan karena pasir yang
digenggamnya tadi telah berubah menjadi pasir berbisa. Jangankan sampai
melukai daging, baru mengenai kulit saja dapat menimbulkan keracunan
yang merenggut nyawa.....
Komentar
Posting Komentar