PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-76
Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan kehebatan lawan,
berturut-turut tecepat kilat melepaskan tujuh batang panah tangah
beracun yang diluncurkah ke arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi
Bagaspati, kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam
dari belakang mengarah tengkuk.
Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah mewarisi segala ilmu dan
aji kesaktian dari ayahnya, Ki Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo
aliran putih, dan di samping itu, telah banyak pula ia mendapat
bimbingan suaminya.
Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini, Ayu Candra maklum bahwa ilmu
kepandaiannya masih terlalu rendah. Begitu ia melihat suaminya
menyerahkan Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto mengeluarkan
pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua kakinya sendiri sampai
menggigil, Ayu Candra lalu mundur dan menyaksikan pertandingan dahsyat
itu dari pinggir gelanggang pertandingan.
Ketika ia menengok ke kiri, ke arah pertempuran antara para pengawal dan
anak buah Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah
menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni dan sisa
pasukannya juga sedang menonton pertandingan dahsyat antara Wasi
Bagaspati yang dikeroyok dua oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia melihat pengaruh
wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar dan tubuh Tejolaksono! Wibawa yang
begitu kuatnya sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar
hebat dan isi dadanya terguncang.
Cepat kakek sakti Itu menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya.
Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini keduanya terdorong mundur.
Pada saat itu terdengar bunyi berciutan nyaring sekali, yaitu saat
meluncurnya tujuh batang panah tangan yang dilepas oleh Endang
Patibroto. Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara
mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil dengan jari tangan
dengan dorongan tenaga sakti itu ujungnya sudah direndam racun.
Kini dilepas dari jarak dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah
tujuh bagian tubuh yang berbahaya. “Cet-cet-cet-cet-cet-cet-cet...!”
Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul. Yang dua pertama
meluncur ke arah sepasang lutut kaki Wasi Bagaspati dan dapat ditendang
runtuh oleh kakek sakti itu.
Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat dan ulu hati ia terima
begitu saja dan dua batang anak panah itu runtuh, tak dapat membikin
lecet sedikitpun tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima
meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke tujuh terbang
meluncur ke arah sepasang matanya.
Wasi Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah
yang menusuk tenggorokannya kini menusuk mulutnya. Dia membuka mulut dan
“menangkap” anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan dua tangannya
menyambar dua batang anak panah yang tadi menyerang sepasang matanya.
Pada saat itu pula, pukulan ke arah tengkuk yang dilakukan Endang
Patibroto sambil memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi
Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan dan terus
bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat terjangan Endang
Patibroto gagal dan tiba-tiba tampak tiga sinar menyambar ke arah Endang
Patibroto, Tejolaksono dan Ayu Candra yang sedang berdiri menonton.
Itulah tiga buah anak panah yang tadi terampas oleh Wasi Bagaspati.
Tejolaksono dan Endang Patibroto cepat menggunakan Aji Pethit Nogo,
memukul runtuh anak panah itu, sedangkan Ayu Candra yang sama sekali
tidak mengira akan diserang dengan anak panah, menjadi kaget dan hampir
saja menjadi korban kalau ia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang
sampai terhuyung-huyung.
Masih untung baginya bahwa anak panah yang dipakai menyerangnya adalah
anak panah yang tadi digigit Wasi Bagaspati dan dipergunakan
menyerangnya dengan cara ditiupkan sehingga tenaga luncurannya tidaklah
sehebat dua batang yang disambitkan kakek itu.
“Huah-ha-ha, kalian belum menyerah? Mau melihat kesaktian Wasi
Bagaspati? Hemmm... masih belum terlambat untuk menyerah menjadi
tawananku, Patih Tejolaksono!”
Walau pun di mulut kakek ini mentertawakan, akan tetapi di dalam hatinya
ia mendongkol dan penasaran sekali mengapa dia, seorang tokoh besar
yang selamanya tidak pernah terkalahkan, yang telah mengorbankan waktu
dan ketekunan selama puluhan tahun untuk mengejar ilmu, yang kini
menganggap bahwa aji kesaktiannya akan dapat mengalahkan dewa, sekarang
melawan dua orang yang baginya merupakan tokoh-tokoh muda ini, dia
selalu didesak dan belum dapat balas menyerang!
Harus ia akui bahwa Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan sepasang
lawan yang hebat sekali, karena mereka itu dapat bekerja sama dalam
penyerangan-penyerangan yang dahsyat. Ingin ia mengeluarkan jimat
pusakanya, yaitu senjata Cakra.
Akan tetapi ia merasa sungkan kalau harus mempergunakan pusakanya itu
hanya untuk menghadapl dua orang lawan muda. Maka ia mengeluarkan
gertakan karena bila mereka suka menyerah, tidak perlu ia mengeluarkan
aji-aji yang selama ini menjadi ilmu simpanan untuk dipergunakan melawan
musuh yang seimbang.
“Sang Wasi Bagaspati! Andika mewakili negara asing yang hendak menjajah,
yang berarti mewakili angkara murka, sedangkan kami berjuang untuk
membela nusa bangsa yang berarti mewakili kebenaran. Mungkinkah
kebenaran harus menyerah dan tunduk terhadap angkara murka? Tidak, Sang
Wasi. Kami akan melawan terus karena kami yakin bahwa akhirnya
kebenaranlah yang akan menang!”
“Babo-babo, tidak mendengar kata-kata halus andika, Tejolaksono. Nah, majulah, dan rasakan kesaktian Wasi Bagaspati!”
“Pendeta palsu dukun lepus, siapa sudi mendengar obrolanmu?”
Endang Patibroto membentak sambil menghunus keris pusakanya. Tejolaksono
juga telah mengeluarkan keris Megantoro dan kedua suami isteri ini lalu
menerjang maju dari depan, arah kanan kiri.
Tiba-tiba Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik melengking dan dua kakinya
menggedrug (menjejak) tanah. Tanah seolah-olah tergetar hebat di bawah
kaki Endang Patibroto dan Tejolaksono, membuat mereka seperti lumpuh
seketika dan tubuh mereka terguling! Wasi Bagaspati menubruk dengan
kedua tangan mengirim pukulan ke arah kepala dua 0i orang lawannya yang
sudah roboh terguling.
“Dess!...Desss!”
Debu mengebul ketika tanah dihantam kedua tangan Wasi Bagaspati,
sedangkan Endang Patibroto dan Tejolaksono sudah melesat pergi mengelak
karena begitu tubuh mereka
terbanting, mereka mempergunakan tangan menekan tanah dan meloncat.
Tejolaksono dan Endang Patibroto terkejut. Mereka maklum bahwa ilmu yang
dikeluarkan oleh Wasi Bagaspati itu adalah sejenis dengan aji-aji
mereka Sardulo Bairowo dan Dirodo Meta, akan tetapi yang jauh lebih kuat
karena memang kakek itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa.
Selagi mereka berpikir bagaimana harus menghadapi ilmu yang dahsyat itu,
Wasi Bagaspati yang merasa penasaran karena serangannya gagal, kembali
melompat dekat dan menjejak bumi sambil melengking seperti tadi.
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah siap itu mengerahkan tenaga
sakti untuk melindungi tubuh, namun percuma karena kaki mereka tergetar
hebat dan seketika mereka terguling lagi seperi tadi!
Segumpal sinar hitam seperti asap menyambar ke arah tubuh Tejolaksono dan Endang Patibroto.
Keduanya terkejut dan hendak mengelak, namun mereka roboh kembali karena
gerakan mereka terhalang oleh sebuah jala hitam yang amat tipis namun
yang mempunyai kekuatan melebihi benang-benang baja!
Mereka meronta-ronta, namun dengan gerakan tangannya Wasi Bagaspati yang
tertawa-tawa itu membuat jala makin menyempit sehingga akhirnya
Tejolaksono dan Endang Patibroto meringkuk dan terjepit menjadi satu tak
mampu bergerak lagi.
“Pendeta keparat lepaskan mereka!”
Ayu Candra melompat ke depan dan menggunakan keris menyerang, akan
tetapi dengan tangan kanan memegang ujung jala Wasi Bagaspati mengangkat
tangan kirinya, menyampok tangan Ayu Candra yang memegang keris
sehingga senjata itu ter pental jauh dan sekali kakek itu mengibaskan
tangan kirinya menyentuh pangkal telinga Ayu Candra, isteri Patih
Tejolaksono ini terbanting dalam keadaan pingsan.
“Huah-ha-ha, orang-orang muda kalau tidak dibunuh, kelak akan merepotkan saja!”
Kakek itu sudah mengangkat tangan kirinya ke atas dengan jari -jari
terbuka dan membentuk cakar harimau, siap digerakan turun mencengkeram
kepala dua orang tangkapannya yang sudah tak dapat membela diri itu.
“Kakanda Wasi jangan bunuh mereka!”
Tiba-tiba Sariwuni 'meloncat maju dan berteriak mencegah. Memang lucu
dan janggal kedengarannya kalau Sariwuni yang masih kelihatan cantik dan
muda itu menyebut “kakanda” kepada Wasi Bagaspati yang sudah tua renta,
lebih seratus tahun usianya itu. Memang, Wasi Bagaspati ini selain
sakti mandraguna, juga mempunyai watak romantis sehingga setiap orang
wanita yang menjadi pelayan nafsunya selalu diharuskan menyebutnya
kakanda!
“Heh, mengapa kau berani mencegahku, Sariwuni?” Wasi Bagaspati mengerutkan keningnbya dan suaranya tergetar tak senang.
“Malam ini bulan purnama, dan mereka bertiga itu bukan orang-orang
sembarangan sehingga akan menjadi korban yang amat berharga untuk Sang
Dewi Bathari...”
Sariwuni tersenyum manis dan kerlingnya menyambar ke arah Tejolaksono dalam jala itu.
Sejenak Wasi Bagaspati meragu, kemudian tertawa.
“Haha-ha-ha! Engkau ini makin mata keranjang saja, Sariwuni! Engkau
ingin menikmati pria tampan ini sebelum dia dibunuh? Baiklah, membunuh
mereka besok pagi juga belum terlambat!”
“Hamba hanya mendapatkan seorang, akan tetapi bukankah Kakanda Wasi
mendapatkan dua orang?” jawab Sariwuni sambil melirik ke arah Endang
Patibroto yang meringkuk seperti ikan di dalam jala dan tubuh Ayu Candra
yang masih rebah pingsan di atas rumput.
Ucapan ini disambut tertawa bergelak oleh Wasi Bagaspati. Sariwuni lalu
mengatur anak buahnya untuk membawa teman-teman yang terluka dan yang
tewas, kemudian mereka meninggalkan lima belas buah mayat para pengawal
Panjalu, tidak tahu bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas
sehingga dapat memberi tahu tentang tertawannya Tejolaksono dan dua
orang isterinya yang dibawa ke puncak gunung yang tampak dari hutan itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini menjadi
gelisah sekali setelah mendengar pesan prajurit itu. Hanya Bagus Seta,
yang tetap tenang,kemudian tanpa banyak bicara pemuda remaja ini Ialu
menggali lubang dan mengubur kelima belas sosok mayat para pengawal
Panjalu itu.
Melihat ini, tentu saja Joko Pramono, bahkan Pangeran Panji Sigit
sendiri bergegas membantu, juga kedua orang bibi muda itu. Mereka
terpaksa menekan perasaan gelisah mereka melihat sikap Bagus Seta yang
tenang itu, dan mereka percaya penuh bahwa pemuda remaja itu akan dapat
menanggulangi segala lawan dan mengatasi segala kesulitan.
Malam itu tenang bulan dan kebetulan sekali angkasa bersih dan cerah,
tidak tampak sedikitpun awan sehingga bulan tersenyum-senyum bebas
menyinarkan cahayanya yang keemasan.
Di puncak gunung kecil di luar hutan itu terjadilah pesta yang luar
biasa. Puncak gunung ini merupakan tempat peristirahatan sementara dari
Wasi Bagaspati yang ditemani oleh Sariwuni dan sejumlah anak buahnya
sebanyak kurang lebih lima puluh orang.
Atas permintaan Sariwuni, tiga orang tawanan itu, Tejolaksono, Endang
Patibroto dan Ayu Candra, tidak dibunuh oleh Sang Wasi Bagaspati.
Dengan ilmu kepandaiannya, mudah saja bagi Wasi Bagaspati untuk membuat
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah tak dapat bergerak di dalam
jala itu roboh pingsan, kemudian bersama Ayu Candra yang juga sudah
pingsan, mereka bertiga dibawa naik ke puncak pegunungan itu dan dalam
keadaan pingsan itu mereka bertiga diberi minum secara paksa oleh
Sariwuni.
Minuman itu adalah minuman yang mengandung racun perampas ingatan dan mengandung daya rangsang yang amat luar biasa.
Kemudian tiga orang yang masih pingsan itu direbahkan di atas panggung
yang terbuat dari pada kayu dan bambu. Biasanya, pesta pemujaan Bathari
Durgo ini dipimpin oleh Ni Dewi Nilamanik sebagai ketuanya, akan tetapi
oleh karena Ni Dewi Nilamanik sedang berada di Kota Raja Jenggala
memenuhi panggilan Ki Patih Warutama, maka pesta ini diwakili oleh
Sariwuni. Minuman beracun yang dipergunakan Sariwuni itu pun adalah
milik Ni Dewi Nilamanik.
Selain Sariwuni, di situ terdapat tujuh orang wanita cantik yang
kesemuanya adalah murid-murid Ni Dewi Nilamanik dan yang berada di situ
untuk bertugas membantu Sariwuni dalam melayani Wasi Bagaspati. Adapun
yang lainnya, terdiri dari laki-laki dan wanita, hanyalah anak buah yang
melakukan segala macam pekerjaan kasar melayani segenap kebutuhan dan
keperluan sehari-hari, termasuk penjagaan dan kalau perlu bertempur
menghadapi musuh.
Setelah bulan mulai bersinar, pesta pemujaan Bathari Durgo pun
dimulailah. Sebuah arca Bathari Durgo diletakkan di atas panggung dan di
sebelah kanannya duduklah Sang Wasi Bagaspati di atas sebuah kursi.
Sariwuni dan tujuh orang wanita yang kesemuanya berpakaian tipis serba
putih itu duduk bersimpuh di depan Wasi Bagaspati dan arca Bathari
Durgo.
Karena tempat itu bukan menjadi pusat perkumpulan Agama Bathari Durgo,
bukan sebuah Durgoloka (Taman Bathari Durgo), maka upacara pemujaan
Bathari Durgo di waktu bulan purnama itu pun diadakan sederhana
sekali,tidak teperti kalau Ni Dewi Nilamanik yang memimpinnya, lengkap
dengan gamelan segala macam.
Tidak ada gamelan di situ dan semua anak buah di situ setelah
mempersiapkan pesta makanan sederhana untuk Wasi Bagaspati, Sariwuni dan
tujuh orang murid Ni Dewi Nilamanik yang muda-muda dan cantik-cantik
itu, lalu berdiri mengelilingi panggung menonton.
Semenjak tali, pandang mata Wasi Bagaspati tertuju kepada tubuh Ayu
Candra dan Endang Patibroto yang rebah terlentang di atas panggung, di
ujung kiri sedangkan di sudut kanan rebah tubuh Tejolaksono. Mereka
bertiga masih dalam keadaan pingsan, seperti tidur nyenyak.
Kemudian kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas, tanda bahwa pesta boleh dimulai.
Melihat ini, Sariwuni memimpin tujuh orang wanita muda itu menyembah di
depan kaki Wasi Bagaspati, kemudian' menghampiri arca Bathari Durgo dan
menyembah, lalu bertelungkup hampir tiarap di depan arca itu sambil
menyebar kembang setaman yang sudah disediakan di situ. Sariwuni lalu
membakar dupa harum yang mengepulkan asap putih yang baunya semerbak
memenuhi udara di sekeliling panggung.
Setelah upacara penyembahan arca itu selesai, tujuh orang wanita itu
dipimpin oleh Sariwuni lalu bangkit berdiri, dan mulailah mereka itu
menari dengan iringan tepuk tangan mereka dan berkerincingnya
gelang-gelang yang dipasang pada kaki mereka.
Tari-tarian itu biar pun hanya diiringi gamelan tepuk tangan dan
berkerincingnya gelang-gelang kaki, namun teratur dan amat indah,
sungguh pun gerakannya mengandung sifat-sifat yang merangsang berahi
dengan gerakan-gerakan pundak dan perut. Mereka menari berputaran di
sekeliling panggung dan Sariwuni merupakan penari yang terpandai dan
yang paling indah gerakannya.
Makin lama bunyi tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki
makin cepat pula dan makin liar. Sariwuni sendiri menari mendekati tubuh
Tejolaksono yang masih menggeletak terlentang dalam keadaan pingsan
atau mungkin juga tertidur nyenyak.
Sariwuni mengitari tubuh Tejolaksono itu, menari-nari dan makin lama
makin merendah tubuhnya sampai akhirnya ia menari sambil berjongkok
mengelilingi Tejolaksono, jarijari tangannya yang bergerak-gerak seperti
ular-ular kecil itu merayaprayap dan menyentuh-nyentuh tubuh
Tejolaksono, sepasang matanya makin lama makin bersinar penuh gairah.
Sementara itu, tujuh orang wanita masih bertepuk-tepuk tangan dan
menghentak-hentakkan kakinya untuk mencipta bunyi yang berirama untuk
mengiringi tari-tarian Sariwuni. Mereka bertujuh hanya berdiri dan
melenggang-lenggok tidak pindah dari tempatnya, berjajar menghadapi Wasi
Bagaspati.
Wasi Bagaspati tersenyum-senyum, menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan
irama tepukan tangan, sambil makan dan minum sajian yang dihidangkan di
dekatnya. Kemudian ia memandang ke arah Sariwuni yang menyentuh-nyentuh
dada dan leher Tejolaksono, kadang-kadang menundukkan muka didekatkan
dengan muka Tejolaksono seperti orang menimang-nimang.
Perlahanlahan Tejolaksono menggerakkan bulu mata, lalu membuka matanya
seperti orang dalam mimpi. Ia bangkit perlahan, diikuti Sariwuni yang
masih menari, dan ketika wanita itu menarik tangannya, Tejolaksono
bangkit berdiri dan mulai menari!
Wasi Bagaspati tertawa dan bangkit lalu menghampiri tubuh Endang Patibroto dan Ayu Candra.
Beberapa kali ia meraba dan memijit tengkuk dua orang wanita itu yang
kemudian siuman dari pingsannya, bangkit berdiri dan perlahan-lahan
mereka berdua ini pun mulai menari-nari menurutkan irama tepukan tangan
dan berdencingnya gelang-gelang kaki.
Sambil tertawa gembira Wasi Bagaspati ikut pula bertepuk tangan dan kembali duduk di atas kursinya.
“Aduhh... untuk kedua kalinya Pusporini menyaksikan hal yang mengerikan
ini,” bisik Joko Pramono. Mereka berlima bersembunyi di tempat gelap dan
hanya oleh cegahan Bagus Seta saja empat orang itu tidak meloncat naik
dan mengamuk di tempat itu.
Joko Pramono yang pernah diceritakan oleh Pusporini tentang
pengalamannya ketika ia ditawan oleh Ni Dewi Nilamanik, kini menyaksikan
dengan mata sendiri keadaan yang amat aneh dan yang pernah dialami oleh
Pusporini.
Dia merasa amat heran, demikian pula Pusporini, Pangeran Panji Sigit dan
Setyaningsih melihat betapa orang-orang sakti seperti Tejolaksono,
Endang Patibroto dan Ayu Candra dapat terpengaruh seperti itu, seperti
manusia-manusia yang kehilangan pikiran!
Pusporini memandang dengan air mata bercucuran. Melihat rakandanya dan
kedua ayundanya berhal seperti itu, melihat mereka yang telah
bertahun-tahun tak dijumpainya, hatinya terharu bukan main. Kalau
menurutkan hatinya, ingin ia meloncat dan menyerbu, membebaskan tiga
orang yang dihormati itu dari keadaan mereka yang menyedihkan.
Akan tetapi Bagus Seta tadi memberi isyarat agar mereka jangan bergerak
dan ketika ia melihat Wasi Bagaspati, mau tidak mau tengkuknya meremang.
ia melihat jelas pengaruh yang hebat keluar dari sinar mata kakek itu,
dari gerak-geriknya. Dengan bukti tertawannya orang-orang sakti seperti
ayundanya Endang Patibroto dan rakandanya Tejolaksono, dapat dibayangkan
betapa saktinya kakek itu yang dapat ia duga tentulah Sang Wasi
Bagaspati. Maka ia menahan sabar dan menyerahkan keputusan dan pimpinan
dalam tangan Bagus Seta yang ia percaya akan dapat menanggulangi Wasi
Bagaspati yang mengerikan itu.
“Tanggalkan pakaian mereka!”
Tiba-tiba terdengar perintah keluar dari mulut Wasi Bagaspati.
Sariwuni sudah sibuk hendak membuka pakaian Tejolaksono yang masih
menari-nari seperti boneka hidup, sedangkan tujuh orang wanita lainnya
telah menyerbu Endang Patibroto dan Ayu Candra untuk menanggalkan
pakaian mereka. Pekerjaan ini mereka lakukan sambil tertawa
terkekeh-kekeh dengan genit.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus,
“Wanita-wanita sesat, mundur kalian!”
Dan Bagus Seta sudah meloncat ke atas panggung diikuti oleh empat orang pengikutnya.
Dengan tenang Bagus Seta mendorongkan tangannya dan Sariwuni berikut
tujuh orang itu terhuyung ke belakang dan akhirnya roboh ke bawah
panggung.
Terdengar teriak-teriak panik dari anak buah Sarlwuni yang menonton, dan
keadaan seketika menjadi geger. Bagus Seta mendekati Tejolaksono, Ayu
Candra dan Endang Patibroto. Ia menyembah lebih dulu sebelum mengusap
wajah mereka bertiga itu satu kali dengan telapak tangan kanannya dan
seketika tiga orang itu menjadi sadar, memandang terbelalak kepada Bagus
Seta, Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini.
“Bagus Seta...! Engkau... engkau Bagus Seta...!”
Tiba-tiba Ayu Candra menjerit dan wanita itu roboh pingsan dalam pelukan
Pusporini yang cepat menerima tubuh ayundanya yang pingsan saking kaget
dan girang itu.
Tejolaksono merangkul puteranya yang berlutut dan menyembahnya, akan
tetapi karena maklum akan keadaan yang gawat itu, Tejolaksono
mengeraskan hatinya dan berbisik,
“Hati-hatilah, Nak. Dia sakti sekali...!"
Bagus Seta mengangguk tenang.
“Kita gempur dia! Bagus Seta, aku Ibumu Endang Patibroto, mari kubantu
engkau membasmi dukun lepus ini!” bentak Endang Patibroto.
“Harap Ibunda serahkan saja kepada hamba,” kata Bagus Seta sambil
tersenyum, kemudian ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuh melangkah
maju menghadapi Wasi Bagaspati yang memandang semua kejadian itu dengan
mata merah saking marahnya, juga saking herannya menyaksikan betapa
seorang pemuda remaja dapat menyadarkan tiga orang itu dari pengaruh
racun perampas pikiran dan perangsang.
Padahal kepandaian seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang telah memiliki tenaga batin yang amat kuat, seperti dia sendiri
misalnya. Dan cara pemuda itu mendorong para wanita turun dari panggung
tanpa melukai mereka, benar-benar mengagumkan, menyatakan bahwa pemuda
itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat pula.
“Heh, bocah yang berani mati. Siapa kah andika?”
“Sang Wasi Bagaspati, namaku adalah Bagus Seta. Sang Patih Muda Panjalu Tejolaksono adalah Ramandaku.”
“Hemm, kulihat engkau seorang muda yang telah memiliki sedikit
kesaktian, agaknya engkau murid seorang yang sakti. Ehhh sekarang aku
ingat...! Bukankah engkau bocah yang dahulu bersama Bhagawan
Ekadenta...?”
“Bapa guru, dia telah melarikan empat orang tawanan Jenggala! Itu mereka, mohon Bapa guru menangkap mereka kembali!”
Tiba-tiba terdengar suara lan-tang dan muncullah Cekel Wisangkoro yang langsung melompat ke atas panggung.
Kembali Wasi Bagaspati tertegun. ia sudah mendengar kemajuan-kemajuan
yang dicapai para murid dan anak buahnya dalam penyelundupan ke Jenggala
dan penanaman pengaruh ke istana.
Kini boleh dikata bahwa Jenggala telah berada di dalam telapak
tangannya, tinggal menggenggam saja. Jenggala kini telah menjadi sekutu
yang sewaktu-waktu dapat dipergurtakan oleh negaranya untuk diajak
menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti Panjalu dan lain-lain.
Kalau usaha itu berhasil dan kelak seluruh Jawadwipa telah dapat
ditundukkan, tidak akan sukarlah untuk menentang raja yang duduk di
singgasana Jenggala dan Jawadwipa yang lohjinawi itu akan menjadi milik
Kerajaan Cola!
Seringkali ia diam-diam menertawakan rekannya dari Sriwijaya, Biku
Janapati yang tidak tampak mendapatkan kemajuan apa-apa. Akhir-akhir ini
dengan girang ia mendengar akan ditawankan Pangeran Panji Sigit dan
tiga orang muda yang termasuk orang-orang bahaya bagi Jenggala.
Maka kini mendengar ucapan muridnya bahwa pemuda remaja yang luar biasa
ini pun sudah membebaskan tawanan yang kini hadir pula di atas panggung,
ia menjadi marah bukan main.
Melihat munculnya Cekel Wisangkoro, Tejolaksono yang maklum bahwa
keadaan makin gawat, segera berkata kepada Setyaningsih, Pusporini,
Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono,
“Kalian berempat lakukanlah tugasmu, hadapi Cekel Wisangkoro, Sariwuni
dan kaki tangannya. Aku dan kedua ayundamu akan membantu Bagus Seta!”
Biar pun keadaan gawat dan menegangkan, akan tetapi jiwa kepemimpinan
Tejolaksono tidak pernah tenggelam dan dalam keadaan seperti itu ia
dapat mengatur tugas dan membagi-baginya dengan perhitungan masak.
Ayu Candra yang sudah siuman kini pun sudah siap sedia membantu
puteranya, dan keharuan serta kebahagiaan yang datangnya demikian
tiba-tiba kini tak dapat ditumpahkan, hanya ditelan dan disimpan dalam
rongga dada, kini berdiri di dekat suaminya dan Endang Patibroto.
“Ha-ha-ha-ha! Tejolaksono, jangan kau bergirang lebih dulu dengan adanya
bantuan-bantuan yang tiba. Makin banyak keluarga dan sekutumu berkumpul
makin baiklah bagiku agar sekaligus aku dapat membasmi
penghalangpenghalang bagi tugasku!”
Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati lalu mengeluarkan suara
gerengan seperti seekor harimau kelaparan dan ia menggerakkan kedua
lengannya mendorong ke depan. Serangkum tenaga dahsyat menyambar ke
depan.
Pada saat itu juga, Pusporini yang mendahului yang lain-lain setelah
menerima perintah Tejolaksono, sudah menerjang Cekel Wisangkoro dengan
pukulan Pethit Nogo yang ampuh.
Demikian hebat terjangan dara perkasa ini sehingga tidak ada lain jalan
bagi Cekel Wisangkoro untuk menyelamatkan diri kecuali melompat turun
dari atas panggung.
Pusporini mengejar dan melompat turun pula, diikuti oleh Joko Pramono,
Pangeran Panji Sigit, dan Setyaningsih. Mereka ini disambut oleh Cekel
Wisangkoro, Sariwuni dan tujuh orang murid-murid Ni Dewi Nilamanik,
dibantu pula oleh anak buah yang datang menyerbu dengan senjata tombak
dan golok.
Terjadilah pertandingan campuh yang hebat di bawah panggung, di mana
Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang lain mengamuk.
Pukulan jarak jauh yang dilakukan Wasi Bagaspati dengan jalan
mendorongkan kedua lengannya amatlah hebatnya. Berbeda ketika kakek ini
menghadapi Tejolaksono bertiga isteri-isterinya, sekali ini Wasi
Bagaspati mengerahkan seluruh kekuatannya dan tenaga sakti yang
terkandung dalam pukulan mendorong ini diperkuat oleh tenaga batinnya
sehingga pukulan itu luar biasa dahsyatnya.
Seketika Tejolaksono dan kedua orang isterinya, terutama sekali Ayu
Candra, terhuyung ke belakang, merasa seolah-olah ada gunung api
menyerang mereka.
Bagus Seta melompat ke depan ayah dan kedua orang ibundanya, melindungi
mereka dengan tubuhnya dan mendorongkan pula lengannya ke depan sambil
berkata dengan suara halus,
“Yang menggunakan kekerasan akan menerima kekerasan pula, Sang Wasi!”
“Dessss!”
Terasa sekali oleh Tejolaksono dan dua orang isterinya akan pertemuan
dua tenaga raksasa yang ampuh dan mujijat di tengah udara, di antara
Wasi Bagaspati dan Bagus Seta, seolah-olah dua gunung api bertemu dan
saling membakar, saling menindih.
Bagus Seta masih berdiri tegak dan tenang, dan Wasi Bagaspati memandang
terbelalak, agak menggigil seperti orang kedinginan, atau seperti orang
yang merasa gentar akan sesuatu sehingga meremang bulu tengkuknya.
Tentu saja Wasi Bagaspati sama sekali tidak pernah merasa gentar, karena
perasaan ini sudah lama terhapus dari hatinya bersamaan dengan
timbulnya perasaan percaya kepada diri sendiri bahwa kesaktiannya sudah
terlalu tinggi untuk dapat dikalahkan lawan yang mana pun juga.
Kalau ia kelihatan seperti menggigil adalah karena ia merasa terlalu
heran dan terlalu penasaran melihat kenyataan betapa pukulannya yang
ampuh dan mujijat tadi dapat ditahan dan didorong kembali oleh seorang
yang masih begini muda!
Kemarahannya memuncak karena dorongan rasa penasaran ini dan sambil
memekik dahsyat tubuhnya yang tinggi itu kini menerjang maju dan kedua
lengannya yang panjang itu bergerak menyambar dari kanan kiri dengan
jari -jari tangan terbuka, berusaha menangkap dan mencengkeram hancur
tubuh Bagus Seta dengan tangannya yang kuat melebihi cengkeraman baja.
Bagus Seta tetap bersikap tenang menghadapi terkaman kedua lengan yang
mengamuk seperti badai ini. Kelihatannya pemuda itu hanya menggerakkan
tubuhnya lambat-lambat saja akan tetapi aneh sekali, dua tangan yang
menyambar-nyambar itu selalu menangkap angin, tak pernah dapat menyentuh
tubuhnya.....
Komentar
Posting Komentar