PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-68


Beberapa sosok bayangan menyambut mereka di tempat gelap, di belakang semak-semak.
Mereka itu ternyata adalah pengawal-pengawal yang telah mengadakan pengurungan di taman itu.
“Di mana mereka...?” Suminten berbisik.
Seorang pengawal menyembah dan dengan ibu jarinya menunjuk ke depan. Jantung Pangeran Panji Sigit makin berdebar dan ia menurut saja ketika Suminten kembali menggandengnya, menyusup di belakang pohon-pohon dan akhirnya mereka dapat melihat bayangan dua orang di dekat pondok merah di taman.
Pangeran Panji Sigit berdiri dengan muka pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya kepada pandang mata sendiri ketika ia melihat bahwa bayangan itu adalah Joko Pramono dan Setyaningsih. Seolah-olah berhenti denyut jantungnya, lehernya seperti tercekik, mulutnya menjadi kering dan napasnya terengah-engah.
Tanpa berkedip ia melihat betapa Joko Pramono memondong tubuh isterinya, melihat jelas betapa otot-otot lengan Joko Pramono melingkar-lingkar kuat menyangga kedua paha Setyaningsih, lengan sebelah lagi merangkul punggung. Hal ini masih tidak berarti karena memang sudah semestinya demikian kalau sedang memondong orang. Akan tetapi mengapa Joko Pramono memondong Setyaningsih? Kalau saja ia melihat isterinya itu pingsan atau menderita seperti orang sakit atau terluka, ia tentu akan cepat berlari menghampiri mereka dan tidak melihat sesuatu yang aneh kalau Joko Pramono memondong isterinya.
Akan tetapi justeru keadaan Setyaningsih di saat itu tidak seperti orang sakit, apa lagi pingsan!
Memang Setyaningsih seperti orang gelisah, akan tetapi gelisah diamuk nafsu berahi! Kedua lengan yang lunak halus hangat dari isterinya itu, kedua lengan yang biasanya merangkulnya, yang biasa diciuminya sehingga ia hampir mengenal di luar kepala segala bentuk lekuk -leng kung kedua lengan itu, hafal betapa di sebelah dalam pangkal lengan kiri isterinya, di antara bulu-bulu halus mengeriting, terdapat sebuah tahi lalat. Hafal pula betapa di dekat siku kanan yang meruncing itu terdapat segores bekas luka. Kedua lengan itu kini dengan kemesraan yang sama seperti kalau memeluknya, bahkan agaknya lebih mesra lagi, sedang melingkari leher Joko Pramono!
Dan jari -jari tangan isterinya yang kecil panjang dan halus itu! Jari -jari tangan itu menjambak -jambak rambut kepala Joko Pramono, menjambak mesra yang sesungguhnya merupakan belaian khas dari Setyaningsih karena seringkali isterinya itu membelai seperti itu, menjambak -jambak halus rambut kepalanya di waktu mereka berdua berada dalam keadaan semesra-mesranya.
Kini kedua tangan itu, sepuluh jari -jari meruncing itu terbenam ke dalam rambut kepala Joko Pramono dan wajah isterinya diangkat-angkat mendekati wajah Joko Pramono, seperti hendak menciumnya!
“Percayakah paduka, Pangeran?” bisik Suminten di dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit kehilangan suaranya, hampir kehilangan napasnya, kehilangan pula semangat dan kemauannya. Ia diam saja.
“Akan kuperintahkan pengawal menangkap bedebah yang mengkhianatimu itu, bagaimana?” kembali bibir yang diharumkan sari bunga mawar itu berhembus membisikkan kata-kata dekat telinganya.
Pangeran Panji Sigit hampir pingsan saking marah dan sakit hatinya. Ia tidak buta! Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Isterinya! Setyaningsih! Begitu bergelora dalam nafsu berahi!
Jelas sekali olehnya karena ia telah mengenal betul keadaan isterinya dan biar pun dia djauh, ia melihat jelas betapa saat itu Setyaningsih seperti terbakar nafsu berahi dalam pondongan dan pelukan Joko Pramono.
Biar pun saat itu wajah Joko Pramono tidak membayangkan gairah yang sama, akan tetapi jelas pemuda itu memondong isterinya, dan ia yakin bahwa Setyaningsih belum begitu gila untuk bersikap seperti itu kalau tidak ada uluran cinta kasih dari fihak Joko Pramono!
Keji! Hina! Dan Pangeran Panji Sigit yang mendengar pertanyaan Suminten itu hanya menganggukkan mukanya tanpa mengalihkan pandangnya yang sejak tadi tak pernah berkedip.
Suminten mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dari segala jurusan berloncatan keluarlah pasukan pengawal dengan senjata tombak, golok, atau pedang.
Jumlah mereka itu tidak kurang dari tiga puluh orang dan mereka semua segera membuat

gerakan mengurung Joko Pramono yang kelihatan kaget dan marah.

Pangeran Panji Sigit dapat melihat jelas betapa dengan setengah memaksa Joko Pramono melepaskan pondongannya dan betapa Setyaningsih meronta-ronta seolah-olah tidak mau dilepaskan. Akhirnya, karena para pengawal sudah menubruk maju, Joko Pramono membuat gerakan melempar sehingga tubuh Setyaningsih terguling di atas tanah, kemudian pemuda itu menerjang maju dan robohlah dua orang pengawal terdepan terkena hantaman kedua tangannya.
Akan tetapi, dua orang roboh yang maju ada belasan orang, menubruknya dari kanan kiri, depan dan belakang. Joko Pramono mengeluarkan suara bentakan keras, tubuhnya berkelebat mengelak dan menangkis, bahkan senjata yang berhasil mengenai tubuhnya hanya merobek pakaiannya saja karena kulitnya kebal oleh pengerahan hawa sakti tubuhnya, kemudian ia merobohkan lagi empat orang pengeroyok.
Pada saat itu menyambar sesosok bayangan yang amat lincah. Sekali terjang, bayangan ini sudah merobohkan dua orang pengawal yang mendekati Setyaningsih yang masih duduk setengah rebah di atas tanah dan kelihatan bingung. Bayangan itu ternyata adalah Pusporini yang cepat menyambar tubuh Setyaningsih, dikempit dengan lengan kiri sedangkan tangan kanan dara perkasa ini menghajar roboh berturut-turut dua orang pengawal lain.
Joko Pramono yang dikeroyok banyak pengawal, melihat munculnya Pusporini segera berseru,
“Bagus, Rini. Kau bantu aku membasmi jahanamjahanam ini!”
“Cih, laki-laki ceriwis, cabul dan mata keranjang!”
Pusporini memaki dan tubuhnya berkelebat pergi membawa Setyaningsih yang hanya mengeluarkan suara keluhan panjang.
Joko Pramono kaget sekali, cepat ia mengerjakan tangannya dengan cepat sekali dan kembali enam orang pengawal roboh terpelanting. Melihat ini, Pangeran Kukutan yang sejak tadi pun telah bersembunyi di situ berteriak,
“Hayo maju semua, bunuh keparat itu!”
Makin banyak lagi pengawal berdatangan dan melihat gelagat buruk ini, Joko Pramono mengeluarkan suara pekik keras tubuhnya agak merendah, kedua tangannya didorong ke depan dan hawa pukulan seperti angin lesus menyambar ke depan, membuat belasan orang pengawal yang berada terdepan, terjengkang dan terpelanting.
Ketika para pengawal memandang ke depan, pemuda perkasa itu ternyata telah lenyap dari tempat itu. Joko Pramono telah mempergunakan Aji Cantuka Sekti untuk memukul roboh para pengeroyoknya, kemudian ia meloncat dan pergi secepatnya menyusul Pusporini yang telah lebih dulu membawa Jari Setyaningsih.
Pangeran Kukutan menjadi penasaran sekali ketika melihat Joko Pramono dapat meloloskan diri, terutama sekali Setyaningsih dan Pusporini. Dia sudah mendapat janji dari Suminten bahwa kalau siasat mereka berhasil dan empat orang muda itu terjatuh ke tangan mereka, dia boleh memiliki dua orang wanita muda jelita itu!
Setyaningsih dan Pusporini! Betapa dia sudah tergila-gila, kalau malam sering bermimpi memangku dua orang wanita itu, dan kalau dikenang membuat ia mengilar. Kini, dikepung oleh puluhan orang pengawal pilihan, dua orang wanita itu dan Joko Pramono masih dapat lobos! Ah, dia dan Suminten terlalu memandang rendah mereka. Terlalu memandang rendah Joko Pramono dan Pusporini yang ternyata benar-benar amat sakti. Kalau mereka tahu betapa hebat kesaktian dua orang muda itu, tentu Pangeran Kukutan sudah minta bantuan Ki Patih Warutama sehingga malam itu dapat diundang beberapa orang sakti dari luar untuk membantu.
Karena penasaran, Pangeran Kukutan lalu mengerahkan barisan pengawal, sedikitnya ada lima losin jumlahnya, melakukan pengejaran di malam terang bulan itu.
Akan tetapi, ilmu berlari cepat kedua orang murid Sang Resi Mahesapati ini jauh lebih tinggi dari pada Pangeran Kukutan dan para pengawalnya sehingga para pengejar itu tertinggal jauh sekali. Dua orang muda perkasa itu maklum bahwa fihak istana pasti takkan membiarkan mereka pergi seenaknya, maka mereka pun tak pernah berhenti berlari dan semalam suntuk itu Pusporini yang berlari di depan sambil memondong tubuh Setyaningsih, telah jauh meninggalkan kota raja, memasuki hutan besar dan baru menjelang pagi, ia menghentikan larinya dan melepaskan tubuh Setyaningsih ke atas tanah yang bertilam rumput.
“Pusporini... aduhh... kepalaku...”
Setyaningsih mengeluh akan tetapi ia segera terguling lemas dan tertidur pulas!
“Hemm...kau lemah dan keji terhadap suamimu,Setyaningsih!” kata Pusporini, nada suaranya marah dan tiba-tiba gadis yang keras hati, yang gagah perkasa dan yang tak pernah mengenal takut itu menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di dekat Setyaningsih yang tidur nyenyak.
“Rini... engkau mengapakah? Mengapa menangis? Dan mengapa pula kau tadi marah-marah dan memakimaki aku tidak karuan?”
Pertanyaan Joko Pramono ini diajukan dengan suara halus karena dia melihat gadis itu menangis, akan tetapi mengandung rasa mendongkol dan penasaran karena ia merasa betapa dia dimaki-maki tidak karuan tanpa salah.
Mengapa Pusporini secara tiba-tiba memaki dia ceriwis, cabul, dan mata keranjang? Makimakian keji yang dilontarkan di depan orang banyak pula. Bahkan gadis ini tidak mau membantunya yang dikeroyok banyak pengawal. Apakah sebabnya?
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba Pusporini mencelat bangun dan serta-merta menerjangnya dengan pukulan maut tanpa mengeluarkan suara ba atau bu lagi! Pukulan dengan tangan kanan yang ditujukan ke arah dada Joko Pramono dengan penuh tenaga terdorong kemarahan dan kebencian!
“Eiiiitttt...sembrono kau, Rini!”
Joko Pramono terkejut sekali dan cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai jauh. Hanya dengan cara itulah ia dapat menyelamatkan diri dari hantaman maut yang amat dahsyat itu.
Pusporini yang memang berwatak keras dan tidak pernah mau kalah, menjadi penasaran dan terus menerjang lagi dengan dahsyatnya, tanpa memberi kesempatan kepada Joko Pramono untuk bicara atau balas menyerang, bahkan ia tidak hendak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk bernapas! Dia ingin membunuh pemuda ini yang telah menyakitkan hatinya malam tadi!
Mengapa Pusporini secara tiba-tiba menjadi marah kepada Joko Pramono? Memang tidak mengherankan kalau diketahui apa yang diucapkan Ki Mitra malam tadi ketika kakek ini menghadap dara perkasa ini.
“Paduka harus cepat-cepat menolong, Raden Ayu... kalau tidak, akan celakalah semua,“ kata kakek itu dengan muka pucat dan berkeringat.
“Ki Mitra... ada apakah?” Pusporini bertanya kaget
Kakek itu menghela napas panjang, menghapus peluhnya, kemudian menggeleng-geleng kepala dan berkata, “Ah, kalau orang muda... kaduk wani kurang dugo (menonjolkan keberanian tanpa perhitungan), semua ini gara-gara Raden Joko mengadakan pertemuan rahasia dengan Gusti Puteri Setyaningsih...”
“Apa... Apa kau bilang...? Jaga baik-baik mulutmu, Ki Mitra!”
Pusporini marah sekali dan tangannya sudah gatal-gatal hendak menampar kakek itu kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini adalah orang yang setia dan tentu ada sebabnya mengapa mengeluarkan kata-kata seperti itu.
“Hamba tidak menyalahkan paduka. Memang, biasanya yang terdekat malah tidak mengetahui. Sudah beberapa kali mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia, ahh...hamba tidak heran, yang puteri cantik jelita yang putera tampan perkasa. Akan tetapi sekali ini mereka terkena jebakan, mengadakan pertemuan di pondok dalam taman sari milik gusti selir dan mereka ketahuan, tertangkap basah! Mereka kini telah dikurung pasukan pengawal...”
Demikianlah, mendengar ucapan ini, tanpa menanti sampai habis penuturan Ki Mitra, tubuh Pusporini sudah berkelebat dan ia berlari cepat memasuki taman sari itu. Dan apa yang dilihatnya? Sama dengan yang dilihat Pangeran Panji Sigit! Ia melihat betapa pria yang dicintanya itu sedang memondong tubuh Setyaningsih dan wanita itu, kakak tirinya yang amat dikasihinya, yang ia kagumi dan yang ia anggap sebagai seorang wanita sejati, seorang wanita yang patut dijadikan tauladan, dengan mesra membelai rambut kepala Joko Pramono, bersikap mesra penuh gelora nafsu berahi yang amat memalukan dan memuakkan perutnya!
Ketika para pengawal keluar menyerbu, Pusporini membatalkan niatnya menyerang Joko Pramono, sebaliknya ia lalu menyambar tubuh Setyaningsih dan membawanya pergi karena betapa pun juga, dia tidak mungkin dapat membiarkan kakak tirinya itu tertimpa aib dan malu, tertangkap basah melakukan perjinahan dengan Joko Pramono.
Tentu saja, dalam kedukaan dan kecewanya, dalam penderitaan akibat hancurnya kebahagiaan cinta kasihnya dengan Joko Pramono yang sekaligus dihancurkan oleh penglihatan di taman sari tadi, begitu melihat Joko Pramono, dara perkasa ini tak dapat menahan kebencian dan kemarahan nya lagi dan langsung menerjang dan menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan maut secara bertubi-tubi!.
“Wah... heiiitt... berhenti dulu! Aihhhh...!”
Joko Pramono yang hanya menangkis dan mengelak itu akhirnya kena diserempet pundaknya sehingga ia roboh terpelanting. Baiknya ia memiliki tubuh yang terlatih dan kebal sehingga sebelum kaki Pusporini yang melayang datang itu sempat menghajar dan meremukkan kepalanya, Joko Pramono sudah menekankan kedua tangan ke atas tanah, mendorong dan tubuhnya mencelat jauh sehingga terhindar dari tendangan maut.
“Rini, jangan..., berhenti dulu dan mari kita bicara...!”
“Keparat, manusia tak berbudi, tidak perlu bicara lagi. Engkau atau aku yang harus mati!” bentak Pusporini yang terus menyerang sehingga kembali Joko Pramono yang terheran-heran itu dan yang selalu mengalah, terdesak hebat dan tamparan Pusporini menyerempet pipinya sehingga pinggir bibir pemuda itu pecah berdarah. Melihat darah, Pusporini seperti menjadi semakin buas dan serangannya makin ganas.
“Pusporini...! Eh, Joko Pramono...! Mengapa kalian berkelahi? Berhenti... berhentilah..., apakah yang terjadi...?”
Setyaningsih yang telah sadar dari tidurnya, tadi sejenak terbelalak menyaksikan betapa Pusporini menyerang dan mendesak Joko Pramono. Kemudian ia melompat bangun dan cepat melerai mereka, menghadang di depan Pusporini yang sudah seperti seekor hari-mau betina direbut anaknya itu.
Pusporini dengan alis berdiri memandang Setyaningsih, napasnya terengah dan dua titik air mata membasahi pipinya. “Engkau... engkau hendak membela kekasihmu ini...?”
Ucapan ini bagi Setyaningsih dan Joko Pramono merupakan tuduhan yang amat mengejutkan, bagaikan halilintar menyambar di atas kepala mereka.
“Rini...! Apa yang kau katakan ini...?” teriak Joko Pramono.
Wajah Setyaningsih menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak memandang adik tirinya.
“Pusporini adikku...! Mengapa kau mengeluarkan ucapan sekeji itu? Apakah yang telah terjadi...? Mengapa aku berada di sini... dan... dan mengapa kalian bertempur...?”
Muka Pusporini menjadi makin merah, dadanya menjadi makin bergelombang karena rongga dadanya dibakar api kemarahan.
“Hemmm, sungguh tak tahu malu dan pengecut! Sudah berani berbuat tidak berani mengaku! Kedua mataku sendiri telah melihat betapa engkau dalam pondongannya mengerang-erang manja dan penuh nafsu. Mataku belum buta! Semalam kumelihat sendiri dan sekarang kalian berdua masih berpura-pura lagi? Aduh,sungguh kasihan Kakangmas Pangeran Panji Sigit..., dikhianati isteri dan sahabat palsu...!”
Pusporini lalu menangis terisak.
Setyaningsih memandang kepada Pusporini, lalu kepada Joko Pramono berganti-ganti dengan muka pucat, kemudian ia berkata setengah menjerit.
“Di mana suamiku? Mengapa aku berada di sini? Apa yang terjadi? Lekas ceritakan, kalian berdua. Lekas ceritakan... ah, aku bisa menjadi gila karena gelisah...!”
Pusporini menghentikan tangisnya dan ia memandang wajah kakak tirinya itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. Ia mulai meragu akan kebenaran dugaannya. Pada saat itu, Joko Pramono berkata,
“Ah, tidak salah lagi. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, dan kita semua telah masuk perangkap keji. Pusporini, harap kau bersabar dan lebih baik kita secara terang-terangan saling menceritakan pengalaman malam tadi. Kalau kemudian terbukti bahwa aku telah melakukan hal keji terhadap Ayunda Setyaningsih seperti yang kau tuduhkan, biarlah aku memberikan leherku untuk kau penggal!”
Pusporini memandang kepada pria yang dicintanya akan tetapi sekarang dibencinya itu dengan mata penuh amarah, alisnya tetap berkerut, dan ia tidak menjawab. Hatinya masih terlalu sakit dan rongga dadanya masih terlalu panas penuh hawa amarah.
“Adinda Joko, ceritakanlah apa yang telah terjadi...”
Setyaningsih berkata dengan suara penuh permohonan sambil merangkul pundak Pusporini untuk mencegah adiknya yang galak ini menyerang lagi pemuda itu.
Joko Pramono menghela napas panjang, kemudian memandang lagi kepada Pusporini lalu bercerita,
“Malam tadi, selagi saya duduk sendiri dalam kamar bersamadhi, datanglah Ki Mitra yang menceritakan dengan muka penuh kekhawatiran bahwa Ayunda Setyaningsih sedang diajak makan minum oleh selir Suminten dan bahwa Ayunda akan diracun. Ki Mitra minta kepada saya agar cepat menolong Ayunda, yang katanya setiap saat terancam dan bahwa Ayunda bersama selir Suminten berada di taman sari. Dia mencegah saya memberitahukan kepada Pusporini atau Rakanda Pangeran karena dia khawatir tidak akan keburu dan berjanji bahwa dialah yang akan memberitahu kepada Pusporini dan Rakanda Pangeran. Karena saya percaya kepadanya, saya lalu bersicepat memasuki taman sari. Di dalam taman sari itu amat sunyi dan saya melihat Ayunda seorang diri di dalam pondok merah. Saya terkejut melihat keadaan Ayunda karena Ayunda terhuyung-huyung dan hampir roboh.. Saya mengira bahwa tentu Ayunda telah keracunan, maka cepat saya menyambar dan memondong tubuh Ayunda untuk saya bawa pergi kembali ke tempat Rakanda Pangeran agar dapat dlusahakan pertolongan. Akan tetapi pada saat itu, saya diserbu puluhan orang pengawal. Terpaksa saya menurunkan tubuh Ayunda dan pada saat itu... Pusporini muncul akan tetapi hanya menyelamatkan Ayunda dan tidak membantu saya, bahkan memaki saya! Tentu saja saya menjadi penasaran dan mengejar terus. Siapa kira, begitu tiba di sini, dia bersungguh-sungguh hendak membunuh saya...!”
Joko Pramono menghapus darah yang masih keluar dari ujung bibirnya yang kini menjendol.
Wajah Pusporini yang tadinya merah kini perlahan-lahan berubah menjadi pucat. Kemarahan yang membayang di matanya mulai terganti keraguan kemudian kegelisahan, dan tatapan matanya pada Joko Pramono menjadi gugup dan bingung. Ia memegang pundak Setyaningsih dan mendesak,
“Ayunda..., ceritakanlah... apa yang telah terjadi dengan Ayunda di taman itu...!”
Pusporini membayangkan betapa Setyaningsih ketika dalam pondongan Joko Pramono, kelihatan begitu penuh nafsu berahi, jari -jari tangannya membelai muka dan rambut pemuda itu, mukanya diangkat-angkat hendak mencium!
Setyaningsih yang rambutnya kusut dan wajahnya masih pucat itu memijit-mijit pelipisnya.
“Aku sendiri, tidak mengingat sesuatu...kepalaku masih pening sekali. Hanya sedikit yang kuingat. Malam tadi aku duduk berdua dengan suamiku, lalu datang seorang pelayan ibunda selir yang mengundangku untuk menemaninya makan minum sambil menikmati terang bulan di taman sari. Aku dan suamiku merasa sungkan untuk menolak, terpaksa pergi juga bersama pelayan itu. Di dalam taman sari, di pondok merah itu, aku menemani ibunda selir makan minum. Kemudian ibunda selir menyuguhkan secangkir anggur. Aku menolak, akan tetapi katanya anggur itu amat baik untuk seorang isteri muda yang belum mempunyai anak. Aku didesak, lalu dikatakan apakah aku takut diracun sehingga terpaksa untuk menghilangkan kecurigaan aku minum anggur itu yang rasanya manis dan berbau harum sekali. Setelah itu... aku seperti dalam mimpi yang kacau... seperti hanya berdua dengan Kakangmas Pangeran... ah, aku tidak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku sadar dan telah berada di sini, berbaring di atas tanah dan melihat kalian berdua berkelahi seperti kemasukan setan!”
“Aha! Sudah mulai kelihatan belangnya sekarang!”
Tiba-tiba Joko Pramono berkata sambil menepuk pahanya sendiri. 'Pusporini, ceritakanlah pengalamanmu agar kita dapat membandingkan!”
Dengan suara trenyuh karena ia pun mulai dapat menduga akan jalannya tipu muslihat musuh dan hatinya penuh keharuan karena sikapnya tadi terhadap Joko Pramono, Pusporini lalu bercerita,
“Ki Mitra datang kepadaku malam tadi dan mengatakan bahwa Ayunda dan... Joko... mengadakan... eh, pertemuan rahasia... di taman sari, bahkan Ayunda dan Joko sudah lama mengadakan hubungan percintaan dan malam tadi bertemu di taman sari akan tetapi tertangkap basah dan akan ditangkap para pengawal yang dikerahkan oleh... perempuan iblis itu...! Aku datang ke sana dan melihat Ayunda... dalam pondongan... ahhh, sudahlah..., aku memang bersalah... mataku seperti buta...!”
Pusporini menangis, kini tangisnya sukar dikatakan, apakah tangis itu karena menyesali perbuatannya ataukah tangis girang bahwa Joko Pramono tidak jadi direbut orang, ataukah kedua-duanya!
“Wah, jelas sudah sekarang! Ini tentu tipu daya keji Suminten yang jahanam itu! Sengaja diatur, mungkin sudah lama diaturnya dan dicari kesempatan ini. Siasat untuk memecah-belah di antara kita dan sekaligus menghancurkan kita dengan dalih pelanggaran susila dan melawan para pengawal! Dan hampir saja siasatnya berhasil.”
Kembali pemuda ini meraba bibirnya yang menyendol dan pecah pinggirnya.
“Kalau tidak cepat-cepat aku menghindar, tentu kepalaku telah pecah sekarang dan andika berdua hanya akan menangisi sebuah mayat tiada gunanya lagi!”
“Joko...!”
Pusporini menubruk pemuda itu dan menangis sesenggukan di atas dadanya. Joko Pramono mengejap-ngejapkan matanya menahan dua butir air matanya yang akan menitik turun saking terharu dan girangnya hati.
Pusporini yang penuh penyesalan, seperti lupa diri, lupa bahwa di situ terdapat Setyaningsih yang memandang dengan mata basah air mata. Dia mengangkat mukanya dan dengan terisak-isak ia meraba pinggir bibir yang pecah itu, meraba dan membelainya, kemudian mengecup luka di bibir dengan halus.
“Joko, maafkan aku, Joko...maafkan aku dan kau pukullah aku sebagai hukuman...!”
Joko Pramono tersenyum lebar dan mendekap muka itu ke dadanya, erat-erat seolah-olah ia hendak menyimpan kepala dan wajah yang amat dicintanya itu ke dalam dadanya, dan takkan diperbolehkan keluar lagi.
Kemudian ia mencium dahi Pusporini dan memegang dagu gadis itu, diangkatnya muka yang basah itu menghadap mukanya, lalu ia berkata,
“Engkau? Dihukum pukulan? Wah, eman-eman (sayang)...! Kalau aku tadi tahu upahnya akan sebesar ini, mau rasanya aku menerima sebuah pukulanmu lagi...”
“Kau memang ceriwis!”
Pusporini berkata, akan tetapi dengan sikap manja dan tangannya menampar lirih ke arah pipi Joko Pramono. Pemuda itu tertawa dan menunduk, dengan mesra dan sepenuh cinta kasih hatinya ia mengambung pipi kiri Pusporini dengan hidungnya.
Sejenak Pusporini terlena dalam belaian mesra ini, akan tetapi tiba-tiba ia melepaskan diri dan mencela,
“Ihhh..., tak tahu malu. Ada ayunda melihat kita!”
Joko Pramono yang sadar dari buaian asmara yang memabukkan, seakan-akan baru timbul dari keadaan tenggelam ke dalam perasaan bahagia yang tadi membuatnya lupa akan segala.
Cepat ia menghadapi Setyaningsih dan berkata,
“Maafkan kami, Ayunda, karena terharu kami sampai lupa diri, lupa akan kegawatan keadaan. Kita semua telah menjadi korban siasat buruk Suminten, dan sungguh mengkhawatirkan kalau mengingat akan keadaan Kakangmas Pangeran yang masih tertinggal di sana.”
“Aku akan kembali ke sana dan membantu Kakangmas Pangeran lolos keluar istana!”
Pusporini yang agaknya ingin menebus kesalahan, kini mengajukan diri dengan suara tetap dan tabah.
“Biarkan aku saja yang pergi, Rini, engkau perlu menjaga dan menemani Ayunda di sini...” kata Joko Pramono yang sebetulnya tentu saja merasa khawatir kalau Pusporini dibiarkan pergi sendirian memasuki tempat yang penuh dengan musuh-musuh itu dan yang ia tahu amat berbahaya.
Sebaliknya, Pusporini juga mengkhawatirkan keselamatan pria yang dicintanya karena tadi malam pun para pengawal hendak membunuh Joko Pramono. Kalau pemuda itu kembali ke istana, bukanlah sama halnya dengan menyerahkan nyawanya?
“Tidak, Joko. Mereka semalam memusuhimu, belum tentu akan memusuhi aku!”
Melihat betapa kedua orang muda itu berebut, Setyaningsih menghela napas, merangkul leher Pusporini sambil berkata,
“Kalian berdua tidak boleh kembali ke sana lagi setelah berhasil lolos. Karena suamiku berada di sana, maka akulah yang akan kembali ke sana. Aku harus berada di samping Kakangmas Pangeran, dalam keadaan bagaimana pun juga. Kalian berdua sebaiknya lekas pergi ke Panjalu dan memberi laporan kepada Rakanda Patih Tejolaksono dan Pangeran Dar mokusumo.”
“Ah, berbahaya sekali, Ayunda!” Joko Pramono berseru keras. “Setelah iblis betina itu melakukan siasat fitnah keji, tentu dia tidak akan segan-segan melakukan hal yang lebih jahat lagi. Siapa tahu, Kakangmas Pangeran juga terjeblos ke dalam perangkap seperti kita, dan celakanya kalau Kakangmas Pangeran juga tertipu seperti halnya Diajeng Pusporini tadi. Jangan -jangan dia akan... akan menganggap Ayunda tidak setia...”
Setyaningsih menggeleng kepala dan tersenyum penuh keyakinan.
“Suamiku tidak akan meragukan kesetiaanku seujung rambut pun. Kakangmas Pangeran percaya penuh akan cinta kasih yang kami pupuk bersama.”
“Yunda, aku akan ikut kembali ke sana karena aku tidak terima, aku akan menghancurkan kepala perempuan iblis Suminten!” kata Pusporini penuh amarah dan dendam terhadap selir raja yang amat cerdik dan keji itu.
“Benar, Ayunda. Biarkan kami ikut, selalu menemani dan mengawal Ayunda, juga kita bersama akan dapat lebih kuat melindungi dan membela Kakangmas Pangeran di sana. Selain itu, aku harus pula menangkap Ki Mitra yang entah mengapa telah menjadi palsu laporannya itu!”
Baru Pusporini teringat akan hal ini. “Ki Mitra! Ah, dia tentu menjadi kaki tangan iblis betina itu, dan telah berkhianat! Aku pun ingin membagi sebuah tamparan di kepalanya!”
“Dia bukan Ki Mitra...”
Suara ini terdengar tiba-tiba dari batik semak-semak, kemudian muncullah dua orang dari balik semak-semak itu. Mereka adalah seorang pria setengah tua yang gagah perkasa dan seorang wanita muda yang berwajah manis.
Setyaningsih tidak mengenal mereka ini, akan tetapi Joko Pramono dan Pusporini berseru kaget dan girang,
“Paman Wiraman dan Widawati...!”
Ki Wiraman lalu melangkah maju bersama Widawati dan bekas pengawal pilihan dari Jenggala ini cepat memberi hormat:
“Harap maafkan kami berdua. Sebetulnya telah lama kami berdua berada di balik semak-semak itu, memimpin belasan orang anak buah penyelidik. Akan tetapi melihat betapa andika berdua tadi bertanding hebat, kami tidak berani melerai dan baru setelah mendengar percakapan, hati kami lega dan berani keluar.”
“Ah, tidak mengapa, Paman. Paman Wiraman, apa artinya ucapanmu tadi bahwa dia bukan Ki Mitra?” Juga Pusporini memandang penuh pertanyaan, sedangkan Setyaningsih juga memandang penuh per hatian.
Ki Wiraman sebagai seorang pejuang yang banyak pengalaman tidak segera menjawab, melainkan memandang kepada Setyaningsih dengan sinar mata meragu dan penuh kecurigaan.
Dia tidak mengenal puteri cantik ini dan dia harus berhati-hati untuk menceritakan rahasia yang diketahuinya.
“Jangan khawatir, Paman. Ini adalah Ayundaku, Setyaningsih, isteri Rakanda Pangeran Panji Sigit yang kini masih tertinggal di istana Jenggala.”
“Ahh, maafkan keraguan hamba,” kata Ki Wiraman sambil menyembah dengan hormat, diturut pula oleh Widawati.
Sebagai cucu puteri mendiang Ki Patih Brotomenggala, tentu saja Widawati cepat-cepat menghormat ketika mendengar bahwa puteri cantik ini adalah isteri dari Pangeran Panji, seorang mantu sang prabu.....!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar