PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-75
Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk taat, sama sekali
tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah pemuda itu selesai bicara,
bangkitlah kemarahan di hati mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik
dan Ki Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama, seorang yang
ahli dalam agama yang dianutnya, kini mereka dikuliahi seorang bocah
tentang agama! Hal ini mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan
si pemuda.
“Bocah sombong, katakan siapa gurumu? Gurumu tentulah musuh besar dari
kami, atau musuh besar Sang Wasi Bagaspati!” bentak Ni Dewi Nilamanik.
Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Heran ketiga orang
itu melihat sikap yang demikian tenangnya, sama sekali tidak
membayangkan kemarahan niaupun permusuhan, lunak dan lembut penuh
kesabaran clan pengertian.
“Guru manakah yang lebih besar dari pada Yang Maha Kuasa? Kalau Yang
Maha Kuasa dapat diumpamakan apinya matahari, di dalam diri setiap orang
manusia terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air
samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat setetes airnya.
Segala pengetahuan telah berada di dalam diri manusia yang tak pernah
terpisah dari Gurunya, yang tak pernah ditinggdlkan. Yang Maha Kuasa
tidak pernah sedetikpun meninggal kan setiap orang manusia, hanya si
manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru yang berujud
manusia hanyalah sebagai petunjuk dan penggali sehingga si manusia
menemukan kembali pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup
oleh sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama dengan aku,
tidak pernah mempunyai musuh dan tidak akan mempunyai musuh karena sudah
terbebas dari pada nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam
menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan punya miasuh,
namun dia sendiri tidak pernah mempunyai musuh. Kalau andika bertiga
menganggap aku ini musuh, itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan
tetapi aku tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku tidak
membenci siapa-siapa.”
“Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau pandai bicara,
orang muda. Hendak kulihat apakah kesaktianmu juga sehebat bicaramu!”
Sambil membentak keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah
meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu. Serangan ini diikuti oleh
kebutan di tangan Ni Dewi Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak
keras, dan dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki
Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang dilakukan tiga
orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan dan memiliki keampuhan
masing-masing.
Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba
tubuhnya lenyap seolaholah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel
Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri.
Ketiganya terkejut sekall dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda
aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari depan mata mereka!
Benarkah Bagus Seta pandai menghilang? Sesungguhnya tidaklah demikian.
Pemuda sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji kesaktian
meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya sehingga tubuhnya dapat
berkelebat mengelak secara demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh
melampaui ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak dapat
mengikuti gerakannya dengan pandang mata.
Tubuh Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari serangan lawan
lalu melesat keluar kepungan dan pergi melarikan diri dari tempat itu
menyusul dua pasang orang muda yang telah lebih dulu melarikan diri. -,
,
Tlga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan benar saja, ketika
memandang, bayangan pemuda itu telah pergi agak jauh dart tempat itu.
“Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?” bentak Ki Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke arah Bagus Seta.
Juga Cekel Wisangkoro mengayun tongkat ularnya dan melontarkari tongkat
itu menyusul nenggala ke arah tubuh Bagus Seta. lontaran nenggala dan
tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga lontarannya
sedemikian kuatnya membuat kedua macam senjata itu meluncur lebih cepat
dari pada luncuran anak panah terlepas dari busurnya.
Bagus Seta mendengar angin luncuran dua bush senjata pusaka ampuh itu,
dan ia hanya menoleh tanpa menghentikan langkahnya, mengangkat tangan
kanannya menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga nenggala
dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian pemuda ini berlari terus
dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata ketiga orang lawannya.
Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati penasaran berlari dan
mengambil senjata mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka
melihat bahwa ujung nenggala dan tongkat ular itu telah hancur!
Terpaksa mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus melakukan
pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan dengan setengah hati karena
mereka bertiga kehilangan kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah
bertemu dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang tidak
lumrah itu.
Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut melakukan pengejaran yang ia tahu akan
sia-sia itu, melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang
Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya Bagus Seta yang
memiliki kesaktian luar biasa itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini cepat
maju menyambut kedatangan Bagus Seta yang melangkah perlahan akan tetapi
tidak lama telah dapat mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu,
dan sertamerta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakinya.
“Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna,kami berempat tentu tewas.Kami amat bersyukur dan berterima kasih “
Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh ucapan halus Bagus Seta,
“Harap andika berempat bangun dan kalau perlu bersyukur dan berterima
kasih, berterima kasihlah kepada Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan
kehendak-Nya sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap
jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena sesungguhnya
sayalah yang harus berlutut menyembah ke hadapan bibi berdua.”
Setelah tadi mengangkat bangun empat orang itu, kini Bagus Seta yang
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.
“Ahhhh, Raden... bagaimana mungkin kami dapat menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?”
Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biar pun pria ini masih amat
muda, lebih muda dari padanya, akan tetapi betapa mungkin pemuda sakti
mandraguna yang telah menyelamat kan nyawa mereka, bahkan lebih dari
pada itu, telah menyelamatkan mereka dari pada ancaman bahaya penghinaan
yang lebih hebat mengerikan dari pada maut sendiri, kini menyembahnya?
“Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka pandang baik-baik
kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua dapat mengenal keponakanmu lagi?”
Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian keduanya menjerit,
“Bagus Seta...!”
Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul Bagus Seta sambil menangis.
“Aduhai... Bagus Seta... ke mana saja engkau pergi selama ini?”
Setyaningsih terisak-isak dengan muka bersandar pundak Bagus Seta.
“Semenjak engkau pergi,banyak sekali hal telah terjadi...”
“Seta, anak nakal...! Mengapa engkau menghilang sekian lamanya? Ke mana saja engkau pergi? Aihhh, sekarang eyang-eyangmu...”
Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh
keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut kepala
keponakannya itu.
Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan rasa haru, adalah
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang berdiri bengong. Tentu saja
mereka sudah seringkali mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini
tentang Bagus Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti
semenjak berusia sepuluh tahun.
Kini ternyata anak itu telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti, dan
yang kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali tidak
dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang mengguguk mengharukan.
“Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu!
Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus,
“Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan menguasai Jenggala!”
Pusporini berseru, mengepal tinju karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten dan kaki tangannya.
Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan rasa terharu mereke
sejenak, akhirnya Bagus Seta yang tersenyum penuh pengertian itu lalu
memegang tangan kedua orang bibinya, bangkit berdiri dan berkata,
“Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara tentang Jenggala
dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana.
Sebelumnya harap Bibi perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!.”
“Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit, suamiku. Dan dia
itu Dimas Joko Pramono, kakak seperguruan Bibimu Pusporini.”
Setyaningsih memperkenalkan.
Bagus Seta maju memberi hormat.
“Girang sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji
Sigit dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan sembah dan
hormat...”
Sejenak kedua orang pria perkasa Itu tertegun menyaksikan sikap penuh
hormat dari pemuda remaja itu. Hati mereka menjadl makin kagum akan
kerendahan hati Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama
sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan kesaktian luar
biasa yang dimilikinya.
Tersipu-sipu mereka lalu menjawab,
“Ahh, sudah lama aku mendengar megenai dirimu dari bibimu Setyaningsih,
Bagus. Dan hatiku amat bahagia kini bertemu dan melihat bahwa keponakan
isteriku adalah seorang yang memiliki kesaktian.”
Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang Bagus Seta seperti
termenung kini berkata, “Andika Bagus Seta...seorang pemuda sakti yang
akan muncul...ah, Pusporini! Kini... mengertilah aku! Yang dimaksudkan
oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah Bagus Seta
sendiri!”
“Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau yang akan kubantu adalah keponakan sendiri.”
Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar akan segala peristiwa
yang menimpa keluarga di Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya
kini telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat pangkat patih
muda.
Kemudian ia mendengar penuturan kedua pasang orang muda itu tentang
keadaan di Jenggala dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih
Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke Jenggala.
Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu berkata,
“Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan Paman telah berusaha
untuk menolong Jenggala. Terutama sekali bagi Paman Pangeran, memang
sudahlah menjadi kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya.
Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan kecil dan
menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri Sriwijaya dan Cola. Oleh
karena itu, seyogyanya kalau kita lebih dahulu menghadap ke Panjalu
memberi laporan dan sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng
Rama lbu.”
Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
Panjalu untuk melaporkan segala peristiwa yang mereka alami di Jenggala.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu,
tiba-tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki setengah
tua yang menggeletak melintang di tengah jalan, masih bergerak-gerak di
samping belasan buah mayat orang yang berserakan di tempat itu.
“Kalau tak salah, prajurit-prajurit Panjalu...!” seru Setyaningsih dan
mereka segera menghampiri prajurit setengah tua yang belum tewas itu.
Karena mereka semua maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa,
maka otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda remaja itu sebagai
pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta pula yang berlutut memeriksa tubuh
prajurit yang terluka itu.
Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan patut dikagumi daya
tahan prajurit itu sehingga masih dapat mempertahankan hidupnya.
Kiranya prajurit itu memang menggunakan seluruh kekuatan berdasarkan
kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat menyampaikan berita
kepada orang yang lewat.
Dapat dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang lewat adalah
lima orang muda yang di antaranya terdapat Pangeran Panji Sigit dan
isterinya yang sudah ia kenal ketika pangeran itu datang ke Panjalu.
“...tolong... lekas..., Gusti Patih Tejolaksono...dan kedua isteri beliau... tertawan dibawa ke gunung itu...”
“Habislah kekuatan prajurit itu dan tubuhnya lemas, nyawanya terbang meninggalkan raganya.
Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir prajurit itu.
Betapa mungkin hal ltu terjadi? Ki Patih Tejolaksono adalah seorang yang
sakti mandraguna, apa lagi di situ terdapat dua orang isterinya yang
berarti bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu Candra bukanlah
seorang lemah pula. Bagaimana dapat ditawan orang dan siapakah
penawannya?
Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan dalam ucapan terakhir
prajurit Panjalu itu. Kalau memang benar yang memimpin para prajurit
yang kini rebah malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah
Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, dan Ayu Candra, bagaimana mereka
itu dapat dikalahkan dan ditawan orang? Untuk mengetahui hal yang tak
dapat terjawab oleh dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti
sebentar apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.
Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat menyerbu ke penjara istana
Jenggala untuk menolong dua pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman
telah mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar tentang
penangkapan empat orang muda itu kepada Ki Patih Tejolaksono karena dia
maklum bahwa kalau dia dan Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh
diharapkan akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki
patih muda di Panjalu yang sakti itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih Tejolaksono ketika mendengar berita itu.
Setyaningsih dan Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga
Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera Tejolaksono menghadap
Pangeran Darmokusumo untuk melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono
mohon perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi
sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk menolong mereka yang
tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana.
Permohonannya mendapatkan perkenan, maka berangkatlah Tejolaksono
disertai Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya ini
tidak mau ditinggal, apa lagi Endang Patibroto yang sudah marah-marah
mendengar betapa Setyaningsih adik kandungnya itu ditangkap.
“Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima
bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apa lagi kalau diingat bahwa
Suminten itu ternyata adalah bekas abdi dalemku. Kalau aku yang datang
meminta, kiranya mereka itu akan segera dibebaskan,” demikian kata
Endang Patibroto. “Kalau tidak...hem mm, Jenggala akan kuratakan dengan
bumi!”
Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang Patibroto dengan sinar
mata berseri dan kagum. isterinya ke dua ini tak pernah menjadi tua,
masih selalu penuh semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang
ganas dan liar.
“Aku kira tidak perlu kita menggunakan kekerasan. Apa pun yang telah
kudengar beritanya, aku tak percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala
sampai demikian tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di
sana. Sebaiknya kita buktikan sendiri.”
Ayu Candra menggerakkan alisnya.
“Betapa pun juga, kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa
yang melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada rahasia di
balik semua itu. Lupakah Kakanda akan perjumpaan kita dengan dua orang
kakek amat sakti di puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?”
Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus membenarkan pendapat
isterinya ini. Wasi Bagaspati dan Biku Janapati adalah dua orang pendeta
yang amat sakti, dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh
Ki Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri urusan kekacauan
di Jenggala, maka dia bersama dua orang isterinya harus berhati-hati
sekali.
“Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhatihati sekali. Aku
akan membawa lima belas orang pengawal pilihan untuk melayani keperluan
kita dalam perjalanan. Di sana aku akan menghadap secara resmi kepada
sang prabu dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan mereka.”
Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam perjalanan.
Pada keesokan harinya ketika rombongan ini memasuki tapal batas
Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah hutan mereka dihadang oleh puluhan
orang laki dan perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para
penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang pedang.
Ketika Tejolaksono melihat wanita ini dan mengenalnya sebagai Sariwuni
si penyembah Bathari Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati,
tahulah dia bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia berbisik
di dekat telingan kedua isterinya.
“Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian. Kita basmi saja
mereka karena mereka pun merupakan sebagian dari pada akar-akar pohon
kekacauan di Jenggala.”
Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.
Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak memberi perintah
menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih mempunyai alasan kuat dan
mereka yakin bahwa rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk
merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh. Merekapun lalu
menerjang maju, melarikan kudanya menyerbu di antara puluhan orang lawan
yang juga sudah berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka
terhadap terjangan prajurit-prajurit Panjalu.
“Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika muncul menyerahkan
nyawa!” bentak Tejolaksono sambil menudingkan telunjuknya ke arah wanita
itu yang tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.
“Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan? Aku memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!”
“Setan alas, mampuslah kamu...”
Tiba-tiba Endang Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung
tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni bagaikan seekor burung
elang menyambar anak ayam.
Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar seperti burung itu.
“Krekk...! Aaliihhhhh!” Sariwuni terpental ke belakang sampai tiga meter
dan pedangnya sudah patahpatah ketika bertemu dengan jari tangan Endang
Patibroto! Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,
“Inikah...Endang Patibroto...?”
Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang wanita bernama Endang
Patibroto dan karena akhir-akhir ini dia mendengar berita bahwa Endang
Patibroto telah menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan
yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.
“Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang datang untuk menghancurkan
kepalamu yang hanya terisi hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini!”
Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawan yang
kini sudah bertangan kosong, lalu menerjang maju dengan gerakan Bayu
Tantra yang membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil memukul
dengan aji pukulan Wisangnolo!
Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja.
Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna tangannya
menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua lengannya mengeluarkan bunyi
berkerotokan. Itulah pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu
Aji Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai hadiah atas
jasa-jasanya, terutama sekali dalam melayani nafsu sang wasi.
“Bressss!”
Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis oleh lengan yang mengandung
hawa beracun, bahkan kukukuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah
mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit halus putih.
Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni terbanting ke kiri dan perempuan
ini bergulingan sambil mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti
terbakar api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto yang
mengandung hawa Wisangnolo!
Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak tinggal diam
melihat lima belas orang pengawal mereka bertempur dikeroyok oleh tiga
puluh orang lebih gerombolan musuh.
Ki patih dan isterinya sudah membedal kuda mereka maju memasuki
gelanggang pertempuran dan sebentar saja, beberapa orang pengeroyok
sudah roboh oleh tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang
Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan seorang pengeroyok.
Dengan majunya suami isteri perkasa ini, biar pun fihak lawan dua kali
lebih besar jumlahnya, tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik.
Sepak terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat dan
kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.
Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah terluka, mengambil
keputusan untuk menghabisi saja nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali
mencelat ke depan dan kakinya bergerak menendang ke arah kepala Sariwuni
untuk memberi pukulan maut terakhir.
“Desss...!”
Kini tubuh Endang Patibrpto yang terpental ke belakang dan kakinya
terasa nyeri hampir lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh
sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan. Endang Patibroto
cepat berdiri tegak memandang penuh perhatian. Orang yang menolong
Sariwuni itu adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali,
rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat dari kain
berwarna merah darah!
“Hoah-hah-ha-hah! Inikah puteri yang bernama Endang Patibroto, anak murid dari Dibyo Mamangkoro? Buruk...!”
Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni yang terluka dan sekali
menggosoknya dengan telapak tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa
panas.
“Wuni cah-ayu, lenganmu tak apa-apa, sekarang lebih baik kau membantu
anak buahmu itu yang terdesak,” kata kakek itu lalu menggunakan
tangannya meraba pinggul Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni
terkekeh genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang
kocar-kacir.
“Kakanda, lihat siapa itu...“ Tiba-tiba Ayu Candra berbisik dengan suara menggetar.
Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah Wasi Bagaspati!
“Ah, Endang Patibroto terancam bahaya. Mari kita bantu...!”
ia lalu meloncat turun dari kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua
orang pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto yang masih
berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati. Tejolaksono kini berdiri di
sebelah kanan Endang Patibroto sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah
kanannya.
“Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang perjalanan kami ke
Jenggala,” kata Tejolaksono. “Ada maksud apakah menghadang perjalanan
kami?”
“Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang
kabarnya menjadi patih muda di Panjalu, bukan? Sebagai patih di
Panjalu, mau apa gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala? Andika
melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!”
“Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga tapal batas?” Tejolaksono berseru keras.
“Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa tua bangka ini? Hantam saja!”
Endang Patibroto sudah menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati
sekali karena ia makium bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang
benarbenar amat sakti.
Ia menerjang sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi
ringan dan gerakannya menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit
Nogo untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras sekali
tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah itu hanya tertawa-tawa,
sama sekali tidak mengelak dan menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan
dadanya yang bidang.
“Plakkkk!”
Endang Patibroto merasa betapa jari -jari tangannya bertemu dengan
getaran hawa yang kuat, yang melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada
detik berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena hampir
saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan Wasi Bagaspati yang sengaja
menerlma pukulan sambil berusaha menangkap Endang Patibroto.
Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan Endang Patibroto
sedemikian ampuhnya sehingga jarang sekali ada tokoh yang akan mampu
menerima pukulan Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh
apaapa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan menerjang
dari atas.
Ia mengerahkan aji keringanan tubuh Bayu Sakti dan dari atas ia menukik
turun ke bawah dengan pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala
Wati Bagaspati! Pada saat yang hampir berbareng dengan serangan
Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah menerjang maju.
Ayu Candra kini mencabut keris pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke
arah Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji pukulan
Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan lawan untuk mematahkan
batang lehernya!
Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang amat berbahaya kalau
dilawan dengan kekebalan karena yang diserang adalah bagian-bagian
paling lemah, Wasi Bagaspati menjadi terkejut juga.
Tadinya ia hendak menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus
menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan pukulan panas
yang mengarah tenggorokannya bukanlah hal yang boleh dipandang rendah
begitu saja.
Terpaksa ia menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki belakang
dan miringkan tubuh menghindarkan serangan dua orang wanita sakti itu.
Akan tetapi begitu ia terhindar dari serangan pertama, ketiga orang
pengeroyoknya sudah menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan
berbahaya.
Tejolaksono yang pernah bertanding dengan kakek sakti ini di lereng
Merapi di depan Ki Tunggaljiwa dan hampir saja tewas, teringat akan
nasehat Ki Tunggaljiwa kemudian bahwa biar pun dalam hal ilmu
kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya dengan
tingkatnya sendiri, akan tetapi dalam hal kekuatan batin ia kalah jauh
dan ia harus mempergunakan aji kesaktian! Triwikromo untuk menentang
pengaruh mujijat yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati.
Kini Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang menggetarkan
seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji kesaktian Triwikromo. Aji
kesaktian ini dahulu dipelajari oleh Tejolaksono dari mendiang Sang
Prabu Airlangga yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan
sebutan Sang Resi Jentayu atau Sang Bhagawan Jatinendra.....
Komentar
Posting Komentar