PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-72

“Paman butuh bantuan? Biarlah aku membantumu, Paman.”
Pemuda itu menyingsingkan lengan baju dan celananya, kemudian turun ke sawah.
“Hemm, andika seorang pemuda yang aneh. Apa maksudmu mencampuri urusan orang lain, mencela dan membantu? Apakah pamrihmu hendak membantuku, orang muda?”
“Pamrih? Perbuatan yang berpamrih bergelimang kepalsuan, Paman. Membantu orang lain didasari pamrih, bukanlah bantuan namanya, melainkan usaha tercapainya pamrih itu sendiri. Bagiku, membantumu bekerja adalah wajar, Paman. Andika membutuhkan bantuan karena kerbaumu mogok, dan aku datang membantu, itu sudah wajar, sudah tepat, seperti tepatnya orang lapar makan dan orang haus minum. Ada pamrih apa lagi?”
Pemuda itu lalu menuntun kerbau yang mogok tadi dan anehnya kerbau itu menurut saja dituntun minggir, tidak seperti tadi, digebuki masih tetap mendekam.
Setelah kerbau dan lukunya dibawa ke pinggir, pemuda itu lalu mengambil cangkul dan tanpa banyak cakap lagi mulailah mencangkuli tanah yang belum terluku. Petani itu memandang dengan mata lebar, lalu menggeleng-geleng kepala tidak mengerti akan sikap pemuda ini, akan tetapi diam-diam girang juga hatinya mendapat seorang pembantu suka rela yang melihat caranya mengayun cangkul boleh diharapkan akan dapat mengejar ketinggalan pekerjaannya karena kerbau mogok tadi. Ia pun lalu menyambar cangkul sebuah lagi dan bekerja tekun seperti lajimnya para petani bekerja di sawah.
Kelihatannya biasa saja pemuda itu bekerja, akan tetapi betapa girang dan herannya petani itu ketika melihat bahwa hasil cangkulnya pemuda itu empat lima kali lebih cepat dan banyak dari pada hasil pekerjaannya sendiri. Dengan demikian maka dibantu pemuda ini tidaklah lebih lambat dari pada kalau dibantu kerbaunya menarik luku!
Lewat tengah hari, seorang gadis ke sawah itu, membawa sebuah bakul berisi nasi bersama sambel wijen dan ikan lele bakar. Bakul itu disunggi di atas kepala, dipegangi tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencangking sebuah kendi berisi air.
“Pak, berhenti dulu. Mengaso dan makan!” serunya dengan suara yang renyah melengking.
“Wah, kau sudah datang, Mil Siapkan dua pincuk (piring daun pisang), kami sudah lapar sekali!”
Gadis yang usianya paling banyak tujuh belas tahun, bertubuh ramping padat berkulit hitam manis dengan wajah yang manis sekali itu mengangkat muka memandang ke arah pemuda berkulit putih yang membantu ayahnya. Kebetulan pada saat itu si pemuda juga menengok ke arahnya dan si gadis tersenyum malu-malu, kemudian menjawab,
“Baik, Pak!”
“Hayo mengaso dan makan dulu, Nak.”
Pemuda itu mengangguk, melepas cangkulnya dan menghapus peluh di dahi dengan lengannya.
Kemudian mereka berdua mencuci tangan dengan air kendi lalu duduk di atas galengan sawah. Pemuda itu mendapat kenyataan betapa gadis petani ini benar-benar manis dan cantik sekali, kecantikan aseli tanpa bantuan bedak dan mangir sehingga ia memandang kagum.
“Paman, anak daramu cantik dan manis sekali!” kata pemuda itu.
Kembali petani itu terbelalak melihat sikap dan ucapan yang blak-blakan dan tulus ini, akan tetapi sebagai seorang pria yang sudah banyak pengalaman ia tidak melihat adanya pandang mata kurang ajar sehingga kembali ia tertegun.
Pemuda ini benar-benar seorang manusia aneh dan tidak lumrah! Akan tetapi pujian yang membuat gadis itu tiba-tiba melengos dan menyembunyikan mukanya yang menjadi merah itu membikin hati kakek petani ini gembira, akan tetapi berbareng juga mengingatkan kakek itu akan kesulitan yang dihadapinya.
“Itulah yang membikin aku tadi menggebuki kerbauku, Nak.”
“Pak...! Si Wage kaugebuki? Kenapa?” tiba-tiba gadis itu bertanya sambil memandang bapaknya.
“Dia mogok, mungkin sakit...!”
“Ah, kasihan Si Wage...!”
Gadis itu lalu bangkit berdiri dan berlari menghampiri kerbau yang kini makan rumput di pinggir sawah. Ketika berlari, tubuh ramping padat itu mendatangkan pemandangan yang amat mempesonakan.
“Paman, apakah artinya ucapanmu tadi?” tanya si pemuda sambil mengepal nasi dicocol sambel dan ditemani secuwil daging ikan lele panggang, lalu memasukkannya ke mulut.
Petani itu mengunyah nasi yang memenuhi mulutnya dan menelan dengan anggukan kepala, kelihatan nikmat sekali. Memang sesungguhnyalah bahwa kenikmatan makan seorang petani yang telah bekerja keras dan lelah di bawah terik panas matahari biar pun hanya nasi dengan sambal, mengatasi kenikmatan makan seorang raja yang menghadapi hidangan puluhan macam banyaknya!
“Memang demikian, Nak. Sutarmi anakku itu amat cantik, kembangnya dusun ini, dan kecantikan nya itulah yang memaksa aku tadi naik darah menggebuki kerbauku. Soalnya Kepala dusun menjatuhkan pajak yang amat besar berupa hasil sawahku, lebih setengahnya diharuskan untuk disetorkan kepadanya. Karena tahun-tahun yang lalu hasil sawahku kurang baik dan mendiang isteriku pada waktu itu sakit-sakit saja sehingga mengeluarkan banyak biaya, maka aku jadi berhutang banyak pajak. Akhir-akhir ini, melihat kecantikan anakku, ketua dusun menyatakan bahwa kalau panen depan ini aku tidak dapat melunasi hutang, jalan satu-satunya agar gusti patih, yaitu yang menguasai daerah pertanian di sini, tidak marah, aku hams menyerahkan Sutarmi kepada kepala dusun untuk dipersembahkan kepada gusti patih. Katanya untuk dijadikan abdi dalem, akan tetapi aku sudah tua dan sudah banyak mendengar bahwa “
Petani itu menunda kata-katanya dan celingukan ke kanan kiri.
“Bahwa bagaimana, Paman?”
“Bahwa gusti patih paling gemar akan gadis-gadis muda yang cantik, untuk diselir tentunya,” kakek itu berbisik. “Demikianlah, aku harus bekerja keras agar panen depan dapat melunasi hutang atau akan menjadi korbanlah anakku karena kecantikannya. Ketika Si Wage mogok, aku menjadi marah tadi...!” Pemuda itu mengangguk-angguk.
“Ahh, tepatlah pendapat orang-orang pandai di jaman dahulu bahwa setiap hal yang mendatangkan kesenangan, pasti dapat pula mendatangkan kesusahan, seperti halnya engkau mempunyai seorang anak gadis cantik, Paman. Di samping mendatangkan kesenangan dan kebanggaan, sekarang ternyata mendatangkan kesusahan dan kesulitan. Akan tetapi, tidak ada hal yang tak dapat diatasi dengan akal bud!, Paman.”
“Akal budi bagaimana? Satu-satunya jalan harus membayar hutang.
Kakek itu menghela napas dan melanjutkan makannya. Gadis hitam manis itu, Sutarmi, kini kembali ke situ setelah tadi mengelus-elus leher dan kepala Si Wage.
“Pak, lain kali jangan menggebugi Si Wage, kasihan!” katanya merengut.
“Memang, Mi seharusnya engkaulah yang kugebuki karena kecantikanmu. Kalau saja engkau tidak secantik ini tentu tidak akan terpilih sebagai abdi dalem gusti patih,” ayahnya mengomel.
“Ah, Bapak kembali membingungkan hal itu. Sudah kukatakan bahwa panen depan ini kita pasti akan dapat melunasi pajak. Kalau tidak pun, alai akan bekerja keras di kepatihan, tidak akan mengecewakan Bapak. Pula, apa sih jeleknya menjadi abdi dalem kepatihan, Pak?”
Ayahnya menggeleng-geleng kepala.
“Aahhh, engkau tidak tahu engkau tidak tahu dan kalau sudah tahu akan terlambat. Lebih baik engkau bermuka buruk akan tetapi terhindar dari pada malapetaka “
“Paman, kurasa kalau Paman hanya menghendaki adik ini menjadi buruk mukanya, mudah sekali.”
“Apa kau bilang? Apa maksudmu?” tanya petani itu menghentikan cucuran air kendi yang tengah digelogoknya.
“Aku mempunyai semacam obat yang akan membuat muka adik Sutarmi menjadi belang-belang dan hitam-hitam sehingga ketua dusun akan jijik melihatnya...!”
“Aku tidak mau! Aku tidak mau mukaku menjadi menjijikkan!” Sutarmi berkata dan memandang wajah pemuda tampan itu dengan marah.
Pemuda itu tersenyum. “Bukan menjadi buruk seterusnya, Dik. Melainkan buruk dan belang-belang menghitam karena obatku dan untuk menghindarkan Adik dari pada incaran ketua dusun. Kalau bahaya telah lewat, dengan obat lain wajah Adik akan menjadi bersih dan halus kembali.”
“Ehh...? Betulkah? “
Ayah dan anak itu memandang pemuda itu penuh keheranan, juga penuh harapan.
“Paman dan Adik Sutarmi membutuhkan jalan keluar untuk menghindarkan hal yang tidak kalian sukai, dan aku dapat memberi jalan itu, tentu saja aku tidak berbohong. Aku akan membuat muka Adik Sutarmi menjadi buruk sekali dan Paman dapat mengatakan bahwa dia terkena penyakit. Kutanggung tidak akan ada dukun yang mampu mengobatinya. Kemudian, kalau bahaya sudah lewat, atau sebaiknya kalau Paman dan Adik pindah saja ke daerah lain, dengan obat lain, muka yang menggitam itu akan dapat bersih kembali.”
Petani itu berseri wajahnya.
“Ah, akal ini bagus sekali! Anak muda yang aneh dan budiman. Lekas kauberikan obat pemunah muka cantik menjadi muka buruk itu!”
“Obatnya ada pada telapak tanganku, Paman. Adapun obat penawarnya, cukup dipupuri tanah sawah. Bolehkah kucoba sekarang?”
“Cobalah... cobalah...!” petani itu mendesak.
Pemuda itu menghampiri Sutarmi yang duduk bersimpuh.
“Tengadahkan mukamu dan pejamkan matamu, Dik. Aku akan mengubah kulit mukamu menjadi buruk.”
Sejenak mata gadis itu menatap wajah si pemuda, akan tetapi ketika pandang mereka bertemu, gadis itu mendapat perasaan yang aneh, yang membuat ia menaruh kepercayaan besar dan perasaan pasrah. Ia mengangguk, kemudian mengangkat muka dan memejamkan matanya. Akan tetapi hanya sebentar karena ia membuka matanya kembali dan bertanya,
“Sakitkah?”
Pemuda itu tersenyum lebar dan menggeleng kepala. Setelah Sutarmi memejamkan matanya kembali, pemuda itu lalu menggunakan tangan kiri untuk memegang dagu kecil meruncing manis itu, dan mengusapkan telapak tangan kanannya di seluruh muka Sutarmi.
Terdengar napas tersentak ketika si petani melihat betapa muka anaknya secara mendadak telah berubah hitam! Kalau hanya hitam saja dan merata, tidak apa. Akan tetapi hitamnya tidak rata, totol-totol sehingga membuat muka itu menjadi buruk sekali. Pemuda itu melangkah mundur dan duduk lagi sambil berkata,
“Sudah selesai, Dik.”
Sutarmi membuka matanya, memandang pemuda itu yang tersenyum-senyum dan mengira bahwa tentu pemuda itu membohonginya karena ia sama sekall tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi ketika ia memandang wajah ayahnya yang melotot matanya dan melongo mulutnya, gadis ini cepat lari mendekati kali kecil di pinggir sawah untuk melihat bayangannya sendiri di air. Ia menjenguk dan... tiba-tiba ia menangis.
“Aku tidak mau begini... hii hiii... aku tidak mau...!”
Kembali ia menjenguk dan memandang ke air dengan air mata bercucuran dan kembali menjerit-jerit dan menangis. Kemudian Sutarmi lalu menggunakan air kali untuk mencuci mukanya, menggosok-gosoknya dengan tangan dan ujung kemben.
Ketika ia bercermin lagi di air dan melihat mukanya masih tetap belang-belang hitam, ia lalu mengambil batu dan menggosok-gosok mukanya dengan batu dan mencucinya kembali. Akan tetapi hasilnya tidak ada, mukanya tetap totol-totol hitam dan buruk sekali.
“Aku tidak mau...! Ah, engkau manusia kejam... mengapa membikin mukaku menjadi begini...?”
Dalam kesedihan dan kemarahannya, Sutarmi lalu berlari menghampiri pemuda itu dan menggunakan kedua tangannya hendak memukul dan mencakar.
“Tarmi, jangan!” teriak ayahnya yang maju dan memegangi kedua tangan anaknya. Sutarmi menangis mengguguk.
“Pak, lebih baik aku mati saja... hii-hiii... mukaku menjadi begini buruk menjijikkan...!”
“Jangan khawatir, Dik Tarmi. Sudah kukatakan tadi bahwa segala macam obat atau air tidak akan mampu menghilangkan warna hitam itu, dan segala dukun takkan mampu mengobati. Akan tetapi kalau engkau menghendaki kulit mukamu pulih kembali, kau pupuri dengan tanah sawah, jika Sang Hyang Widhi menghendaki, pasti akan pulih kembali.”
Mendengar ini, Sutarmi merenggutkan tangannya terlepas dari ayahnya, lari ke tengah sawah, mengambil lumpur dan memupuri mukanya dengan lumpur sampai rata.
Saking tergesa-gesa, matanya kemasukan lumpur dan ia tersandung-sandung ketika lari ke air untuk mencuci mukanya yang penuh lumpur.
Sekali saja ia menyiramkan air ke mukanya, warna hitam itu lenyap sama sekali. Tarmi bercermin dan melihat mukanya sudah pulih kembali, ia... menangis lagi saking girangnya!
“Wah-wah, Tarmi. Apakah engkau sudah menjadi gemblung (gila)? Mukamu menjadi hitam menangis, sekarang sudah pulih menangis juga!”
“Berduka mengeluarkan air mata, bersuka juga mengeluarkan air mata. Duka maupun suka bagi air mata memang sama saja, Paman, hanya merupakan permainan hati manusia.”
Kemudian pemuda itu berkata kepada Tarmi yang sudah berhenti menangis,
“Bagaimana, Dik. Sudah percayakah engkau? Apakah sekarang engkau suka membiarkan mukamu kubikin hitam lagi untuk menghindarkan dirimu dari pada bahaya dan menghindarkan ayahmu dari kesusahan?”
“Harus kau lakukan, Anakku. Sampai urusan ini Beres dan bahaya lewat, kelak mudah saja mengobati mukamu, di mana-mana di dunia ini terdapat tanah sawah!”
Sutarmi memandang pemuda itu, mengangguk sambil tersenyum. Kini ia mengangkat mukanya dengan muka berseri dan memejamkan matanya ketika pemuda itu mengusap mukanya dengan telapak tangan kanan sehingga muka gadis itu kembali menjadi belang-belang menghitam, buruk dan menjijikkan dalam pandangan pria yang matanya bernapsu. Seperti tadi, Sutarmi bercermin di air dan kini ia tertawa geli.
“Paman, dan Dik Tarmi, sekarang perkenankan aku pergi.” Tanpa menanti jawaban pemuda itu menghampiri kerbau dan menepuk-nepuk pundaknya. “Kerbau, bantulah majikanmu. Memang sudah menjadi nasibmu hams membantu manusia, berbahagialah dalam menunaikan kewajibanmu.” Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi dari pinggir sawah, diikuti pandang mata Tarmi dan pandang mata petani itu yang terbelalak keheranan melihat kini kerbaunya bangkit berdiri dan tampak segar bersemangat.
“Nanti dulu, Nak! Perkenalkanlah namamu...!”
Pemuda itu menghentikan langkah, menoleh dan berkata sambil tersenyum, “Namaku Bagus Seta, Paman!” Ia lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi lagi dengan langkah ringan.
Bagus Seta kini telah menjadi seorang pemuda yang berpakaian sederhana dan mempunyai wibawa yang aneh. Gerak-geriknya halus, sikapnya bersahaya, sama sekali tidak membayangkan kekuatan, akan tetapi sepasang matanya yang jernih itu mengandung pengaruh halus yang akan melemahkan hati orang yang keras, dan akan mendatangkan rasa segan karena seolah-olah pandang mata itu dapat menjenguk di dasar yang paling dalam dari hati orang.
Ia baru beberapa pekan turun dari puncak Gunung Bromo, puncak terakhir di mana is dibawa gurunya, Sang Sakti Bhagawan Ekadenta, setelah selama lima tahun gurunya membawanya ke puncak-puncak gunung hampir di seluruh tanah Jawa. Masih bergema di telinganya pesan gurunya ketika menyuruhnya meninggalkan puncak,
“Kulup Bagus Seta, kini telah tiba saatnya engkau harus turun gunung dan tiba saatnya kita harus saling berpisah.Kiranya tidak perlu lagi kuulangi semua wejangan dan pelajaran yang telah kuberikan kepadamu selama ini. Dan aku pun tidak akan memaksamu melakukan sesuatu karena segala sesuatu yang akan kaulakukan adalah bebas dan terserah atas keputusanmu sendiri, Kulup. Hanya satu hal saja yang kuingin ingatkan kepadamu agar kau camkan di dalam hati sanubarimu.”
“Hamba siap mendengarkan petunjuk Eyang dan siap pula melaksanakan segala perintah Eyang,”
kata Bagus Seta ketika kakek itu berhenti sebentar untuk menghirup udara sejuk bersih puncak Gunung Bromo.
“Ingatlah selalu bahwa tidaklah sia-sia manusia dihidupkan di dunia ini. Hidup adalah perjuangan yang tak kunjung henti, perjuangan manuju ke titik terakhir yang menjadl puncak kesempurnaan. Hidup barulah tidak sia-sia dan berhasil apa bila engkau selalu radar bahwa perjuangan itu adalah pelaksanaan kewajiban. Tanamkan dalam sanubarimu bahwa setiap gerak hidup hams didasari pelaksanaan kewajiban itulah. Apakah kewajiban manusia hidup? Tengoklah di sekelilingmu, Kulup. Pandanglah Sang Surya dan kenalilah sifat-sifatnya, pandanglah bulan dan bintang, awan dan angin, segala macam tetumbuhan dan segala mahluk. Adakah mahluk yang tiada manfaat atau kegunaannya dalam dunia, yaitu kegunaan atau kemanfaatannya bagi benda atau mahluk lath? Kalau toh ada kautemukan benda atau mahluk yang tidak berguna bagi yang lain, hal itu hanya karena engkau belum mengerti akan kegunaannya, masih belum terbuka rahasia alam yang ada pada benda atau mahluk yang kauanggap tidak berguna itu. Semua Benda dan mahluk di dunia ini bermanfaat bagi makhluk dan Benda lain. Dan itulah kewajiban diciptakannya semua alam mayapada dan isinya. BERGUNA BAGI BENDA DAN MAHLUK LAIN. Lebih mudah lagi, bagi manusia kewajibannya adalah berguna bagi manusia lain! Dengan demikian, maka engkau berarti telah hidup sesuai dengan kehendak alam, berarti sudah wajar dan dapat menuju ke titik kesempurnaan itu. Nah, selamat berjuang, Kulup Bagus Seta.”
Wejangan-wejangan gurunya masih teringat semua oleh Bagus Seta.
Semuda itu ia telah digembleng oleh gurunya dalam hal ilmu-ilmu kesalctian dan wejangan-wejangan kebatinan yang dalam. Semuda itu ia sudah dapat menangkap inti sari wejangan gurunya. Bahwa ia hams memanfaatkan hidupnya bagi kepentingan orang lain, karena inilah kewajibannyaa, inilah tugas hidup dia sebagai manusia. Adapun apa dan bagaimana pilihannya dalam sepak terjangnya, oleh gurunya diserahkan kepada dirinya sendiri, berarti diserahkan kepadanya untuk menilai dan memilih.
Bagus Seta adalah putera seorang satria. Adipati Tejolaksono, seorang sakti yang berjiwa patriot, yang rela berkorban untuk nusa dan bangsanya. Sifat ini, sifat ayahnya, ibunya, bahkan sifat nenek-neneknya yang juga semua berjiwa patriot, membekas di dalam sanubarinya. Karena itu, ada juga niatnya untuk menghambakan diri kepada nusa dan bangsanya, menentang kekuasaankekuasaan yang hendak menyengsarakan nusa bangsanya.
Pertemuannya dengan petani yang menyinggung soal watak Ki Patih Jenggala, yang sewenang-wenang dan suka sekali mempermainkan anak gadis orang, membangkitkan pula semangat patriotiknya ini. Dia harus meninjau ke Jenggala sebelum ia mencari ayah bundanya. Harus meninjau Jenggala karena keadaan paman tadi mencerminkan kelaliman yang berkuasa di kerajaan itu. Dan Jenggala termasuk kerajaan yang hams pula dibelanya, karena Jenggala adalah kerajaan keturunan Mataram.
Pertemuannya dengan petani ayah Sutarmi itulah yang menggerakkan hati Bagus Seta sehingga menggerakkan pula kakinya untuk membelok menuju Kerajaan Jenggala. Di sepanjang perjalanan, makin dekat dengan Kota Raja Jenggala, makin banyaklah mendengar keluh-kesah rakyat akan kelalilam para pamong praja Jenggala.
Bukan ini saja yang menarik hatinya, melainkan kenyataan bahwa kini rakyat setengah dipaksa oleh para pamong praja untuk mengganti Agama Wishnu menjadi Agama Syiwa dan Agama Buddha. Bahkan ada didengarnya berita bahwa para pendeta Wishnu banyak yang lenyap secara aneh, dan bahwa sebagian kecil sisa pendeta-pendeta Wishnu kini terpaksa melarikan diri dan bersembunyi ke gunung-gunung yang sunyi.
Kita tinggalkan dulu Bagus Seta untuk menjenguk keadaan di dalam tempat tahanan di istana Jenggala. Di dalam sebuah ruangan tahanan yang berbentuk persegi dan terbuat dari pada dinding batu-batu tebal tampak empat orang muda terbelenggu dengan rantai-rantai baja yang amat tebal dan kuat.
Kedua lengan mereka, pada pergelangan tangan, terbelenggu dan karena rantai itu dikaitkan pada besi pengait yang dipasang di dinding di atas kepala mereka, maka mereka berempat terpaksa mengangkat kedua lengan mereka di kanan kin dan dalam keadaan seperti itu sukar sekali bagi mereka untuk mencoba melarikan diri atau mempergunakan kekerasan.
Mereka dibelenggu pada dinding itu berjajar. Paling kanan adalah Pusporini, di sebelah kirinya Joko Pramono,. kemudian Setyaningsih dan paling ldri adalah Pangeran Panji Sigit. Ketika mereka berempat itu siuman dari pingsan, mereka mendapatkan diri mereka telah berada didalam kamar tahanan ini.
Pangeran Panji Sigit menoleh ke kanan, terkejut melihat Joko Pramono juga terbelenggu di sebelah kanan isterinya bersama Pusporini, mereka berpandangan mata dan pangeran itu berkata dengan suara dingin dan tajam melebihi pedang habis diasah,
“Joko Pramono, setelah engkau berhasil memikat burung, mengapa tidak memelihara dan menjaga burung itu baik-baik akan tetapi membiarkannya celaka dan terancam maut?”
Tentu saja Joko Pramono tahu apa makna ucapan ini, akan tetapi ia sudah maklum betapa pangeran ini, seperti halnya Pusporini, juga menjadi korban tipu muslihat keji dan curang dari Suminten, maka dengan sikap sabar dan bibir tersenyum ia menjawab,
“Kakangmas Pangeran, burung itu suci, tidak terpikat dan juga tidak pernah kupikat, melainkan sedang gelisah mencari pasangannya yang terkurung dan aku bersama Pusporini hanya membantunya untuk berusaha menolong pasangannya...”
“Joko Pramono! Sungguh pun rayuanmu berhasil menjatuhkan hati isteri orang, jangan harap akan dapat menjatuhkan hatiku, setelah mataku sendiri menyaksikan semua yang teijadi. Aku tidak mendendam, aku rela menyerahkannya kepadamu, rela mengalah kalau memang dia cinta kepadamu, aku... aku...”
“Kakangmas Pangeran!” Terdengar Setyaningsih menjerit lirih di sampingnya, sedangkan Pusporini berbisik kepada Joko Pramono,
“Kau maafkanlah dia seperti engkau memaafkan aku, Joko.”
Joko Pramono tersenyum dan memandang ke depan.
“Tidak ada yang dimaafkan, Rini, karena memang seperti engkau juga, dia tidak bersalah. Melainkan si iblis betina itulah yang bersalah.”
“Rakanda Pangeran, jangan menuduh yang bukan-bukan terhadap Joko Pramono. Dia telah mengerahkan seluruh daya dan tenaganya untuk menolong kita, bahkan rela mempertaruhkan nyawa untuk kita. Dia bersama Pusporini sekarang ikut pula tertawan, untuk siapa lagi kalau bukan untuk membela kita? Paduka telah khilaf, terjebak menjadi korban tipu muslihat keji yang juga mengorbankan Pusporini. Tahukah paduka, bahwa karena kesalah fahaman yang sama seperti paduka, Pusporini hampir saja membunuh Joko Pramono yang tidak berdosa?”
Dengan singkat namun jelas Setyaningsih lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di dalam taman, kemudian tentang pertemuan mereka dengan Ki Wiraman dan Widawati, tentang Ki Mitra yang mereka percaya itu sesungguhnya Ki Mitra palsu, mata-mata yang sengaja dipergunakan oleh Suminten untuk memalsu Ki Mitra yang telah dibunuh.
Pangeran Panji Sigit mendengarkan dengan mata terbelalak, mukanya menjadi berubah-ubah, sebentar merah sebentar pucat. Apa lagi ketika ia mendengar penjelasan dari Pusporini kemudian dari Joko Pramono, tak tertahankan olehnya lagl dua titik air mata membasahi pelupuk matanya ketika ia memandang kepada Joko Pramono.
“Dimas...Dimas Joko Pramono... maukah andika mengampuni aku yang seperti buta mata ini?” katanya dengan suara menggetar saking terharu.
Joko Pramono tersenyum lebar.
“Kakangmas Pangeran, paduka tidak bersalah apa-apa, bahkan saya merasa terharu sekali mendengar ucapan dan menyaksikan sikap paduka tadi. Sungguh sikap yang bijaksana dan saya sendiri tak mungkin dapat bersikap sebijaksana paduka andai kata saya yang tertipu seperti paduka. Sekarang tidak perlu kiranya persoalan itu dibicarakan karena sudah jelas bahwa kita semua menjadi korban tipu muslihat keji wanita iblis itu dan bahwa semenjak kita berempat menjejakkan kaki di kota raja ini, kita telah berada dalam cengkeraman mereka, sudah diawasi seluruh gerak-gerik kita. Sekarang kita tertawan, jalan satu-satunya hanya dapat menyerahkan diri dalam tangan Dewata sambil bersikap waspada akan gerakgerik mereka selanjutnya.”
“Andika hebat dan mengagumkan sekali, Dimas. Apa pun yang terjadi, aku tidak menyerah terhadap bujukan Suminten yang berusaha menarik kita menjadi sekutunya. Dari pada mengkhianati Kanjeng Rama, lebih baik aku tewas di tangan iblis betina itu.”
“Tepat sekali, Kakanda. Saya pun rela tewas di samping Kakanda sebagai dharma bakti kita terhadap Kanjeng Rama Prabu dan terhadap kerajaan paduka, Jenggala,” kata Setyaningsih.
“Kita lihat saja apa yang akan dilalakukan selanjutnya oleh wanita iblis itu terhadap kita,” kata Joko Pramono.
Dan apa yang dilakukan selanjutnya oleh Suminten segera dihadapi oleh empat orang muda itu. Suminten adalah seorang wanita yang kukuh dalam mengejar hasrat hatinya. Ia masih tergila-gila kepada Pangeran Panji Sigit, dan takkan puaslah hatinya kalau hasrat itu belum terpenuhi.
Daya upaya dengan muslihat yang betapa rendah dan keji sekali pun akan ditempuhnya untuk mencapai citacita hatinya. Tidak sampai lama setelah mereka berempat sadar, pintu kamar tawanan yang kokoh kuat itu terbuka dan tampaklah Suminten yang dikawal oleh enam orang pengawal bersenjata tombak.
“Kalian menanti dan menjaga di luar!” kata Suminten dengan suaranya yang serak basah mengandung penuh getaran nafsu berahi. Enam orang pengawal yang mudamuda dan kelihatan gagah dan kuat itu membungkuk dengan hormat dan menjaga di luar pintu, sedang Suminten lalu melangkah masuk dan menutupkan daun pintunya.
Ia melangkah maju dan berdiri dalam jarak yang cukup aman, sejauh dua meter sehingga andai kata empat orang tawanan itu yang hanya dapat menggunakan kaki menyerangnya takkan dapat mencapai tubuhnya. Ia tersenyum manis sekali, lalu menggeleng kepalanya dan berkata,
“Sungguh sayang sekali bahwa empat orang muda belia yang gagah perkasa, wanitanya cantik-cantik dan prianya tampan-tampan akhirnya hams mengakhiri hidup dalam keadaan begini menyedihkan. Aku sendiri ikut terharu dan bersedih, akan tetapi apakah yang dapat kulakukan setelah kalian berempat menjadi pemberontak-pemberontak yang membahayakan Kerajaan Jenggala?”
“Suminten, wanita iblis yang kelak menjadi intip neraka jahanam!”
Pangeran Panji Sigit memaki penuh kemarahan karena ia teringat betapa wanita itu telah mengatur tipu muslihat keji sehingga ia sampai kehilangan kepercayaan akan kesetiaan isterinya, bahkan telah menjatuhkan tuduhan rendah terhadap Joko Pramono.
“Tak perlu memutar lidahmu yang seperti lidah ular bercabang! Kami tidak akan mendengarkan dan kalau kau hendak membunuh kami, lakukanlah, kami adalah orang-orang berjiwa satria yang tidak gentar menghadapi kematian!”
“Duh Pangeran yang bagus seperti Harjuna, yang gagah perkasa seperti Gatutkaca, betapa gagah beraninya engkau. Suminten takkan pernah meragukan kegagahanmu, Pangeran. Akan tetapi kaulihatlah baik-baik keadaan isterimu, keadaan Joko Pramono dan Pusporini. Tidakkah engkau merasa kasihan kepada mereka bertiga ini, Pangeran? Mengapa engkau begin kukuh mempertahankan kegagahan dan kekesatriaan sendiri tanpa mengingat akan kehidupan mereka bertiga ini? Engkau menyerahlah dan menjadi pengeran terhormat di sini, menghentikan permusuhanmu denganku, dan aku berjanji akan membebaskan mereka bertiga ini. Tidakkah ini amat murah hati dariku? Tiga orang yang kauhormati dan kaukasihi ini kubebaskan dan sebagai tebusannya, engkau bersekutu dengan aku, meraih kebahagiaan bergelimang kesenangan di sini sebagai seorang pangeran... ah, tidak, sebagai pangeran mahkota di sini!”
Hebat dan muluk bukan main bujuk rayu ini sehingga hati Setyaningsih menjadi amat khawatir, akan tetapi karena ia percaya penuh kepada suaminya, ia tidak berkata sesuatu, hanya memandang Suminten dengan sinar mata penuh kebencian.
Memang sejenak Pangeran Panji Sigit termenung dan memikirkan penawaran ini. Ia tidak berpikir demi, keselamatan dan kepentingan dirinya sendiri. Sama sekali tidak! Jauh dari pada itu. Yang dipikirkan sekarang adalah kemungkinan membebaskan tiga orang muda itu, terutama sekali isterinya, Setyaningsih! Kalau ia berpurapura menurut dan menyerah, kemudian isterinya, Joko Pramono dan Pusporini sudah dibebaskan, bukankah dia dapat memberontak sampai terbunuh mati.....?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar