PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-80


Sunyi di sini karena pertempuran beralih ke dalam kota raja yang masih terdengar dari situ. Hanya mayat-mayat bergelimpangan dan rintihan mereka yang terluka saja yang terdapat di luar dinding kota raja.
Suminten bergidik dan mereka melanjutkan perjalanan ke barat. Setelah agak jauh dari kota raja, dan tiba di pinggir persawahan yang juga sunyi karena para penduduknya pergi mengungsi begitu terjadi perang, hati Suminten agak lapang.
Tiba-tiba Sindupati berkata, “Berikan buntalan itu kepadaku!”
Ucapan ini terdengar oleh Suminten dan Pangeran Kukutan seperti suara halilintar di tengah hari!
Mereka memandang kepada Sindupati atau Warutama dengan wajah pucat dan mata terbelalak. Pangeran Kukutan bertanya kasar dan marah,
“Apakah maksudmu dengan ucapan itu?”
“Apa maksudku? Maksudku jelas! Tidak patut seorang petani miskin seperti Andika ini membawa-bawa sebuntal barang-barang berharga milik istana pula. Kesinikan, berikan kepadaku!”
“Jangan main-main, Paman patih...”
“Aku bukan patih lagi dan Andika bukan pula pangeran, melainkan orang-orang pelarian, ha-ha-ha! Ayo berikan, ataukah harus kupaksa?”
“Tidak! Tidak boleh! Mililcku sekarang hanya tinggal ini... tidak boleh!”
Suminten tak dapat berkata apa-apa, hanya memandang kepada Sindupati penuh kebencian.
“Berani engkau membantah Sindupati? Ha-ha-ha!”
Sindupati meraih untuk merampas buntalan, akan tetapi Pangeran Kukutan mengelak, bahkan lalu memukul ke arah lambung Sindupati dengan nekat.
Sindupati cepat menangkis dan balas memukul. Maka berkelahilah kedua orang bekas sekutu itu memperebutkan sebuntal barang-barang berharga!
Akan tetapi, Pangeran Kukutan tentu saja bukanlah lawan seimbang dari Sindupati yang telah memiliki kesaktian, maka dalam beberapa belas gebrakan saja,buntalan dapat dirampas dan tubuh Pangeran Kukutan menggeletak di galengan sawah dengan kepala pecah.
Pangeran yang tadinya sudah menjadi putera mahkota, yang nyaris menjadi raja di Jenggala dalam waktu beberapa pekan lagi, kini menggeletak mati sebagai seorang petani di pinggir sawah!
Suminten menghampiri Sindupati dan merangkul pinggang pria itu, menggeser-geserkan tubuh depannya dan berbisik, “Tepat sekali apa yang kau lakukan ini, Warutama... ehh, ataukah Kakang Sindupati? Kakang Sindupati lebih gagah terdengarnya. Tadi memang aku sudah mempunya pikiran untuk minta kepada Andika melenyapkan saja pangeran menyebalkan ini. Mari kita lekas pergi dari sini, kekasih pujaan hatiku...!”
Sindupati menunduk dan memandang rambut yang halus dan harum itu dengan mata terbelalak. Ia bergidik dan muak. Alangkah berbahayanya perempuan ini, melebihi seekor ular welang! Akan tetapi ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, engkau boleh ikut bersamaku, Suminten. Engkau masih banyak gunanya bagiku, bukankah begitu, manis?”
Ia menunduk dan mencium pipi wanita itu, akan tetapi Suminten merangkulnya dan membalas dengan mencium bibirnya amat mesra dan penuh nafsu berahi.
“Tentu saja, Kakang Sindupati, kita dapat saling bekerja sama dengan mesra dan cocok untuk waktu yang lama sekali.”
Kedua orang itu melangkah lagi ke barat tanpa menengok satu kali pun kepada mayat Pangeran Kukutan yang mengelatak di pinggir sawah dengan hidung, mulut, dan telinga mengalirkan darah itu. Dan tak jauh dari situ, di sebelah barat, kini mulailah mereka bertemu dengan rombongan-rombongan tentara yang melarikan diri!
Tentara Jenggala yang lari kacau-balau karena kehilangan pimpinan. Bila pasukan sudah tidak ada yang memimpin, tidak ada yang ditakuti lagi, tidak ada disiplin dan hukum, tentu saja terjadi perbuatan-perbuatan pelanggaran yang akibatnya mendatangkan derita bagi rakyat.
Demikian pula sisa-sisa pasukan Jenggalla yang melarikan diri ini, di sepanjang jalan tentu saja mengganggu dusun-dusun, mengambil makanan dengan paksa, mengangkut bendabenda berharga, menculik dan memperkosa gadis-gadis remaja. Pendeknya, tidak ada perbuatan kekarasan yang menjadi pantangan bagi mereka.
“Eh... Gusti Patih, nih! Hendak pergi ke manakah, Gusti Patih?”
Seorang di antara mereka yang agaknya mabuk tuak yang dirampasnya dari penduduk dusun, bertanya secara kurang ajar kepada Sindupati yang segera dikurung oleh dua puluh orang prajurit yang menyeringai dan memandang dengan penuh nafsu dan kekaguman kepada Suminten.
“Wah, Gusti Patih pandai sekali mendapatkan seorang yang begini denok!” seorang lain berkata.
“Dan bekalnya banyak benar, sebuntal besar. Bagi-bagi dong, Gusti Patih!”
Sindupati tertawa. Ia mengenal baik orang-orang kasar seperti ini sehingga tidak perlu ia tersinggung. Ia malah tertawa dan berkata,
“Kita sudah kalah, tidak perlu main patih-patihan lagi. Ha-ha-ha!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Mereka semua tertawa bergelak, mulut mereka terbuka lebar-lebar sehingga Suminten dapat melihat rongga mulut yang lebar-lebar dan merah di balik gigi yang kuning-kuning.
“Buntalan ini tak dapat kubagi, kalian boleh mencari sendiri di jalan. Adapun ini... kalau kalian suka, boleh kalian miliki. Aku sudah bosan dengan dial”
Sindupati mendorong tubuh Suminten sehingga terhuyung-huyung dan belasan pasang lengan menerimanya dengan penuh gairah.
“Tidak... tidak... jangan... Sindupati... ahh, jangan...”
Sindupati menengok dan tertawa, lalu pergi tanpa menoleh lagi biar pun ia mendengar jerit Suminten, malah berlari makin cepat sehingga akhirnya ia tidak mendengar apa-apa lagi, baru ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan biasa, memutar otak ke mana ia akan menujukan kakinya mencari petualangan baru tanpa menyesali kegagalannya di Jenggala setelah ia hampir tiba di puncak tertinggi.
Ia tidak perlu menyesal, tidak perlu kecewa, hanya sebuah hal yang selalu menjadi ganjalan hatinya, yaitu dendam Endang Patibroto terhadap dirinya. Hal inilah yang membuat ia selalu gelisah dan tidak dapat memkmati hidup.
Ia merasa menyesal sekali dan menyumpahi kekeliruannya ketika ia tidak dapat menahan nafsu dan berani memperkosa wanita sakti yang baru mengingatnya saja sudah membuat bulu tengkuknya meremang itu.
“Jangan...! Mundur semua kalian, manusia-manusia biadab! Tidak tahukah kalian siapa aku? Butakah mata kalian tidak mengenal junjungan kalian? Bedebah kamu semua, kurang ajar, lepaskan tanganku!” Suminten menjerit dan memaki.
Dua puluh orang laki-laki kasar itu terbelalak, lalu tertawa bergelak dan menganggap lucu sikap wanita dusun yang amat cantik jelita ini. Biar pun kulitnya tetap agak hitam seperti kulit wanita petani, namun halus bukan main.
“Duhai puteri jelita, mohon beribu ampun kalau hamba sekalian ,tidak mengenal siapa gerangan paduka puteri ini.Sudilah kiranya paduka puteri berkenan memperkenalkan diri agar hamba sekalian dapat memberi hormat sebagaimana layaknya,” demikian berkata seorang di antar mereka dengan suara dan sikap dibuat-buat sehingga semua temannya tertawa geli dan juga berpura-pura dengan sembah hormat sambil cekikikan seperti sekumpulan anakanak nakal.
“Oohhh, kalian ini bukankah para prajurit Jenggala? Apakah benar kalian tidak mengenal aku ataukah sudah buta matamu? Aku adalah junjunganmu, selir kinasih (tersayang) sang prabu, Suminten.”
Kembali dua puluh orang itu tertawa bergelak. Suminten? Baru pakaiannya saja pakaian sederhana, pakaian. wanita dusun, wanita petani, mengaku sebagai Suminten?
“Wah, jadi paduka ini Gusti Puteri Suminten? Kalau begitu kebetulan sekali, karena Gusti Puteri terkenal paling doyan pria-pria muda dan kuat. Kebetulan kami dua puluh orang adalah pria-pria yang kuat, ha-ha-ha!”
Kembali mereka berebut maju, berlomba dulu untuk memeluk dan menggerayang tubuh yang padat itu. Suminten menjerit-jerit, kemaki-maki, meronta-ronta, akan tetapi apakah dayanya menghadapi dua puluh orang laki-laki yang kasar? Akhirnya ia menjerit-jerit dan menangis, namun apa pun yang dilakukan malah seakan-akan menambah gairah dua puluh orang pria yang memperkosanya berganti-ganti itu.
Sampai malam tiba barulah mereka melepaskan Suminten yang menggeletak pingsan di pinggir hutan, meninggalkan perempuan ini sambil tertawa-tawa puas dan memuji-muji.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan untuk mengacau kampungkampung, mencari rampasan-rampasan baru, mencari calon korban mereka, wanita-wanita baru.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suminten merangkak sambil merintih-rintih, pakaiannya robek-robek, pakaian yang direnggutkan secara kasar oleh banyak tangan, yang terpaksa dipakainya untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat, untuk menahan serangan hawa dingin pagi itu. Kemudian, setelah merangkak seperti seekor anjing sakit untuk beberapa lamanya, kadang-kadang jatuh dan menangis, akhirnya ia dapat bangkit berdiri, berjalan terhuyung-huyung.
Tiba-tiba ia berhenti, menengadah dan tertawa kecicikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan dua orang pemburu di dalam hutan, dua orang pemburu yang lebih pantas disebut orang hutan dari pada manusia, liar dan kasar karena lebih sering berada di hutan memburu binatang dari pada hidup di masyarakat ramai.
“Hi-hik, ke sinilah, wong bagus! Ke sinilah kalian berdua! Lihat, apakah tubuhku tidak denok dan montok? Apakah rambutku tidak hitam panjang dan halus? Wajahku cantik dan tubuhnya hangat! Ke sinilah kalian...!”
Sejenak dua orang pria itu saling pandang, akan tetapi kemudian mereka terbelalak memandang ketika Suminten menanggalkan pakaiannya yang compang-camping, memperlihatkan tubuh yang benar-benar mempesonakan dua orang pemburu itu.
Sungguh, selama hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan bentuk tubuh seindah ini! Dan wajah itu, biar pun agak kotor dan rambutnya kusut, namun harus mereka akui cantik manis dan rambutnya benar-benar hitam panjang dan berombak.
Setankah wanita itu? Siluman yang menggoda mereka? Peri? Andai kata mereka tidak berdua, tentu seorang din saja mereka akan lari saking ngeri. Akan tetapi karena mereka berdua, mereka kini malah menghampiri dan begitu tangan mereka menyentuh lengan Suminten dan mendapat kenyataan bahwa si cantik itu benar-benar seorang manusia, keduanya lalu berebut untuk mendapatkan wanita menggairahkan ini lebih dulu!
Suminten menyambut mereka dengan pelukan mesra dan tertawa terkekeh-kekeh.
Beberapa hari kemudian, setiap orang pria yang berjumpa dengan Suminten tentu lari dan dikejar-kejarnya sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan kata-kata merayu, menawarkan tubuhnya.
Akan tetapi setiap orang laki-laki yang melihatnya menjadi amat jijik dan melarikan diri. Siapa orangnya sudi berdekatan dengan seorang wanita yang kurus kotor, bermuka pucat dan jelas miring otaknya? Akhirnya, tidak sampai sebulan kemudian, orang mendapatkan tubuh Suminten yang telanjang bulat dan kurus kering menggetak mati di dekat sungai, agaknya kelaparan atau kedinginan.
Suminten, bekas selir terkasih, bahkan bekas orang yang paling berkuasa di Jenggala, mati sebagai seorang pengemis gila yang tak dikenal orang, dan dikuburkan orang hanya karena orang lain tidak mau terganggu mayat membusuk, tidak ada yang berkabung untuknya, tidak ada yang menangisi kematiannya, bahkan tidak ada yang mengenal siapakah wanita terlantar yang mati itu.
Sungguh akhir hidup yang menyedihkan. Menyedihkankah? Tentu saja menyedihkan diukur pendapat manusia umumnya.
Benarkah pendapat ini? Belum tentu benar, akan tetapi juga belum tentu benar pendapat umum bahwa ketika menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, Suminten menikmati kehidupan yang bahagia! Suka atau duka, menyenangkan atau menyedihkan, hanyalah merupakan hasil pendapat dari pandangan orang lain!
Bulan ini menjadi orang yang paling berkuasa di Jenggala, bulan berikutnya mati seperti seekor anjing kelaparan di pinggir sungai. Inilah keadaan Suminten.
Demikian pula dengan keadaan hidup manusia ini. Hari ini tertawa, esok menangis atau sebaliknya. Hari ini berhasil dan menang, esok bisa saja gagal dan kalah. Memang isi dari pada hidup hanya satu di antara dua yang selalu berselingan, yang sudah semestinya begitu, seperti kemestian bahwa yang hidup menghadapi mati.
Tak dapat diubah lagi. Karena itu, manusia yang sadar selalu ingat akan dua kata-kata yang berbunyi, “Ojo dumeh” yang artinya manusia tidak boleh tekebur, tidak boleh sombong, tidak boleh mengandalkan kekayaan, kedudukan dan kekuasaan karena semua itu hanyalah sekedar “barang pinjaman” belaka. Kesemuanya itu, kalau Tuhan menghendaki, dapat lenyap meninggalkan manusia atau ditinggalkan manusia.
Orang yang sadar akan menganggap kesemuanya itu hanya sebagai suatu anugerah yang patut dinikmati namun yang sama sekali bukan merupakan tujuan hidupnya, dan sekali-kali tidak boleh menguasai dan memperhamba batinnya.
Orang yang mabuk akan kemenangan, akan menjadi amat sengsara hatinya kalau sekali waktu dikalahkan. Orang yang terlalu menyayang akan keduniawian yang didapatnya, akan sengsara hatinya kalau kehilangan semua itu. Sebaliknya, orang yang mendendam kekalahan akan menjadi mata gelap dan tersiksa oleh dendamnya sendiri.
Berbahagialah dia yang dapat tersenyum di kala kehilangan, dan bersahaja di kala mendapatkan hasil baik, tidak iri hati kepada yang di atas selagi dia berada di bawah, juga tidak menghina kepada yang di bawah selagi dia berada di atas.
Suminten adalah orang yang selalu mengejar kesenangan, karena itu mengherankankah kalau dia bertemu dengan kesusahan? Kesenangan dan kesusahan tak terpisahkan, ada senang tentu ada susah, mencari senang berarti mencari susah.
Orang yang selalu diperhamba oleh nafsu akan kesenangan tak akan dapat menikmati kesenangan, karena dia selalu haus dan takkan dapat terpuaskan sehingga akhirnya ia akan tersiksa oleh kehausan akan kesenangan, dan menjadi mata gelap, tidak segan-segan melakukan perbuatan kejam terhadap manusia lain yang bagaimana pun demi untuk mengejar dan mendapatkan citacita yang dianggapnya menjadi sumber kesenangan hidupnya.
Sama sekali tidak tahu atau sadar bahwa yang dikejar-kejar itu kosong melompong, bagaikan mengejar bayangan sendiri, makin dikejar makin menjauh, dikata jauh tak pernah terpisah dari tubuh sendiri! Betapa patut dikasihani manusia seperti Suminten ini!
Retna Wilis berseru girang sekali ketika ia melihat bintang yang setiap malam dipandangnya itu melayang jatuh menjadi sinar yang panjang. Itulah tanda bagi dia untuk diperbolehkan meninggalkan pantai yang sunyi ini seperti yang dipesankan gurunya, Nini Bumigarba yang telah lenyap bersama Bhagawan Ekadenta di Laut Selatan.
Setelah merasa yakin bahwa bintang yang dimaksudkan gurunya itu betul-betul telah runtuh dan tidak tampak lagi di angkasa, Retna Wilis lalu melangkah perlahan menuju tepi laut.
Sampai lama ia memandang ke arah laut, seolaholah ia hendak minta doa restu gurunya. Ia termenung seperti telah berubah menjadi arca dewi menjaga pantai dan barn sadar ketika ada Benda berat menindih kakinya. Ia menunduk dan melihat seekor kura-kura besar di depan kakinya. Kiranya kura-kura yang pernah membantunya mengambil pedang pusaka Sapudenta itulah yang tadi mendekam di kakinya.
“Eh, Kukura yang baik, malam ini adalah malam terakhir aku berada di sini. Bawalah aku berjalan di sepanjang pantai, Kukura.”
Retna Wilis lalu duduk di atas punggung kura-kura raksasa itu dan dengan mendorongdorong leher binatang itu, ia dapat mengendarai binatang Itu berjalan-jalan bersama Kukura menikmati angin laut dan pemandangan indah ombak-ombak laut ditimpa sinar bulan yang keemasan.
Ketika matahari muncul kemerahan di permukaan laut sebelah timur, barulah Retna Wilis menyuruh pergi yang kembali ke laut, kemudian ia pun mandi sampai puas dan berganti pakaiannya yang serba hijau.
Rambutnya yang hitam panjang ia gelung sebagian di atas kepala dan membiarkan sisa rambut itu terurai ke belakang.
Pakaiannya ringkas dan ketat, pedangnya ia ikat di belakang punggung, wajahnya berseri dan segar ketika akhirnya gadis remaja ini meninggalkan pantai dan berjalan ke utara. Ia hanya ingat bahwa letak Gunung Wilis adalah di barat, dan bahwa untuk menuju ke Gunung Wilis ia hams meninggalkan pantai itu menuju ke utara, kemudian ia akan membelok ke barat.
Apakah ibunya masih berada di puncak Wilis? Apakah Padepokan Wilis masih berdiri dan ibunya masih menjadi pernimpin Padepokan Wilis? Dia teringat akan nasehat gurunya,
“Kelak engkau harus menjadi puteri yang menguasai seluruh jagad. Dengan demikian, tidak percuma engkau berpayah-payah belajar di sini dan tidak percuma menjadi murid Nini Bumigarba. Engkau pergilah ke Wilis, himpun kekuatan barisanmu dari Wilis dan kemudian taklukkan semua kerajaan sampai bertekuk di depan kakimu. Ajaklah ibumu, akan tetapi kalau Endang Patibroto menghalangi cita-citamu, tantanglah dia! Biar ibu sendiri kalau menghalangi cita-citamu, tak perlu ditaati, karena engkau adalah seorang puteri yang paling sakti di dunia ini, bukan seorang kanak-kanak yang harus menurut apa Baja yang dikatakan ibumu!”
Di dalam sudut hatinya, Retna Wilis tidak setuju kalau dia harus menentang ibunya, namun sanjungan-sanjungan gurunya menghidupkan sebuah tekad di hatinya, yaitu bahwa dia harus menguasai jagad sebagai seorang Ratu yang tiada bandingnya! Kalau ibunya menentang, hemm... bagaimana nanti sajalah.
la sudah mendengar dari ibunya betapa ayahnya adalah Adipati Tejolaksono dan betapa ibunya terpaksa meninggalkan ayahnya itu karena ibunya hanyalah seorang selir!
Ibunya hidup merana, mengasingkan diri di Wilis. Karena itu, ia akan mengangkat derajat ibunya, akan membuka mata ayahnya yang bernama Adipati Tejolaksono itu bahwa ibunya bukan seorang wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang menjadi ibu Ratu Dunia! Ayahnya dan isteri ayahnya itu kelak akan ia taklukkan dan ia paksa untuk bertekuk lutut di depan ibunya, untuk minta ampun!
Dengan semangat menyala-nyala dan wajah berseri penuh keyakinan bahwa semua cita-citanya pasti akan berhasil, Retna Wilis melakukan perjalanan cepat ke utara. Akan tetapi sebagai seorang yang bertahun-tahun hidup di pantai, kini di sepanjang memasuki hutan-hutan dan melihat buah-buahan, Retna Wilis yang sesungguhnya hanyalah seorang gadis remaja itu seringkali berhenti memetik buah-buah dan kembang-kembang!
Ketika Retna Wilis sedang duduk di bawah pohon dan dengan nikmatnya makan buah semangka yang dipetiknya di jalan tadi, tiba-tiba ia mengerutkan keningnya dan menghentikan sebentar gerakannya makan semangka.
Akan tetapi ia segera melanjutkan menggerogoti semangka yang merah dan manis itu, tidak peduli akan bayangan banyak orang yang sedang memasuki hutan itu dan menuju ke tempat ia duduk.
Rombongan orang itu terdiri dari tiga puluh orang lebih laki-laki yang kasar dan memegang bermacam senjata tajam. Mereka berjalan sambil berkelakar dengan suara kasar dan yang mereka bicarakan adalah pengalaman-pengalaman mereka di sepanjang perjalanan melarikan din dari Jenggala, pengalaman membakar rumah penduduk, merampok dan terutama sekali tentang wanitawanita yang mereka perkosa.
“Ha-ha-ha, lebih senang begini, kawan-kawan!”
Terdengar suara yang parau dan paling kasar di antara yang lainnya.
“Dahulu yang manis-manis dihabiskan oleh para pangeran sendiri, dan para perwira. Kini kita bebas dan setiap menginginkan wanita tinggal ambil saja, ha-ha-ha!”
“Benar! Selama menjadi prajurit di Jenggala aim tidak pernah mendapat kesempatan menikmati wanita seperti malam tadi, ha-ha-ha!”
Mendengar ini, bangkit perhatian Retna Wilis. Hemm, jadi mereka ini prajurit-prajurit Jenggala yang melarikan diri! Dia membutuhkan anak buah dan mereka ini baik sekali dijadikan anak buah ibunya di Wilis. Akan tetapi ia melanjutkan menghabiskan semangka di tangannya.
“Wahhhh... peri kahyangan...!”
Seketika suara ribut-ribut tadi berhenti dan tiga puluh orang laki-laki itu mengurung Retna Wilis dengan mata terbelalak kagum dan mulut mengilar seperti macan-macan kelaparan melihat seekor domba gemuk.
Retna Wilis hanya melirik sebentar, terus menghabiskan semangkanya. Kemudian sambil memegang kulit semangka ia berdiri dan kembali terdengar seruan “wah-wah-wah!” saking kagum mereka. Setelah gadis itu berdiri, bukan hanya wajah cantik itu yang mereka kagumi, melainkan juga bentuk tubuh yang ramping padat dan denok.
“Kalian ini prajurit-prajurit pelarian dari Jenggala? Apakah mereka yang berkuasa di Jenggala benar sudah hancur dan kalian kehilangan pekerjaan? Kalau kalian mau, mulai saat ini boleh kalian menghambakan diri kepadaku dan kelak kalian akan dapat menjadi prajurit-prajurit dari kerajaan terbesar di seluruh dunia!”
Sejenak tiga puluh orang laki-laki kasar itu tercengang, kemudian saling pandang dan meledaklah suara ketawa mereka. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, wajahnya tampan juga dan dia terkenal paling jagoan di antara temantemannya, juga paling ganas menghadapi wanita di sepanjang jalan pelarian mereka yang mereka ganggu, melangkah maju dan memandang Retna Wilis penuh perhatian, dengan sepasang mata berkilat penuh nafsu dan mulut menyeringai.
“Eh-eh, engkau ini perawan dari mana bicara begini besar?”
Retna Wilis tidak marah, bahkan tersenyum.
“Aku adalah Perawan Lembah Wilis, atau calon ratu yang akan menundukkan seluruh kerajaan di Nusa Jawa, termasuk Jenggala dan Panjalu!”
Kembali mereka tertegun dan kembali meledaklah suara ketawa mereka. Jagoan yang bertanya tadi lalu berkata,
“Waduh, denok. Apakah otakmu miring? Sayang kalau miring, engkau begini cantik manis dan denok. Mari kuobati penyakitmu, ditanggung engkau akan sembuh dari penyakit gilamu. Marilah manis!”
Setelah berkata demikian, laki-laki itu mengulur tangan kirinya ke arah dada Retna Wilis sedangkan tangan kanannya hendak merangkul leher. Akan tetapi Retna Wilis melangkah mundur, memandang dengan muka merah dan alisnya mulai berkerut.
“Hemm, apakah kalian ini sudah bosan hidup? Lekas berlutut minta ampun dan menyatakan takluk, atau hemm, kubunuh kalian semua!”
“Aduh-aduh, hebat sekali kesombonganmu, cah manis! Biarlah, aku memilih mati, mati dalam pelukanmu, ha-ha-ha!” Jagoan itu mengejek lagi dan semua kawannya tertawa-tawa.
“Kardi, lekas bereskan dia, setelah engkau baru aku! Ah, sudah gemas aku ingin menggigit bibirnya yang kenes itu!”
Teriak seorang laki-laki yang berkumis tebal, sekepal sebelah sambil mengelus kumisnya dan lidahnya menjilatjilat bibir seperti orang yang kehausan melihat semangka.
Jagoan yang bernama Kardi itu tertawa, kini meloncat ke depan menubruk Retna Wilis.
Gadis ini marah sekali, marah yang timbul dari kekecewaan mengapa orang-orang ini tidak mau mentaati perintahnya. Tangan kirinya yang memegang kulit semangka itu menyambar ke depan.
“Pratttt!”
Kardi menjerit dan roboh bergulingan, mengaduh-aduh berusaha melepas kulit semangka yang melekat di pipinya. Akan tetapi begitu ditarik, darahnya menyemprot keluar dan ia menjerit-jerit kesakitan.
Ternyata kulit semangka itu telah menghancurkan kulit dan menempel pada tulang rahangnya menggantikan kulitnya sehingga kalau dibeset sama halnya dengan mengupas kulit mukanya. Saking nyerinya, Kardi roboh dan mengerang kesakitan.
Sejenak kawannya laki-laki kasar itu terkejut dan tercengang. Akan tetapi kemarahan mereka bangkit dan dua orang, satu di antaranya adalah si jenggot tebal tadi, sudah menubruk maju dengan kedua tangan terpentang untuk menangkap perawan yang mereka anggap selain cantik manis denok juga sombong dan galak itu.
Ingin mereka merobek-robek pakaian garis itu dan beramai-ramai melahapnya seperti sekumpulan serigala kelaparan melahap dan merobek-robek daging seekor domba muda.
“Plak-plak!”
Kembali tangan kin Retna Wilis bergerak tanpa ia menggerakkan kedua kakinya yang masih terpentang dengan tubuh tegak. Karena sekali ini yang menyambut dada dan kepala kedua orang itu bukan kulit semangka melainkan jari tangannya, si kumis tebal roboh dengan tulang dada patah-patah sedangkan kawannya roboh dengan kepala pecah dan otaknya muncrat bersama darah.
Keduanya tewas seketika dengan mata mendelik dan dalam keadaan yang mengerikan sekali.
“Hayoh, siapa lagi yang bosan hidup?”
Retna Wilis membentak,sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya

bertolak pinggang dan ia berdiri tegak, sikapnya gagah dan garang sekali. Akan tetapi sekumpulan prajurit Jenggala itu adalah orang-orang kasar yang tidak dapat mengenal orang sakti. Melihat tiga orang kawan mereka roboh, mereka menjadi marah sekali.

Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang anggota gerombolan yang berdiri terdekat di belakang Retna Wilis untuk menggerakkan golok mereka menyerbu dari belakang, membacokkan senjata mereka ke arah tubuh belakang dan kepala Retna Wilis.
“Syuuuutttt...! Plak-plak-plak-plakk!”
Tubuh Retna Wilis diputar membalik, kedua tangannya dengan jari terbuka menyambar empat kali. Empat batang golok lawan terbang disusul robohnya tubuh mereka yang tak mungkin dapat bangun kembali karena sekali tampar saja cukup bagi Retna Wilis untuk membuat kepala mereka retak dan dada mereka pecah!
Robohnya empat orang ini seolah-olah merupakan tanda bagi semua laki-laki di situ untuk menerjang maju. Retna Wilis mengeluarkan seruan marah dan kecewa, akan tetapi ia tidak pernah menggeser kedua kakinya, hanya tubuh atasnya saja berputar ke sana ke mari dan kedua tangannya membagi-bagi tamparan maut.
Tidak ada yang harus dipukul dua kali karena sekali tampar saja nyawa mereka dipaksa meninggalkan raga. Bagaikan sekumpulan laron menerjang api, Para bekas prajurit Jenggala itu menyerbu untuk mati.
Setelah lebih dari setengah jumlah mereka roboh binasa, barulah sisanya seperti terbuka mata mereka, dan serta merta mereka menjatuhkan din berlutut, melempar golok dan menyembah minta ampun. Retna Wilis berdiri di tengah-tengah tumpukan mayat yang berserakan, wajahnya berseri, mulutnya tersenyum puas, kedua tangan di pinggang. ia mengugguk-angguk.
“Bagus, baru kalian mengenal kesaktian Perawan Lembah Wilis, ya? Mulai sekarang, kalian menjadi anak buahku, calon anak buah Kerajaan Wilis dan kalian hams menyebut aku Gusti Puteri Retna Wilis. Sekarang kalian ikuti aku ke Gunung Wilis, tidak melakukan sesuatu tanpa ijinku. Siapa membantah?”
Tidak ada yang berani membantah, hanya ada seorang di antara mereka yang agak tua memandang mayat-mayat itu dan bertanya dengan suara gemetar.
“Maaf, Gusti Puteri. Bagaimana dengan mayat-mayat ini!”
“Bagaimana lagi? Tinggalkan saja. Mereka menjadi bagian binatang-binatang hutan. Hayo berangkat!”
Lima belas orang bekas prajurit Jenggala itu bangkit berdiri dan memanang junjungan barn itu dengan penuh kagum dan rasa takut.
Tahulah mereka, bahwa wanita muda, gadis remaja ini dalah seorang yang selain sakti mandrauna, juga memiliki kekerasan hati yang menggiriskan.
Retna Wilis dahulu seringkali mendapat nasehat-nasehat gurunya tentang memimpin anak buah. Maka kini pun, biar dia sendiri dapat menahan tidak makan minum sampai berhari-hari, dia memperhatikan keperluan anak buahnya dan membolehkan mereka itu mengambil hasil-hasil sawah di luar dusun-dusun untuk dimakan.
Akan tetapi ia sama sekali melarang mereka mengganggu pedusunan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar