PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-77


Dilihat dari jauh, tampaknya Wasi Bagaspati seperti seorang anak-anak yang berusaha menangkap seekor kupukupu, atau seorang gila yang berusaha menangkap asap!
Melihat kehebatan putera mereka, Tejolaksono dan 'Endang Patibroto serta Ayu Candra terbelalak kagum, akan tetapi Tejolaksono yang bijaksana dan dapat mengenal kesaktian luar biasa yang dimiliki puteranya, cepat berkata,
“Mari kita membantu mereka di bawah!”
Tubuhnya melompat turun panggung diikuti Endang Patibroto dan Ayu Candra.
Di bawah panggung terjadi pertandingan yang lebih ramai, seru dan dahsyat sekali. Empat orang muda mengamuk seperti banteng-banteng terluka. Terutama sekali sepak terjang Pusporini dan Joko Pramono yang seakan-akan berlomba dan bersicepat merobohkan Cekel Wisangkoro membuat cekel itu kewalahan.
Melawan seorang saja di antara dua orang murid Resi Mahesapati ini masih diragukan apakah dia akan sanggup mengalahkannya, apa lagi kini dua orang murid itu maju bersama mengeroyoknya.
Cekel Wisangkoro memutar tongkat ularnya dengan nekat dan mengerahkan seluruh kedigdayaannya, mengeluarkan segala ilmunya, namun siasia. Segala macam mantera telah ia ucapkan, mantera-mantera, yang mengandung kekuatan ilmu hitam yang biasanya akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan, akan tetapi terhadap dua orang muda ini tidak mempan sama sekali. Gerakan tongkat ularnya yang cepat itu tidak dapat mengatasi gerak cepat kaki tangan Pusporini dan Joko( Pramono sehingga ia terus didesak mundur.
Ketika untuk kesekian kalinya tongkatnya tidak menemui sasaran setelah ia sabetkan melingkar ke depan menghantam dua orang lawannya yang mengelak cepat, Joko Pramono mengirim pukulan yang ampuhnya menggila, yaitu pukulan dengan Aji Cantuka Sekti, ke arah dada lawan.
Cekel Wisangkoro tergesa-gesa membuang diri ke kiri menghindarkan pukulan maut itu. Akan tetapi dari kiri menyambar tangan Pusporini yang menyerang dengan pukulan Pethit Nogo.
Cekel Wisangkoro kaget sekali, cepat mengangkat tongkat ularnya, disabetkan ke arah pergelangan gadis itu. Akan tetapi Pusporini sudah memutar pergelangan tangannya dan merubah tamparan menjadi cengkeraman yang berhasil menangkap tongkat ular!
Cekel Wisangkoro terkejut, mengerahkan seluruh tenaga dan menggereng sambil membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi tongkat itu tidak dapat terlepas dari cengkeraman Pusporini.
Pada saat itu Joko Pramono yang tidak mau kalah sudah memukul lagi dengan Aji Cantuka Sekti ke arah perut lawan. Melihat, datangnya pukulan, Cekel Wisangkoro dapat mengenal bahaya maut, terpaksa ia melepaskan tongkatnya dan menggunakan lengan kanan untuk menangkis pukulan itu.
Akan tetapi karena gerakannya ini agak terlambat dan tenaganya pun tidak cukup dipersiapkan dalam menghadapi pukulan sakti itu, ketika kedua lengan bertemu, tubuhnya terpental ke belakang, lengan kanannya seperti lumpuh dan ia jatuh terguling-guling.
“Toloooonggg... tolong, Bapak guru, tolong!”
Saking panik dan takutnya, kini Cekel Wisangkoro berteriak-teriak minta tolong.
Akan tetapi Wasi Bagaspati yang sibuk dan bernafsu sekali merobohkan Bagus Seta itu tidak mempedulikan teriakan muridnya ini. Belasan orang anak buah yang tadinya tak dapat membantu karena jalannya pertempuran amat cepat sehingga sukar bagi mereka untuk turun tangan mencampuri dan membantu, kini menerjang maju dengan tombak dan golok mereka yang datang bagaikan hujan menyerang Pusporini dan Joko Pramono.
Akan tetapi terjangan itu sama dengan terjangan sekumpulan laron terhadap api. Terdengar tombak patah golok terbang dan pekik-pekik kesakitan ketika sepuluh orang di antara mereka terpental kocar-kacir tercium tendangan-tendangan kaki Pusporini dan Joko Pramono.
Akan tetapi hambatan ini menyelamatkan Cekel Wisangkoro yang telah lari entah ke mana karena ketika Pusporini dan Joko Pramono memandang dan mencari, bayangan cekel pengecut itu telah lenyap. Dengan marah kedua orang muda perkasa ini lalu menoleh ke arah pertandingan di bagian lain di mana tadi Setyaningsih dan suaminya mengamuk.
Seperti halnya Joko Pramono dan Pusporini yang segera turun tangan menyerang orang-orang yang menjadi tokoh penting dari fihak lawan, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih juga langsung menerjang Sariwuni ketika mereka berdua meloncat turun dari atas panggung.
Biar pun Sariwuni tidak sehebat Cekel Wisangkoro kesaktiannya, dia adalah kekasih Wasi Bagaspati dan tentu saja sudah banyak menerima petunjuk Sang Wasi. Bahkan Sariwuni menerima sebuah ilmu yang dahsyat dan mujijat, yaitu Aji Wisakenaka yang membuat sepuluh buah kuku jarinya merupakan sepuluh buah keris-keris kecil yang mengandung racun ampuh!
Begitu melihat turunnya Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit dari atas panggung, Sariwuni lalu menyambut mereka dengan cakaran-cakaran kukunya yang beracun. Akan tetapi dengan mudahnya suami isteri ini mengelak dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
Terutama sekali Setyaningsih yang telah menerima gemblengan ayundanya, Endang Patibroto, wanita muda ini segera mencecar Sariwuni dengan tamparan Pethit Nogo. Dalam kemarahan mereka terhadap Sariwuni yang tadi menari-nari dan jelas mengandung niat kotor terhadap Tejolaksono, suami isteri muda ini mengambil keputusan tetap untuk membunuh wanita cabul ini.
Tujuh orang wanita murid-murid Ni Dewi Nilamanik cepat maju dan membantu Sariwuni.
Mereka adalah murid-murid Ni Dewi Nilamanik, tentu saja telah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan dalam pertempuran, tidak seperti para anak buah di situ yang hanya dapat bertempur berdasarkan ketaatan mereka terhadap perintah pimpinan.
Tujuh orang wanita yang masih berpakalan putlh tipis sehingga tubuh mereka membayang seperti orang bertelanjang bulat itu kini bergerakgerak mengepung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih.
Dari tubuh mereka tercium wangi-wangian yang sengaja mereka pakai dalam pesta tadi. Bau wangi dan ketelanjangan mereka ini memuakkan hati Setyahingsih yang mengamuk makin hebat.
Dua orang penari itu telah roboh dengan kepala pecah terkena sambaran aji pukulan Pethit Nogo, sedangkan Pangeran Panji Sigit yang merasa enggan untuk menyentuhkan tangannya kepada tubuh para pengeroyok yang seperti telanjang itu, telah merobohkan seorang penari dengan tendangan yang bersarang di lambung.
Sariwuni menjadi marah sekali melihat betapa dalam waktu singkat tiga orang pembantunya telah roboh binasa. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menerjang ke arah Setyaningsih dengan sebatang pedang yang ia cabut dari punggungnya.
Setyaningsih sengaja menanti datangnya tusukan pedang. Melihat kelambatnya isterinya, Pangeran Panji Sigit berseru,
“Isteriku, awas...!”
Akan tetapi pedang di tangan Sariwuni sudah datang menusuk sedangkan Pangeran Panji Sigit sendiri sedang dikeroyok dua orang wanita yang memegang golok. Ketika pedang itu hampir menyentuh Setyaningsih, wanita perkasa ini secara tiba-tiba miringkan tubuh dan secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan Sariwuni, mengerahkan tenaga menambah tenaga serangan lawan terus mendorongkan tubuh Sariwuni ke depan, ke arah seorang di antara dua orang penari lain yang hendak menyerangnya dari belakang.
“Blessss...!”
Pedang di tangan Sariwuni tanpa dapat dicegah lagi memasuki perut seorang penari sampai tembus ke punggungnya saking kerasnya luncuran pedang yang ditambah oleh tenaga dorong Setyaningsih tadi.
Terdengar jerit mengerikan ketika penari itu roboh membawa pedang Sariwuni yang melepaskan senjatanya dan berdiri memandang dengan mata terbelalak.
Kemudian ia menjadi demikian marah sehingga diterjangnya Setyaningsih dengan nekat, menggunakan kedua cakar tangannya yang berkuku hitam panjang beracun. Sebenarnya, kalau Sariwuni menggunakan kedua tangan yang memiliki sepuluh buah kuku beracun ini, dia malah lebih berbahaya dari pada kalau bersenjatakan pedang.
Kini ia menyerang dengan nekat saking marahnya, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya terjangan kedua cakarnya ke arah tubuh Setyaningsih.
Setyaningsih maklum akan bahayanya serangan ini.
Wanita yang pendiam ini memiliki keberanian luar biasa dan dalam detik penuh bahaya itu dia sudah dapat menemukan akal yang jarang berani dilakukan orang lain. Ia meloncat mundur mendekati seorang penari yang membawa golok kemudian kakinya tergelincir dan tubuhnya roboh! Melihat ini, Sariwuni menjadi girang dan menubruk. Juga penari itu mengangkat goloknya membacok.
“Setyaningsih...!”
Pangeran Panji Sigit yang khawatir sekali cepat merobohkan dua orang penari yang mengeroyoknya dengan pukulan kedua tangannya.
Menghadapi isterinya terancam bahaya, pangeran ini tidak segan-segan lagi untuk menghantam dua tubuh berpakaian tipis semrawang itu sehingga mereka roboh dan tewas seketika karena yang seorang patah tulang tengkuknya sedangkan yang ke dua retak kepalanya terkena pukulan Pangeran Panji Sigit.
Dia lalu membalikkan tubuh siap membantu isterinya, akan tetapi pangeran ini terbelalak kagum menyaksikan sepak terjang isterinya.
Ternyata Setyaningsih yang memang jatuhnya adalah buatan atau pancingan, melihat datangnya serangan Sariwuni dan penari itu, cepat menggulingkan tubuh mendekati penari, menangkap pergelangan tangannya, tubuhnya sendiri meloncat bangun secara tiba-tiba dan tubuh penari itu dipergunakan untuk menyerang Sariwuni yang sedang menerkamnya.
Sariwuni terkejut dan terpaksa menangkis dengan cengkeraman sehingga lima buah kuku hitam runcing mepancap di pipi penari itu yang menjerit ngeri dan ketika tubuhnya dilepaskan, ia merintih-rintih, mencakari mukanya yang berubah menjadi hitam, berkelojotan menjerit -jerit sebentar kemudian selagi Sariwuni memandang korban ke dua ini dengan mata terbelalak, kesempatan ini dipergunakan oleh Setyaningsih untuk menubruk dan mengirim pukulan ke arah ulu hatinya.
Sariwuni berteriak marah dan menangkis dengan tangan kanannya bahkan balas mencengkeram dengan tangan yang menangkis itu, namun ia kalah cepat dan Setyaningsih sudah merubah pukulan Pethit Nogo itu dengan menangkap pergelangan tangan lawan. Pada saat itu, Pangeran Panji Sigit sudah meloncat datang dan tangan kiri Sariwuni yang mencakar ke arah Setyaningsih itu tibatiba ditangkap oleh Pangeran Panji Sigit.
Tanpa berunding lagi suami isteri ini dengan gerakan serentak lalu memutar lengan yang mereka tangkap dari kanan kiri sambil mengerahkan tenaga.
“Krekkl Krekkk!” Sambungan sepasang lengan itu putus di tiga tempat, yaitu di pundak, siku, dan pergelangan. Tentu saja kedua lengan Sariwuni menjadi lumpuh seketika.
Dan pada saat itu, sebelum Setyaningsih dan suaminya melepaskan lengan yang sudah lumpuh, terdengar bentakan Endang Patibroto, “Ningsih! Pangeran! Minggir!”
Tubuh Endang Patibroto yang baru saja meloncat turun dari panggung bersama Tejolaksono dan Ayu Candra, menyambar bagaikan seekor burung dan sebuah pukulan dahsyat menghantam kepala Sariwuni sehingga remuk dan isi kepalanya muncrat berhamburan.
Untung Pangeran Panji Sigit dan isterinya sudah meloncat mundur ketika mendengar seruan ayunda mereka, kalau tidak tentu akan terkena percikan darah dan otak.
Semua orang anak buah Sariwuni yang berada di situ memandang dengan muka pucat dan hati penuh ketakutan.
Memang Endang Patibroto kalau sedang marah amatlah menakutkan sepak-terjangnya. Dan dia amat marah kepada Sariwuni yang ia tahu hendak mempermainkan suaminya. Rasa marah karena cemburu.
Setelah Cekel WiSangkoro melarikan diri dan Sariwuni tewas, tujuh orang perkasa itu tentu saja bukan lawan para anak buah di situ, apa lagi karena tenaga yang agak boleh diandalkan, yaitu tujuh orang penari yang membantu Sariwuni juga sudah tewas. Terjadilah panik dan anak buah itu melawan dengan nekat dan ada yang mulai lari berserabutan saling tabrak.
Sementara itu, pertandingan antara Wasi Bagaspati dan Bagus Seta juga berlangsung dengan seru. Mula-mula tidak tepat disebut pertandingan karena yang menyerang hanyalah sefihak, yaitu Wasi Bagaspati yang masih mempergunakan kecepatan dan tenaga dalam usahanya menagkap tubuh Bagus Seta yang ringan seperti asap itu.
Makin penasaran karena ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya, bahkan membantu dengan pengerahan kekuatan batin untuk menundukkan dan mempengaruhi hati dan pikiran Bagus Seta.
Namun semua itu sia-sia belaka, pemuda itu tetap bersikap tenang sekali, sedikit pun tidak goyah oleh tarikan tenaga mujijat dari kekuatan batin Sang Wasi, dan tubuhnya masih selalu berkelebat tak pernah dapat disentuh kedua tangan Wasi Bagaspati. N.-I
“Bocah keparat Bagus Seta! Apakah gurumu mengajar engkau menjadi pengecut yang hanya panda! mengelak dan menghindari semua pukulan lawan?”
Bentak Wasi Bagaspati yang kehabisan akal untuk dapat menangkapnya dan kini berdiri dengan mata melotot.
Bagus Seta pun menghentikan gerakan tubuhnya, berdiri tenang dan balas bertanya,
“Apakah yang kau kehendaki dariku, Sang Wasi?”
“Kalau andika memang sakti mandraguna, hayo hadapi aji pukulan dengan aji pukulan pula. Keluarkan kesaktianmu, keparat!”
“Sang Wasi Bagaspati, kekasaran takkan dapat mengatasi kehalusan, kekarasan takkan dapat menanggulangi kelunakan seperti juga kesalahan takkan dapat memenangkan kebenaran. Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti, Sang Wasi. Mengapa andika hendak memaksakan keadaan yang sebaliknya? Andika menghendaki aku menggunakan kekerasan menghadapi kekerasanmu? Andika yang menghendaki, bukan aku. Nah, silakan!”
Setelah berkata demikian, Bagus Seta membuka kedua kakinya ke kanan kiri, tubuhnya agak merendah, pandang matanya tajam ke depan dan kedua tangan diangkat sedikit di kanan kiri lambung dengan jari-jari tangan terbuka.
Melihat ini, Wasi Bagaspati maklum bahwa itulah sikap dan kuda-kuda orang yang mengandalkan tenaga sakti untuk menghadapi lawan tangguh, maka ia bersikap hati-hati, diam-diam mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan tiba-tiba dari dalam dadanya keluar suara menggetar yang tak terdengar telinga saking rendahnya, namun yang wibawanya menggetarkan lawan sehingga tanpa memukul pun getaran itu akan dapat mengguncang jantung lawan dan menewaskannya.
Kemudian ia melompat ke depan dan memukul dengan kedua telapak tangannya didorongkan ke arah dada Bagus Seta.
Hebat luar biasa kekuatan pukulan kedua lengan ini, dan sekiranya yang didorong ini sebarisan orang yang puluhan banyaknya, agaknya akan dapat didorong roboh oleh kedasyatan tenaga sakti yang keluar dari sepasang tapak tangan merah Sang Wasi Bagaspati. Bagus Seta sudah waspada akan kedahsyatan lawan, namun dengan sikap tenang ia pun menggerakkan kedua lengannya didorongkan ke depan menerima dua telapak tangan lawan itu.
“Dessss...!”
Dua pasang telapak tangan yang penuh hawa mujijat bertemu dan menimbulkan getaran hebat sehingga panggung itu hampir roboh karena terguncang. Tubuh Wasi Bagaspati terdorong mundur sampai lima langkah sedangkan tubuh Bagus Seta tergoyang-goyang seperti pohon waringin tertiup badai.
Wajah Wasi Bagaspati yang biasanya merah sekali itu kini menjadi agak pucat dan maklumlah ia bahwa pemuda remaja itu benarbenar memiliki kesaktian yang amat mengejutkan. Diam-diam ia merasa mendongkol sekali kepada Bhagawan Ekadenta yang agaknya sengaja menciptakan pemuda sakti ini untuk menentang usahanya.
Pikiran ini membuat hatinya bergelora penuh penasaran dan kemarahan, membuat ia lupa diri dan mulutnya berkemak-kemik, kemudian ia membentak,
“Bagus Seta, engkau lebih sombong dari pada gurumu! Kaukira berhasilkan mengalahkan Wasi Bagaspati, murid terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa? Lihatlah senjata ini yang akan menghancurlumatkan tubuhmu, keparat!”
Kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang tiba-tiba saja sudah memegang senjatanya yang amat ampuh, senjata Cakra yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata.
Melihat senjata itu, Bagus Seta mengerutkan alisnya.
“Sang Wasi Bagaspati, ingatlah akan kesucian pusaka itu. Hendakkah andika jangan mencemarkannya dengan mempergunakan nafsu angkara murka?”
“Senjata ini adalah milikku, peduli apa engkau akan penggunaannya? Keparat, kalau engkau takut menghadapinya, hayo berlutut dan menyerah!”
Suara ini amat berpengaruh karena terdorong oleh kekuatan mujijat maha dahsyat yang keluar dari cahaya senjata Cakra itu.
Maklum bahwa menghadapi senjata itu berarti menghadapi perjuangan mati hidup seperti yang dipesan gurunya, Bagus Seta lalu memejamkan mata sejenak, kemudian mengangkat tangan kanannya yang sudah memegang setangkai bunga Cempaka Putih di atas kepala.
Dengan mata menatap wajah Wasi Bagaspati dan setangkai bunga Cempaka Putih diangkat tinggi, bunga yang segar seakan-akan memang tumbuh di atas telapak tangan pemuda itu dan mengeluarkan cahaya gemilang, ia berkata,
“Sang Wasi Bagaspati, kalau andika menghendaki penentuan terakhir dalam hidup kita di dunia ini, aku sudah siap menghadapimu!”
Ketika Wasi Bagaspati melihat setangkai bunga Cempaka Putih di tangan Bagus Seta, seketika kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar keras. Terbayanglah peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika ia bertapa di bawah pohon Cempaka untuk mengisi kekuatan mujijat pada senjata Cakra yang terletak di depan dia duduk bersila.
Dia sedang bersamadhi dengan tekun dan hening, kekuatan mujijat memancar melalui dirinya dan meluncur turun memasuki senjata Cakra itu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara perlahan dan matanya yang terpejam seperti melihat cahaya putih berkelebat dan seketika perhatiannya terpecah dan kekuatan mujijat itu berhenti mengalir seperti air dibendung.
Ketika ia membuka matanya, ternyata di atas senjata Cakra itu terdapat setangkai bunga Cempaka Putih yang agaknya rontok dari pohon dan jatuh menimpa senjata Cakra sehingga mengganggu keheningan samadhinya dan terhentilah pengisian tenaga sakti ke dalam senjata itu.
Hal ini dianggapnya sebagai peringatan dari dewata bahwa pengapesan yang merupakan pantangan bagi senjata pusaka itu adalah setangkai bunga Cempaka Putih.
Dan sekarang, Bagus Seta memegang setangkai bunga Cempaka Putih yang mengeluarkan sinar gemilang!
Tangan Wasi Bagaspati yang memegang senjata Cakra menggigil ketika ia merasa betapa senjata pusakanya menggetar dan seperti seekor kelinci ketakutan yang berusaha untuk lari menyembunyikan dirinya.
Dia bukan seorang bodoh dan tanda-tanda seperti itu tak berani ia menerjangnya. Cepat ia menyimpan kembali senjatanya dan meloncat ke atas sambil membentak marah,
“Auuunggghh! Bagus Seta manusia keparat!”
Kemarahannya ini adalah ketika ia melihat tewasnya Sariwuni dan tujuh orang penari serta banyak anak buah di situ. “Awaslah engkau, akan tiba saatnya engkau menyesali sikapmu memusuhi aku!”
“Aku tidak memusuhimu, Wasi Bagaspati,” jawab Bagus Seta akan tetapi tubuh Wasi Bagaspati sudah mencelat jauh, dalam sekejap mata saja sudah tak tampak lagi seolah-olah ditelan bumi. Bagus Seta menghela napas panjang, menyimpan bunga Cempaka Putih dan menengok. Ketika ia melihat betapa ayah dan kedua bundanya, juga dua pasang bibi dan pamannya mulai mengamuk di antara para anak buah lawan yang lari berserabutan dengan panik, ia lalu meloncat turun dan berkata halus,
“Kangjeng Rama, Ibu, Bibi, dan Paman! Harap menaruh kasihan kepada mereka.”
Tujuh orang sakti itu tertegun mendengar suara halus Bagus Seta dan serentak mereka menghentikan amukan dan menghampiri Bagus Seta. Akan tetapi Endang Patibroto membantah,
“Puteraku sang sakti Bagus Seta. Mereka adalah anak buah musuh yang mengacaukan negara, sudah sepatutnya kalau dibunuh. Bukankah kita sedang berjuang?”
Bagus Seta tersenyum dan baru senyum ini saja sudah mengusir sebagian besar kemarahan dan kebencian dari hati Endang Patibroto terhadap musuhnya.
“Ibunda benar, perang membela nusa bangsa adalah perjuangan yang menjadi kewajiban setiap orang satria. Akan tetapi, perang menghadapi pihak yang melawan barulah namanya perjuangan, adapun membunuhi pihak yang tidak mampu melawan dan tidak mau melawan lagi namanya penyembelihan yang lahir dari nafsu kebencian. Membunuh dalam perjuangan sama sekali bebas dari pada benci, sebaliknya membunuh dengan hati membenci bukanlah perjuangan namanya. Bedanya amat besar, Kanjeng Ibu.”
Endang Patibroto melongo dan menghela napas panjang.
“Duhai puteraku, engkau membuka mata dan hatiku.”
Ayu Candra sudah merangkul puteranya dan mengelus-elus rambut kepala puteranya penuh kasih sayang. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut ibu akan tetapi getaran yang keluar dari sentuhan jari -jari tangan, pancaran pandang mata yang keluar dari sepasang mata yang basah itu, merupakan pengganti kata-kata yang lebih menyentuh perasaan dan mengharukan hati Bagus Seta yang betapa pun juga adalah seorang manusia biasa.
“Kanjeng Ibu...“ Hanya demikian ia dapat berbisik sambil menciumi ujung jari Ibunya.
Dengan sudah payah Ayu Candra dapat juga berbisik, “Puteraku...Bagus Seta, tahukah engkau betapa berat penderitaanku selama kautinggalkan dan betapa bahagia hati ini setelah kau kembali?”
Bagus Seta tersenyum dan menahan hatinya jangan sampai meruntuhkan air mata. “Tentu saja, Kanjeng Ibu. Puteranda maklum...”
Terdengar isak tertahan dan ternyata Endang Patibroto, Pusporini, dan Setyaningsih sudah menangis, tidak tahan menyaksikan pertemuan antara ibu dan anak yang tidak dihias banyak kata-kata namun yang menyentuh perasaan menggugah keharuan itu. Terutama sekali Endang Patibroto yang teringat akan puterinya, Retno Wilis, hatinya nelangsa.
Tejolaksono waspada akan semua ini dan untuk membuyarkan suasana keharuan yang mencekam dan menular itu cepat berkata,
“Bagus Seta, bagaimana kesudahan pertandinganmu melawan Wasi Bagaspati? Ke manakah dia?”
Disebutnya nama ini benar saja membuat semua orang sadar dan perhatian mereka tertarik. Bahkan Ayu Candra sudah melepaskan rangkulannya untuk dapat lebih jelas memandang wajah ' puteranya dan mendengarkan jawabannya.
“Dia telah pergi...” jawab Bagus Seta.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu untuk memberi kesempatan kepada sisa anak buah Sariwuni untuk mengubur para korban yang tewas dalam pertempuran itu.
Dalam pertemuan yang menggembirakan itu ramailah mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, terutama sekali Bagus Seta dan Pusporini yang telah lama meninggalkan keluarga mereka.
Mereka bercakap-cakap di luar sebuah hutan di kaki gunung itu sambil menanti datangnya pagi karena malam telah mulai gelap setelah bulan purnama menyelam di barat. telah cukup mereka melepas rindu dan menceritakan pengalaman masingmasing, Tejolaksono lalu berkata,
“Mendengar penuturan kalian dan mengingat akan perkembangan di Jenggala pada saat ini yang amat buruk, tidak perlu lagi kita pergi ke Jenggala karena kita tentu akan menempuh tentangan dari pengaruh-pengaruh jahat yang kini mencengkeram Jenggala. Sebaliknya kita kembali ke Panjalu dan melaporkan segala keadaan Jenggala itu kepada sang prabu. Bagaimana pendapatmu, Bagus Seta?”
Tejolaksono yang maklum sepenuhnya bahwa kini tibalah saatnya apa yang dahulu diramalkan Ki Tunggaljiwa, sengaja menanyakan pendapat Bagus Seta karena puteraya inilah yang akan dapat diandalkan untuk menghadapi orang-orang sakti seperti Wasi Bagaspati yang berdiri di fihak pengacau.
“Pendapat Kanjeng Rama tepat sekali. Memang urusan yang terjadi di Jenggala sudah menjadi urusan besar yang menyangkut kerajaan dan kiranya hanyalah sang prabu di Panjalu saja yang berhak memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap kekuasaan yang secara halus mencengkeram Jenggala.”
Demikianlah, setelah sinar matahari pagi mulai menggantikan malam mengusir embun, delapan orang anggota keluarga sakti mandraguna itu melakukan perjalanan menuju ke Kota Raja Panjalu. Rombongan keluarga yang amat hebat dan baru sekaranglah keluarga itu hampir lengkap, hanya sayang masih berkurang seorang, yaitu puteri Tejolaksono dari Endang Patibroto, Retna Wilis!
Adapun Joko Pramono sungguh pun belum menjadi suami Pusporini, namun sudah dianggap sebagai keluarga karena selain dia adalah kekasih dan tunangan Pusporini, juga kakak seperguruannya.
Apa lagi ketika pemuda ini malam tadi menceritakan riwayatnya, memperkenalkan diri sebagai keponakan Ki Adibroto yang menjadi ayah Ayu Candra, maka pemuda ini sesungguhnya masih adik keponakan Ayu Candra sendiri, jadi masih keluarga pula.
Sang prabu di Panjalu menjadi terkejut sekali ketika mendengar pelaporan Tejolaksono tentang keadaan di Jenggala, mendengar betapa parah keadaan kerajaan adiknya itu.
Lebih terkejut dan marah lagi ketika mendengar akan kenyataan bahwa mereka yang berkuasa di Jenggala sekarang adalah sekutu-sekutu dari utusan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola, terutama sekali Kerajaan Cola. Sang prabu yang arif bijaksana maklum akan gawatnya persoalan, maklum bahwa hal ini selain menyangkut jatuh-bangunnya Kerajaan Jenggala, juga menyangkut keamanan Kerajaan Panjalu sendiri.
Juga sang prabu menyatakan kegirangannya akan berkumpulnya keluarga Ki Patih Tejolaksono, lebih-lebih melihat Bagus Seta sang prabu menjadi kagum dan seketika kepercayaannya tercurah kepada pemuda remaja ini.
“Kita harus turun tangan menyelamatkan Jenggala!” ujar sang prabu. “Akan tetapi karena kekuasaan jahat itu menggunakan jalan halus, amatlah tidak baik kalau kita menggunakan jalan kekasaran.Sebaiknya aku akan menulis sepucuk surat pribadi untuk yayi prabu di Jenggala, mengangkat Bagus Seta menjadi utusan pembawa surat. Karena surat ini bersifat pribadi, kita mendapat alasan untuk menyampaikan surat itu ke tangan yayi prabu sendiri. Syukur kalau para pengacau itu memperbolehkan Bagus Seta menghadap yayi prabu sehingga selain menyerahkan surat, dapat pula membebaskan yayi prabu dari pada hawa jahat yang mempengaruhinya agar sadar. Andai kata fihak pengacau menggunakan kekerasan mencegah, maka kita mendapat alasan pula untuk turun tangan menggunakan kekerasan. Untuk keperluan Patih Tejolaksono dan keluarganya yang sakti mandraguna kuperintahkan untuk mengawal Bagus seta, dan kepada Pangeran Darmokusumo dan Kakang Patih Suroyudo, kuperintahkan untuk mempersiapkan barisan pilihan untuk membayangi dari belakang sehingga apa bila terjadi kekerasan, barisan kita akan dapat cepat menyerbu ke Jenggala. Kuperintahkan andika sekalian berusaha untuk membersihkan Jenggala dari semua oknum jahat, menagkapi atau membasmi para pengacau dan mengangkat kekuasaan yayi prabu di Jenggala. Puteraku Pangeran Panji Sigit, menjadi kewajiban utama bagimu untuk menyelamatkan kangjeng ramamu dari tangan Suminten yang jahat karena untuk mengingatkan penyelewengan seorang ayah menjadi kewajiban seorang anak.”
Setelah persidangan di hadapan sang prabu di Panjalu bubar, para satria perkasa segera mempersiapkan tugas masing-masing sambil menanti surat sang prabu dan kelanjutan perintah untuk menentukan hari keberangkatan.
Akan tetapi sebelum perintah penentuan ini tiba, datanglah penyelidik yang melaporkan hal yang amat mengejutkan hati sang prabu di Panjalu, yaitu bahwa sang prabu di Jenggala berada dalam keadaan sakit dan sebulan lagi di Jenggala akan diadakan upacara pengangkatan Pangeran Kukutan sebagai Raja Jenggala oleh sang prabu yang sedang sakit!
“Hemm, ini tentu siasat mereka. Sekali pengangkatan itu sudah dilakukan secara resmi, kita tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kecuali menyatakan perang. Namun sungguh akan menyedihkan hati! sekali kalau menyatakan perang dengan kerajaan saudara sendiri! Kalau begitu, hari ini juga kalian harus berangkat dan suratnya kuubah berisi permintaan agar yayi prabu menunda pengangkatan raja baru sebelum bertemu dengan aku!”
Pesan sang prabu di Panjalu ini segera dilaksanakan oleh Bagus Seta yang menerima surat untuk raja di Jenggala, lalu berangkatlah pemuda remaja yang sakti mandraguna ini bersama seluruh keluarganya, yaitu Tejolaksono, Endang Patibroto, Pangeran Panji Sigit, Ayu Candra, Setyaningsih, Joko Pramono, dan Pusporini.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar