PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-78


Ancaman perang agaknya takkan dapat dielakkan lagi!
Barisan Panjalu yang menuju ke Jenggala itu telah didahului oleh berita yang dibawa orang dari mulut ke mulut dan cukup menggegerkan.
Rakyat Jenggala yang sudah muak menyaksikan peristiwa-peristiwa pembunuhan dan kekacauan, kenaikan pajak dan penindasan-penindasan terhadap para penyembah Bathara Wishnu yang setia, diam-diam menjadi gembira dan penuh harapan, bahkan di antara para orang mudanya banyak sudah bersiap-siap untuk membantu fihak Panjalu apa bila pecah perang.
Terutama sekali para panglima dan prajurit Jenggala yang terpaksa menghambakan diri kepada kekuasaan baru di Jenggala dengan pengorbanan perasaan, diam-diam juga bersiap untuk memberontak dan membantu barisan Panjalu apa bila saat dan kesempatannya tiba.
Rombongan keluarga sakti yang berangkat lebih dahulu dengan kuda-kuda pilihan, terpaksa berhenti di perbatasan kota raja karena ditahan oleh rombongan penjaga yang ratusan orang prajurit banyaknya.
Tejolaksono sebagai kepala rombongan segera maju menghampiri komandan pasukan, seorang perwira yang sudah setengah tua dan yang menyambut mereka dengan muka agak pucat karena perwira ini dengan kaget mengenal orang-orang sakti ini, terutama sekali ia gentar melihat bahwa Endang Patibroto berada di antara rombongan ini.
“Hai, perwira Jenggala. Mengapa andika menahan rombongan kami yang hendak lewat?”
Perwira itu memaksa diri membusungkan dada dan bersikap gagah karena akan amat memalukan kalau di hadapan seratus lebih anak buahnya ia memperlihatkan sikap lunak dan takut, maka jawabnya,
“Kami menjunjung perintah gusti patih untuk menjaga di sini dan tidak memperbolehkan orang luar memasuki tapal batas kota raja sebelum lewat hari penobatan gusti pangeran pati menjadi raja.”
Seorang perwira rendahan yang masih muda, yang merupakan ponggawa baru dan termasuk kaki tangan Patih Warutama, melangkah maju menyeret tombaknya yang panjang dan berat. Perwira muda ini bertubuh tinggi besar, kelihatan kuat dan bersikap kasar ketika bertanya.
“Kalian ini rombongan dari mana? Apakah kalian kawula (rakyat) Jenggala?”
Pusporini tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat lagak perwira muda ini. Ia meloncat maju mendekati perwira muda itu dan menudingkan telunjuknya ke hidung orang itu sambil membentak,
“Apakah matamu buta? Tidakkah engkau melihat bahwa beliau ini adalah Gustimu Pangeran Panji Sigit, pangeran dari Jenggala?”
Perwira muda itu menodongkan tombaknya ke dada Pusporini dan menjawab kasar,
“Aku mengenal dia sebagai seorang pemberontak dan pelarian. Juga engkau adalah seorang pelarian yang harus kami tangkap!”
Pusporini mengeluarkan seruan marah dan kaki tangannya bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu ia telah merampas tombak itu, dua kali mengayun tombak terdengar suara “krek, krekl” dan robohlah perwira muda itu dengan tulang kaki patah-patah.
Kemudian Pusporini mematah-matahkan tombak seperti orang mematahkan biting raja sambil membentak, “Siapa lagi yang ingin dipatahkan kakinya?”
Semua prajurit Jenggala menjadi pucat wajahnya, akan tetapi mereka pun mulai bergerak hendak mengeroyok.
“Rini, jangan menggunakan kekerasan. Mundurlah!” Tejolaksono membentak adik iparnya. Pusporini mundur sambil cemberut.
Endang Patibroto di dalam hati menyetujui perbuatan Pusporini itu. Memang ada persamaan antara wataknya dan watak Pusporini atau lebih tepat lagi, wataknya sendiri lebih keras dari pada watak Pusporini. Ia melangkah maju dan berkata kepada perwira komandan pasukan itu,
“Heh perwira lancang! Kalau kalian tidak mengakui Gustimu Pangeran Panji Sigit, apakah engkau begitu buta tidak mengenal suamiku Tejolaksono, Gusti Patih Panjalu? Apakah kalian ini seratus orang lebih sudah bosan hidup dan minta kubunuh semua? Apakah engkau tidak mengenal siapa aku?”
Gentarlah hati perwira itu. Memang ia tadi sudah amat takut melihat Endang Patibroto yang pernah menggegerkan Jenggala, apa lagi kini menyaksikan gadis muda Pusporini dan mendengar ancaman Endang Patibroto.
“Saya...eh, hamba mengenal Gusti Patih Tejolaksono dan mengenal pula paduka Gusti Puteri Endang Patibroto, akan tetapi... hamba hanyalah seorang petugas yang menjunjung perintah atasan yang tentu akan menerima hukuman apa bila hamba melanggar perintah atasan harap paduka memaklumi keadaan hamba dan para prajurit.”
Tejolaksono melangkah maju dan berkata,
“Perwira Jenggala, kami maklumi keadaan andika dan pembantumu itu menerima hukuman atas sikapnya yang kasar. Ketahuilah, kami pun tidak ingin menggunakan kekerasan asal saja andika tidak menentang. Kami bukanlah pelanggar-pelanggar yang hendak mengacau, melainkan utusan-utusan pribadi dart gusti sinuwun di Panjalu, kami membawa surat gusti sinuwun untuk dipersembahkan kepada gusti sinuwun di Jenggala. Karena kedudukan kami adalah rombongan utusan, maka tidak ada lagi sebutan pelarian dan setiap rombongan utusan, apa lagi utusan dari kerajaan yang masih berkeluarga dengan Jenggala, andika tidak boleh mengganggu kami dan bahkan harus mengantarkan kami sampai ke kota raja.”
Ucapan Tejolaksono yang mempunyai dasar kuat itu tak dapat dibantah lagi oleh perwira itu, maka ia lalu mengeluarkan perintah agar pasukannya memberi jalan, bahkan kemudian dia sendiri bersama dua losin prajurit mengiringkan rombongan ini menuju ke kota raja.
Karena pengawalan pasukan ini maka rombongan keluarga sakti dapat sampai di luar pintu gerbang dinding Kota Raja Jenggala.
Akan tetapi di pintu gerbang ini, mereka disambut oleh pasukan pengawal bersenjata lengkap terdiri dari lima puluh orang lebih dan melihat sikap mereka jelas dapat diduga bahwa mereka ini dari pengawal-pengawal pilihan yang muda-muda dan kuat-kuat yang dipimpin oleh Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik!
“Heh, perwira tolol! Apa yang kaulakukan ini? Mengapa kau mengawal rombongan musuh ini sampai ke sini?” bentak Ni Dewi Nilamanik dengan suara marah sambil memandang dengan mata terbelalak kepada perwira tadi. Perwira ini dengan tubuh menggigil lalu melangkah maju dan berkata dengan suara gemetar,
“Hamba...hamba terpaksa mengantar mereka karena mereka ini adalah utusan pribadi gusti sinuwun di Panjalu yang dipimpin oleh gusti patih muda dari Panjalu...!”
“Keparat bodoh!” Ki Kolohangkoro membentak, tangannya menyambar dan pecahlah kepada perwira itu yang tewas seketika.
Rombongan keluarga sakti marah sekali, akan tetapi karena hal yang terjadi adalah urusan dalam dan tidak menyangkut diri mereka, terpaksa mereka menahan sabar dan tidak mau mencampuri.
“Tejolaksono, andika muncul di sini bersama para pelarian yang telah memberontak terhadap Kerajaan Jenggala dan menjadi buronan kami, apakah kehendakmu?”
Ni Dewi Nilamanik bertanya dengan sikap angkuh.
Tejolaksono tersenyum menjawab,
“Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Hadirku di sini bukanlah hal mengherankan karena aku adalah Patih Muda Panjalu dan kini memimpin rombongan utusan pribadi gusti sinuwum di Panjalu. Akan tetapi melihat andika berdua memimpin pasukan pengawal di Jenggala benar-benar patut diherankanl Pada pertemuan antara kita yang terakhir sepuluh tahun yang lalu, kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengacau daerah Panjalu dan' Jenggala. Bagaimana sekarang kalian dapat menjadi pimpinan pengawal di keraton Jenggala?”
Ni Dewi Nilamanik tertawa.
“Hi-hik, apakah anehnya hal itu? Pangeran Panji Sigit adalah Pangeran Jenggala yang berdosa, kini tahu-tahu muncul sebagai anggota rombongan utusan Kerajaan Panjalu. Memang keadaan setiap orang selalu berubah. Sekarang, sebagai kepala pengawal penjaga, aku berhak untuk melarangmu memasuki kota raja sebelum engkau menjelaskan apa kehendakmu.”
Hati Tejolaksono mendongkol sekali, akan ia menahan perasaannya. Ia maklum bahwa kalau sikap Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seberani. ini, tentu mereka ini mempunyai andalan. Ni Dewi Nilamanik bukanlah seorang bodoh dan tentu saja cukup maklum bahwa menghadapi rombongan keluarganya, apa lagi dengan hadirnya Bagus Seta yang selalu bersikap tenang dan pendiam itu, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro takkan dapat mengatasinya. Pula, melihat kenyataan bahwa memang kedua orang itu kini menjadi kepala pengawal, terpaksa ia menjawab sebagaimana mestinya, ,-
“Seperti telah dikatakan perwira yang dibunuh itu, kami adalah rombongan utusan gusti sinuwun Panjalu.”
“Diutus apa?” Ni Dew! Nilamanik memotong.
“Kami diutus menghadap gusti sinuwun Jenggala!”
“Ada keperluan apa?”
Api kemarahan terpancar dari sepasang mata Tejolaksono, akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata sambil tersenyum menghina,
“Wahai, pengawal apakah andika ini begini kurang ajar? Sedikitpun tidak menghormati junjunganmu sendiri! Atau kelirukah aku mengatakan bahwa gusti sinuwun di Jenggala adalah junjunganmu?”
“Tejolaksono, tidak perlu banyak rewel. Pendeknya, kalau ingin diperkenankan masuk kota raja, harus member! tahu dengan jelas apa keperluanmu hendak menghadap gusti sinuwun. Aku adalah kepala penjaga di sini dan berhak menjaga keamanan dan setiap orang yang lewat, tahu?”
“Kami diutus mempersembahkan sepucuk surat pribadi dari gusti sinuwun Panjalu untuk gusti sinuwun Jenggala.”
“Serahkan saja surat itu kepada kami!” kata Ni Dewi Nilamanik.
“Hemm, ucapan apakah ini? Surat junjungan yang dipercayakan kepada kami sama harganya dengan nyawa kami, hanya gusti sinuwun Jenggala yang berhak menerima tangan tangan kami!” jawab Tejolaksono.
“Tidak mungkin menghadap gusti sinuwun. Beliau sedang sakit, tidak dapat menerima siapa pun juga!”
“Kami telah mendengar akan berita itu. Justeru karena beliau sakit maka gusti sinuwum Panjalu mengutus kami untuk menjenguk dan mempersembahkan surat.”
Ni Dewi Nilamanik tersenyum mengejek.
“Andika semenjak dahulu keras kepala, Tejolaksono. Baiklah, kalian diperkenankan menghadap, akan tetapi harus kami kawal agar kalian jangan sampai mendatangkan kekacauan di sini!”
“Sesukamulah. Yang penting bagi kami melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh gusti sinuwun kepada kami sebagai utusan.”
Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan seruan memerintah dan pasukan pengawal membuka jalan dan pintu gerbang pun dibuka lebar-lebar.
Tejolaksono dapat merasakan sesuatu yang mengancam, akan tetapi ketika ia melirik puteranya, ia melihat wajah Bagus Seta tetap tenang saja, maka ia pun lalu mengangguk dan melangkah masuk diikuti oleh semua rombongannya dengan sikap penuh kewaspadaan.
Baru kurang lebih dua ratus langkah mereka berjalan, tiba-tiba dari luar pintu gerbang masuk barisan yang besar jumlahnya dan pintu gerbang ditutup, kemudian terdengar suara ketawa disusul suara nyaring,
“Huah-ha-ha-ha, pintu gerbang maut. Ada jalan masuk tidak ada jalan keluar! Tejolaksono, serahkan surat rajamu itu kepada kami dan menyerahlah, dengan demikian ada kemungkinan kalian terbebas dari kematian!”
Keluarga sakti itu berdiri tegak dalam keadaan siap waspada dan mereka melihat munculnya Wasi Bagaspati dan Warutama yang memimpin barisan pengawal yang segera bergabung dengan barisan yang baru masuk dari luar pintu gerbang sehingga tempat itu kini terkurung oleh barisan yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang!
“Wasi Bagaspati! Kami adalah utusan-utusan raja! Biar pun andika datang dari Kerajaan Cola, akan tetapi kurasa di sana pun terdapat peraturan bahwa utusan tidak boleh diganggu!”
“Utusan atau bukan, engkau harus tunduk akan peraturan di sini. Sang prabu sedang sakit, tak boleh diganggu maka surat itu harus diberikan kepada kami. Kalau menolak, berarti engkau akan mengacaukan menjelang penobatan raja baru di sini!”
Endang Patibroto yang melihat munculnya Warutama, tiba-tiba menjadi merah sekali wajahnya dan sepasang matanya menyinarkan api yang seolaholah hendak membakar patih itu.
“Sindupati manusia keparat, jahanam berwatak iblis dan keji! Tibalah saatnya engkau mampus di tangan Endang Patibroto!”
Sambil memaki Endang Patibroto sudah melompat seperti terbang saja, tubuhnya melayang dan menyambar ke arah Warutama dengan pukulan sakti Wisangnala selagi tubuhnya masih di udara.
Warutama tidak menjadi terkejut karena memang dia sudah bersiap-siap menghadapi pertemuan dengan musuh besarnya ini yang tentu saja takkan berani ia lakukan kalau saja ia tidak mengandalkan kesaktian Wasi Bagaspati, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro dan ribuan orang pengawal.
Kini melihat wanita sakti yang ditakutinya itu menerjang maju dengan dahsyat, ia cepat menggulingkan tubuh ke atas tanah dan menggelinding pergi, lalu meloncat dan menyelinap lenyap ke dalam barisan pengawal.
“Tejolaksono, kalian hendak memberontak? Pengawal, tangkap mereka!“ bentak Wasi Bagaspati sambil tertawa-tawa saking girangnya karena ia merasa yakin bahwa kalau keluarga sakti ini dapat dibasmi, tentu penghalang yang amat besar bagi cita-citanya akan lenyap.
Yang paling kuat di antara rombongan itu adalah pemuda remaja aneh putera Tejolaksono, akan tetapi di situ ada dia yang akan dapat melawannya, dan dibantu oleh ribuan pengawal, tak mungkin fihaknya akan kalah.
Tejolaksono dan keluarganya diserbu oleh orang-orang tinggi besar, yaitu murid-murid Sang Wasi Bagaspati, juga Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sudah menerjang maju.
Tejolaksono dan keluarganya cepat bergerak membela diri, sedangkan Endang Patibroto segera melepas panah api yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk memberi tanda kepada barisan Panjalu yang menanti-nanti di luar kota raja untuk melihat munculnya tanda ini.
Wasi Bagaspati yang ingin cepat-cepat membasmi keluarga sakti yang merupakan penghalang besar bagi pelaksanaan tugasnya, bahkan merupakan ancaman bagi kemajuan yang telah dicapai, mengeluarkan pekik menyeramkan, kedua lengannya diangkat ke atas agak melengkung dan tiba-tiba dari sepuluh jari tangannya meluncur sinar merah seperti kilat membubung ke atas kemudian menukik turun menyerang kepala Tejolaksono sekeluarga yang delapan orang jumlahnya itu.
Karena Tejolaksono sekeluarga sedang dikeroyok banyak lawan, tentu saja serangan yang datangnya dari atas ini sukar untuk mereka hindarkan, akan tetapi pada saat itu, Bagus Seta yang masih belum turun tangan berseru,
“Wasi Bagaspati, tidak malukah andika bermain curang?”
Pemuda remaja itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan dari telapak tangannya itu menyambar sinar putih yang melengkung panjang dan membentuk lingkaran besar sekali melindungi di atas kepala Tejolaksono sekeluarga.
Ketika sinar-sinar merah itu menukik turun dan bertemu dengan lingkaran putih, sinar-sinar merah itu terpental jauh kemudian lenyap disusul pekik Wasi Bagaspati yang menjadi marah sekali.
“Heh si keparat Bagus Seta! Sekali ini aku akan membasmi dan membunuh seluruh keluargamu, kemudian menghancurkan Panjalu!”
Bagus Seta tetap tenang ketika menjawab,
“Wasi Bagaspati, andika siapakah berani bicara tentang membunuh? Seolah-olah andika berkuasa akan mati hidupnya manusia?”
“Kematian kalian telah berada di telapak tanganku, dan engkau masih berani bicara sombong? Huah-ha-ha-ha! Dikepung ribuan orang prajurit, masih ada lagi laksaan prajurit sebagai cadangan, kalian hendak terbang ke mana? Andaikan bersayap sekali pun, kalian takkan dapat lobos dari kematian!”
“Wasi Bagaspati, mati hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi, bagaimana andika berani mengeluarkan ucapan seperti itu? Apa bila Hyang Widhi tidak menghendaki seseorang mati, biar dia dikeroyok anak panah sejuta pun tidak akan mengenainya. Sebaliknya apa bila kematian orang itu sudah dikehendaki Hyang Widhi, tidak ada kekuasaan di dunia ini dapat mencegahnya! Karena itu, kami menyandarkan dan menyerahkan diri ke dalam tangan Hyang Widhi dan jika kematian kami belum dikehendaki-Nya, segala usahamu untuk membunuh kami takkan berhasil, Wasi Bagaspati!”
“Babo-babo, si keparat! Sang Hyang-Shiwa berhak mencabut dan membinasakan setiap orang! Lihatlah ini!”
Wasi Bagaspati kembali mengangkat tangannya, kini hanya tangan kirinya yang mengeluarkan asap menghitam yang melayang ke arah kepala keluarga sakti itu.
Asap tebal hitam dan seperti hidup gerakannya, bahkan mengeluarkan suara mendesis seperti ular mengamuk.
“Kanjeng Rama sekalian, harap menahan napas sejenak!”
Bagus Seta berkata dengan suara lirih akan tetapi hebatnya, suara ini seolah-olah merupakan bisikan di dekat telinga tujuh orang ayah bunda dan paman bibinya yang sedang dikeroyok banyak musuh.
Untung mereka diberitahu oleh bisikan Bagus Seta karena asap hitam yang hanya menyerang mereka itu sebelum datang menyambar, dari jauh sudah lebih dulu menyerang dengan baunya yang mengandung hawa beracun.
Bagus Seta mengangkat pula tangan kirinya dan keluarlah asap putih yang bergerak cepat naik menyusul asap hitam. Terjadi pergumulan antara dua asap hitam putih di udara, akan tetapi jelas tampak betapa asap hitam itu digulung dan dihimpit dan akhirnya asap hitam seperti seekor anjing kalah bergumul, melayang kembali ke telapak tangan Wasi Bagaspati.
“Auuunggghhh...!”
Wasi Bagaspati memekik-mekik dan mukanya menjadi merah sekali dan mencorong seolaholah telah menjadi bara api, kedua matanya berkilat-kilat,giginya berkerot-kerot, menyeramkan sekali. Menurutkan kemarahannya ingin ia mengeluarkan senjata Cakranya yang sebetulnya tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan saja, akan tetapi ia teringat akan bunga Cempaka Putih yang dimiliki pemuda itu, maka ia menahan kemarahannya ini dan cepat menubruk maju dan menyerang Bagus Seta menggunakan kedua tangannya.
Kini ia hendak membunuh pemuda ini menggunakan tenaga kasar, karena dalam hal pertandingan menggunakan batin ia tidak berhasil.
Bagus Seta cepat menggerakkan tubuhnya menyambut dan mulailah kedua orang yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia ini bertanding dengan seru, tubuh mereka berkelebatan dan lenyap dari pandangan mata orang biasa, yang tampak hanyalah dua gulungan sinar merah dan putih dari pakaian mereka.
Sementara itu, anggota keluarga lain sedang mengalami pengeroyokan yang amat berat. Joko Pramono dan Pusporini yang ingin menebus kekalahan mereka dari Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik lima enam tahun yang lalu, sudah menerjang dua orang musuh ini dan mereka telah terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Joko Pramono menghadapi Ki Kolohangkoro dan Pusporini yang sudah marah sekali itu berhadapan dengan Ni Dewi Nilamanik.
Untung bagi kedua orang muda ini yang menghadapi lawan berat karena gerakan mereka dalam pertandingan ini amat cepat sehingga fihak pengawal tidak ada yang berani ikut mengeroyok.
Mereka tidak mampu mengikuti kecepatan empat orang yang bertanding ini sehingga kalau mengeroyok, besar bahayanya akan mengganggu pergerakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sendiri. Dan karena kini tingkat kepandaian dua orang murid Resi Mahesapati itu amat tinggi, maka mereka berdua dapat mendesak lawan yang makin lama merasa betapa kuat dan beratnya dua orang lawan muda itu.
Keadaan anggota keluarga sakti lainnya lebih payah lagi.
Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah lebih banyak pengalamannya dalam perang dan pertandinganpertandingan keroyokan, mengamuk dengan hebat dan sepak terjang suami isteri ini amat menggiriskan.
Pasukan pengawal yang kena diterjang mereka seperti mentimunmentimum bertemu durian, mawut dan kocar-kacir, banyak yang tewas.
Makin banyak datangnya pengeroyokan, makin gembira dan bersemangat dua orang perkasa ini mengamuk. Ayu Candra juga mengamuk, akan tetapi seperti halnya Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit, kepalanya menjadi pening melihat banyaknya pengeroyokan yang makin banyak itu.
Ia menjadi jijik dan ngeri seperti orang dikeroyok ribuan semut dan kalau pengeroyokan itu dilanjutkan terus, agaknya tiga orang inilah yang takkan kuat bertahan. Siapa yang tidak menjadi jijik dan ngeri kalau melihat para pengawal itu seperti kemasukan setan, roboh satu maju dua, roboh dua maju empat dan selalu berlipat ganda sehingga mayat telah bertumpuk malang melintang?
Karena ngeri dan gentar, sebuah mata tombak berhasil melukai ujung pundak Ayu Candra.
Biar pun hanya kulit dan sedikit daging saja yang terluka, namun Ayu Candra terhuyung-huyung bukan karena luka itu melainkan karena pening kepalanya menyaksikan para pengeroyok yang amat besar jumlahnya, seperti ombak samudera hendak menelan dirinya. Dalam keadaan terhuyung ini, lima tombak meluncur ke arah tubuhnya, sedangkan dalam detik itu Ayu Candra memejamkan mata untuk mengusir kepeningan kepalanya.
“Dinda... awas...!”
Tejolaksono berseru dan suara suaminya ini menyadarkan Ayu Candra.
Ketika memejamkan matanya tadi, ia merasa betapa nikmatnya kehilangan semua pengeroyok yang tak tampak lagi, betapa nikmatnya menjauhkan diri dari pengeroyokan yang menjijikkan itu' sehingga ia terlena dan lengah.
Cepat ia membuka matanya dan kaget melihat lima ujung tombak sudah meluncur dekat. Ia segera melempar diri ke belakang dan bergulingan.
Tejolaksono sudah memaksa diri meninggalkan para pengeroyoknya dengan sebuah loncatan tinggi, kemudian tubuhnya menukik ke bawah dan menggunakan kakinya menerjang lima orang yang menyerang Ayu Candra itu. Lima orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting ke kanan kiri seperti disambar halilintar. Dua orang di antara mereka pecah kepalanya dan yang tiga orang patah tulang lengannya.
“Kenapa, isteriku...?” Tejolaksono memeluk Ayu Candra.
Ayu Candra tersenyum. “Tidak apa-apa, Kakangmas, hanya...tadi agak pening melihat banyaknya setan-setan ini!”
Mereka tak sempat banyak bicara karena kembali mereka telah dikurung dan dikeroyok. Kini Tejolaksono bertanding dekat isterinya yang tidaklah begitu sakti seperti Endang Patibroto sehingga ia akan dapat melindunginya. Endang Patibroto memang amat menggiriskan sepak-terjangnya.
Ke mana pun ia berkelebat, di sana tentu tampak para pengawal bergelimpangan dan Cara Endang Patribroto mengamuk juga membikin kacau barisan lawan. Wanita sakti ini tidak hanya mengamuk di suatu tempat tertentu, melainkan berpindah-pindah, meloncat ke sana ke mari seperti tingkah seekor burung elang menyambari sekumpulan anak ayam. Hal ini ada sebabnya.
Endang Patibroto amat membenci Sindupati yang kini telah menjadi Patih Warutama. jahat yang pernah memperkosanya di puncak Wilis itu harus dibunuhnya karena kalau dia tidak dapat membalas dendam ini, selamanya ia akan hidup menderita penasaran dan sakit hati.
Tadi ia tidak berhasil menyerang Warutama yang menyelinap di antara para pengawal, maka kini Endang Patibroto menerjang ke sana ke mari untuk mencari musuh besarnya itu.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih bertempur bahumembahu' dan tidak pernah berpisah jauh. Suami isteri ini maklum bahwa mereka berada dalam bahaya dan sungguh pun mereka sama sekali tidak merasa gentar karena penuh kepercayaan akan kemampuan keluarga mereka, akan tetapi mereka ingin selalu berdekatan sehingga apa pun yang akan terjadi, mereka takkan berpisah lagi dan dapat saling bantu dan saling melindungi.
Baiknya di antara para pengawal dan prajurit, masih banyak terdapat orang0orang lama yang merasa segan dan suka kepada Pangeran Panji Sigit sehingga mereka mengeroyok secara terpaksa dan setengah hati. Betapa pun juga, karena jumlah pengeroyok bukan main banyaknya, pangeran dan isterinya ini pun terdesak hebat.
Pertandingan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro berlangsung dengan hebat dan seru sekali. Mereka ini sama kuat dan sama digdaya, dan sungguh pun sepak-terjang Ki Kolohangkoro seperti seorang raksasa mabuk, kasar dan liar menggiriskan, namun Joko Pramono tetap tenang dan menyambut kekerasan dengan kekerasan pula. Perlahan akan tetapi tentu, Joko Pramono mulai dapat menindih dan mendesak Ki Kolohangkoro dengan pukulan-pukulannya yang ampuh, mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya yang mengatasi kecepatan Ki Kolohangkoro.
Pusporini menemui tanding yang lebih kuat dari pada Ki Kolohangkoro.
Ni Dewi Nilamanik memang lebih sakti kalau dibandingkan dengan Ki Kolohangkoro yang kasar.
Wanita penyembah Durgo ini memiliki gerakan yang amat cepat dan tubuh yang ringan di samping permainan kebutan merahnya yang amat menggiriskan. Biar pun kalau dibuat perbandingan, Pusporini masih menang setingkat mengingat gemblengan Resi Mahesapati telah membuat dara perkasa ini memiliki aji kesaktian dan hawa sakti yang bersih dan kuat, namun ia kalah pengalaman oleh Ni Dewi Nilamanik.
Cara wanita penyembah Durgo itu mainkan kebutannya benarbenar membuat Pusporini bingung dan terdesak sampai belasan jurus lamanya.
Tiba-tiba ujung kebutan itu terpecah menjadi lima bagian menyerang Pusporini di bagian tubuh yang berbahaya. Ketika Pusporini menggunakan kedua tangannya sibuk menangkis dengan kibasan jari tangan yang mengandung hawa sakti Pethit Nogo, tiba-tiba bagian ke lima dari kebutan itu telah menyambar dan melibat pinggang Pusporini yang ramping!
Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara ketawa mengejek, dengan pengerahan tenaga sakti ia menyendal untuk menarik roboh Pusporini, akan tetapi suara ketawanya terhenti dan bahkan terganti suara ah-ahuh-uh orang yang menghimpun seluruh tenaganya. ia menarik-narik dan menyendal-nyendal, namun sia-sia belaka seperti seekor monyet hendak mencabut pohon cemara.
Tubuh Pusporini tidak bergeming. Hebat memang aji kesaktian Argoselo yang dipergunakan oleh Pusporini. Jangankan hanya Ni Dewi Nilamanik seorang, biar ditambah tiga orang lagi belum tentu akan dapat menarik roboh tubuh Pusporini yang ramping itu.
“Plakkk!”
Sebagai balasan, Pusporini mempergunakan kesempatan selagi Ni Dewi Nilamanik berkutetan hendak menariknya roboh, Pusporini menempiling dengan Aji Pethit Nogo ke arah pelipis Ni Dewi Nilamanik, dari atas ke bawah.
Betapa pun saktinya Ni Dewi Nilamanik, kalau tempilingan aji pukulan Pethit Nogo ini menyentuh pelipisnya, tentu bagian kepala ini akan retak dan nyawanya akan melayang.
Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik biar pun sedang dalam keadaan penasaran, masih sempat mengelak dengan menarik kepala ke belakang sehingga yang kena ditampar hanya pundaknya saja.
Namun hal ini cukup membuat tubuh Ni Dewi Nilamanik terpelanting dan libatan ujung kebutan di pinggang Pusporini terlepas. Ni Dewi Nilamanik cepat meloncat dan wajahnya menjadi merah sekali. Kalau saja ia tadi tidak cepat-cepat mengerahkan aji kekebalannya ke pundak, tentu tulang pundaknya sudah hancur. Kini pun rasa nyeri, panas dan menusuk-nusuk membuat ia menyeringai.
Kemarahannya memuncak dan ia memekik keras, tubuhnya menerjang maju, kebutannya mengeluarkan suara meledak-ledak ketika menyambar-nyambar di atas kepala Pusporini. Namun dara perkasa ini menyambutnya dengan gerakan yang tak kalah cepatnya dan membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar