PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-73


Suminten hanya menghendaki dirinya, maka jalan satusatunya untuk menyelamatkan isterinya, Pusporini dan Joko Pramono adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda, berhak untuk hidup puluhan tahun lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring, tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran Pangeran Panji Sigit itu berkata,
“Heh, Suminten perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kauajukan kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga orang yang dikasihinya. Akan tetapi andai kata aku yang kautawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi kebenaran!”
Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela0pembela kebenaran.
Kalau ia menyerah lalu tewas dan mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup merana dan merasa terhina selamanya. Apa lagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam Suminten.
“Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!”
Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan berkata,
“Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono? Bagaimana pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang kaucinta?”
“Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak kaki iblis betina ini, Joko, silakan akan tetapi aku lebih baik mati!” bentak Pusporini dengan galak.
Joko Pramono tersenyum.
“Jangan khawatir, Rini dewi pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya? Seribu kali lebih baik mati dari pada menyerah kepada wanita ini!”
Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini, malah kini is memandang kepada Setyaningsih yang sejak tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata,
“Setyaningsih, aku tabu betapa engkau mencinta suamimu. Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam bahaya maut? Apakah kau akan tega kalau melihat suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di depan kakimu? Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!”
Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin marah, lalu menjawab,
“Suminten, aku mendengar bahwa engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda Endang Patibroto. Biar pun sekarang dengan kelicikanmu engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu lebih rendah dari pada watak seorang abdi dalem yang paling rendah. Lebih rendah dari pada watak seorang Sudra yang paling hina! Aku adalah adalah seorang wanita berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai mati!”
Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan perasaan tidak senang ini di balik senyum manis.
Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan itu mengandung ancaman yang mengerikan.
“Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang, boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya kalian menyembah dan meratap minta diampuni.”
Setelah berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk mentertawakan Suminten.
“Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar.”
Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalem kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana bahwa keempat orang muda itu telah memberontak.
Widawati memandang suaminya, dan berkata,
“Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua hams menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan di istana.”
Widawati memandang suaminya, dan berkata,
“Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan istana.”
Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan di antara mereka, biar pun terdapat perbedaan usia yang cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang kokoh kuat.
“Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya. Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana.”
“Tidak, Kakang Wiraman. Aku haruss ikut karena ini juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten. Di samping itu, susah terlalu lama kita berkumpul dan sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang? Kita hidup bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah sama diderita?”
Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya yang tercinta itu. Selatna hidupnya, biar pun is dahulu menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman mempunyai selir.
Sekarang, setelah mereka berdua menjadi korban racun ular Wilis sehingga melakukan hubungan sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap wanita ini makin lama makin mendalam.
“Duhal Yayi Widawati, isteriku yang budiman. Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup aman-dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku. Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh dan guru yang pandai!”
Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping bibirnya nampak makin jelas. “Semoga Dewata akan mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita.”
“Semoga begitulah, atau kalau gagal...”
“Kita mati bersama,” sambung Widawati, dan mereka berangkulan dengan hati penuh keharuan.
Tidak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu.
Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling berpisah.
Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya, mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi maut dengan mulut tersenyum.
Demikianlah,pada keesokan harinya,menjelang senja,Wiraman dan Widawati berhasil menyelun dup memasuki kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu menjadi daerah dia bertugas.
Tidak ada lorong atau jalan rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.
Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh “orang-orang dalam” saja.
Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap.
Untuk keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap. Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas agar tidak mengganggu gerakannya.
Adapun Wiraman sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan. Setelah digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati, kepandaian Wiraman meningkat dan kini is menjadi seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan musuh berat.
“Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur tahanan sang pangeran,” bisik Wiraman.
Widawati memandang ke depan. Dan bawah pohon itu, sejauh lima puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar yang atasnya, pada dinding batu diukir muka seorang raksasa sehingga jendela dengan niji-rujinya dari besi itu merupakan mulut raksasa.
Akan tetapi di depan jendela itu terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!
“Dijaga kuat!“ bisik Widawati di dekat telinga Wiraman.
“Jendela itu jalan masuk yang paling mudah, dan penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita hams robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga yang berdiri paling kifi, dialah yang paling lemah di antara mereka. Sanggupkah?”
Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap, Wiraman menyentuh lengan yang berkulit hams itu, berbisik,
“Tunggu sampai mereka menoleh ke arah sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya, jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu.”
Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu menyelinap menyelinap melalui tempat gelap sehingga akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar.
Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat jendela.
Biar pun mulut mereka tidak berbicara, namun sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana mereka akan mempertaruhkan nyawa.
Kalau berhasil, mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di dunia ini. Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan berciuman sebagai pengganti kata-kata.
Ciuman yang amat mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati, mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman, mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban bahwa ia telah siap.
Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah, kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok, bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau menerkam.
Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat di ulu hatinya.
Keris dicabut sambil meloncat ke samping agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu. Wiraman juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar putih berkelabat.
Seorang penjaga roboh seketika dengan leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman. Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat berteriak, keris di tangan Widawati telah amblas memasuki lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam, tak bernyawa lagi.
Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi.
Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.
Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi jendela, kembali ke bawah pohon.
“Tidak ada jalan lain, hams memancing semua penjaga keluar dari tempat tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar tahanan,” bisiknya.
“Cara bagaimana memancingnya?”
Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di atas jendela. “Dengan api.” Ketika melihat kekasihnya mengangguk, Wiraman berbisik lagi,
“Kau tunggu di sini, aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger, pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji jendela.”
Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi. Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan terdengar teriakan-teriakan orang.
Widawati melihat betapa banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai. Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang beruji besi.
“Trangggg “.
Golok itu terpental dan terlepas dari tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.
“Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha, senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!”
Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.
“Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih Brotomenggala? tahanan laknat, rasakan pembalasan Widawati, cucunya!”
Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biar pun kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan gerakannya amatlah dahsyat dan ganas.
Ki Patih Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda yang antik ini adalah cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala.
Tentu saja keturunan Brotomenggala harys dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki yang berwatak bejat ini.
Sambil tertawa ia mengelak, tangan kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahutahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai dada Widawati dengan remasan!
“Jahanam...!” Widawati menjerit.
“Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!” Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas tanah.
“Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama, kita hams menandinginya dan mengadu nyawa!”
“Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi iblis ini!” jawab Widawati.
“Apa? Cucu Brotomenggala ini isterimu? Heh, keparat, siapakah engkau berani membikin kacau di sini?”
“Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu menolong sang prabu “
“Babo-babo, engkau mencari mampus!” Warutama menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala.
Ia telah menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan keris Widawati dengan kerisnya sendiri. Widawati mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya. Akan tetapi ia menerjang tents dengan nekat. Juga Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih barn dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.
Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran. Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak dapat merobohkannya dalam waktu singkat? Juga cucu Patih Brotomenggala ini, biar pun gerakannya terlatih, akan tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi.
Kalau tidak lekas dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman yang tahu akan semua rahasianya dahulu.
Dengan penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya bergulingan di atas tanah seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit berdiri.
“Haaiiiitttt!”
Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga sebelumnya. Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar hijau dingin.
Sinar hijau berkelebat menyentuh dada Wiraman dan Widawati, tampaknya, hanya menyerempet saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah oleh darah yang memancur keluar dari ulu Kati Wiraman dan Widawati.
Kedua orang gagah ini merintih, golok dan keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan menjadi beku darahnya.
Wiraman dan Widawati pun yang tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama.
Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji mesra di kala mereka memadu cinta.
Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama memberi perintah,
“Seret mayat mereka ini, merekalah yang melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alunalun, biar besok semua rakyat dapat melihat!”
Pada keesokan harinya,berduyun-duyun penduduk di sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang penjahat yang membakar gudang istana.
Akan tetapi betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah perkasa dan baik budi.
Apa lagi ketika mereka mengenal mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya semenjak masih kecil. Biar pun tidak ada yang berani secara terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua orang itu, terutama sekali kematian Widawati.
Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang-kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka anggap amat menyedihkan.
Akan tetapi, bagaimanakah sesungguhnya? Adakah kematian mereka itu benar-benar menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu sendiri? Hal ini amat diragukan dan sungguh pun keadaan mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya, kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka tinggalkan untuk selamanya.
Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua sosok mayat itu. kepada penduduk dengan maksud agar mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini menguasai Jenggala.
Akan tetapi, keadaan sesungguhnya bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan pembunuhan-pembunuhan yang teijadi semenjak Suminten menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan dingin memberontak dari rakyat!
Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka? Sia-siakah usaha mereka membebaskan empat orang tawanan? Sia-siakah mereka mengorban kan nyawa sedang empat orang tawanan itu masih tetap tertawan? Kiranya tidaklah demikian dan hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.
Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan loko Pramono bertekuk lutut di depannya.
Ia merasa yakin bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.
Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi tawanan.
Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan puaslah hatinya.
Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat Pusporini dan kalau mungkin, “mendahului” Suminten menggagahi gadis itu.
Akan tetapi peristiwa pembakaran gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun,baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak berani membantah lagi ketika Suminten berkata,
“Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak, keempatnya akan kubunuh hari ini juga!”
Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan Pusporini telah dipindahkan.
Kini kedua orang wanita itu diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu bergerak. Suminten duduk di luar kamar tahanan, menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten kelihatan dari dalam kamar tahanan.
Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding, Pangeran Panji Sigit berseru,
“Suminten, andika seorang manusia dari darah daging, bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini? Kalau mau membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati. Dan ingat, bahwa apa pun juga yang anda lakukan, kami takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-sia belaka.”
Suminten tersenyum.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar