PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-69


Setyaningsih memandang ke arah Widawati yang menundukkan mukanya sambil berkata, “Dan dia ini tentulah Widawati, cucu kepatihan Jenggala yang bernasib malang itu?”
Widawati mengangkat mukanya dan dengan pandang mata sayu is menyembah dan menjawab, “Tepat seperti dugaan paduka, hamba adalah Widawati...”
Wiraman menarik napas panjang dan berkata,
“Sungguh berbahaya sekali keadaan paduka bertiga, dan masih untung dapat meloloskan did. Ketika saya mendengar paduka menyebut-nyebut nama Ki Mitra, maka yakinlah saya bahwa paduka telah ditipu karena Ki Mitra telah tewas beberapa bulan yang lalu. Hanya para penyelidik saya yang mengetahui bahwa Ki Mitra telah dibunuh oleh kaki tangan Pangeran Kukutan dan mayatnya dikubur dalam hutan. Mereka mengira bahwa tidak ada orang yang mengetahui rahasia itu!”
“Ahh...!”
Hampir berbareng Setyaningsih, Pusporini dan Joko Pramono berseru kaget. Kalau mereka ingat betapa mereka mengajak Ki Mitra bicara tentang rahasia perjuangan mereka! Kiranya Ki Mitra itu adalah Ki Mitra palsu! Kaki tangan Pangeran Kukutan dan Suminten!
Terbukalah mata mereka kini bahwa sesungguhnya, semenjak menginjakkan kaki di Kerajaan Jenggala, mereka telah berada dalam cengkeraman Suminten dan sekutunya! Mengerti bahwa semua yang terjadi telah direncanakan oleh Suminten yang licin bagai belut dan cerdik bagai setan itu!
“Wah, kalau begitu, Kakangmas Pangeran terancam bahaya...”
Suara Setyaningsih mengandung isak tertahan karena gelisahnya memikirkan keselamatan suaminya.
“Kita harus kembali ke sana sekarang juga untuk menolong Rakanda Pangeran!” kata Pusporini.
“Tidak ada lain jalan! Kita mengamuk di istana Jenggala!” kata pula Joko Pramono.
“Hendaknya paduka bertiga bersabar,” kata Ki Wiraman dengan suara tenang dan penuh pengertian. “Memang hanya orang-orang sakti seperti paduka bertiga yang agaknya akan dapat memasuki kota raja dan istana Jenggala, akan tetapi hendaknya bersabar dan jangan menggunakan kekerasan. Di sana selain banyak pengawal, juga hamba tahu banyak terdapat pembantu-pembatu rahasia yang sakti mandraguna. Kalau. menggunakan kekerasan, selain paduka akan menghadapi perlawanan yang kuat dan berbahaya, juga hal ini akan membahayakan keadaan Gusti Pangeran Panji Sigit. Sebaiknya dilakukan secara diam-diam dan di waktu malam.”
“Apakah tidak akan terlambat, Paman? Kami hams menyelamatkan Rakanda Pangeran dan tangan mereka,” bantah Joko Pramono.
“Hamba kira tidak begitu. Gusti Sinuwun amat cinta kepada Gusti Pangeran Panji Sigit Sehingga mereka tidak akan begitu sembrono untuk mencelakai Gusti Pahgeran. Selain itu... hemmm... harap maafkan hamba, hamba sudah tahu bahwa Suminten menaruh hati kepada Gusti Pangeran. Sebaiknya malam nanti saja paduka bertiga menyelundup ke dalam kota raja dan diam-diam mengusahakan agar Gusti Pangeran Panji Sigit dapat lolos dari sana. Adapun hamba akan berjaga di luar kota raja dan mengirim laporan mengenai paduka sekalian ke Panjalu.”
Mereka mengadakan perundingan dan tiga orang muda yang perkasa namun dalam hal pengalaman dan siasat tentu saja tidak dapat menang dari Ki Wiraman itu selalu mendengarkan nasehat dan pendapat Ki Wiraman.
Bahkan mereka banyak mendengar tentang keadaan Jenggala dari bekas pengawal ini dan terkejutlah hati mereka ketika mendengar bahwa sesungguhnya bukan hanya Pangeran Kukutan, Suminten dan Ki Patih Warutama yang menguasai Jenggala, melainkan kekuasaan-kekuasaan dari Sriwijaya dan Cola. Ketika mereka bertanya kepada Ki Wiraman tentang Nini Bumigarba, Ki Wiraman menarik napas panjang dan berkata,
“Sungguh kasihan kalau hamba mengingat akan nasib Gusti Patih Tejolaksono dan keluarganya. Dua orang puteranya, Bagus Seta dan Retna Wilis, pergi dibawa orang maha sakti, entah berada di mana dan sampai kini tiada berita. Banyak orang pernah mendengar nama Nini Bumigarba, dan hamba sendiri pernah mendengar nama yang dihubungkan dengan nama Ni Dewi Sarilangking, seorang wanita iblis yang sudah terkenal semenjak jaman Mataram dahulu. Akan tetapi siapakah orang yang pernah melihatnya? Agaknya hamba kira tak mungkin nenek sakti itu ada hubungannya dengan mereka yang mencengkeram Jenggala, bahkan hamba masih ragu-ragu apakah wanita yang sudah terkenal di jaman Mataram itu benar-benar sekarang masih hidup! Tentu dia sudah berusia tidak kurang dari dua ratus tahun!”
Hari itu jugs, Ki Wiraman mengutus beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Panjalu dan membawa laporan-laporannya mengenai peristiwa yang terjadi di Jenggala yang dialami oleh empat orang muda perkasa itu.
Malamnya, sebelum bulan muncul dan keadaan masih gelap, Setyaningsih, Pusporini, dan Joko Pramono menyelundup masuk ke kota raja melalui dinding tembok, mempergunakan kesaktian mereka melompati dinding tembok yang tinggi. Adapun Ki Wiraman dan Widawati memimpin sisa anak buah mereka mengadakan penjagaan di luar kota raja sambil terns menghubungi anak buah mereka yang mereka selundupkan sebagai mata-mata di dalam kota raja untuk mendengar apa yang terjadi dengan tiga orang muda yang berusaha menolong Pangeran Panji Sigit itu.
Dengan tubuh lemas dan semangat terbang, Pangeran Panji Sigit di malam hari itu melihat betapa Setyaningsih yang dipondong Pusporini dapat lolos, demikian pula Joko Pramono dan melihat betapa Pusporini, Joko Pramono bersama isterinya itu dapat keluar dari istana, dikejar-kejar oleh para pasukan pengawal yang dipimpin oleh Pangeran Kukutan sendiri.
Ia terlalu marah untuk dapat mengeluarkan suara, terlalu heran dan kaget menyaksikan adegan antara isterinya dan Joko Pramono sehingga is seolah-olah sejak melihatnya telah berubah menjadi sebuah arca, tak dapat bergerak sama sekali, tubuhnya lemas kakinya menggigil. Sampai keadaan di dalam taman sunyi kembali karena suara pengawal yang melakukan pengejaran sudah terlalu jauh untuk dapat didengar dari situ, Pangeran Panji Sigit masih saja berdiri termenung dengan hati dan tubuh lemas.
Tiba-tiba sebuah tangan yang halus dan lemas, menyentuh pundaknya dengan mesra, dan bisikan suara Suminten menyusup ke dalam telinga kirinya.
“Pangeran, jangan khawatir, orang-orang jahat yang menyakiti hatimu itu pasti akan dapat tertangkap dan diseret di depan kakimu, Pangeran...”
Suara bisikan yang lembut basah ini memasuki telinganya, mula-mula seperti air sewindu yang amat dingin, kemudian seperti ujung pisau runcing menusuk jantungnya, membuat Pangeran Panji Sigit tersentak kaget dari lamunannya dan ia cepat menoleh lalu membentak,
“Tidak...! Aku tidak percaya... Ini semua tentu siasatmu...! tentu perbuatanmu...! Aku tidak percaya isteriku akan berbuat keji dan hina...!
Bibir merah semringah itu tersenyum di belakang punggung Pangeran Panji Sigit yang sudah membuang muka membelakangi wanita itu. Karena senyum itu tidak sewajarnya timbul dari kegembiraan hati, maka bukan tersenyum lagi, melainkan menyeringai dan andai kata pangeran itu dapat melihatnya tentu akan makin curiga hatinya.
Akan tetapi hanya sebentar, karena Suminten sudah berkata lagi, kini tidak berbisik karena dia ingin memaksa kata-katanya agar dapat sejelas mungkin menusuk kedua telinga pangeran yang tampan dan yang setiap kali ia temui membuat api dalam tubuhnya menggelora dan nafsunya menyengat-nyengat.
“Pangeran, mengapa andika tidak mau melihat kenyataan? Wanita adalah makluk lemah yang mudah tergoda. Lihatlah aku! Aku mencinta sang prabu, akan tetapi begitu melihat andika yang lebih gagah, aku tergila-gila dan bertekuk lutut terhadap gelora nafsu cintaku! Apa lagi Setyaningsih yang masih muda belia! Dan Joko Pramono adalah seorang jantan muda yang memiliki daya tarik luar biasa sekali. Mungkin dalam hal ketampanan, dia tidak dapat mengatasimu, Pangeran. Akan tetapi, dia lebih gagah, tubuhnya lebih kuat seperti seekor banteng muda! Dan Setyaningsih adalah seorang wanita muda yang sejak kecil hidup bersama Endang Patribroto! Andika mangenal siapa Endang Patibroto! Isteri rakandamu Pangeran Panji Rawit dan belum lama ditinggal mati suaminya sudah menjadi kekasih Tejolaksono! Mana mungkin kesetiaannya dapat dipercaya? Andika baru melihat dia membelai Joko Pramono dan merangkul mesra, sayang keburu datang para pengawal dan Pusporini perempuan setan itu. Kalau tidak, tentu andika akan dapat menyaksikan adegan yang lebih mesra lagi antara Setyaningsih dan Joko Pramono... ahhh, kalau saja andika dapat melihat apa yang kusaksikan sendiri... mereka berkasih-kasihan di luar taman, di atas rumput seperti dua ekor menjangan muda, bergelut mesra bercumbu-cumbuan...”
“Diam...! Diammmmm...! Diammmm...!”
Pangeran Panji Sigit berteriak-teriak seperti orang gila, menubruk ke depan dan menggunakan kepalan tangan kanannya menghantam batang pohon tanjung yang tumbuh di taman sari itu sehingga pohon itu berguncang dan daundaun kuning rontok.
Akan tetapi karena ia memukul batang pohon karena kemarahan dan sakit hati, tanpa mengerahkan aji kesaktiannya, maka kulit tangannya pecah-pecah berdarah dan tangannya membengkak.
Kemudian pangeran ini terisak-isak dan menyandarkan dahinya pada batang pohon, mulutnya berteriak-teriak lemah seperti berbisik-bisik,
“Tidak..., tidak... tidak...!”
Akhirnya pangeran itu terkulai lamas dan roboh pingsan. Pukulan batin itu terlalu hebat baginya.
Betapa pun ia menggunakan kekuatan batinnya untuk menolak dan tidak percaya bahwa isterinya akan berbuat serong, berjina dengan Joko Pramono, namun kedua matanya menyaksikan sendiri isterinya membelai-belai Joko Pramono, dan andai kata ada keraguan, maka keraguan ini disapu hilang oleh teriakan Pusporini yang memaki Joko Pramono ceriwis, cabal, dan mata keranjang!
Pangeran Panji Sigit tidak tahu betapa dalam keadaan pingsan itu, bibir dan seluruh mukanya diciumi oleh bibir Suminten yang sudah tak dapat menahan nafsunya, kemudian wanita ini dengan muka mangar-mangar kemerahan bertepuk tangan. Muncullah empat orang pelayan wanita kepercayaannya dan ia lalu memerintahkan mereka menggotong tubuh pria yang membuatnya tergila-gila ini ke dalam kamarnya.
Malam telah lama lewat dan hari telah menjelang siang ketika Pangeran Panji Sigit siuman dari pingsannya dan ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas sebuah pembaringan yang lunak harum di dalam kamar yang indah dan... sebuah lengan yang lunak. halus melintang di atas dadanya, pernapasan yang halus terdengar di sebelah kanannya.
Ketika ia menoleh ke arah si pemilik lengan dan si pembuat napas, kiranya Suminten yang memeluknya dalam keadaan pulas!
Suminten dengan wajahnya yang manis, rambut terurai lepas merupakan satu-satunya alat penutup tubuh, sama dengan keadaan dirinya sendiri yang hanya berselimut kain merah.
Raden Panji Sigit mengerutkan kening, teringat akan semua peristiwa semalam, tahu bahwa dia telah di bawa ke dalam kamar Suminten, dan tidur sepembaringan dengan ibu tirinya itu, pembaringam yang biasanya ditiduri ramandanya! Ia menjadi muak dan cepat menurunkan lengan yang melintang di atas dadanya, lalu melompat turun, menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaian tergesa-gesa.
Suminten menggeliat, mengeluarkan suara seperti seekor anak kucing manja dan mau tidak mau Pangeran Panji Sigit hams memandang tubuh yang amat indah dan memiliki daya tarik menggairahkan dan merangsang nafsu berahi itu. Namun ia menekan semua gelora batinnya yang mulai bangkit ini dengan kesadaran betapa jahat, keji, dan berbahayanya selir ramandanya ini.
Suminten membuka mata, dimulai dengan berkejapnya bulu mata yang lentik itu, kemudian matanya terbuka dan seperti seorang kaget wanita ini bangkit duduk, membiarkan rambutnya yang panjang menjadi tirai jarang di depan dadanya yang telanjang sehingga mencipta penglihatan yang dapat meruntuhkan hati setiap orang pria.
“Ohh... Pangeran, andika sudah siuman? Syukurlah... aduhh, andika amat mencemaskan hatiku... semalam suntuk kujaga di sini belum juga siuman, sampai akhirnya aku tertidur di sampingmu. Marilah ke sini, Pangeran...”
Pangeran Panji Sigit mengerutkan keningnya dan menggeleng.
“Terima kasih, saya akan pergi...”
“Ehhh, jangan pergi, Pangeran. Andika masih perlu istirahat. Ke sinilah, mari rebah di sini, lupakan segala kesedihan. Suminten akan menghiburmu, Suminten mencintamu dengan seluruh jiwa raganya, dengan seluruh hatinya, setiap helai bulu di tubuhnya mencintamu, Pangeran...”
Pangeran Panji Sigit bergidik. Bukan main wanita ini. Siapa yang terjerat oleh wanita seperti ini, yang memiliki wajah cantik manis, memiliki tubuh yang menggairahkan, memiliki suara yang merangsang nafsu, kiranya takkan mudah dapat melepaskan diri lagi.
Suminten sudah turun dari pembaringan sehingga kini tidak ada bagian tubuhnya yang tertutup selimut. Ia lari menghampiri dan memeluk pinggang pangeran itu dengan kemanjaan yang memikat hati.
“Pangeran, tak tahukah engkau betapa siang malam Suminten selalu merindukanmu? Marilah... bersikaplah manis kepadaku, Pangeran, dan Suminten akan mencipta surga untukmu.”
Ia meraih ke atas, berdiri jinjit untuk mencapai bibir Pangeran Panji Sigit dengan mulutnya.
Pangeran itu membuang muka dan mendorong pundak Suminten sehingga wanita ini terjengkang dan jatuh terlentang di atas pembaringan.
“Tak perlu andika merayuku! -Aku sudah tahu siapa dan orang macam apa andika ini! Aku akan pergi dari istana terkutuk ini, sekarang juga!”
Sambil berkata demikian, tanpa menoleh lagi Pangeran Panji Sigit sudah melangkah menuju pintu untuk keluar.
“Engkau kasar sekali, Pangeran! Tak tahu dicinta orang! Hi-hik, apa kaukira aku tidak tahu akan segala tugas rahasiamu? Engkau mata-mata Panjalu, mengkhianati kerajaan ramamu sendiri! Hihihik, kaukira akan mudah saja keluar dari sini? Ratusan orang pengawal sudah mengurung dan siap menanti tanda dariku untuk menyambutmu dengan seratus batang anak panah, seratus buah golok dan seratus batang tombak!”
Pangeran Panji Sigit telah tiba di pintu dan dibukanya daun pintu kamar itu. Ia melihat betapa tak jauh dari situ,di luar gedung telah berdiri barisan pengawal yang mengurung gedung itu dengan senjata lengkap di tangan! Wanita ini tidak membohong. Tak mungkin dia dapat lobos dari tempat ini dan agaknya untuk menerobos penjagaan demikian ketat merupakan hal yang berbahaya sekali. Ia menoleh dan melihat betapa Suminten sudah mengenakan pakaiannya, kini sedang memasang hiasan daun telinga sambil miringkan muka yang manis itu, yang memandangnya dengan kerling tajam dan senyum mengejek. Betapa ayu dan luwesnya wanita ini! Kalau bukan selir ramandanya dan bukan seorang wanita yang berwatak iblis!
Tiba-tiba Pangeran Panji Sigit tersenyum dan sinar matanya berkilat. Sekali melompat dia telah berada di dekat wanita itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. Agaknya Suminten dapat melihat sinar mata itu dan terkejut.
“Engkau... mau apa...?” tanyanya dengan mata terbelalak.
“Tidak apa-apa, hanya akan keluar dengan aman dari istana ini, bahkan dari Kerajaan Jenggala, dan engkau yang akan menjadi pengawalku sampai aku terbebas dari ancaman orang-orangmu!”
“Apa...?”
Akan tetapi seruan Suminten terpaksa berhenti karena Pangeran Panji Sigit telah menjabak rambutnya, rambut yang halus hitam dan panjang, yang amat lemas mengkilap karena setiap hari dikeramasi air bunga dan diminyald yang harum dan selalu dikagumi setiap orang pria yang pernah merasai kenikmatan menemani wanita ini di kamarnya. Kini rambut itu dijambak dengan kasar dan hampir Suminten tak dapat percaya akan kenyataan ini. Seluruh tubuhnya telah ia sediakan, dengan rela hendak ia serahkan kepada pemuda tampan ini, tubuhnya yang dapat meruntuhkan kerajaan yang ia yakin akan diperebutkan oleh laksaan orang pria.
Akan tetapi sekali ini sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap pangeran yang mengingatkannya akan Pangeran Panji Rawit ini, yang sekaligus merampas hatinya, merampas cinta kasihnya yang selamanya belum pernah ia jatuhkan kepada seorang pria kecuali kepada mendiang Pangeran Panji Rawit. Baru sekali ini, semenjak Pangeran Panji Rawit, ada pria yang menolak tubuhnya, namun yang sekaligus malah membangkitkan gairahnya karena penolakan itu.
“Tidak perlu ribut-ribut. Mungkin kalau engkau berteriak, para anjing pengawalmu itu akan mengeroyokku sampai tewas, akan tetapi sebelum mereka sempat melakukan hal itu, lebih dulu aku akan memukul pecah kepalamu! Engkau menurut saja, kawal aku sampai lolos dari kerajaan dan aku tidak akan membunuhmu, biar pun engkau sudah sepatutnya dibunuh!”
Sambil berkata demikian, Pangeran Panji Sigit lalu menggandeng tangan Suminten keluar dari kamar itu. Suminten yang maklum bahwa kalau ia melawan, tentu pangeran ini tidak akan segan-segan untuk membunuhnya, menjadi pucat mukanya, menggigit bibirnya dan mendesis,
“Engkau kejam, engkau tak tahu dicinta orang. Ada jalan ke surga, mengapa memilih neraka?”
“Tak usah banyak rewel. Surgamu merupakan jalan menuju neraka bagiku!” jawab Pangeran Panji Sigit sambil menarik tangan ibu tirinya itu keluar dari gedung.
“Pangeran Panji Sigit, engkau dikhianati isterimu dan sahabatmu, mau apa engkau pergi dari sini? Apakah engkau hanya ingin dijadikan bahan tertawaan dan ejekan orang? Tinggal saja di sini sebagai seorang pangeran terhormat dan kalau engkau ingin menjadi pangeran pati...”
“Cukup, tak usah banyak cakap lagi dan jangan mencoba untuk melawan. Aku tidak main-main dan engkaulah orangnya yang akan tewas lebih dahulu, kalau ada yang menghalangi aku.”
Suminten mengeluarkan isak tertahan dan tidak bersuara lagi. Para pengawal yang melihat Suminten keluar bergandeng tangan dengan Pangeran Panji Sigit, tidak menjadi heran karena memang selir muda ini sudah biasa menggandeng para pangeran muda yang tampan.
Akan tetapi keadaan dua orang muda itu yang mengherankan para pengawal. Pakaian mereka kusut, rambut juga belum disisir, bahkan agaknya baru bangun tidur. Wajah dua orang itu sama sekali tidak membayangkan kemesraan, bahkan kelihatan kaku dan keruh. Namun para pimpinan pengawal tidak berani bertanya, hanya memimpin anak buahnya untuk memberi hormat kepada selir muda yang sesungguhnya menjadi junjungan pertama mereka itu.
“Jaga di sini baik-baik, aku hendak pergi berjalan-jalan sebentar dengan puteranda pangeran,” kata Suminten, suaranya tenang dan biasa sungguh pun mukanya keruh. Pangeran Panji Sigit menarik napas lega. Ia tadi sudah siap untuk memukul pecah kepala wanita ini lebih dulu sebelum mengha dapi pengeroyokan. Akan tetapi, ucapan Suminten itu membuka jalan ke arah kebebasan baginya dan ia terus menggandeng tangan wanita itu yang mulai terasa dingin, keluar dari lingkungan istana.
Akan tetapi Pangeran Panji Sigit terlalu memandang rendah Suminten dan anak buahnya. Biar pun tadi Suminten mengeluarkan kata-kata yang membuka jalan kebebasan baginya, namun tanpa ia ketahui, Suminten telah membuat gerakan dengan jari tangannya yang dilihat oleh pimpinan pengawal. Gerakan jari tangan yang merupakan isyarat bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga begitu Suminten dan pangeran muda itu lewat, pemimpin pengawal segera lari menemui Pangeran Kukutan dan melaporkan hal itu.
“Hamba khawatir sekali, gusti. Kepergian beliau agaknya bukan sewajarnya, melihat dari wajah beliau yang keruh,” demikian pengawal itu menutup pelaporannya.
Pangeran Kukutan mengerutkan keningnya. Hatinya sebetulnya sudah merasa tidak senang sekali melihat betapa Suminten mengeram Pangeran Panji Sigit dalam kamarnya.
Dia bukan seorang pecemburu. Tidak, terhadap Suminten dia tidak bisa merasa cemburu lagi.
Mereka sudah saling mengenal dan saling bersepakat untuk mendapat kebebasan sepenuhnya dalam memilih kekasih. Setiap malam wanita itu boleh saja berganti pria yang menemaninya. Akan tetapi Pangeran Panji Sigit ini lain lagi. Bukankah pangeran muda itu satu-satunya pangeran yang amat disayang ramandanya? Bukankah sebelum ia diangkat menjadi pangeran pati, sebetulnya ramandanya lebih condong untuk memilih Pangeran Panji Sigit menjadi pangeran pati atau, pangeran mahkota?
Kini Suminten merayu pangeran yang menjadi musuh utama atau menjadi saingan terberat baginya itu. Setelah berhasil memecah-belah empat orang itu, mengapa tidak turun tangan menangkap Pangeran Panji Sigit? Saatnya tepat, kesempatan terbuka untuk menjatuhkan tuduhan bahwa pangeran itu mempunyai niat memberontak dan berkhianat kepada kerajaan, dengan bukti terbunuhnya banyak pengawal di tangan Pusporini dan Joko Pramono! Juga banyak saksi-saksi, di antaranya yang terpenting adalah pembantunya yang menyamar sebagai Ki Mitra, yang telah mendengar akan siasat mereka sebagai pembantu-pembantu Darmokusumo dan Tejolaksono dari Panjalu, menjadi mata-mata menyelidiki keadaan kerajaan ramandanya sendiri!
“Biar kukejar dan tangkap keparat itu”
Pangeran Kukutan berkata lalu cepat pergi, tentu saja bukan untuk menangkap dengan kedua tangan sendiri karena dia merasa jerih terhadap Pangeran Panji Sigit yang kini telah menjadi seorang pria yang amat sakti itu. Dia pergi menemul Cekel Wisangkoro yang kebetulan sekali malam tadi datang berkunjung secara diam-diam dan kini berada di dalam kamar yang disediakan untuk tamu-tamu rahasia yang dihormati.
Dengan mudah Pangeran Panji Sigit dapat lobos keluar dari istana, akan tetapi barn saja ia menggandeng Suminten keluar dari pintu gerbang lapis ke tiga, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan kuning dan dari atas pintu gerbang itu menerjangnya dengan sebatang tongkat yang berbentuk ular hitam. Serangan ini cepat sekali datangnya, tongkat berubah menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara mengaung sebagai tanda betapa cepat dan kuatnya tongkat digerakkan menghantam ke arah kepala Pangeran Panji Sigit!
“Pengecut!”
Pangeran muda itu mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang terus berjungkir balik dan meloncat agak jauh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Ketika ia berdiri tegak memandang, ia melihat Pangeran Kukutan sudah menggandeng tangan Suminten, dan di depannya menghadangi seorang kakek tinggi kurus bermuka halus kemerahan, akan tetapi hidungnya seperti paruh kakaktua, rambutnya yang penuh uban terurai panjang sampai di pinggangi jubahnya kuning baru dan bersih akan tetapi kakinya telanjang dan tongkat hitam yang berbentuk ular itu memang sesungguhnya seekor ular besar yang sudah dikeringkan! Di sebelah kanan kakek mi berdiri Ki Patih Warutama yang tersenyum mengejek sehingga Pangeran Panji Sigit menjadi marah sekali.
“Ah, kiranya persekutuannya telah lengkap sekarang!” kata Pangeran Panji Sigit. “Aku ingin sekali mendengar apa yang akan dikatakan ramanda sinuwun. kalau dapat menyaksikan selirnya, patihnya, dan puteranya untuk menjatuhkan aku, dibantu oleh seorang pendeta palsu!”
“Pangeran Panji Sigit, memang akan menarik sekali kalau andika mendengar perintah sang prabu yang baru saja dijatuhkan kepada saya, yaitu bahwa saya diberi wewenang untuk membasmi dan membunuh andika dan tiga orang sekutu andika yang telah berkhianat dan menjadi matamata yang menyelidiki Kerajaan Jenggala!”
“Omongan keji dan bohong! Andai kata kanjeng rama mengeluarkan perintah seperti itu pun hanya karena fitnah yang kalian jatuhkan! Kalian adalah persekutuan busuk yang hendak merampas Kerajaan Jenggala dengan cara keji dan halus, membunuhi para ponggawa setia, menjauhkan kanjeng rama dari hamba-hamba setia agar dapat kalian kuasai! Aku tahu! Ya, aku tahu akan semua kepalsuan kalian!”
“Keparat bermulut lancang kau!” Pangeran Kukutan memaki. “Paman patih dan Paman Cekel, harap lekas turun tangan membunuh pengkhianat ini!”
Cekel Wisangkoro, kakek itu, terkekeh dan kembali ia menerjang maju dengan tongkat ularnya. Pangeran Panji Sigit yang sudah menjadi marah dan nekad sekali melakukan perlawanan, mengelak ke kiri sambil balas memukul dengan sebuah tamparan ke arah kepala kakek itu. Namun, Cekel Wisangkoro adalah murid yang sakti dari Wasi Bagaspati, sambil terkekeh ia menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya sehingga kedua lengan itu beradu,membuat sang pangeran terjengkang ke belakang sambil terhuyung, sedangkan kakek itu hanya mundur dua langkah.
“Heh-heh, Pangeran Muda, lebih baik menyerah dan siap menerima hukuman!” kata kakek itu dengan nada memandang rendah.
“Paman Cekel, bunuh saja!” bentak Ki Patih Warutama yang telah berunding dengan Pangeran Kukutan dan mendapatkan kata sepakat untuk membunuh Pangeran muda yang berbahaya ini.
Dia sendiri sudah menerjang maju, gerakannya seperti kilat menyambar, bahkan ki patih ini sekali maju telah mencabut kerisnya yang mengeluarkan sinar kehijauan, yaitu keris pusaka Naga-kikik yang berluk tujuh.
Melihat sambaran sinar hijau ini, Pangeran Panji Sigit terkejut dan kembali ia terpaksa membuang diri ke belakang dan melakukan loncatan berjungkir-balik. Namun ban' saja ia berdiri tegak, sinar hitam tongkat Cekel Wisangkoro sudah menyambar dari arah samping.
Biar pun pangeran ini cepat mengelak, namun ujung tongkat itu masih menciumnya, membuatnya jatuh terguling. Betapa pun juga, pangeran muda ini bukan seorang lemah dan memiliki keberanian yang didorong kenekadan luar biasa. Ia mengerti bahwa lawan-lawannya akan mengirim serangan maut, maka begitu tubuhnya terjatuh, ia menggunakan kedua tangan menekan tanah dan sambil mengeluarkan teriakan keras, ia mencelat ke atas mengirim tendangan ke arah lawan terdekat, yaitu Ki Patih Warutama!
Serangan ini tidak terduga-duga datangnya sehingga biar pun ki patih yang sakti itu cepat miringkan tubuh, pahanya masih saja kena didupak sehingga ia pun terpelanting jatuh berbareng dengan terpelantingnya tubuh Pangeran Panji Sigit yang kembali kena dihantam pundaknya dengan tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro!
Dengan gemas Pangeran Kukutan meloncat maju dengan pedang di tangan, siap ditabaskan ke batang leher adik tirinya, akan tetapi tiba-tiba terdengar jerit Suminten,
“Jangan bunuh! Tangkap saja dia!”
Suara selir raja ini amat berpengaruh sehingga pada saat itu, tiga orang yang sudah siap dengan senjata di tangan itu, menarik kembali senjata mereka dan Ki Warutama menubruk ke depan, menelikung kedua lengan Pangeran Panji Sigit yang masih merasa lumpuh tangannya karena pukulan tongkat pada pundaknya.
Ia dibelenggu dan digiring kembali di dalam istana, kemudian atas perintah Suminten, pemuda bangsawan itu dijebloskan ke dalam kamar tahanan bawah tanah yang tersedia di dalam lingkungan istana.
Atas perintah yang sangat dari Suminten, pangeran muda itu biar pun menjadi seorang tawanan namun is ditempatkan di dalam sebuah kamar di bawah tanah yang cukup indah dan menyenangkan, sama sekali bukan sebagai kamar tahanan, melainkan sebuah kamar tidur yang lengkap dengan pembaringan indah dan sutera-sutera berkembang menghias kamar.
Akan tetapi, untuk mencegah pangeran muda yang berani dan nekat ini memberontak dan melarikan din, kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu baja, bahkan lehernya juga dibelenggu sehingga biar pun Pangeran Panji Sigit dapat bergerak bebas dalam kamar, namun sukarlah baginya kalau hendak mencoba melarikan diri.
Pangeran Panji Sigit termenung di dalam kamar tahanan itu. Hidangan dan minuman lezat yang disuguhkannya tidak disentuhnya. Ia duduk termenung di atas pembaringannya dengan wajah pucat dan Pandang mata yang suram, kening berkerut. Ia tidak merasa susah karena menjadi tawanan, bahkan menghadapi kematian pun ia tak akan gentar.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar