PERAWAN LEMBAH WILIS : JILID-83


“Waduh, celaka, Puteranda Adipati! Kiranya siluman betina itu benar-benar siluman murid Nini Bumigarba! Sungguh mengherankan bagaimana puteri dari Sang Puteri Endang Patibroto menjadi siluman betina seperti itu!”
Dia lalu menuturkan semua pengalamannya ketika menghadap Ratu Wilis dan menutup penuturannya dengan kata-kata,
“Kita pasti akan digempur dan agaknya amatlah sukar mencari orang yang akan sanggup menandingi kesaktian Retna Wilis!”
Sang Adipati Diroprakosa mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang.
“Kita harus berusaha. Sikapmu benar sekali, Paman. Memang bagiku sendiri, lebih baik mati bersama kadipaten ini yang dihancurkan dari pada hidup menjadi pengkhianat yang menyerang daerah Panjalu. Tidak ada lain jalan lagi, kita harus mempersiapkan barisan, menjaga kuat-kuat Kadipaten Ponorogo dan kita harus mencari bala bantuan orang-orang sakti.”
Demikianlah, Ponorogo lalu sibuk mengatur persiapan untuk menanggulangi ancaman bahaya hebat yang datangnya dari Kerajaan Wilis yang baru itu.
Utusan-utusan dikirim ke pelbagai tempat untuk minta bantuan orang-orang sakti, di antaranya Panembahan Ki Ageng Kelud, para pertapa-pertapa dan orang-orang sakti lainnya. Juga ada utusan yang dikirim ke Kerajaan Panjalu untuk mencari bala bantuan, disertai surat dari Adipati Diroprakosa sendiri yang hams disampaikan secara pribadi kepada Ki Patih Tejolaksono karena menurut pendapat para tokoh Ponorogo, kiranya hanyalah Ki Patih Tejolaksono sajalah orangnya yang akan cukup kuat untuk menandingi Retna Wilis.
Ki Patih Tejolaksono bam saja kembali dari Jenggala bersama kedua orang isterinya dan dengan Bagus Seta. Setelah kekacauan di Jenggala dapat ditundukkan, Pangeran Panji Sigit diangkat menjadi raja di Jenggala dan pesta perayaan untuk menobatkan raja bam ini dimeriahkan dengan pesta pernikahan antara Joko Pramono dengan Pusporini.
Joko Pramono diangkat menjadi patih di Jenggala! Setelah pesta selesai, Joko Pramono yang menjadi patih tinggal di Jenggala, di kepatihan.
Permaisuri Jenggala yang tadinya diasingkan, kini kembali ke keraton sebagai ibu suri yang dihormati. Berbahagialah penghidupan Pangeran Panji Sigit yang kini menjadi Prabu Jenggala bersama Setyaningsih yang menjadi permaisurinya dan Joko Pramono yang menjadi patih di samping Pusporini.
“Nah, sekarang barulah lega hatiku,” kata Tejolaksono ketika ia bersama Endang Patibroto, Ayu Candra, dan Bagus Seta duduk di ruangan belakang kepatihan Panjalu.
Tejolaksono menghela napas panjang dan kelihatan gembira sekali.
“Setelah urusan di Jenggala beres, lapang dadaku dan kehidupan keluarga kita akan aman dan tenteram. Hanya sayang, anakku Retna Wilis belum juga dapat diketahui di mana adanya.”
Endang Patibroto mengerutkan keningnya.
“Setelah keadaan beres, aku sendiri akan pergi mencarinya.”
Ayu Candra memegang lengan madunya dan berkata membujuk,
“Adinda Endang Patibroto, baru saja kita dapat berkumpul dalam keadaan damai dan tenteram, mengapa engkau hendak pergi lagi? Janganlah, Adinda. Biar nanti kita menyebar orang untuk mencari Retna Wilis. Setelah keadaan aman kembali, kiraku tidak akan begitu sukar lagi mencarinya. Hendaknya Adinda dapat memenuhi permintaanku ini agar keluarga kita dapat berkumpul dan kebahagiaan yang baru sekarang dapat kita kenyam ini tidak akan menjadi hambar.”
Endang Patibroto memandang madunya, memandang suaminya dan memang hatinya merasa berat kalau dia disuruh berpisah lagi. Melihat keadaan orang-orang tua itu, Bagus Seta berkata,
“Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu berdua. Bagi mereka yang belum dapat membebaskan diri dari pada belenggu, dunia ini penuh dengan suka duka. Penuh dengan kedukaan bagi mereka yang mau berduka, dan penuh dengan kesukaan bagi mereka yang mau bersuka. Suka dan duka timbul dari hati pribadi. Suka duka merupakan mata rantai yang sambung-menyambung dan tidak kunjung putus. Kalau kita sudah mau bersuka, kita harus siap untuk menerima duka. Segala peristiwa di dunia ini sudah diatur oleh hukum karma yang menjadi belenggu. Hanya mereka yang sudah sadar dan bebas barulah dapat melenyapkan pengaruh hukum karma atas dirinya. Saya harap Rama dan Ibu berdua suka selalu waspada, di samping ikhtiar, kita harus selalu menyandar kan segalanya kepada kekuasaan Maha Tinggi yang sudah mengatur semuanya. Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan, sebaliknya tidak ada pula perpisahan tanpa pertemuan. Karena ada persatuan maka timbul perpisahan, juga persatuan timbul dari perpisahan. Saya percaya akan datang saatnya kita semua bertemu dengan adinda Retna Wilis. Marilah kita sama berprihatin dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa semoga segala kekeliruan-kekeliruan kita diampuni dan semoga kita selalu diperingatkan agar tidak menyeleweng dari pada Darma.”
Tejolaksono memegang tangan puteranya dan memandang penuh keharuan.
“Ucapanmu memang benar, Puteraku. Akan tetapi, duh puteraku Bagus Seta, engkau masih begini muda akan tetapi seolah-olah sudah menjauhkan duniawi, Bagus Seta, apakah engkau tidak ingin menikmati kesenangan hidup di dunia ini?”
Ayu Candra juga memandang wajah puteranya dengan penuh iba. Ia mengerti akan maksud kata-kata suaminya, juga Endang Patibroto mengerti.
Mereka bertiga memandang Bagus Seta yang masih begitu muda akan tetapi yang sudah mencapai taraf hidup seperti pendeta linuwih.
Bagus Seta tersenyum menyaksikan pandang mata penuh keprihatinan dan iba dari ketiga orang tua itu.
“Wahai, Kanjeng Rama dan kedua Ibunda yang tercinta! Tentu saja saya dapat menikmati kebahagiaan hidup. Akan tetapi saya tidak ingin karena keinginan menimbulkan kekecewaan dan siapa mengejar kesenangan akan bertemu dengan kesusahan. Betapa pun indahnya api, kalau kita sudah tahu bahwa api itu panas membakar, mengapa kita hendak menjangkau dengan tangan? Saya tidak menjauhkan diri dari duniawi, Kanjeng Rama, karena saya sendiri adalah isi duniawi. Kalau sudah menjadi satu, mengapa dicari lagi? Mengapa mengejar bayangan yang menjadi satu dengan badan?”
Tiga orang itu mendengarkan dengan takjub, tak tahu harus berkata apa karena terpesona oleh ucapan-ucapan yang begitu dalam maknanya, yang sukar dimengerti oleh pikiran namun yang dapat menyentuh RASA.
“Duhai Puteraku Bagus Seta. Jawablah dengan sesungguhnya pertanyaanku ini dan aku akan puas sudah. Adakah engkau berbahagia, Anakku?”
Bagus Seta tersenyum lebar, lalu menjawab, “Kanjeng Rama, apakah. bahagia itu? Aku tidak butuh akan bahagia itu, Kanjeng Rama.”
Mendengar jawaban ini, Tejolaksono seperti diingatkan dan bangkit berdiri dari tempat duduknya, merangkul puteranya dan berkata dengan suara menggetar,
“Aduh, Puteraku...jawabanmu mengingatkan aku akan jawaban petani sederhana dahulu itu... Ah, tentu engkau sudah lupa. Ketika engkau masih kecil, kuajak berburu binatang, di tengah jalan aku bertemu dengan seorang petani di tepi sawah. Ketika kutanya apakah dia berbahagia, dia juga menjawab sepertimu tadi. Tidak membutuhkan bahagia!”
Bagus Seta memimpin tangan ayahnya agar duduk kembali, kemudian is berkata dengan wajah sungguh-sungguh,
“Dan dia itu benar, Kanjeng Rama! Berbahagialah manusia yang tidak membutuhkan bahagia! Berbahagialah manusia yang tidak membutuhkan apa-apa! Mengapa butuh? Mengapa mengharapkan sesuatu? Mengapa menginginkan sesuatu? Barang apa yang diinginkan memang indah, akan tetapi sekali terdapat akan lenyap keindahannya. Yang tidak membutuhkan sesuatu berarti sudah mendapatkan semuanya, Kanjeng Rama! Adakah manusia yang lebih suci dan lebih bahagia dari pada seorang bayi? Karena bayi tidak menginginkan sesuatu, tidak membutuhkan sesuatu, dialah manusia paling bahagia. WAJAR itullah BAHAGIA! HIDUP itulah BAHAGIA! Kalau saya ditanya apakah saya senang atau susah, dengan segala kesungguhan hati saya akan menjawab bahwa saya tidak senang juga tidak susah, tidak duka juga tidak suka. Segala peristiwa yang terjadi adalah wajar dan sudah semestinya. Untuk menghadapi setiap peristiwa, kita dianugerahi akal budi dan pikiran yang boleh kita pergunakan sebagai hak kita: Menghadapi urusan yang tidak benar boleh kita benarkan dengan alat dan panca indera kita, dan ini menjadi kewajiban kita. Kalau ada orang yang suka menikmati kesenangan, boleh saja karena kesenangan yang dapat dinikmatinya itu pun merupakan anugerah, hanya dia pun harus siap pula merasakan kesusahan yang menjadi saudara kembar kesenangannya. Ah, kiranya Kanjeng Rama dan Kanjeng lbu berdua sudah cukup maklum akan pengertian ini, karena saya sendiri pun hanya mengulang saja.”
Tejolaksono dan kedua orang isterinya adalah orang-orang yang selain sakti mandraguna, juga sudah banyak mempelajari soal-soal kebatinan, maka tentu saja mereka dapat mengerti ucapan putera mereka itu dan dapat menyelami isinya.
Mereka menjadi kagum sekali dan sedikitpun tidak dapat menyalahkan pendirian putera mereka.
Dan ternyata kemudian bahwa ucapan putera mereka itu selain mengandung filsafat yang mempunyai makna amat dalam, juga mengandung ramalan atau peringatan yang tepat.
Hal ini ternyata ketika tiba utusan dari Ponorogo yang minta bantuan Panjalu karena kadipaten itu terancam oleh Kerajaan Wilis.
“Kerajaan Wilis?”
Endang Patibroto berseru kaget ketika mendengar berita itu.
“Apa artinya ini? Wilis adalah wilayah Padepokan Wilis, tidak ada kerajaan di sana!”
“Sudah terlalu lama Adinda meninggalkan Wilis, siapa tahu akan perubahan yang terjadi di sana? Akan tetapi kurasa surat dari Adipati Diroprakosa yang ditujukan secara pribadi kepadaku ini akan membuka rahasia itu.”
Tejolaksono membaca surat itu, dipandang oleh Bagus seta yang bersikap tenang sekali dan oleh kedua orang isterinya yang memandang dengan rasa ingin tahu benar. Kedua orang wanita itu kaget sekali ketika melihat betapa wajah suami mereka berubah, sebentar pucat dan sebentar merah. Setelah selesai membaca surat itu, terdengar ki patih mengerang perlahan dan kemudian seolah-olah menekan hatinya ia menarik napas panjang dan memandang kedua orang isterinya dengan mata seperti orang bingung.
“Apakah yang terjadi?”
Endang Patibroto bertanya.
“Apakah isi surat itu?” Ayu Candra juga bertanya.
“Kalian bacalah sendiri, hanya kuminta agar engkau bersikap tenang dan kuatkan hatimu, Adinda Endang Patibroto “
Endang Patibroto adalah seorang yang berwatak keras dan penuh semangat yang menyala-nyala. Mendengar ucapan suaminya itu, secepat kilat ia menerima surat itu dan membacanya bersama Ayu Candra.
Ketika ia membaca penuturan Adipati Diroprakosa yang minta bantuan Tejolaksono karena Ponorogo terancam bahaya hebat dari Wilis yang kini merupakan kerajaan yang dikepalai oleh Ratu Wilis yang bernama Puteri Retna Wilis, wajah Endang Patibroto menjadi merah sekali, sedangkan Ayu Candra membaca dengan wajah pucat, kemudian memandang suaminya dengan mata terbelalak.
“Bedebah nenek siluman itu!”
Endang Patibroto mengepal tangannya dengan wajah mangar-mangar (kemerahan). “Dia telah merusak anakku, menyeratnya ke dalam kesesatan!”
“Hemm, harap jangan marah dulu, Diajeng. Kita belum menyaksikannya dengan mata sendiri. Andai kata benar terjadi seperti laporan itu, yaitu bahwa Retna Wilis membentuk kerajaan di Wilis dan hendak menaklukkan seluruh kadipaten dan kerajaan yang ada, tentu ada sebab-sebabnya. Sebaiknya mari kita semua berangkat ke Wilis dan menemuinya. Kurasa setelah bertemu dengan engkau dan aku, setelah mendengar nasehat-nasehat kita, dia akan mengubah kemauannya yang aneh itu.”
“Tidak, Kakanda. Biarlah sekarang juga saya berangkat sendiri ke Wilis. Wilis adalah tempatku, dan anak buah di sana semua tunduk kepadaku. Biar kudatangi Retna Wilis dan kubawa dia ke sini!”
Tejolaksono yang belum pernah melihat puterinya, mengangguk-angguk karena dia belum tahu akan watak puterinya itu, akan tetapi melihat watak ibunya, agaknya watak Retna Wilis tidak akan jauh bedanya, tentu keras hati dan keras kepala. Kalau mereka semua datang, mungkin akan menimbulkan rasa malu sehingga bangkit wataknya yang keras dan nekat!
Watak Endang Patibroto dahulu juga begitu, kalau dilarang dengan kekerasan, siapa pun akan ditantang!
“Bagaimana pendapatmu, puteraku Bagus Seta?”
Biar pun pemuda itu puteranya, namun Tejolaksono maklum bahwa di antara mereka semua, Bagus Seta inilah merupakan orang yang paling boleh diandalkan pendapatnya.
“Ibunda Endang Patibroto benar sekali kalau Ibunda saja yang pergi membujuk adinda Retna Wilis. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan perbuatan adinda Retna Wilis membangun kerajaan dan membangkitkan perang tentu ada sebab-sebabnya pula.”
Dengan hati tidak karuan rasanya, kemarahan yang ditahan-tahan dan juga kegirangan tersembunyi karena akan bertemu dengan puterinya yang hilang, Endang Patibroto berangkat ke Wilis.
Dia melakukan perjalanan cepat dengan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Tidak ada seorang pun pengikut dibawanya karena dalam keadaan seperti itu, Endang Patibroto kembali menjadi seorang pendekar wanita yang perkasa.
Biar pun usianya sudah makin tua, sudah empat puluh lima tahun, namun ketika wanita ini menunggang kuda dan membalapkan kudanya ini, wajahnya masih halus tanpa keriput dan kemerah-merahan, rambutnya berkibar panjang dan masih hitam mulus, dari jauh ia tampak seperti seorang wanita muda yang selain cantik jelita, juga gagah perkasa!
Saking hebatnya gelora dalam hatinya mendengar bahwa puterinya yang hilang, yang selama ini membuat hidupnya merana, kini telah kembali ke Wilis dan menjadi ratu yang hendak menaklukkan semua kerajaan, Endang Patibroto tidak lagi mau berhenti untuk mencari berita.
Terus saja ia membalapkan kudanya menuju ke gunung Wilis.
Hatinya penuh dengan rasa rindu, kegirangan yang bercampur dengan kemarahan sehingga ia lupa pula bahwa kudanya, betapa pun baiknya, tidak memiliki daya tahan seperti tubuhnya yang terlatih.
Setelah kudanya itu roboh terguling barulah Endang Patibroto teringat bahwa ia telah membalapkan kudanya selama sehari semalam tanpa henti. ia meloncat ketika kudanya terguling dan melihat bahwa kuda itu tak dapat tertolong lagi.
Akan tetapi gairah hatinya membuat ia enggan menghentikan peijalanannya karena kuda ini. Ia menyambar buntalan bekal pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan aji kesaktian herlari secepat kijang.
Dua hari kemudian tibalah Endang Patibroto di kaki gunung Wilis. Hari masih pagi sekali dan dia merasa tubuhnya amat lelah, akan tetapi karena keinginan hatinya untuk segera berhadapan dengan puterinya, ia tidak berhenti dan terus mendaki gunung itu.
Ketika ia berlari sampai ke lereng bukit, ia bertemu dengan sepasukan prajurit Wilis. Sungguh sial bagi nasib pasukan yang jumlahnya sepuluh orang ini karena mereka adalah prajurit-prajurit barn yang tidak mengenal Endang Patibroto.
Ketika mereka melihat seorang wanita cantik berjalan cepat mendaki lereng, mereka lalu menghadang dan seorang di antara mereka berseru,
“Heh, engkau ini wanita dari mana dan siapa berani mendaki lereng Wilis?”
Endang Patibroto memandang penuh perhatian. ia melihat sepuluh orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hijau yang gagah, akan tetapi sikap mereka jauh sekali bedanya dengan anak buahnya dahulu.
Dahulu ia menanamkan watak satria, melarang keras anak buahnya dengan ancaman hukuman mati bagi anak buahnya yang berani mengganggu wanita. Akan tetapi sepuluh orang ini memandangnya dengan sinar mata penuh nafsu dan gairah.
Bahkan yang memimpin pasukan itu menyeringai kepadanya.
“Aku hendak bertemu dengan Ratu Wilis. Kalian ini siapakah?”
Endang Patibroto balas tanya tanpa menyebutkan namanya, sikapnya angkuh dan galak.
Mendengar ada orang wanita yang begitu saja hendak bertemu dengan ratu mereka, tanpa menyebut gusti dan sama sekali tidak memperlihatkan sikap menghormat,sepuluh orang itu menjadi marah dan pemimpin mereka tertawa bergelak.
“Wah-wah, dari mana datangnya wanita yang miring otaknya ini? Eman-eman (sayang) sekali, begini cantik jelita kok miring otaknya. Marilah manis, mari kuobati penyakitmu, mari sini, engkau akan terobati dalam pelukanku. Apakah sudah terlalu lama engkau menjanda sehingga kekeringan dan kesepian membuatmu menjadi gila?”
Laki-laki itu mengulurkan tangannya hendak meraih tubuh Endang Patibroto.
Endang Patibroto hanya mengeluarkan suara mendengus “hemmm...!”, kakinya bergerak seperti kilat menyambar dan terdengar suara “krekkk!” disusul menjeritnya laki-laki itu karena tulang lengannya patahpatah dan remuk di bagian yang dicium kaki Endang Patibroto!
“Aduh tanganku... lenganku!”
Laki-Iaki itu mengeluh dan memegangi lengan kanannya dengan tangan kiri.
“Keparat, mampuslah!”
Endang Patibroto membentak dan kembali tubuhnya bergerak, kini jari tangannya yang menyambar dengan tempilingan keras ke arah kepala orang itu.
“Prokk!”
Kepala itu remuk dan otaknya muncrat bersama darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi!
Melihat ini, Sembilan orang anak buah pasukan itu menjadi marah bukan main. Mereka membentak, “Perempuan gila!” Dan mereka telah menerjang maju dengan senjata golok mereka. Endang Patibroto menjadi makin marah.
Sebenarnya wanita ini sudah banyak berubah semenjak ia berdekatan dengan suaminya, Ki Patih Tejolaksono. Wataknya yang keras sudah agak jinak, dan kalau saja ia tidak berada dalam keadaan begitu marah terhadap puterinya, kiranya ia akan dapat mengampuni orang-orang ini.
Akan tetapi ia sedang marah dan kecewa mendengar tentang puterinya, apa lagi ketika melihat kenyataan betapa anak buah puterinya begin buruk wataknya, kemarahannya terhadap puterinya memuncak dan ia timpakan semua kepada orang-orang sial itu.
Melihat mereka maju dengan golok terhunus, ia mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya berkelebat menyambar-nyambar dan terdengarlah pekik-pekik mengerikan ketika tubuh sembilan orang itu berturut-turut roboh dengan kepala pecah semua dan tewas di saat itu juga.
Betapa mereka dapat bertahan menghadapi tamparan-tamparan yang mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila itu? Tubuh orang itu mati dalam keadaan utuh, akan tetapi kepalanya hancur semua sehingga sukar untuk mengenal mereka lagi.
Darah dan otak mengotori rumput-rumput hijau dan keadaan di situ sungguh amat mengerikan.
Munculnya pasukan lain yang lebih besar, ada tiga puluh orang jumlahnya, membuat Endang Patibroto menjadi lebih beringas lagi. Kalau perlu, akan dibasminya semua orang-orang yang mencemarkan nama Wilis ini! Dia sudah meloncat ke depan dan berseru,
“Manusia-manusia biadab, majulah kalian semua! Saat ini adalah saat kematian kalian semua!”
Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru,
“Gusti Puteri Endang Patibroto...!”
orang itu segera menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh teman-temannya yang segera mengenal wanita sakti itu. Mereka yang tidak pernah melihat Endang Patibroto karena mereka adalah orang-orang baru, begitu mendengar disebutnya nama ini dan melihat teman-temannya berlutut, segera membuang golok dan berlutut pula.
Mereka sudah mendengar bahwa Endang Patibroto adalah pendiri Padepokan Wilis, dan bahkan menjadi ibu dari ratu, mereka!
Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Endang Patibroto memandang beberapa wajah yang dikenalnya dan ia membentak,
“Bedebah kalian semua! Di mana Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis? Hayo suruh mereka cepat menghadap aku di sini!”
Sementara itu dari jarak yang jauh, ada orang yang menonton peristiwa ini dengan wajah pucat dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Kemudian orang ini diam-diam menyelinap di antara gerombolan pohon dan melarikan diri dari tempat itu. Orang ini bukan lain adalah Ki Patih Adiwijaya atau Warutama atau Sindupati! Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut dan dia sudah lari menghampiri. Akan tetapi begitu melihat Endang Patibroto, ia merasa seolah-olah jantungnya menjadi beku dan hampir ia terkencing-kencing saking takutnya.
Kebetulan sekali ketiga orang tokoh Wilis yang dulu menjadi pembantu Endang Patibroto, yaitu Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis, berada tidak jauh dari lereng itu. Mendengar suara ribut-ribut mereka cepat berlari menghampiri dan ketika melihat Endang Patibroto berdiri tegak dan didekatnya ada mayat sepuluh orang prajurit Wilis yang kepalanya remuk semua, mereka menjadi pucat dan cepat lari menghampiri dan menjatuhkan din berlutut di depan Endang Patibroto.
“Gusti Puteri...!”
Melihat ketiga orang bekas pembantunya yang ia pasrahi Padepokan Wilis Endang Ptibroto menggeget giginya menahan marah.
“Hemm, apakah yang kalian bertiga telah lakukan? Apakah yang merubah keadaan Wilis? Beginikah kalian menjalankan kewajiban kalian membawa para satria Wilis, menjadi gerombolan-gerombolan manusia biadab?”
Sambil berkata demikian, kaki Endang Patibroto bergerak dan cepat sekali kaki itu sudah menendangi tubuh ketiga orang tokoh Wilis itu sehingga mereka bertiga jatuh bergulingan.
Tentu saja Endang Patibroto tidak mempergunakan seluruh tenaga, karena kalau hal ini ia lakukan, tentu ketiga orang itu telah tewas dengan sekali tendang saja. Namun tendangan yang bagi Endang Patibroto perlahan saja itu, bagi ketiga orang saudara Wilis ini laksana sambaran halilintar yang membuat mereka mengaduh-aduh sambil memegangi kepala mereka.
“Aduh, Gusti Puteri...!” Mereka bersambat.
“Plak-plak-plak!”
Kembali Endang Patibroto menendang disusul makian-makiannya,
“Kalian semestinya dibunuh! Kalian tidak patut dibiarkan hidup. Keparat kalian, Limanwilis, Lembuwilis dan Nogowilis!”
“Aduh tobat...!” Limanwilis mengeluh dan roboh terlentang.
“Ampun, Gusti..., ampunkan hamba...!” Lembuwilis juga roboh terlentang dan menutupi mukanya seperti orang menangis.
“Aduhhh... Gusti Puteri... aduh, bunuh saja hamba ““
Nogowilis meraung-raung karena hampir tidak kuat menahan rasa nyeri terkena tendangan kedua kalinya ini.
“Memang aku akan bunuh kalian! Aku akan bunuh kalian dengan tendangan ke tiga kalau kalian tidak lekas menceritakan apa yang telah kalian perbuat di sini!”
Tiga orang itu masih mengaduh-aduh karena belum mampu bercerita ketika pada saat itu terdengar bentakan nyaring,
“Eh-eh, iblis dari mana berani datang mengacau di sini?”
Endang Patibroto memandang dengan mata beringas. Yang muncul ini adalah ki patih muda dari Wilis, yaitu Ki Walangkoro sendiri. Ketika laki-laki tinggi besar ini melihat seorang wanita menghajar ketiga orang pembantunya dan melihat sepuluh orang anak buahnya menggeletak dengan kepala pecah, melihat puluhan orang perajur itu Wilis lairmya berlutut dengan mata terbelalak dan muka pucat ketakutan, ia menjadi marah sekali.
“Setan alas! Engkaulah yang menjadi biang keladi di sini? Engkau kepala di sini, keparat jahanam?” Endang Patibroto memaki dengan suara mendesis-desis saking marahnya.
“Eh-eh, babo-babo si wanita keparat! Berani engkau menghina Ki Walangkoro, patih muda Kerajaan Wilis?”
Ki Walangkoro marah sekali dan menerjang maju. Akan tetapi Endang Patibroto tidak menanti dia diserang, karena dia pun sudah menerjang maju memapaki dengan pukulan tangannya, sedangkan tangan yang kiri menangkis lengan lawan.
“Plak-desss...!”
“Aduhhhh...!”
Ki Walangkoro terjengkang dan menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Memang panas rasa dadanya yang terkena pukulan tangan Endang Patibroto karena wanita sakti ini menggunakan Aji Wisangnolo yang panasnya melebihi kawah Candradimuka!
Kalau saja Ki Walangkoro tidak memandang rendah, tentu dia lebih berhati-hati menghadapi wanita sakti itu. Betapa pun hebatnya, terkena pukulan Wisangnolo ia seperti cacing terkena abu panas, menggeliat-geliat dan mengaduh-aduh, sukar untuk bangun kembali sungguh pun kekebalannya telah melindunginya.
Kalau ia tidak kebal sekali, tentu telah gosong dadanya dan melayang nyawanya terkena pukulan ampuh itu.
“Aduh, Gusti Puteri, ampunkan hamba... sesungguhnya, hamba bertiga hanyalah terpaksa. Mulamula, setelah paduka pergi, kami melakukan tugas seperti yang paduka perintahkan...”
Lembuwilis mulai bercerita setelah ia berhasil bangkit dan duduk bersila sambil menyembah-nyembah.
“Akan tetapi kemudian muncul Ki Walangkoro ini, kami tidak sanggup melawannya. Kami dikalahkan dan kedudukan di Wilis dia rampas. Padepokan Wilis diganti menjadi Gerombolan Wilis. Kami tidak berdaya...”
Melihat betapa raksasa tinggi besar ini tidak tewas oleh pukulannya. Endang Patibroto percaya bahwa ketiga orang Wilis ini tidak akan mampu menandingi si tinggi besar itu.
“Kemudian bagaimana...?” bentaknya.
“Lalu, aduhh... dada hamba...“ Limanwilis tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Melihat ini Lembuwilis yang sudah bangkit lalu melanjutkan,
“Hamba bertiga dipaksa menjadi anak buahnya. Kemudian, beberapa bulan yang lalu muncullah Gusti Puteri Retna Wilis... ya... puteri paduka yang lenyap dulu...”
“Lanjutkan!” bentak Endang Patibroto seolah-olah mendengar pernyataan bahwa Retna Wilis adalah puterinya membuat hatinya tertusuk.
“Beliau telah menjadi seorang yang amat sakti, Gusti. Dengan mudah Ki Walangkoro ditaklukkan, kemudian malah dijadikan patih muda dan sekarang gusti Retna Wilis membangun sebuah kerajaan Wilis...”
“Hemmm..., keparat ini pun bertanggung jawab!”
Endang Patibroto berseru marah, sekali meloncat ia telah berada dekat tubuh Ki Walangkoro yang kini sudah merangkak bangun. Akan tetapi sebelum Ki Walangkoro sempat berdiri, Endang Patibroto mengayun tangannya. Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo menyambar kepala bekas pemimpin Gerombolan Wilis.
“Dukkk!” Berkat aji kekabalan yang amat kuat, kepala itu tidak remuk, akan tetapi tubuh itu terpelanting dalam keadaan tidak bernyawa karena pukulan sakti itu menggocang otaknya yang menjadi awut-awutan di dalam kepala.
Pada saat itu terdengar seruan-seruan, “Gusti Puteri datang...!”
Endang Patibroto mengangkat mukanya, memandang sesosok tubuh ramping yang datang bagaikan terbang cepatnya. Seorang gadis yang amat cantik, berpakaian serba hijau, gilang-gemilang perhiasan yang terpasang di telinga dan ikat pinggangnya, seorang dara remaja yang luar biasa cantiknya, membuat Endang Patibroto ternganga.
Sejenak hatinya penuh kebanggaan, namun segera terganti kepahitan dan kekecewaan.
Yang datang adalah Retna Wilis. ia mendapat laporan seorang anak buahnya bahwa ada orang mengamuk membunuhi prajuritnya. Dengan kemarahan meluap dara ini meninggalkan istana dan berlari cepat menuju ke lereng itu.
“Siapa berani...”
Tiba-tiba kata-katanya terhenti dan seperti kena pesona ia memandang Endang Patibroto yang berdiri tegak di depannya, kemudian kakinya melangkah maju menghampiri Endang Patibroto.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Informasi Dasar