PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-79
Mereka berada di tengah-tengah kepungan ribuan orang pengawal, dan di
situ selain Wasi Bagaspati, Ki Kolohangkoro yang melawan secara
terang-terangan dibantu orang-orang yang bergerak seperti arca hidup tak
kenal lelah dan tak kenal takut, juga masih terdapat orang-orang
seperti Warutama yang mengatur barisan secara sembunyi.
Memang benar ucapan Wasi Bagaspati tadi bahwa pintu gerbang itu
merupakan pintu gerbang maut bagi kedelapan anggota keluarga sakti,
karena mereka dapat masuk akan tetapi akan sukar sekali untuk dapat
keluar.
“Huah-ha-ha-ha, Bagus Seta, sampai berapa lama keluargamu akan dapat
bertahan? Dapat membunuh semua pengawal yang ribuan orang banyaknya? Dan
di luar masih ada lebih banyak lagi, ha-ha-ha!”
Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan pertandingan antara dia dan Bagus Seta
masih terjadi dengan serunya. Karena gerakan mereka berdua ini didorong
oleh kekuatan gaib dari ilmu batin, maka pertandingan ini merupakan
pertandingan yang amat aneh.
Kadang-kadang mereka berdua berkelebat lenyap berubah menjadi sinar
merah dan putih pakaian mereka, kadang-kadang hanya berdiri tegak dan
Baling pandang mengadu kekuatan sihir yang keluar dari pandang mata,
atau hanya melalcukan gerakan-gerakan mendorong dari jarak jauh untuk
mengadu tenaga sakti mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan pintu gerbang depan ambrol
disusul masuknya barisan Panjalu bersama rakyat yang sama besar
jumlahnya, rakyat Jenggala yang sepanjang jalan makin lama makin
bertambah banyak menggabung pada barisan Panjalu yang hendak membebas
kan mereka dari pada belenggu penindasan mereka yang berkuasa di
Jenggala pada waktu itu.
Masuknya barisan ini disertai sorak-sorai gegap-gempita seolah-olah
menjawab ucapan yang keluar dari mulut Wasi Bagaspati tadi. Ternyata
barisan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo itu telah
melihat tanda panah api yang dilepas Endang Patibroto ketika keluarga
sakti itu terancam bahaya.
Wasi Bagaspati terkejut sekali dan tak terasa ia mundur-mundur dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba terdengar raung yang mengejutkan, sepertl suitan harimau
marah, dan mendengar ini, Wasi Bagaspati terkejut dan cepat menengok.
Wajahnya yang merah itu kini agak berubah ketika ia melihat pembantunya
yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoto, sedang berkutetan dengan
maut yang hendak merenggut nyawanya melalui senjata nenggala yang
menancap di perut Ki Kolohangkoro sendiri, menancap sampai tampak
sedikit ujungnya di belakang perut!
Ternyata bahwa akhirnya kesaktian Joko Pramono terlalu berat bagi Ki Kolohangkoro.
Kakek penyembah Bathoro Kolo ini selalu terdesak dan lebih banyak
mengelak dan menangkis dari pada menyerang. Bahkan beberapa kali pukulan
ampuh dari tangan Joko Pramono telah mengenal tubuhnya dan hanya
kekebalannya yang luar biasa kuatnya sajalah yang menjaga sehingga Ki
Kolohangkoro tidak roboh.
Ketika mendengar ambruknya pintu gerbang dan sorak-sorainya tentara
Panjalu yang menyerbu ke dalam, Ki Kolohangkoro terkejut sekali. ia
menengok dan wajahnya berubah pucat. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Joko Pramono untuk menerjang dengan pukulan Cantuka-sakti yang amat
hebat dan mengenai dada Ki Kolohangkoro. Dada yang bidang itu tidak
pecah akan tetapi tubuh si kakek raksasa terjengkang ke belakang.
Joko Pramono menubruk maju, akan tetapi disambut dari bawah oleh tusukan senjata nenggala di tangan Ki Kolohangkoro.
Joko Pramono cukup waspada, mengerakkan tubuhnya miring sehingga
nenggala itu lewat di dekat pinggangnya. Secepat kilat ia menangkap
pergelangan tangan lawan dan dengan gerakan tiba-tiba membalikkan
senjata nenggala dan mendorongnya ke perut Ki Kolohangkoro!
Joko Pramono meloncat ke belakang dan Ki Kolohangkoro mengeluarkan suara
meraung keras, berusaha mencabut nenggalanya, bangkit terhuyung-huyung,
menggunakan kedua tangannya memegang nenggala, mencabut sambil
mengerahkan tenaga.
Nenggala dapat tercabut, darah muncrat keluar didahului ususnya, matanya
terbelalak, kedua tangannya yang berlumuran darah mengangkat nenggala
tinggi-tinggi di atas kepala lalu ia menubruk maju menyerang Joko
Pramono dengan dahsyatnya!
Joko Pramono mengelak dengan lompatan ke kiri dan tubuh kakek raksasa
itu terjungkal ke depan dan roboh, berkelojotan sebentar lalu terdiam.
Melihat tewasnya Ki Kolohangkoro, sedangkan Ni Dewi Nilamanik juga
terdesak sedangkan para prajurit Panjalu sudah mengamuk, Wasi Bagaspati
meloncat ke atas dan melayang ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru,
“Dewi, kita pergi...!”
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan lengan kirinya dan asap hitam mengebul,
menyambar ke arah Pusporini. Gadis perkasa ini cepat melompat ke
belakang dan kesempatan ini dipergunakan Ni Dewi untuk meloncat jauh,
mengikuti Wasi Bagaspati yang hendak melarikan diri.
“Kejar...!”
Tejolaksono berseru keras dan berlombalah keluarga sakti itu melakukan
pengejaran. Bagus Seta hendak berseru mencegah, namun terlambat karena
semua keluarganya sudah mengejar, maka ia pun lalu menggerakkan kaki
meluncur ke depan ikut melakukan pengejaran pula.
Tangan kiri Wasi Bagaspati menggandeng tangan Ni Dewi Nilamanik ketika
berlari ia menengok dan tertawa ketika melihat keluarga sakti
mengejarnya. Tangan kanannya bergerak dan jari-jari tangannya terbuka.
“Awas senjata rahasia...!” Bagus Seta berseru dari belakang.
Keluarga sakti terkejut dan benar saja, dari tangan Wasi Bagaspati itu
menyambar sinar berwarna hijau dan bagaikan hujan datangnya benda-benda
kecil menyerang mereka dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Tejolaksono dan keluarganya cepat menggerakkan tangan mengibas sambil
berlompatan menghindar, bahkan dari jauh Bagus Seta sudah mendorongkan
tangannya sehingga sebagian besar sinar hijau itu runtuh ke pinggir,
akan tetapi karena cepat dan kuatnya benda-benda kecil hijau itu
menyambari maka beberapa orang di antara mereka terkena senjata rahasia
bersinar hijau itu.
Pangeran Panji Sigit terkena pipinya, Ayu Candra terkena pada bahunyat
Pusporini terkena pundaknya, dan Setyaningsih juga terkena senjata
rahasla pada lengannya.
Akan tetapi mereka menjadi lega ketika melihat bahwa senjata-senjata
rahasia bersinar hijau itu hanyalah duri-duri berwarna hijau seperti
duri kembang mawar, dan hanya menancap setengahnya sehingga ketika
dicabut, hanya menimbulkan luka kecil yang mengeluarkan setetes darah
saja dan tidak terasa apa-apa.
“Untung tidak berbahaya. Kita harus lekas menyerbu ke dalam istana!” kata Tejolaksono.
“Harus kutangkap Sindupati manusia jahanam!” kata Endang Patibroto.
“Aku akan membekuk batang leher Suminten siluman betina itu!” kata Pusporini.
“Saya harap Kakangmas Patih suka lebih dulu menyelamatkan kanjeng rama...“ Pangeran Panji Sigit berkata.
Mendengar ini, semua orang baru sadar dan ingat bahwa mereka melupakan hal yang terpenting.
“Ah, benar sekali. Kita harus menyelamatkan gusti sinuwun,” kata
Tejolaksono. “Bagus Seta dan aku sendiri akan menemani Pangeran Panji
Sigit menyelamatkan gusti sinuwun. Yang lain membantu rakanda Pangeran
Darmokusumo melakukan pembersihan! Ingat, kurangi pembunuhan terhadap
prajurit Jenggala. Musuh kita hanyalah kaki tangan penjahat-penjahat
itu!”
“Marilah Rakanda Patih...!” kata Pangeran Panji Sigit yang merasa
gelisah mengingat akan keselamatan ramandanya yang dikabarkan sakit
keras itu.
Tejolaksono dan Bagus Seta lalu bergerak mengikuti Panji Sigit dan berlari menuju ke istana.
Perang telah terjadi merata di seluruh kota raja. Hal ini tadi sesuai
dengan siasat Pangeran Darmokusumo yang lebih dahulu telah
menyelundupkan beberapa orang ke dalam kota raja, menguasai pintu
gerbang dan membagi tentaranya menjadi beberapa kelompok sehingga mereka
dapat menyerbu ke dalam kota raja melalui beberapa pintu gerbang.
Tentara Panjalu yang dibantu oleh rakyat Jenggala sendiri telah menyusup
ke dalam sehingga di depan istana itu sendiri telah terjadi
pertempuran. Namun Pangeran Panji Sigit tidak empedulikan pertempuran
itu, terus saja berlari memasuki istana.
Beberapa pengawal yang masih setia kepada Suminten dan Pangeran Kukutan
menyambut mereka dengan tombak di tangan, namun dengan mudah Tejolaksono
merobohlon mereka. Pangeran Panji Sigit yang sudah hafal akan keadaan
di istana ini, bergagas lari menuju kamar tidur ramandanya.
Pintu berukiran indah dari kamar tidur itu tertutup. Pintu yang tebal dan indah, berukuran besar.
Pangeran Panji Sigit mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban dan tidak
ada suara dari dalam, sunyi sekali. Amat mengherankan karena selamanya
kamar Ini pasti dijaga pengawal dan di sebelah dalam ada abdi dalem yang
melayani segala keperluan yang dibutuhkan sri baginda.
Pangeran Panji Sigit mendorong daun pintu, akan tetapi tak dapat dibuka.
“Dikunci dari dalam...“ katanya cemas.
“Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kita paksa saja pintu ini terbuka. Bagaimana pendapatmu, Bagus?”
“Harap Ramanda membiarkan saya membuka pintu ini. Mungkin sekali di
sebelah dalam ada sesuatu yang berbahaya dan tidak tersangka-sangka.”
Ki Patih Tejolaksono mengangguk dan melangkah mundur, bersama Pangeran Panji Sigit berdiri di belakang Bagus Seta.
Tejolaksono sudah maklum bahwa puteranya amat sakti, akan tetapi sekali
ini ia ingin melihat dengan aji pukulan apa puteranya hendak memaksa
daun pintu terbuka.
Ia melihat tangan kiri Bagus Seta, sebuah tangan yang berkulit halus dan
lembut, seperti tangan Ayu Candra, bergerak mendorong perlahan, seperti
tidak bertenaga. Akan tetapi terdengar suara keras di sebelah dalam
kamar di balik pintu itu, seolah-olah palang pintu patah-patah dan daun
pintu bergerak terbuka dengan cepat sekali.
“Celaka!” Tejolaksono dan Pangeran Panji Sigit berteriak dengan hati penuh kengerian.
Kiranya daun pintu itu adanya terbuka sedemikian cepatnya karena
dipasangi tambang yang mengikat daun pintu, terus ke atas balok
melintang di bawah atap dan ujung tambang itu mengikat sebuah batu
sebesar kerbau yang tadinya tergantung di atas pembaringan di mana sang
prabu yang sudah tua itu tampak berbaring dan tidur pulas.
Tentu saja jika pintu itu dibuka dengan paksa dari luar, palangnya
patah, daun pintu itu terbuka dan karena tarikan batu yang tidak ada
penahannya dan meluncur ke bawah, daun pintu terbuka cepat sekali, sama
cepatnya dengan batu sebesar kerbau yang kini jatuh menimpa sang prabu,
hanya tinggal beberapa jengkal lagi sehingga seorang sakti seperti
Tejolaksono sekali pun hanya dapat berteriak dan tak berdaya menolong.
Akan tetapi Bagus Seta sudah menggerakkan lengan kanannya didorongkan ke
depan dan batu sebesar kerbau itu terhenti di udara, hanya dua jengkal
di atas tubuh sang prabu!
Melihat ini, cepat Tejolaksono melompat maju dan mendorong batu besar
itu dengan kedua tangannya sehingga batu itu kemudian jatuh menimpa meja
yang menjadi hancur berkeping-keping!
“Kanjeng Rama...!” Pangeran Panji Sigit lalu menubruk ramandanya,
sedangkan Bagus Seta melangkah maju, menyembah lalu mengusap wajah sri
baginda yang tua keriputan dan pucat itu.
Terdengar sri baginda raja mengeluh dan membuka matanya.
Ketika melihat Panji Sigit, wajah raja tua itu berseri, lalu bangkit dan
memeluk kepala puteranya yang sesungguhnya amat disayangnya itu.
“Duh para Dewata yang Maha Murah... terima kasih bahwa engkau masih hidup dalam keadaan sehat, puteraku, Sigit...!”
“Kanjeng Rama, hamba mendengar berita bahwa paduka... gering...”
“Ahhh, sakit parah sekali, Puteraku. Sakit jiwa... bukan raga yang sudah
tua ini... eh, siapakah satria ini? Seperti pernah aku melihatnya...“
Sri baginda memandang kepada Tejolaksono yang berlutut.
“Hamba Tejolaksono, gusti.”
“Wah benar! Tejolaksono yang gagah perkasa! Sekarang patih dalam di
Panjalu, bukan? Dan... pemuda ini... pemuda luar biasa... begitu lembut
pandang matanya, siapakah andika, wahai bocah bagus?”
“Hamba Bagus Seta, putera kanjeng rama Tejolaksono.”
“Ah, kalian semua datang terlambat. Aku pun sadar setelah terlambat...
aduh, Puteraku, betapa besar dosa-dosaku, betapa ringkih batinku. Ahhh,
kini terlambat sudah, segalanya, kerajaan ini telah berada dalam
cengkeraman mereka...”
“Hamba sudah mengetahui semua itu, Kanjeng Rama. Hamba sudah tahu akan
persekutuan jahat antara Suminten, Pangeran Kukutan dan Patih
Warutama...”
“Bukan itu saja, Puteraku. Melainkan orang-orang sakti dari Cola...
ahhh, betapa kejinya bersekutu dengan musuh negara... dan aku... aku tak
berdaya lagi, setelah aku dipisahkan dengan semua orang yang setia
kepadaku...”
“Hamba juga sudah tahu akan hal itu, Kanjeng Rama. Dan berkat
pertolongan satria-satria perkasa seperti rakanda patih dan puteranya
inilah maka kerajaan Paduka Kanjeng Rama tertolong...”
“Apa? Bagaimana kalian dapat masuk ke sini dan... dan... batu itu... ah,
aku tahu mereka memasang batu itu di atasku sehingga kalau ada yang
memaksa membuka pintu, aku... aku...”
“Harap Paduka suka menenangkan hati, Sinuwun. Kini bahaya sudah lewat bagi keselamatan Paduka,”
Bagus Seta berkata, suaranya halus dan ramah, mengandung pengaruh menenangkan hati yang mujijat.
“Andika benar, Bagus Seta, dan terima kasih atas bantuan kalian. Tetapi,
bagaimana...? Mereka telah mencengkeram kerajaan ini, tidak hanya di
istana saja, juga di luar istana, di seluruh kerajaan, ponggawa-ponggawa
diganti, pengawal-pengawal diganti...”
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di luar dan sang prabu bangkit berdiri.
“Apakah itu? Jangan-jangan mereka datang menyerbu. Puteraku, lekas kau
bersembunyi, lekas keluar dari kamar ini. Aku tidak ingin melihat karena
kelalimanku engkaupun menjadi korban. Tejolaksono, tolonglah selamatkan
puteraku keluar dari sini...!”
Pangeran Pinji Sigit bangkit berdiri dan menggandeng tangan ramandanya sambil berkata,
“Harap paduka jangan khawatir, Kanjeng Rama. Suara itu adalah suara
kemenangan dari barisan Panjalu yang membantu kita, yang menghalau dan
membasmi oknum-oknum jahat yang mencengkeram Jenggala. Marilah, mari
kita sama menyaksikannya, Kanjeng Rama.”
Pangeran itu menuntun ramandanya keluar dari kamar, dan terns keluar menuju ke ruangan depan istana.
“Barisan Panjalu? Sampai menyerang untuk menolongku? Aduh, kasihan betul
rakyatku... perang selalu berarti penderitaan bagi rakyat jelata...!”
“Akan tetapi perang sekali ini bahkan akan membebaskan mereka dari pada
penderitaan, Kanjeng Rama. Selama ini mereka tertindas dan diperas oleh
para pengacau yang kini sedang kita basmi.”
Sang prabu yang sudah tua itu melihat pertempuran besar, hatinya penuh
keprihatinan dan ia minta kepada Pangeran Panji Sigit untuk membawanya
ke panggung depan istana di mana ia dapat melihat pertempuran yang
terjadi di alun-alun.
“Berhenti...! Semua kawulaku yang masih setia kepadaku. Berhenti dan jangan melawan pasukan-pasukan Panjalu...!”
Sang prabu berteriak-teriak, tetapi teriakannya hilang ditelan suara perang yang amat gaduh.
“Gusti Sinuwun, bolehkan hamba mewakili Paduka menghentikan mereka?”
Bagus Seta bertanya halus. Sri baginda mengangguk penuh harapan karena
hatinya terasa perih sekali menyaksikan betapa kawulanya sendiri, rakyat
Jenggala, membantu barisan Panjalu dan membunuhi prajurit-prajurit
Jenggala sendiri!
Bagus Seta lalu berdiri di dekat raja dan terdengar suaranya, biasa saja
seperti orang bicara, tidak berteriak-teriak, dan jelas terdengar
mengandung wibawa,
“Saudara sekalian yang sedang bertempur, hentikanlah pertempuran dan
lihatlah ke sini, gusti sinuwun telah berkenan keluar dan hendak bicara
kepada Andika sekalian. Barisan Panjalu diminta menghentikan pertempuran
pula!”
Sri baginda sendiri bersangsi apakah suara pemuda ini akan dapat
terdengar oleh mereka yang sedang bertempur. Suaranya sendiri yang ia
teriakkan keras-keras tadi hilang ditelan kegaduhan, apa lagi suara
pemuda ini yang hanya perlahan saja. Mana mungkin terdengar oleh semua
orang yang sedang bertempur? Akan tetapi, sang prabu melihat keanehan
terjadi. Semua orang yang sedang bertanding itu berhenti secara
tiba-tiba dan menengok ke arah panggung. Kemudian terdengarlah
suara-suara mereka,
“Gusti sinuwun...!”
“Sesungguhnya gusti sinuwun yang hadir!”
“Setelah sekian lamanya! Betapa kurus beliau...!”
Dan berlututlah para rakyat dan prajurit Jenggala menghadap raja mereka
yang sudah amat lama tidak pernah keluar dari dalam kamar itu.
Kini kelompok manusia di bawah itu terbagi dua. Yang berlutut tentulah
rakyat Jenggala, adapun yang tetap berdiri namun tidak lagi menggerakkan
senjata adalah prajurit-prajurit Panjalu.
Keadaan menjadi sunyi senyap dan melihat sekian banyaknya orang yang
tadi bertempur mati-matian itu kini tidak ada yang bergerak, benar-benar
mempesonakan.
Tiba-tiba tampak ada beberapa orang bergerak, bahkan berlarian menuju
panggung. Mereka itu adalah Pangeran Darmokusumo yang diikuti oleh
Endang Patibroto, Ayu Candra, Pusporini, Setyaningsih, dan Joko Pramono.
Mereka ini bergegas menaiki panggung dan berlutut menyembah di depan sang prabu yang menerima mereka dengan senyum terharu.
“Ah, puteraku mantu Darmokusumo, untung ada engkau yang membantu. Dan
andika, Endang Patibroto... ah,betapa bertumpuk-tumpuk budi yang telah
Andika lakukan untuk Jenggala.”
“Mohon beribu ampun, Kanjeng Rama.”
Pangeran Darmokusumo sebenarnya adalah keponakan Raja Jenggala, akan
tetapi karena ia menikah dengan puteri Jenggala yang bernama Maya Galuh,
maka pamannya ini menjadi ayah mertuanya dan ia menyebutnya kanjeng
rama.
“Terpaksa hamba mengerahkan prajurit Panjalu untuk membantu Paduka
menghadapi kekuasaan jahat yang mencengkeram Jenggala. Perkenankanlah
hamba kini memerintahkan barisan Panjalu untuk menghentikan pertempuran
dan keluar dari kota raja agar jangan sampai terjadi kesalahfahaman
antara prajurit-prajurit Panjalu dan prajurit-prajurit Jenggala.”
“Baik sekali usulmu, Puteraku. Lakukanlah.”
Pangeran Darmokusumo menyembah lalu bangkit berdiri dan mengeluarkan
perintah dengan suara keras agar semua pasukan Panjalu mengundurkan diri
di luar dinding kota raja, menanti perintah lebih lanjut, dan agar
membawa teman-temannya yang terluka atau tewas.
Mendengar ini, barisan Panjalu bergerak bagaikan semut, lalu keluar kota
raja dengan aman, sementara itu, para prajurit dan rakyat Jenggala
tetap berlutut di alun-alun menanti amanat raja mereka yang telah sekian
lamanya seolah-olah lenyap itu.
Setelah semua pasukan Panjalu mundur dan keadaan sunyi kembali, sri baginda lalu berkata dengan suara lantang,
“Wahai semua kawulaku, dengarlah baik-baik. Selama ini aku, raja kalian
yang tua ini, telah tenggelam ke dalam kelalaian, menderita sakit jiwa
sehingga mengabaikan urusan pemerintahan dan mengabaikan rakyatku.
Kuminta maaf kepada seluruh rakyatku dan syukur kepada Dewata bahwa hari
ini aku terbebas dari pada keadaan itu. Kerajaan kita untuk beberapa
lama dicengkeram kekuasaan jahat sehingga banyak ponggawa setia terhukum
mati dan digantikan oleh ponggawa-ponggawa yang sesungguhnya adalah
musuh-musuh negara. Karena itu, kuminta kepada mereka yang tadinya
terseret atau terpaksa mengabdi kepada kekuasaan jahat itu untuk sadar
kembali dan menyatakan kesetiaan kepada kerajaan dengan jalan menghalau
atau membasmi mereka yang menjadi kaki tangan kekuasaan jahat yang kelak
akan diganti dengan ponggawa-ponggawa setia di antara kalian.
Pengangkatan raja baru, mengingat akan usiaku yang telah lanjut, tetap
akan diadakan, akan tetapi yang akan menggantikan aku bukanlah si
Kukutan yang palsu itu, melainkan puteraku, Pangeran Panji Sigit!”
Sorak-sorai menyambut ucapan sri baginda ini dan terjadilah kegaduhan
ketika para prajurit bergerak menangkapi perwira-perwira mereka sendiri
yang tadinya diangkat oleh Pangeran Kukutan dan Suminten.
Tanpa dikomando lagi mereka itu bergerak dan mengadakan “pembersihan” di
kalangan mereka sendiri. Sang prabu menghela napas, tidak sampai hati
menyaksikan akibat dari pada kelemahannya sendiri dan mengajak semua
orang yang berada di panggung untuk memasuki istana dan di saat itu juga
sang prabu membuka persidangan.
Tak lama kemudian bermunculanlah ponggawa-ponggawa lama yang tadinya terpaksa atau terpikat menjadi kaki tangan kekuasaan barn.
Mendengar anjuran sang prabu tadi untuk sadar dan kembali, mereka ini
memberanikan berturut-turut maju dengan tubuh gemetar dan kedua tangan
dirangkapkan seperti serombongan anjing melipat ekornya karena takut
digebuk!
Bagus Seta dan Tejolaksono mengajukan permohonan untuk mencari dan
menangkap biang keladi semua kekacauan, yaitu Suminten, Pangeran
Kukutan, dan Ki Patih Warutama.
Akan tetapi setelah memperkenankan dan baru saja mereka berdiri,
tiba-tiba Pangeran Panji Sigit roboh terguling, disusul robohnya Ayu
Candra dan Setyaningsih! Tiga orang itu roboh dan merintih-rintih di
atas lantai, Pangeran Panji Sigit menggaruk-garuk pipinya, Ayu Candra
menggaruk-garuk bahunya, dan Setyaningsih menggaruk-garuk lengannya.
Keadaan mereka amat aneh karena sambil menggaruk-garuk muka mereka
menjadi merah sekali dan mulut mereka yang tadinya merintihrintih itu
kini berbisik-bisik!
“Setyaningsih, kekasihku, isteriku...“ Bisik Pangeran Panji Sigit.
“Rakanda Pangeran, pujaanku, junjunganku...“ Setyaningsih juga merintih
dan berbisik mesra, kemudian kedua orang itu merangkak saling
menghampiri dan berpelukan, berciuman!
“Kakangmas Tejolaksono... ah, Kakangmas... yang tercinta...!”
Ayu Candra juga menubruk dan merangkul leher Tejolaksono yang terbelalak keheranan.
Sri baginda memandang semua ini dengan muka merah dan mata melotot.
Beginikah tingkah laku puteranya yang barn saja ia umumkan akan
dijadikan penggantinya? Akan tetapi Bagus Seta cepat melangkah maju dan
tiga kali menepuk ia membuat tiga orang itu mengeluh dan pingsan.
Mereka dibaringkan di lantai dan Bagus Seta lalu berkata, setelah memeriksa sejenak,
“Mereka ini terkena racun yang terbawa duri-duri yang dipergunakan Wasi
Bagaspati tadi. Racun ini jahat sekali,mula-mula merangsang akan tetapi
karena racunnya sudah memasuki jalan darah, kalau tidak cepat tertolong
dapat membawa maut. Agaknya hamba harus cepat pergi mencari obatnya
untuk memunahkan racun Ular Wilis ini...”
Bagus Seta sudah bangkit, akan tetapi tiba-tiba Pusporini dan Joko Pramono berseru hampir berbareng,
“Ular Wilis...?”
Semua orang memandang mereka, dan Pusporini cepat berkata,
“Ah, sekarang hamba mengerti mengapa kalau mereka bertiga terpengaruh
racun, hamba sendiri yang juga terkena duri itu di pundak hamba, tidak
apa-apa! Karena racun Ular Wilis dan karena hamba memakai mustika Ular
Wilis, maka selamat!”
Bagus Seta menoleh kepadanya.
“Sungguh Dewata adil dan penuh kasih kepada yang benar! Bibi Pusporini mempunyai mustika Ular Wilis?”
Pusporini sudah mengeluarkan mustika ular yang bercahaya hijau itu.
Memang semenjak Resi Mahesapati memberikan mustika itu kepadanya, ia
mengalungkannya dan tak pernah mustika itu terpisah dari tubuhnya. Bagus
Seta menerima mustika itu dan berkata lirih,
“Kehendak Hyang Wisesa selalu terjadilah! Betapa akan kecelik rasa hati
Wasi Bagaspati kalau dia mengetahui bahwa di antara kita ada yang
mempunyai batu mustika Ular Wilis!”
Pemuda sakti ini lalu menggunakan batu mustika ditempelkan sebentar di
bagian tubuh ketiga orang yang menjadi korban senjata rahasia itu.
Setelah mereka disadarkan kembali, ketiga orang itu menjadi
terheranheran dan bertanya,
“Mengapa... mengapa aku rebah di sini...?”
Tejolaksono lalu menceritakan bahwa mereka menjadi korban racun senjata
rahasia Wasi Bagaspati, dan tertolong oleh mustika Ular Wilis. Hati
mereka menjadi lega, dan sri baginda yang tadinya marah dan kecewa,
setelah tahu duduknya perkara, juga tersenyum kembali dan mengutuk
kejahatan Wasi Bagaspati.
Ketika Tejolaksono dan Bagus Seta melakukan penggeledahan dan
pemeriksaan, diantar oleh Pangeran Panji Sigit yang mengenal semua
tempat di istana, tentu saja mereka tidak menemukan jejak Suminten,
Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama.
Ke manakah perginya tiga orang yang merupakan persekutuan yang menjadi
biang keladi semua kekacauan itu? Begitu mendengar akan penyerbuan
barisan Panjalu, mendengar betapa Ki Kolohangkoro tewas, Ni Dewi
Nilamanik dan Wasi Bagaspati melarikan diri, para perwira kaki tangan
mereka tewas dan barisan mereka terdesak kocar-kacir, tiga orang itu
tentu saja tidak tinggal diam.
Tergesa-gesa mereka itu berunding untuk melarikan diri bersama melalui jalan rahasia dari belakang istana.
Warutama bergegas pulang ke kepatihan untuk meninggalkan pesan kepada kedua isterinya.
Akan tetapi apakah yang ia dapatkan? Kedua isterinya itu, Wulandari dan
Dyah Handini, ibu dan anak, sedang bertengkar ramai! Ucapan terakhir
yang didengarnya ketika ia masuk adalah ucapan isterinya yang tua,
Wulandari,
“Tahukah engkau siapa dia itu? Dia adalah ayahmu sendirl, ayah
kandungmu! Nah, sekarang engkau ketahui manusia macam apa adanya
suamimu, suami kita. Dia manusia terkutuk yang telah memperisteri
anaknya sendiri! Betapa maluku nanti menghadapi dimas Panji Sigit dan
para pangeran lainnya, betapa aku telah terperosok ke lembah kehinaan
dengan menjadi barang permainan manusia macam Sindupati! Ya, menjadi
benda permainanlah kita berdua ini, Anakku. Ingat saja apa yang biasa ia
lakukan kepada kita berdua selama ini. Tak tahu malu! Ahhh, lebih baik
aku mati saja...!”
“Ibu...!” Dyah Handini menjerit.
“Kalau dia ayahku, mengapa ibu tidak memberi tahu dahulu? Ahh, kalau aku tahu hemm, akan kubunuh dia!”
Tiba-tiba daun pintu terbuka dan Warutama atau Sindupati muncul di depan ibu dan anak yang menjadi pucat wajahnya itu.
Tak lama kemudian terdengar jerit-jerit mengerikan di dalam kamar itu
dan ketika Sindupati keluar dari istana kepatihan membawa benda-benda
emas dan intan yang berharga, ia melirik untuk terakhir kalinya kepada
dua batang tubuh wanita yang menggeletak tak bernyawa lagi di dalam
kamar itu dan ia menyeringai ke arah mayat Wulandari dan Dyah Handini!
Kalau saja ia tidak mendengar percakapan mereka, tidak perlu ia membunuh
mereka, demikian ia menghibur diri sendiri ketika ia bergegas pergi ke
taman sari milik pribadi Suminten untuk berkumpul dengan dua orang
rekannya di sana kemudian bersama-sama melarikan diri.
Suminten dan Pangeran Kukutan muncul dengan tergesa-gesa pula.
Pangeran Kukutan membawa sebuah buntalan besar dan berat, agaknya penuh
dengan bendabenda berharga dan melihat kedua orang itu, Sindupati
tertawa.
Dia tidaklah seperti Suminten dan Pangeran Kukutan yang kelihatan
ketakutan. Dalam keadaan seperti itu, kehilangan kemuliaan dan kemewahan
sebagai patih, Sindupati masih mampu tertawa, mentertawakan Suminten
dan Pangeran Kukutan yang berpakaian seperti petani-petani biasa!
“Lebih aman memakai pakaian rakyat biasa dalam pelarian,” kata Pangeran
Kukutan menangkis tertawaan Sindupati ketika mereka mulai berjalan
memasuki lorong rahasia yang menembus keluar kota raja tanpa melalui
pintu gerbang, melainkan keluar melalui terowongan yang dibuat menembus
di bawah pintu gerbang itu.
“Memang kalian amat pantas berpakaian seperti itu,” kata Sindupati.
Suminten melerok marah, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia diam
saja hanya mengerutkan alisnya penuh keprihatinan. Diam-diam ia mengutuk
Wasi Bagaspati dan kaki tangannya yang ternyata tidak mampu
mempertahankan Jenggala, dan diam-diam ia mengutuk Pangeran Kukutan yang
begitu tidak sabar untuk cepat-cepat menjadi raja sehingga mereka harus
memaksa sang prabu untuk menobatkan Pangeran Kukutan menjadi raja.
Kalau saja tidak terlalu tergesa-gesa dan membiarkan keadaan berjalan
seperti biasa, tentu tak akan memancing datangnya serbuan dari Panjalu.
Kalau saja... kalau... kalau... ahh, tidak perlu segala penyesalan itu.
Yang penting sekarang melarikan diri agar jangan sampai tertangkap. ia
ngeri memikirkan kalau sampai dia ditawan oleh Kerajaan Jenggala.
Masa depannya tidak terlampau gelap. Pangeran Kukutan adalah seorang
pemuda yang gagah dan tampan dan mencintanya. Dan mereka membawa bekal
yang cukup banyak untuk kebutuhan mereka.....
Komentar
Posting Komentar